Sabtu, 30 September 2017

Segelas Air di Padang Gersang



Kota kecil yang dipagari gunung Merapi, Merbabu, Sumbing dan Sindoro tampak lenggang. Para pekerja sudah tak tampak berlalu lalang, para pelajar telah memulai pelajaran  jam ke dua. Seorang pemuda berjalan di tepi lapangan RINDAM IV Diponegoro, mengenakan celana SMA, kaos hitam bertuliskan aksara jawa, kakinya beralas sandal jepit. Usai meninggalkan lapangan, langkahnya lurus memasuki bangunan melengkung bagaikan pintu gerbang. Lengkungan itu membentuk lorong, sementara diatas bangunan peninggalan Belanda tesebut ialah saluran irigasi. Pemuda berkulit kuning langsat, rambut bergelombang, tinggi sekitar 170 cm sedikit kurus berkelok ke kanan setelah sampai ujung jalan. Beberapa langkah kemudian ia memasuki gedung   Perpustakaan Daerah dan langsung menuju buku pengunjung. Ia menulis Jaya Prawira pada kolom nama, Bogeman pada kolom alamat, tiga kolom berikutnya di isi tanda centang antara pelajar, mahasiswa, umum. Pemuda tersebut tertegun agak lama sebelum mencentang kolom umum, “Jika tahun lalu aku mengisi kolom pelajar seharusnya hari ini aku mengisi kolom mahasiswa.” demikian isi kepalanya melayang. Seusai membubuhkan paraf tanpa mengisi kolom saran dan kritik iapun langsung menuju rak buku.
Suasana begitu tenang, Jaya mengambil buku kimia organik dan di bawanya ke ruang baca. Ia mebaca halaman demi halaman dengan sangat lambat, keheningan ruang perpustakaan tak mampu mengusir keramaian isi kepala Jaya, tak sekalimatpun kata-kata dalam buku di hadapannya yang masuk ke otak. Terngiang dalam pikiran perkataan paman, saudara, tetangga "Kamu ini anak sopir Jaya, sudah bagus bisa tamat SMA. Kuliah itu hanya bisa dijangkau oleh orang yang beruang, cita-cita jangan terlalu tinggi nanti jatuh sakit."
Namun ia berusaha mengusir kebisingan itu dengan berusaha keras mengulangi perkataan ibunya dalam hati. "Orang tuamu ini orang bodoh yang tak bisa sekolah tinggi, kelak jangan seperti kami. Sekolahlah yang pintar agar kelak kerja pakai otak bukan pakai otot seperti ayahmu. Walaupun kita miskin tetapi Tuhan kaya, kami akan berusaha semampu kami agar kalian minimal bisa tamat SMP." Itu kata-kata ibu Jaya ketika Jaya masih kelas 4 SD sedang adiknya masih kelas 1.
"Kamu bisa sampai SMA itu sudah mujizat. Kalau tidak ada orang tua asuh, kamu pasti seperti bapakmu, sekarang kamu ingin kuliah. Pikir pakai otakmu Jaya." Tiba-tiba perkataan bibinya menerjang kata-kata ibu. Jayapun menutup buku yang tak mampu ia baca dengan konsentrasi, dan beranjak meninggalkan perpustakaan.
Alun-alun begitu sepi, hanya segelintir pedagang dan sedikit orang yang berlalu lalang. Jaya menuju bangku taman di bawah pohon beringin untuk melepas penat, iapun duduk membelakangi menara air peninggalan Belanda yang masih berfungsi dan berdiri kokoh bagai kompor minyak raksasa di pojok alun-alun. Dua kali pengamen melintas dihadapan Jaya namun mereka langsung pergi melihat lambaian   tangan Jaya yang berarti tidak. Seorang pemuda berambut tak bersisir, jaket biru agak kumal, kumis tipis menghampiri Jaya.
"Mas asli orang sini?" Tanya pemuda tadi.
"Iya." Jawab Jaya sambil memperhatikan orang yang mengajaknya bicara.
"Saya Parto, saya dari luar kota ke sini tiga hari yang lalu mencari saudara saya." Ia bicara sambil     mengeluarkan KTP dari dompetnya. "Ini KTP saya mas, saya butuh bantuan untuk pulang ke kota saya. Saya kehabisan uang sudah tiga hari tidak makan."
Jaya memperhatikan KTP tersebut, "Mas ini kan dekat hanya di balik gunung Merbabu. Di situ ada kantor polisi,” Jaya menunjuk kantor polisi di sisi alun-alun, “mas lapor saja ke sana pasti di bantu. Atau naik truk saja, saya pernah melakukannya. Kalau mas Parto butuh makan ke rumah saya saja. Lihat gedung bioskop itu, kampung saya di belakangnya kira-kira jalan kaki 10 sampai 15 menit dari sini. Kalau mau kita ke sana, ibu saya masak."
"Tidak perlu mas, saya butuh uang untuk naik bus. Ke kantor polisi juga ribet."
"Terserah mas, kalau memang butuh pulang pak polisi pasti membantu."
"Tidak mas, terimakasih." Partopun beranjak pergi.
Jaya sendiri menatap langit yang berawan. Dalam hati ia berdoa, "Tuhan di tengah pulau jawa ini aku memohon padaMu. Saat ini ijazah SMA tak lagi dihargai, aku ingin membangun negeri ini dengan ilmu yang lebih dari ilmu SMA, aku ingin lebih dari ayahku. Aku tak bisa kuliah karena orang tuaku miskin,  ayahku miskin karena putus sekolah, ayahku putus sekolah karena kakekku meninggal saat ayah masih sekolah dan ia harus keluar menggantikan peranan ayahnya, kakekku meninggal karena Engkau yang memanggil. Jadi Tuhan jika engkau memberi hujan pada orang jahat dan orang baik, Engkau juga mampu menyekolahkan orang kaya dan miskin. Amin."
Jaya beranjak melangkah gontai memasuki pusat perbelanjaan modern untuk mencari tempat dingin sementara patung pangeran Diponegoro tetap diam diatas kuda putihnya. Jaya mondar mandir hanya melihat lihat tanpa ada tujuan belanja. Tiba-tiba matanya terhenti pada seorang pramuniaga, gadis belia dengan atasan putih dan bawahan hitam, rambut diikat rapi, matanya besar, hidung kecil yang sesuai dengan wajahnya yang bulat. Bibirnya tersenyum begitu manis, senyuman itu yang menbuat Jaya berhenti, dan memang senyuman itu untuk Jaya. Tanpa ada yang memerintah Jaya langsung menghampiri sang gadis sambil membalas senyuman, entah manis di mata si gadis atau tidak ia tak peduli.
"Rini, kaukah itu?" Jaya hampir tak percaya.
"Benar ini aku Rini, Jaya." Sang gadis berusaha meyakinkan Jaya. "Baru setahun kita tak berjumpa, kau tak mengenaliku lagi."
"Bukan tak kenal, namun kau tampak semakin cantik dengan dandanan seperti ini."
"Ah Jaya, biasa saja. Aku berdandan karena tuntutan pekerjaan." Rini tersipu malu. "Kamu sendiri belum kerja?"
"Belum." Jaya ingin menceritakan keinginan kuliah, tapi tak ada guna pikirnya.
"Sabar Jaya, aku saja baru dua bulan kerja di sini. Sejak lulus     banyak teman-teman kita yang kerja serabutan. Kita ini tamatan sekolah swasta paling banyak berakhir jadi pelayan toko. Kuliah adalah barang mahal bagi kita Jaya. Universitas negri untuk anak-anak SMA negri."
Aneh pikir Jaya, tanpa ditanya Rini membahas tentang kuliah. "Tapi Rin, kalau ada kesempatan bea siswa kamu mau kuliah juga kan?" 
"Siapa juga yang tak mau. Masalahnya siapa juga yang mau memberi bea siswa padaku, dirimu yang lebih pintar dariku saja tak ada bea siswa, apa lagi aku."
Jaya tersenyum simpul. "Aku naik dulu Rin. Selamat bekerja."
"Mau belanja ya."
"Bukan. Seperti dulu, hanya jalan-jalan saja."
Hari berganti, bulan bergulir, kehidupan di jantung kota tetap   sama. Senja di sepanjang pertokoan ramai dipadati manusia, entah belanja, sekedar lewat, atau hanya ingin jalan-jalan. Jaya berjalan bersama seorang pria berambut keriting, kulit lebih terang dari Jaya, bekas jenggot yang dicukur menunjukan perbedaan usia,  keduanya mengenakan kemeja rapi hanya saja pria di samping Jaya mengenakan tongkat di kanan dan kiri guna menopang tubuhnya saat berjalan.
“Jaya, kudengar kamu dapat bea siswa kursus komputer." Pria tersebut bicara sambil terus mengayunkan tubuhnya ke depan.
"Benar mas Heru. Padahal aku ingin kuliah, tapi cuma bisa kursus." Jawab Jaya sambil mengimbangi langkah Heru.
"Jaya, Jaya. Kamu ini hanya mengeluh saja, tak ada rasa syukur sedikitpun. Coba kamu lihat diriku, kamu pikir aku tak  ingin jalan normal seperti yang lain. Sejak kecil aku harus memakai tongkat, aku juga berharap mendapat mujizat dari Tuhan seperti orang buta yang melihat, tuli mendengar, lumpuh berjalan. Tetapi bukan itu yang kudapatkan, sebab aku tidak lumpuh, aku masih bisa bepergian sendiri, aku masih bisa berkarya dengan tanganku." Heru bicara agak keras.
"Aku tidak mengeluh mas, hanya   jawaban doaku tak sesuai harapanku."
"Sama saja. Sekarang ku tanya, mana yang akan kamu pilih, segelas air di padang gersang atau banjir di kota ini?" Heru bertanya dengan lembut.
"Pilihan pertama." Jaya menjawab spontan.
"Sekarang kamu minum kursus komputernya untuk menghilangkan dahaga dalam otakmu. Sebab rancangan Tuhan bukan rancangan manusia dan Tuhan memberikan apa yang kita butuhkan serta sesuai kemampuan kita."
"Aku paham sekarang dan akan kujalani apa yang Tuhan beri dengan sukacita dan penuh tanggung jawab."         

Sabtu, 08 Juli 2017

TRAH MUDJI



Indonesia belum merdeka ketika Keluarga Merto Karyo dari Nanggulan, Magelang di karunia putri dan diberi nama Mudjijem, beberapa tahun kemudian adiknya lahir diberi nama Mudjijo. Ketika dewasa Mudjijo heran karena suku jawa tak memiliki marga seperti suku-suku lain di Indonesia bahkan di dunia. Maka saat menikah dengan Mukini putri dari Joyokus dari Bogeman, Magelang dan dikaruniai tiga orang putra dan seorang putri diberilah nama Mudji yakni Mudji Sih Topo, Mudji Sarwono, Mudjimiyati, Mudji Rino Kuminto.

Sementara di Madiun pasangan Salam Hardjo Prawiro dengan Sulami memiliki 10 anak, anak kelima memiliki nama Mudjiati lahir 1960 setahun lebih muda dari Mudji Sih Topo yang saat dewasa merantau ke Jawa Timur sebagai seniman ketoprak panggung. Hingga tahun 1979 mereka menikah dan menetap di Magelang. Mudji Sih Topo bercita-cita memiliki empat orang anak dan mendirikan sebuah band Mu Bers (Mudji Bersaudara), namun enam tahun usia pernikahan barulah diberi karunia seorang putra Mudji Nur Isa Putra, empat setengah tahun kemudian lahir adiknya Mudji Roro Asti Putri, empat setengah tahun kemudian lahir lagi Mudji Kenanga Pawestri. Jarak kelahiran yang jauh membuat cita-cita itu tak akan terwujud sebab beda angkatan pasti beda selera musik. Tujuh tahun kemudian lahir Mudji Thomas Omega. Sebagai seorang seniman ia terus berkarya baik teater, musik, lukis.

Setelah keempat anaknya dewasa si sulung menjadi bassist, anak kedua pelukis, anak ketiga penulis. Maka Mu Bers Band tak akan pernah terwujud. Namun si bungsu memiliki pikiran yang berbeda, sebagai arranger ia berusaha mewujudkan cita-cita sang ayah. Dengan semangat dan dorongan ibu, si bungsu mengaransemen lagu karya ayah mereka yang di gubah saat anak ketiga masih bayi. Maka dibuatlah vocal group karena semua anggota paduan suara kecuali si sulung. Maka perlu kerja keras untuk mengajari kakak-kakaknya.
Dan lahirlah karya Trah Mudji

https://youtu.be/6XgDBLh0-38
https://youtu.be/cy6xNcrtyr0

Warisan Majapahit (RANCANGAN PEMBALASAN)


Dua manusia masing-masing terikat pada sebuah kursi, kepala mereka ditutupi kain hitam. Ketika tutup kepala dibuka oleh seorang berbadan kekar, rambut panjang bergelombang, kumis dan jenggot dicukur rapi, mengenakan kaos hitam tanpa lengan sehingga tampak tato elang jawa di lengan kirinya, tampak jelas orang pertama ialah seorang pemuda, rambut agak kaku sehingga terkesan berdiri, kulit kuning, sebuah tanda lahir berwarna merah ada di pipi sampai pelipis kiri, sebelahnya seorang lelaki berbadan kekar, kulit gelap terbakar matahari, dahi dan kelopak mata berkeriput selaras dengan rambutnya yang dominan memutih. Pria bertato membuka lakban yang melekat pada kedua mulut sandranya.

"Kris." Kata si lelaki beruban kepada pemuda yang memiliki tanda lahir.

"Paman Parman." Si pemuda yang memiliki tanda lahir juga bicara hampir bersamaan.

Keduanya langsung mengalihkan pandangan pada sesosok pria keriting berbadan kekar yang duduk di depan mereka dibatasi oleh meja yang berisi makanan antara lain bebek bakar, gurami asam manis, nasi putih, es kelapa muda. Pria keriting tersebut memberi aba-aba dengan tangannya pada pria bertato. Paham dengan kode tersebut pria bertato melepaskan ikatan pada lengan Kris dan Parman, dan iapun segera berlalu meninggalkan ruangan.

"Saya Adi Bhaskara." Si pria keriting memperkenalkan diri "Maafkan ketidak sopanan anak buah saya. Tentu kalian lapar bukan silakan makan dan minum sambil kita bicara." Iapun langsung mengambil nasi serta lauk.

"Tunggu dulu." Parman bicara. "Anda menculik kami dan sekarang mengajak makan. Maksud anda apa. Lagipula kami ini orang miskin anak saya tak akan bisa menebus, demikian juga orang tua Kris."

"Jangan menghakimi jika tak ingin dihakimi." Kata Adi setelah menelan nasi yang ada pada mulutnya. "Saya tak butuh uang kalian, ada yang lebih berharga dari uang. Lebih baik kalian makan agar ada tenaga. Baru kita bicara."


"Kami tidak akan makan sebelum anda menjelaskan." Parman menanggapi, sementara Kris hanya diam menahan perutnya yang demo sedangkan mau makan gengsi di depan Parman.

"Baiklah jika begitu. Tunggu saya selesai makan baru saya bicara. Kalian boleh diam tidak boleh melakukan gerakan kecuali makan dan minum, saya rasa kalian tak ingin lagi  berurusan dengan anak buahku." Usai bicara Adi meneruskan makan, sementara Parman tetap diam, Kris menelan ludah.

Jam begitu lambat bagi Kris dan Parman, hingga Adi selesai makan minum langsung angkat bicara. "Ini tempat peristirahatan pribadi saya, di belakang rumah ini adalah lereng gunung dan masih hutan lebat, jika kalian ke teras pada malam hari akan melihat lampu kota berkelip di bawah sana. Kanan kiri juga masih hutan, tempat yang ideal bukan, tanpa ada gangguan polusi udara, air dan suara. Kalian akan tinggal di sini selama selapan dan tiap sepasar jumlah kalian akan bertambah. Pada mulanya saya hanya ingin Kris saja tapi berubah pikiran. Semua fasilitas di tempat ini boleh kalian gunakan, ada tukang masak, cuci pakaian, oh ya pakaian kalian tak bawakan? Karena mendadak maka saya pinjami. Juga penjaga kebun sekaligus penjaga kalian, jangan berani kabur karena saya sendiri tidak sanggup mengatakan apa akibatnya."

"Tunggu dulu." Kris angkat bicara. "Tujuan anda apa. Selapan dan sepasar itu hitungan apa?"

"Dasar orang jawa kehilangan jawanya. Parman jelaskan pada Kris." Kata Adi.

"Istilah selapan atau salapan dipakai di beberapa tempat dengan pengertian yang berbeda-beda. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia tahun  1951 karangan  Poerwadarminta  kata selapan dalam bahasa Melayu berarti delapan dan dalam bahasa Sunda berarti sembilan. Kata selapan atau salapan dalam bahasa Jawa dimaksudkan 35 hari atau 7 pasaran. Dalam bahasa Jawa sepasar berarti 5 hari, sedang sepekan dalam bahasa Indonesia satu minggu atau 7 hari. Jadi sepasar tidak sama dengan sepekan." Parman menjelaskan. "Dalam tradisi Jawa selapanan dimaksudkan sebagai suatu upacara syukur atas kelahiran bayi yang tepat berusia 35 hari. Misalnya, bayi lahir pada Minggu Kliwon maka pesta selapanan tepat pada hari Minggu Kliwon berikutnya. Seperti kita ketahui bahwa di Jawa orang masih menghitung hari menurut hitungan 7 hari dalam 1 minggu dalam Kalender Masehi yang mengikuti hitungan matahari yaitu sapta wara meliputi Minggu, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu dan hitungan 5 hari dalam 1 pasaran dalam Kalender Jawa yang mengikuti hitungan bulan yaitu pancawara meliputi Pahing, Pon, Wage, Kliwon, Legi atau Umanis dalam kalender Saka. Jadi, selapan = 7 x 5 = 35 hari."

"Ya saya paham." Tukas Kris.



"Sekarang saya lanjutkan. Simak baik-baik." Adi Bhaskara berkata. "Kris dan anak anda pak Parman serta teman-teman lainnya yang berjumlah tujuh orang membuat organisasi kemanusiaan bernama Kala Hitam. Sayangnya mereka bertujuh adalah orang miskin yang ingin membantu orang miskin lainnya. Mereka tak punya dana untuk mendanai kegiatan sosial mereka dan karena tak ada donatur maka mereka mencuri."

"Apa.!?" Parman geram. "Kris apa benar yang pak Adi katakan."

"Tak sepenuhnya benar paman Parman." Kris tertunduk, wajahnya memerah.

"Tak sepenuhnya benar katamu. Berarti ada unsur benarnya." Suara Parman keras.

"Sabar pak Parman." Adi bicara dengan santai setelah meletakkan gelas yang baru saja diminum isinya. "Jangan langsung marah. Tujuan Kala Hitam mulia, tetapi sayangnya mereka menipu saya. Jadi mereka ini tak sepenuhnya mencuri melainkan meminjam tanpa ijin. Kala Hitam mengambil peninggalan leluhur kita, rata-rata arca dari batu. Mereka membuat tiruan dan menjual yang tiruan ke lelang bawah tanah, yang asli dikembalikan ke tempat mereka mengambil. Saya sebagai kolektor benda asing mengikuti lelang bawah tanah, tujuannya agar benda-benda peninggalan nenek moyang kita jangan sampai jatuh ke tangan asing agar anak cucu kita kelak tak perlu ke Leiden atau London untuk belajar tentang leluhurnya. Dan mereka telah memalsukan ornamen Garudeya milik museum Mpu Tantular yang terbuat dari emas 22 karat. Mengetahui saya ditipu maka saya meminta Kala Hitam menebus dosa-dosanya. Nanti Kris yang akan menjelaskan ke Pak Parman. "




Warisan Majapahit (ARCA BUDDHA KENCANA)

Sebuah sedan putih melintasi gapura bentar dari bata merah, beberapa meter kemudian berhenti di depan rumah mewah dengan tiang pualam menyangga bagian depan. Seorang pria separuh baya berbadan tegap, tinggi sekitar 170 cm, dada nampak bidang meski mengenakan hem putih, rambut keriting, kulit sawo matang, kumis dipelihara rapi, sedangkan cambang dan jenggotnya dicukur habis turun dari sedan beserta seorang pemuda dengan tinggi sebahunya, mengenakan kaca mata, rambut disisir ke samping, celana jean, kaos berkerah warna biru, kulitnya gelap namun lebih cerah dibanding pria disampingnya. Merekapun berjalan memasuki rumah yang lebih mirip istana, sedanpun berlalu. Seorang gadis cantik membuka pintu dari dalam, kedua pria itupun langsung masuk.

"Inilah gubukku Bejo, di mana aku tinggal." Kata si pria keriting.

"Pak Adi terlalu merendah." Kata Bejo, ia memandang kagum ruang tamu dengan lukisan Borobudur yang sangat besar, sebuah tangga melingkar menuju lantai atas dengan stainless steel sebagai pegangan tangga. Lantainya dari keramik full polish ukuran 45x90 cm dengan desain keemasan.

"Silakan minum." Gadis yang tadi membukakan pintu membawa nampan dengan dua gelas es teh di atasnya.

"Silakan Bejo." Pak Adi mengambil segelas dan segera meminumnya sampai habis. Tanpa disuruh dua kali Bejo melakukan hal yang sama. Mereka meletakan kembali gelas kosong pada nampan yang langsung dibawa pergi oleh sang gadis. "Apa yang kamu ketahui tentang diriku Bejo."

"Yang saya dengar, pak Adi Bhaskara adalah pemilik CV Harapan Gemilang, sebuah pabrik pemecah batu di Trowulan. Sekarang dermawan yang gemar juga berdoa."

"Yang terakhir terlalu berlebihan." Pak Adi tersenyum. "Sesungguhnya kita memiliki hubungan istimewa."

"Maksud bapak?" Bejo bingung. "Ibu tak pernah cerita kalau punya saudara di Jawa Timur."

"Karena memang aku bukan saudara ibumu, Bejo Karsana. Mari kutunjukkan sesuatu."

Merekapun berjalan ke samping, pak Adi membuka sebuah kamar. Bejo kaget, rupanya bukan kamar tidur. Mirip etalase toko, banyak keris tergantung. 

"Sekarang saya paham." Bejo berdecak kagum. "Kita sama-sama suka benda bersejarah."

"Tepat sekali." Pak Adi memuji. "Ruangan ini khusus untuk menyimpan keris pusaka nusantara yang dikumpulkan ayahku, kini aku yang merawatnya dan kelak anak cucuku yang akan memelihara warisan leluhur kita."

"Kenapa tidak diserahkan ke museum saja."

"Museum katamu. Bejo, Bejo. Rakyat Indonesia hanya segelintir saja yang menghargai sejarah. Coba kamu pergi ke museum dan perpustakaan hitung daftar pengunjungnya dalam sebulan lalu pergilah ke pusat perbelanjaan duduk di pintu masuk dari awal buka sampai tutup hitunglah pengunjungnya. Aku pernah melakukan dan jumlah pengunjung pusat perbelanjaan pada hari libur selama sehari lebih banyak dibandingkan jumlah pengunjung sebuah museum ditambah sebuah perpustakaan dalam sebulan."

"Ya, saya paham yang bapak maksud. Sayangnya saya sendiri kurang paham masalah keris." Tukas Bejo.

Pak Adi tersenyum simpul. "Coba perhatikan semua keris di ruangan ini, kemudian nak Bejo ambil salah satu yang menurutmu paling bernilai."

Tanpa menjawab Bejopun melayangkan pandangan ke seantero ruangan. Hingga matanya berhenti pada sebuah keris yang gagangnya kepala naga berlapis emas, wrangka keris dari perak bertaburan batu mulia, sedangkan bagian antara keris dan gagangnya berupa cincin berlian. 

"Menurut saya yang paling istimewa ini pak Adi."

Pak Adi segera mengambil keris tersebut dari etalase pribadinya. Iapun mencabut keris tersebut. Mata Bejo semakin terbelalak, setelah melihat keris luk berjumlah tujuh ada di hadapannya, yang lebih mengejutkan lagi ialah pantulan sinar lampu dari bilah keris yang kedua sisinya terukir sisik naga dari emas. 

"Silakan." Pak Adi menyerahkan keris tersebut ke tangan Bejo yang bergetar menerimanya. 

Usai mengagumi Bejopun memasukan keris tersebut dan mengembalikan ke etalase dengan hati-hati. "Suatu karya seni yang luar biasa. Apakah tebakanku benar pak Adi?"

"Jika dilihat dari hasil karyanya keris itu adalah yang terhebat. Namun berdasarkan usianya, keris tersebut sejajar dengan yang lain."

"Maksud bapak?" 

"Keris yang kamu pilih seusia denganku, ayahku memesannya pada seorang pengrajin di Jogjakarta saat ibu mengandung aku lima bulan, dan keris itu jadi tepat dua hari kelahiranku. Setiap peradaban pasti meninggalkan sebuah karya yang agung. Ayahku ingin supaya keris yang beliau pesan menjadi karya pada peradaban Indonesia. Kelak jika kita telah menjadi fosil akan ada yang menemukan keris abad 20. Dengan nilai seni yang semakin baik dari generasi sebelumnya "

"Seperti Garuda Wisnu Kencana di Jimbaran?"

"Tepat. Sayangnya generasi sekarang lebih banyak yang menjiplak budaya asing, tak mau melestarikan budaya sendiri dan menciptakan kreasi baru. Contohnya dalam hal musik, anak muda zaman sekarang lebih merasa keren jika memainkan drum, gitar, piano, biola dibandingkan seruling, gamelan, sasando, tifa, kulintang, angklung." 

"Tak semuanya seperti itu pak Adi. Contohnya basis band d'rumus ia juga pemain kendang kuda lumping."

"Katanya. Jangan percaya sama katanya nanti tertipu. Yang penting buktinya dia main bass atau kendang?"

"Benar juga. Kembali ke keris. Jika keris yang saya pilih adalah setara dengan zaman lainnya. Maka keris seperti apa yang nilainya dapat mengalahkan keris tadi."

Pak Adi langsung membuka sebuah etalase lagi. Keris luk tiga tanpa gagang, tanpa wrangka berada di atas karpet merah. "Coba kamu sentuh, namun jangan diangkat."

Bejopun melakukan sesuai perintah. "Ini dari batu biasa." 

"Itulah bedanya aku dan dirimu anak muda ini memang dari batu, tepatnya dari zaman batu seusia dengan kapak perimbas. Bentuknya masih kasar menurutku gagangnya dari kayu yang lapuk dimakan zaman. Bayangkan nenek moyang kita zaman itu sudah menghasilkan karya yang luar biasa, tak bisa dibandingkan dengan karya ayahku."

"Jika boleh tahu, untuk apa pak Adi memperlihatkan koleksinya ke saya. Bukankah kita baru kenal?"

"Kamu yang baru mengenalku Bejo, namun aku sudah lama mengenal sepak terjangmu. Mari ikut aku."

Belum sempat Bejo memahami kata-kata pak Adi, pak Adi langsung membuka sebuah pintu samping. Bejopun mengikutinya. Rupanya di samping ruangan keris ada ruangan lain. Ruangan ini empat kali lebih lebar dari ruangan keris.

"Kamu memang kurang paham keris Bejo. Namun koleksiku ini pasti tak asing bagaimu."

Lagi-lagi Bejo terkagum melihat banyaknya arca, bahkan ada sebuah caila prasasti. "Ini kan..."

"Peninggalan nenek moyang kita yang lain." Belum sempat Bejo bicara sudah dipotong oleh pak Adi. "Jangan bertanya lagi kenapa tidak di serahkan ke museum. Sekarang perhatikan koleksiku dan sebutkan yang kamu ketahui nanti kamu paham kenapa kamu kuajak kemari."

"Baiklah." Bejo bersemangat. "Ini arca Ganesa, Durga Rarini, Buddha, Kala Makara, Caila Prasasti dengan aksara Kawi akhir pertama." Mendadak langkahnya berhenti di tengah ruangan, lidahnya terasa kelu, keringat mengucur dari pelipis kanan dan kiri, matanya terhenti pada sebuah benda di dalam almari kaca.

"Kenapa berhenti." Suara pak Adi yang ramah berubah bagaikan gong yang dipukul tepat di sebelah telinga Bejo. "Apa ACnya kurang dingin sehingga dirimu berkeringat Bejo?"

"I...i.. itu kan." Bejo tergagap.

"Ornamen Garudeya karya anak bangsa abad sekarang yang menjiplak karya leluhurnya dari masa kejayaan Kediri, yang kini masih tersimpan rapi di museum Mpu Tantular."

"Jadi pak Adi yang memesan ornamen Garudeya di lelang bawah tanah." Bejo berusaha menenangkan diri.

"Ya. Aku ingin memilikinya sebelum jatuh ke tangan orang asing."

"Jika demikian kita memiliki tujuan yang sama agar anak cucu kita tak perlu pergi ke luar negeri untuk melihat peninggalan leluhurnya."

"Beda, sama sekali beda. Aku mencurahkan hartaku untuk melindungi harta leluhur kita. Sedangkan komplotan Kala Hitam yang kamu pimpin hanya mengincar kekayaan dengan mencuri, menjiplak dan menipu. Kemudian kalian gunakan kekayaan yang kalian peroleh untuk berderma, itu hanya kamuflase Bejo."

"Kita sama-sama hitam, untuk apa saling menghakimi?"

"Kita? Hitam? Berkaca dulu anak muda jika ingin bicara. Kita jelas berbeda, aku bisa mendapatkan apa yang aku inginkan dengan uang jerih payahku. Sedangkan kalian anggota Kala Hitam, sudah miskin terima saja nasib kalian."

"Kami memang miskin, tetapi kami masih punya harga diri." Bejo berteriak.

"Mau membentak. Sadar Bejo, sadar. Ini rumah siapa? Dengarkan aku baik-baik, kamu tahu arti garudeya? Itu adalah simbol bakti seorang anak terhadap ibunya. Namun apa wujud bakti kalian terhadap orang tua. Tidak ada Bejo, tidak ada.  Sekarang kalian telah menipuku, sebagai hukuman aku meminta sesuatu yang jauh lebih berharga dari ornamen Garudeya."

"Tidak bisa." Bejo langsung menjawab. "Kala Hitam telah bubar, dan ornamen Garudeya ialah proyek terakhir."

"Bukan Adi Bhaskara jika keinginannya tak terlaksana. Dengarkan baik-baik. Kuberi kalian waktu selapan dalam hitungan jawa bawakan aku Arca Buddha Kencana setinggi 30 cm, peninggalan leluhur Majapahit. Dan dalam tiap sepasar anggota kalian akan hilang satu per satu. Tenang saja, aku ini kolektor bukan pembunuh. Jika yang aku ingini sudah kudapat kalian akan bersatu kembali, dan perlu kalian ketahui kalian tak akan mendapat imbalan apapun. Waktu dimulai dari sekarang. Kalian boleh lapor polisi, aku punya uang untuk membayar pengacara dan hakim. Saudaraku juga polisi, bukan pangkat bintara. Justru kalianlah yang akan mendekam di penjara."

Jumat, 30 Juni 2017

Warisan Majapahit (TIGA BUKIT )

"Saat manusia hadir di bumi, tugas dan tanggung jawabnya hanya atas seluruh bumi, tak lebih. Jika di luar bumi ada kehidupan atau tidak manusia hanya sebatas pengamat alam semesta tak punya wewenang apapun atas adanya kehidupan atau tiadanya kehidupan di luar bumi. Segala gejala alam di atas muka bumi silih berganti mendatangkan kematian bagi manusia, namun kondisi apapun tak pernah menjadikan manusia punah. Kematian selalu datang, kelahiran menggantikan kehidupan generasi lama ke generasi selanjutnya, pengetahuan berkembang antar generasi. Tugas manusia adalah memelihara bumi sebagai tempat dan sumber kehidupan, bukan mencari planet lain yang memungkinkan untuk kita tinggali dan menelantarkan bumi yang telah mengasuh manusia jutaan tahun. Bayangkan bila ada planet yang bisa menggantikan fungsi bumi, banyak hal yang harus kita tempuh untuk menguasainya. Jika bintang terdekat dari tata surya saja jaraknya adalah 4,2 tahun cahaya, artinya jika kita memiliki pesawat luar angkasa yang mampu terbang dengan kecepatan cahaya yaitu 299.792.458 meter per detik, kita naik pesawat tersebut selama 4,2 tahun baru mencapai bintang terdekat dengan matahari. Kita anggap saja bila ada planet mirip bumi masih di galaksi yang sama dengan jarak 200 tahun cahaya, dan kita mampu menciptakan pesawat luar angkasa dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya. Lalu setiap manusia rata-rata usia 25 tahun punya anak maka, 200 tahun dibagi 25 tahun per generasi yaitu selama 8 generasi manusia akan tinggal dalam pesawat. Bumi awalnya sejarah yang diceritakan lama kelamaan bumi hanya menjadi dongeng, sebab sejarah masih meninggalkan artefak untuk dipelajari namun butuh 8 generasi lagi untuk mempelajari bumi. Sesudah sampai pada planet yang di tuju, pastilah sudah ada kehidupan yang menguasai planet tersebut. Agar manusia bisa tinggal di sana mau tidak mau, suka tidak suka pastilah terjadi peperangan untuk memperebutkan air dan tanah. Penduduk asli pasti tidak akan rela jika tanah dan airnya diduduki begitu saja oleh mahluk asing. Selama bertahun-tahun, para astronom telah menjelajahi antariksa untuk menemukan planet mirip bumi di sistem bintang asing, dengan harapan akan menemukan planet yang dapat menyokong kehidupan. Berdasarkan laporan University of Puerto Rico at Arecibo dan NASA, Kepler-186f adalah salah satu dari 8 planet yang mirip dengan bumi. Planet seukuran bumi ini berada sekitar 500 tahun cahaya dari bumi, tepatnya pada konstelasi Cygnus. Bisa dibayangkan perjalanan ke sana bukan? Maka dari itu selama kita masih ada di bumi, marilah kita pelihara bumi kita dari kerusakan yang diakibatkan oleh keserakahan manusia itu sendiri. Jadi, aku tidak setuju dengan rencanamu kangmas Dwi Bhaskara." Pria kurus, rambut lurus, kumis tipis, kulit coklat bicara serius.

"Dimas Tri Bhaskara." Lelaki dengan warna kulit lebih gelap dari lawan bicaranya, badan kekar, rambut keriting menanggapi. "Coba kamu fikir, dari ayah kita, kakek, buyut, canggah, wareng, utek-utek gantung siwur dan seterusnya sampai moyang kita yang pertama memperoleh tanah ini, khusus ketiga bukit itu tak pernah bisa produktif. Hanya bisa ditanami jagung dan akses jalannyapun susah. Mbakyu Palupi sudah setuju dengan saranku, tinggal kamu yang belum setuju jika ketiga bukit warisan keluarga kita dijadikan tambang bahan baku keramik." Dwi menarik nafas sejenak. "Jadi begini Dimas, tujuan utamaku adalah meratakan ketiga bukit agar bisa datar sehingga bisa mendapat akses air. Kelak tanahnya digali hingga ketinggian di bawah permukaan sungai yang terletak di sisi bukit paling utara. Kita aliri air untuk persawahan, selama penambangan akan dibuatkan jalan untuk truck, kelak jalan tersebut akan kita manfaatkan juga untuk kepentingan sawah kita Dimas Tri."

"Tetapi kenyataan tak akan seperti bayangan kangmas Dwi." Tri  menyanggah. "Dalam kegiatan menambang pertama harus dibuang dulu lapisan yang paling atas, yaitu tanah humus dengan ketebalan 20 hingga 25 centimeter. Baru digali untuk bahan baku keramik, membutuhkan waktu bertahun-tahun. Kita tidak tahu apakah semua bukit berisi tanah yang dibutuhkan atau tidak. Bisa jadi penambangan akan berhenti saat ketinggian masih di atas permukaan sungai atau justru berlanjut semakin dalam hingga membentuk kubangan raksasa. Jika sudah demikian yang tersisa hanya batuan cadas, tak ada lagi tanah humus. Bagaimana mungkin kita akan menyuburkan lagi tanah bekas galian tambang itu kangmas."

"Memang prosesnya tidak langsung. Kita bisa menggunakan pupuk kandang, tanah untuk tanaman hias yang dijual bebas."

"Dan itu tanggung jawab kita untuk mengembalikan kesuburan tanah kangmas."

"Benar Dimas."

" Jadi apa tanggungjawab penambang dan aparat pemerintahan, mereka hanya menerima hasil penjualan bahan galian sesudah itu menelantarkan begitu saja. Kangmas jangan mau dimanfaatkan mereka. Kita hanya dibodohi mas."

"Daripada ketiga bukit itu tidak produktif, bukankah lebih menguntungkan bagi kita kelak. Lagipula aku yang mempunyai ide meratakan bukit. Jika kita menyewa alat berat jelas tak ada uang. Namun jika dikelola penambang kita tidak keluar biaya justru mendapatkan keuntungan ganda, tanah kita diratakan dan kita mendapat uang."

Mereka terdiam tenggelam dalam fikiran masing-masing. Memandang tiga buah bukit yang tak terlalu tinggi diantara persawahan. Sementara di belakang mereka berdiri tegak gunung penanggungan. Perlahan mentari tenggelam dibalik bukit, sedang sinarnya masih memancar jingga.

Kamis, 29 Juni 2017

Warisan Gajah Mada


1939 Saka, 653 tahun setelah Adimenteri Gajah Mada sang pemersatu nusantara mangkat, kerajaan Majapahit telah berubah menjadi wilayah kota dan kabupaten Mojokerto. Banyak arkeolog, epigraf, dan ahli sejarah kuno Indonesia berusaha menguak sejarah kehidupan zaman keemasan Majapahit, berbagai upaya penelitian dilakukan. Akan tetapi penduduk Mojokerto yang adalah keturunan Majapahit memiliki pandangan sendiri tentang nenek moyangnya, walaupun tak mengesampingkan hasil temuan para ilmuwan serta pandangan saudara sedarah yakni Tengger, Osing dan Bali.

Sebuah warung kopi di antara banyaknya warung kopi desa Sumber kecamatan Mojosari tampak lenggang sebab senja baru saja berlalu. Baru ada dua pembeli, seorang pria tinggi sekitar 170 cm, berat badan ideal, rambut pendek bergelombang, hidung sedikit mancung tapi tetap khas asia, rahang besar, kulit kuning langsat, mata hitam mengenakan celana coklat dan baju kemeja kotak-kotak warna biru putih lengan panjang disingsingkan di bawah siku menikmati segelas kopi susu. Kawannya sedikit lebih pendek, rambut lurus, kulit sedikit lebih gelap, hidung hampir sama, mengenakan celana biru dan kaos putih bergambar wayang kulit Bima, menikmati kopi hitam.

"Kalian datang ke sini berpura-pura ingin mencari dan merekonstruksi Majapahit. Padahal nenek moyang kalianlah yang meruntuhkannya. Benar begitukan Jaya." Kata si kaos putih pada si baju kotak-kotak.

"Tidak sepenuhnya benar Madyantara." Jawab si pria berbaju kotak-kotak. "Pada dasarnya nenek moyang kita sama, hanya saja suatu yang wajar jika sebuah kerajaan berdiri, runtuh dan muncul kerajaan baru lagi. Dari Mataram Kuno tempat kelahiranku dan ayahku Kerajaan berpindah ke Medang tempat kelahiran ibuku, lalu berpindah-pindah hingga masa runtuhnya Majapahit bersama lahirnya Demak Bintoro. Saat ini kerajaan Mataram dan semua kerajaan nusantara tunduk di bawah NKRI. Jadi meskipun aku dari Magelang Jawa Tengah, bukan berarti moyangku yang menghancurkan tempat ini. Semua terjadi melintasi sejarah panjang. Saat ini aku kemari karena rasa cinta tanah air Indonesia serta rasa bangga pada nenek moyang kita."

Madyantara hampir saja menumpahkan kopi dari mulutnya saat menahan tawa. Sesudah menelan habis kopi yang ada di mulut iapun berkata. "Jaya, Jaya. Kalimat terakhirmu itu kata-kata saat SD, agar kelak kita berguna bagi bangsa dan negara. Kenyataan setelah besar apa? Kita hanya jadi kuli pabrik Jaya. Bahkan kamu dan kawan-kawanmu merantau kemari hanya jadi kuli pabrik. Untuk apa, untuk uang Jaya. Agar kita bisa cukup sandang pangan papan."

"Justru itu Widyantara, dengan uang kita bisa membangun Nusantara ini. Tak hanya cukup untuk diri sendiri, dengan uang kita bisa menyejahterakan rakyat, semua merasakan keadilan sosial. Dan kekayaan itu ada di sini, disimpan secara rahasia oleh Raja-Raja Majapahit. Berdasarkan penuturan orang-orang tua di tempatku, harta kekayaan Majapahit masih tersimpan dan itu cukup untuk membuat Indonesia Jaya di mata dunia sehingga kita tak lagi bergantung pada bank dunia."



"Suku kita hanya mendapat cerita secara tutur tinular, dari penutur awal hingga tiba di telinga kita entah seberapa banyak yang dipenggal dan ditambah. Kita tak mau percaya begitu saja, tetapi mana mungkin ayah berbohong pada kita anaknya, kakek berbohong pada ayah kita, buyut berbohong pada kakek kita, canggah berbohong pada buyut kita, wareng berbohong pada canggah kita, utek-utek gantung siwur berbohong pada wareng kita dan seterusnya hingga ke pelaku sejarah. Namun sama halnya kita saat ini yang memiliki kemampuan berbeda-beda dalam menangkap peristiwa untuk menceritakan ulang secara lisan pastilah dengan gaya bahasa masing-masing dan dengan tanpa sadar menambahi agar bisa dipahami pendengar, juga mengurangi dengan tanpa sengaja karena ingatan yang terbatas.

Celakanya zaman sekarang banyak orang yang tak dapat membedakan mana sejarah mana fiksi sejarah. Tak sedikit yang percaya bahwa Ratu Kencana Wungu, Arya Kamandanu merupakan tokoh sejarah padahal mereka adalah tokoh fiksi yang berlatar belakang sejarah. Ada lagi sesuatu yang belum pasti dan menjadi perdebatan sarjana di bidangnya justru dipercayai sepenuhnya oleh rakyat. Sebagai contoh ramalan Jayabaya, semua orang percaya bahwa itu benar-benar ramalan Raja Kediri padahal masih dalam penyelidikan tentang siapa penulis dan kapan ditulis. Contoh lain ialah tetang siapa raja Majapahit terakhir antara Bhre Kertabhumi atau Dyah Ranawijaya, namun ketika kita bertanya pada siapapun jawabannya sama yaitu Brawijaya." Widyantara berhenti sejenak. "Tiap keluarga punya kisah yang diturunkan. Jika boleh tahu kisah apa yang sampai di telingamu Jaya?"

"Bukan dari keluarga, namun dari seseorang yang meneliti Majapahit secara gaib. Masalah kebenarannya masih harus dibuktikan secara ilmiah." Jaya menerangkan." Menurut beliau, Gajah Mada punya kemampuan meramal seperti Prabu Jaya Baya. Dalam menaklukan Nusantara Gajah Mada tidak selalu dengan peperangan. Mereka mengunjungi kerajaan lain dengan meramal hal-hal yang baik, merasa ramalannya sesuai maka kerajaan tersebut memberi upeti pada Majalahit. Selanjutnya Gajah Mada melakukan hal yang sama pada kunjungan kedua. Namun saat kunjungan ketiga, bukan hal baik yang diramal, melainkan hal buruk. Karena ketakutan maka kerajaan tersebut akan minta pertimbangan, dan diberikanlah nasehat. Dengan demikian upeti pada kunjungan ketiga semakin besar.


Tak hanya itu, sempat Kerajaan Filipina dan Vietnam belajar santet dari Gajah Mada untuk mengalahkan Mongolia. Kekayaan Majapahit masih di simpan sampai hari ini dilindungi secara gaib dipakai untuk membangun Indonesia melalui IMF dan PBB. Bahkan semua keputusan PBB ada ditangan ketuanya."

"Apa katamu? KetuaPBB? Mana ada."

"Benar yang kita kenal hanya Sekretaris Jendral PBB. Namun adakah organisasi tanpa pimpinan, hanya sekretaris. Dan kamu tahu Widyantara, ketua PBB adalah orang Indonesia, keturunan Majapahit. Berdasarkan ramalan Sabdo Palon Majapahit akan muncul lagi setelah 500 tahun runtuhnya. Saat ini sudah ada penelitian mengenai pusat Majapahit yang ternyata berpindah-pindah seperti Mataram Hindu. Pusat kerajaan terbesar dan terakhir terletak di Wonosalam sekarang, Mojosari tempat kita ngopi ini juga merupakan pusat kerajaan, dahulu namanya Sari Mojo. Pembangunan tol Pantura dan Papua menggunakan dana Majapahit, juga pengecoran jalan di kabupaten Mojokerto. Dari mana dananya, bukan dari dunia melainkan dana kekayaan Majapahit itu sendiri."

"Jika kita punya warisan sebanyak itu kenapa harus susah-susah jadi kuli pabrik. Tetapi tak sembarang orang yang tahu letaknya bukan."

"Tak tahu bukan berarti tak bisa dicari bukan? Kamu keturunan Majapahit pasti bisa mencarinya."


Kamis, 22 Juni 2017

MAINAN




Senja menyelimuti kota gethuk, para pedagang kaki lima ramah menawarkan barang. Berbagai jenis manusia hilir mudik di sepanjang pertokoan jalan pemuda. Lelaki kecil berlari lincah di samping sang ayah yang menuntun gerobak. Sesaat kemudian ia berlari mendahului, berhenti sejenak di depan etalase toko mainan anak-anak.

"Ayah. Kelak kalau ayah punya uang banyak belikan aku mobil-mobilan itu ya." Pinta sang anak sambil berjalan di samping gerobak setelah puas memandang isi etalase.

"Berdoa saja Darmo." Sang ayah entah karena beriman atau putus asa dengan kemampuannya memberi jawaban sebisanya. "Tuhan itu maha kaya, apapun yang kamu minta dengan sungguh-sungguh pasti diberikanNya. Sesuai kebutuhannmu nak."

"Iya ayah."

Sesampainya di pertigaan mereka ke kiri menuju jalan Sri Wijaya, terus menyusuri jalan hingga melewati jembatan mereka ke kanan menuju jalan Daha. Ayah Darmo membongkar isi gerobak berdasarkan kelompok barang, ditimbang dan sesudah memindahkan semua isi gerobak ia menerima sejumlah uang.

"Darmo ayo kita beli makan. Sesudah itu ke alun-alun. Kita nonton kuda lumping."

"Hore. Kita nonton kuda lumping sambil mengumpulkan botol bekas para penonton." Darmo begitu bersuka cita.

Menara air peninggalan kolonial Belanda menjulang tinggi di tengah kota bagaikan kompor minyak raksasa menjadi latar belakang perayaan ulang tahun kota yang telah berusia 1110. Usia kota kecil yang dipagari gunung Merapi, Merbabu, Sumbing, Sindoro ini berdasarkan Prasasti Mantyasih berangka tahun 829 Çaka atau bertepatan dengan 11 April 907 M, dengan menggunakan aksara dan berbahasa Jawa Kuno. Mentari telah di ufuk barat saat semua orang mengundurkan diri dari keramaian. Darmo dan ayahnya memanfaatkan sampah yang dibuang dengan sembarangan menjadi rezeki bagi mereka.

"Ayah. Darmo lelah pingin istirahat."

"Ya nak. Duduklah di bawah pohon beringin sana. Ayah selesaikan pekerjaan ini dulu. Nanti ayah ke sana jika telah selesai."

Darmo mengangguk, langsung berlari ke bawah pohon beringin tepat di tengah alun-alun. Ia duduk di taman buatan, patung pangeran Diponegoro menunggangi turanggga seta tetap diam tak bergeming, pusat perbelanjaan di seberang jalan mulai menyalakan lampu, sedangkan gedung bioskop tua telah beralih fungsi menjadi pertokoan. Darmo menatap langit biru yang semakin gelap, gelap dan semakin gelap bukan karena mendung namun karena sudah tak memantulkan gelombang cahaya matahari. Satu persatu bintang mulai menampakkan diri, Darmo mengamati kemunculan setiap bintang.

"Tuhan." Dalam hatinya ia berkata. "Di tengah alun-alun ini aku memohon padaMu. Sebab kami tak punya rumah untuk berdoa, aku juga tak punya baju bersih serta belum mandi untuk pergi ke rumah ibadah. Namun Tuhan pasti mendengarkan aku bukan? Aku hanya ingin seperti anak kecil lain yang juga punya mainan. Amin."

Malam berlalu, Darmo terlelap berselimut dingin yang sudah terbiasa. Ayah Darmo duduk termenung di samping anaknya, matanya enggan terpejam. Dipandangi foto kusam didompetnya, "Ratna, maafkan aku tak bisa membahagiakan anak kita. Kau pasti sudah bertemu Tuhan bukan? Tolong sampaikan padaNya agar anak kita bisa sekolah dan tak mengalami nasib seperti kita. Aku sudah enggan bicara pada Tuhan, karena Tuhan bukan untuk manusia macam kita. Sejak kau kena malaria lalu pergi meninggalkan kami di dunia ini, sejak saat itulah tak pernah ada Tuhan dihidupku."

Fajar menyingsing dari balik gunung merapi, kehidupan tak berubah. Sekelompok anak muda membagi-bagikan makanan untuk orang-orang yang kurang beruntung, tak ketinggalan mereka juga membagikan kaos serta mainan bagi anak-anak kecil. Darmopun melonjak kegirangan ketika menerima sebuah mobil-mobilan.

"Ayah, ayah. Ternyata ayah benar. Tuhan mendengar doaku, sekarang aku punya mobil-mobilan."

Hari-hari dilalui dengan suka cita, hingga batu baterai mobil-mobilan Darmo habis.

"Kenapa kau murung nak." Ayahnya memperhatikan Darmo. "Apakah mainanmu rusak."

"Tidak ayah. Tidak rusak melainkan baterainya habis. Aku tahu uang ayah tak banyak, aku juga tak mau berdoa karena Tuhan terlalu besar untuk mengurusi mainanku."




Rabu, 24 Mei 2017

TRI BUWANA



"Ayah, jika kita terdiri dari tubuh, jiwa dan roh, bagaimana membedakan jiwa dan roh?" Jaya kecil bertanya dengan polos.

"Saat manusia diciptakan oleh tangan Tuhan dengan material tanah itulah tubuh yang dikendalikan oleh panca indra. Sesudah itu Tuhan menghembuskan nafas pada tanah ciptaannya sehingga manusia hidup, nafas yang Tuhan hembuskan adalah bagian dari Roh Tuhan itu sendiri itulah roh manusia. Manusia bukan robot yang dikendalikan Tuhan, manusia adalah rekan Tuhan maka manusia diberi pikiran, perasaan dan kehendak di sanalah letak jiwa. Kau tahu orang gila disebut apa?"

"Sakit jiwa ayah."

"Bukan sakit roh kan? Gila adalah salah satu sakit jiwa, namun tak semua sakit jiwa adalah gila."

"Berarti ada banyak sakit jiwa?"

"Kata seorang dokter yang mengajar saat ayah ikut penyuluhan kader kesehatan, setiap manusia memiliki sakit jiwa, dengan tingkat keparahan yang berbeda."

"Berarti Jaya punya sakit jiwa, ayah juga?"

"Benar anakku, ketika kita resah, gelisah, merasa tertekan, putus asa bukan tubuh jasmani yang merasakan sakit namun jiwa kitalah yang sakit. Jika tak diobati, meningkat jadi stress, stress yang berkepanjangan bisa mengakibatkan penyakit yang lainnya, hingga tingkat tertinggi ialah gila."

"Obatnya apa? Bila tubuh yang sakit alam semesta menyediakan obatnya, jika batuk diobati kencur, diare daun jambu muda dan sebagainya. Bila jiwa kita yang sakit?"

"Olah pikiran dan olah rasa le. Pikiran adalah pusat kendali manusia, setiap gerak tubuh dikendalikan pikiran dan kehendak."

"Ada yang tidak ayah. Detak jantung, nafas semua berjalan tanpa perintah otak."

"Kau benar. Namun kau bisa mempercepat detak jantung dan tarikan nafas, bila otak memerintahkan kaki untuk berlari sekuat tenaga. Hanya otak tak bisa menghentikan kinerja jantung."

"Bagaimana dengan roh?"

"Roh ialah sejatinya manusia itu sendiri, tanpa roh manusia akan mati. Bila manusia mati yang mati hanyalah tubuh jasmaninya saja. Roh yang akan kembali ke Tuhan, atau dibuang ke lautan api yang kekal . Bagaimana roh itu setelah mati ditentukan oleh apa yang kita lakukan selama hidup ini. Pada dasarnya roh manusia itu suci, namun setelah menempati badan jasmani maka roh akan tercemar oleh keinginan panca indra. Sesungguhnya setiap manusia bisa mendengarkan hatinya yang murni. Contoh, kamu pasti pernah ingin berbuat jahat namun perasaanmu mengatakan jangan."

"Ia, Jaya pernah mengalaminya. Ada keragu-raguan dan rasa takut."

"Itu ialah suara roh kita, kamu bisa melawannya dengan pikiran. Lalu setelah kau lakukan kesalahan ada rasa penyesalan bukan?"

"Benar."

"Namun manusia lebih sering menggunakan pikirannya, berusaha membunuh suara hatinya. Lama kelamaan setelah melakukan kejahatan yang sama secara berulang-ulang, suara itu semakin lemah akhirnya mati tak terdengar, atau disebut mati rohani."

"Apakah roh kita jadi mati?"

"Itu hanya istilah saja, artinya manusia dikendalikan oleh hawa nafsunya. Jika manusia bisa mengendalikan hawa nafsunya, maka roh itu akan terdengar lagi."

"Bagaimana caranya."

"Kecenderungan manusia berbuat jahat. Sejak awal manusia diciptakan, sebenarnya sangat akrab dengan sang pencipta. Bahkan manusia mempunyai wewenang menguasai isi bumi ini. Akan tetapi sesudah manusia mendengarkan bujukan iblis, maka manusia terpisah dari sang pencipta. Kekuasaan di bumi akhirnya menjadi milik iblis."

"Maksudnya iblis yang mengusai bumi yang kita pijak ini ayah?"

"Benar anakku, secara sederhana kugambarkan begini. Permukaan bumi ini dihuni oleh manusia, hewan dan tumbuhan. Lalu di udara dikuasai oleh iblis, di atasnya lagi baru ada Tuhan. Maka hubungan manusia dan Tuhan dipisahkan oleh wilayah iblis. Namun demikian Tuhan sangat sayang pada manusia, Tuhan ingin mengembalikan hubunganNya dengan manusia. Tuhan telah memilih beberapa manusia di masa lalu, memberi banyak peraturan agar manusia bisa kembali pada hakekatnya yang suci. Namun setiap manusia yang dipilih juga tak luput dari kesalahan. Demikian juga dipihak manusia tak sedikit yang berusaha hidup suci, dengan cara mematikan keinginan jasmani hingga tapa brata dengan tujuan moksa, yaitu mati jiwa dan raganya hilang tak meninggalkan jasad. Namun tak semua manusia berhasil, baik usaha Tuhan melalui peraturan, maupun usaha manusia untuk menyucikan diri. Bahkan, tak sedikit dalam perjalanan spiritual manusia yang tujuan awalnya ingin mencari Tuhan disesatkan oleh Iblis. Sebab iblis jauh lebih pintar dari manusia."

"Berarti sulit ya untuk mengembalikan roh kita menjadi suci."

"Sulit bukan tak berarti tak bisa bukan. Karena manusia tak mampu maka Tuhan sendiri turun dalam wujud manusia. Ia memberi teladan dalam menjalani hidup sehari-hari. Tuhan tak lagi mengajar dengan kata-kata, namun kata-kata itu mewujud dalam rupa manusia dan menggunakan nama Yesus. Untuk menghapus penghalang antara manusia dan Tuhan yang dibatasi wilayah iblis, maka kekuasan iblis atas bumi harus direbut kembali. Dalam merebut kekuasaan itu harus ada pengorbanan darah manusia yang suci. Karena manusia tak ada yang memenuhi syarat maka Tuhan sendiri dalam wujud manusia mengorbankan darahnya untuk menghapus kesalahan manusia, dengan demikian kekuasaan iblis telah dilucuti, tapi tak sepenuhnya kembali menjadi milik manusia. Hanya manusia yang percaya pada penebusan darah Tuhan yang memiliki hak. Namun dalam perjalan hidup manusia, tak mungkin lurus. Sebab keinginan panca indra, pikiran, kehendak masih ada. Maka Roh Tuhan sendiri yang akan menuntun roh manusia agar tidak jatuh dan mengajari tentang kebenaran."


Jaya termenung, fikiran melayang melintasi jagad raya, berjalan menelusuri waktu, hingga tak sadar seorang wanita dengan tulang pipi menonjol, hidung pesek, rambut bergelombang, kulit jauh lebih cerah dari Jaya, mengenakan kaos kuning duduk sebelahnya.

"Abang melamun." Sapa sang Wanita.

"Aku teringat ayah Nadia."

"Ayah bang Jaya sudah bahagia bersama Tuhan, tak perlu dicemaskan lagi. Yang perlu difikir adalah kita yang masih di dunia ini."

"Benar Nad, akhir-akhir ini aku galau dengan pekerjaanku. Dulu begitu idealis tak ingin merusak alam, namun sekarang lihat apa yang kukerjakan. Dan aku gagal mendapatkan pekerjaan lain yang sesuai idealismeku dulu."

"Sudahlah bang, jangan merasa bersalah. Abang tak merusak alam. Bumi ini meskipun ditambang, bumi akan tetap ada sebab hasil bahan galian masih di bumi tak pindah ke lain planet bukan. Selain itu pekerjaan abang bukankah mengubah bahan baku menjadi bahan yang lebih bernilai baik secara fungsi maupun ekonomis. Tanah dan bahan mineral tambang lainnya digali dari tempatnya, diproses dibakar dengan gas alam yang dari hasil tambang juga sehingga menghasilkan keramik indah. Tanah, air, udara, api disatukan menghasilkan karya seni berupa bata, semen, keramik semuanya adalah karya peradaban yang dibutuhkan sebagai tempat tinggal manusia. Jadi kita tidak merusak alam melainkan, memanfaatkan alam. "

"Memang dari satu sisi aku menghasilkan karya seni peradaban. Di sisi lain bekas galian tambang sebagai bahan baku menyisakan masalah lingkungan tersendiri."

"Ya. Namun itu bukan tanggungjawabmu, siapa yang empunya lahan, siapa yang memberi perijinan, bukan kita kan. Jika kita diberi rezeki memiliki tanah luas, itu hak kita untuk diapakan. Apakah kita jadikan hutan, ladang, sawah, pusat perbelanjaan, atau area tambang itu hak kita bang. Akan tetapi siapa kita saat ini. Abang hanya buruh, hanya pelaku. Kita syukuri saja apa yang kita miliki sekarang. Bukankah sudah lebih baik jika kita bisa makan setiap hari, punya pakaian dan tempat tinggal. Tak perlu berlebih seperti para pengusaha yang abang bilang merusak alam."

"Iya Nad."






Senin, 22 Mei 2017

Jamu Kanker



Tak ubahnya malam-malam sebelumnya, sepasang suami istri bergantian memangku gadis bungsunya yang telah menginjak remaja hingga terlelap. Sedang suami terlelap karena lelah, sang istri masih terjaga meski raga letih.

"Tuhan, kenapa ini tak adil bagiku. Kau telah mengambil ketiga anakku, aku hanya ingin punya anak yang sehat seperti yang lain. Kenapa hal ini terjadi padaku. Jika tetamggaku yang mantan orang nakal kau beri dua orang putri yang sehat, lincah. Demikian saudaraku yang jangankan ke dokter atau ke bidan, ke puskesmaspun tak pernah selama mengandung. Juga ia melahirkan dengan bantuan dukun bayi, hingga hari ini anaknya baik-baik saja. Sedangkan aku dan suamiku selalu taat padaMu. Sejak mujizat Kau berikan bagi rahimku, aku berkonsultasi dengan dokter spesialis kandungan mulai dari sebelum, semasa hingga pasca melahirkan. Itu semata-mata karena aku menginginkan anak yang sehat. Tapi mana penyertaanMu, mana keadilanMu Tuhan."

Hari berganti, rasa kecewa, amarah, tidak terima terus tertanam dalam hati. Hingga suatu saat bukan kesembuhan bagi sang buah hati yang diperoleh, namun benjolan pada payudara kanan sang ibu muncul entah mulai kapan. Rasanya sangat nyeri. Sejak saat itu, pengeluaran bertambah. Bila obat untuk sang anak telah terpenuhi barulah sang ibu beli obat, namun bila uang tak mencukupi. Obat anak yang di utamakan. Hingga kondisi sang ibu semakin parah, muncul lingkaran besar di punggung kanan dengan lubang kecil di tengah yang kadang-kadang mengeluarkan darah kental.

"Jika sudah dioperasi, apakah saya akan sembuh total dok?" Demikian pertanyaan yang diajukan saat berobat. "Sebab ada banyak kasus, sesudah operasi berpindah penyakitnya."

"Saya tidak bisa menjawab, bu Djoni." Sang dokter dengan sabar menjelaskan. "Kita tidak tahu apakah jinak atau ganas sebelum dioperasi. Jadi prosedurnya, diangkat dulu lalu kita uji laboratorium. Apabila hasil laboratorium menyatakan kanker jinak maka ibu sudah tak perlu berobat. Namun jika hasil laboratorium menyatakan ganas, ada kemungkinan sudah menyebar dan berpotensi muncul di payudara kiri atau tempat lain. Untuk mencegah hal itu, harus ada pengobatan berkelanjutan."

Usaha dilakukan, doa dipanjatkan namun harapan semakin sirna. Tak ada lagi tempat berlari, tak ada lagi tempat mengadu. Rumah yang seharusnya menjadi tempat perlindungan, terasa bagai neraka.
"Apa yang harus kita lakukan pak.?"

"Percaya saja isteriku. Semua yang terjadi dalam hidup kita adalah rencana Tuhan. Tuhan pasti memberi yang terbaik."

"Iya pak. Aku sadar sekarang, aku sering menggerutu, sering protes dan menuntut Tuhan. Padahal sudah sering kali Tuhan memberi mujizat dalam kehidupan kita. Namun aku tetap tak bersyukur, hasilnya Ia bukan mengangkat penderitaanku namun semakin terhimpit aku."
"Syukurlah jika kau menyadarinya. Sekarang marilah kita berdoa, memohon ampun atas kesalahan kita. Memohon ampun atas ketidakpercayaan kita pada Tuhan."

"Iya pak."

Hari terus berjalan, namun malam-malam yang dilalui tak seperti malam-malam sebelumnya. Kini setiap malam bu Djoni memuji Tuhan serta membacakan firman Tuhan ketika putri bungsunya ada di pangkuan. Hatinya tak lagi gundah, namun kasihnya sebagai seorang ibu dicurahkan hingga wajah murungnya berganti wajah sukacita.

"Bu, sekarang giliranku menidurkan anak kita."
Kata pak Djoni pada suatu malam.

"Biar aku saja pak. Bapak istirahat saja, besok bapak kerja. Sedangkan aku kan sudah keluar dari pekerjaan, biar kucurahkan waktuku untuk anak kita."

"Namun kau juga sakit. Kau butuh istirahat."

"Aku sudah tak merasakan sakit, meskipun penyakitku menggerogoti tubuhku namun jiwaku bersuka cita karena Tuhan masih mengijinkan kita untuk merawat anak. Dan rasa sakit itu sudah tak terasa lagi."

"Bagaimana bisa.?"

"Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang."

"Puji Tuhan."

Malam berlalu, pagi menjelang, kembali datang malam lagi demikian waktu berjalan. Hingga suatu senja.

"Bu, aku dapat alamat Balai Penelitian Tanaman Obat di Batu dari mandorku. Baiknya kita ke sana."

Dengan semangat keesokan harinya, mereka pergi dan bertemu dengan kepalanya langsung. Dijelaskan rentan berbagai tanaman yang telah diteliti, nama, bentuk, nama latin serta kandungan dan manfaatnya. Antara lain Kunyit kuning, kunyit putih, pegagan, meniran, bengle, tapak dewa, mahkota dewa, sirih, benalu hingga berjumlah 15 tanaman untuk mengobati kanker. Sesudah tiga kali berkunjung dengan mencatat semua informasi ditambah makalah penelitian dari berbagai Universitas tentang tanaman obat, mereka berdua membuat komposisi jamu sendiri. Adapun bahan-bahan mencari sendiri, dibantu petani, teman pabrik, orang yang tak dikenal dan siapa saja yang Tuhan pakai. Sesudah meminum jamu selama beberapa minggu, lengan kiri bu Djoni yang awalnya tak bisa digerakan akhirnya bisa beraktifitas normal. Setahun kemudian lingkaran di punggung menipis. Genap tiga tahun semua lingkaran hilang beserta benjolan di payudara dan sesudah cek dokter, kanker itu sudah bersih total. Meskipun si bungsu dipanggil pulang oleh Tuhan.

Rasa senang karena Tuhan menyembuhkan melalui tanaman yang telah disediakan sejak dunia dijadikan bercampur duka karena tak lagi memiliki keturunan yang masih tinggal bersamanya. Hingga suatu malam, antara sadar atau tertidur saat bu Djoni duduk di kamar. Empat orang datang menyapanya.

"Bu." Demikian empat orang itu menyapa.

Bu Djoni memandang jelas anak lelaki pertamanya sudah dewasa sekitar 19 tahun, perawakan tinggi lebih tinggi dari ayahnya, disampingnya dua orang adikny yang tak jelas bagai banyang-bayang dan terakhir si bungsu yang sangat cantik.

"Lho le kamu kok sudah besar." Sapa bu Djoni, pada si sulung. Keempat anaknya tersenyum.

Sesudah kepergian mereka bu Djoni berdoa.
"Terimakasih Tuhan akhirnya aku bisa melihat keempat anakku secara bersamaan."

Hari-hari dilalui dengan suka cita. Kini tinggalah mereka berdua saja. "Pak masih ingat saat aku cerita berjumpa anak kita? Entah mimpi entah nyata, tapi aku rasa nyata."

"Tentu aku ingat semua yang kau ceritakan."

"Tadi malam aku bermimpi, kali ini jelas aku bermimpi. Anak kita yang bungsu dipangku oleh Tuhan Yesus pak, sedangkan ketiga kakaknya berada di samping Yesus. Mereka lebih bahagia dari pada kita. Sekarang aku sudah benar-benar rela melepas mereka "

"Segala yang terjadi dalam hidup kita adalah rencana Tuhan. Tuhan telah memberi komposisi jamu penyakit kanker. Sekarang tugas kita selama masih di dunia ini adalah membagikan kebaikan Tuhan yang telah kita terima kepada orang lain. Lanjutkan buat jamu, berikan pada yang membutuhkan sebagai rasa syukur kita pada Tuhan."

Sejak saat itu hingga tulisan ini dibuat bu Djoni membuat jamu yang diberikan pada siapa saja yang membutuhkan, sedangkan bahan dari siapa saja yang menanam atau menemukan. Tak ada jaminan kesembuhan. Tuhan yang menciptakan tanaman obat, Tuhan bisa menggunakan apa saja untuk mengobati. Namun Tuhan juga bisa tak mau mengobati.

"Saat kita diberi sakit, cobaan atau penderitaan kemudian kita menggerutu dan menuntut janji Tuhan justru rasanya semakin parah. Namun ketika kita menerima dengan lapang dada serta menikmati apa yang sedang Tuhan ijinkan terjadi, maka beban terasa ringan sebab jalan keluar itu sudah disediakan oleh Tuhan." Nasehat bu Djoni pada penulis, saat penulis berkunjung ke rumahnya di perumahan Pungging, Mojokerto.

"Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang."  Tertulis pada kemasan jamu.

"Dukunnya ialah Tuhan Yesus."

Hening suasana dalam ruangan, hanya detak jam dinding yang terasa lambat. Sang dokter begitu tenang mempelajari hasil laboratorium, sesaat kemudian dipandangnya sepasang suami istri dihadapannya.


"Ibu harus rawat inap selama empat bulan di sini, agar kami bisa memberikan pengobatan secara optimal."

Sontak suara sang dokter bagaikan sebongkah batu menghantam dada sang pasien yang saat itu juga langsung mengeluarkan air mata. "Tapi dok, kami tak punya biaya. Uang kami sudah habis untuk obat jalan." Kata-katanya patah-patah namun jelas terdengar di antara isak tangis keputus asaan.

"Kalian keluar dari ruangan ini sekarang, masih banyak pasien yang antri. Pikirkan baik-baik, setengah dua datang lagi ke sini untuk memberi keputusan."

"Baik dok." Kata sang suami yang langsung membimbing istrinya keluar ruangan, dan merekapun duduk di pojok ruang tunggu.

"Pak. Kita harus bagaimana? Kita sudah tak ada uang." Sang istri masih dalam kondisi menangis.

"Tenanglah bu." Sang suami berusaha menguatkan hati istrinya. "Tuhan itu Bapa kita. Tak ada bapa yang membiarkan anaknya terlantar begitu saja. Hanya saja Tuhan sedang menguji iman kita. Jika Tuhan menghendaki engkau masuk rumah sakit, maka Tuhan akan sediakan biaya. Ingat bahwa Tuhan sanggup memberi makan lima ribu orang hanya dengan lima roti dan dua ikan masih sisa dua belas keranjang. Jadi apabila engkau harus menjalani rawat inap Tuhan akan sediakan biaya, bahkan sisa dua belas keranjang. Namun bila tidak rawat inap Tuhan juga yang akan menyediakan obatnya. Tuhan bisa menggunakan apa saja yang ada di alam ini untuk obat, bahkan tanah yang dicampur ludah dioleskan pada mata yang buta, si butapun dapat melihat."

Hingga waktu yang ditentukan mereka kembali ke ruang poly kandungan. Sang dokter tak lagi ramah.
"Ibu mau sembuh atau mau mati."Dokter membentak.

"Saya ingin sembuh dok." Secara spontan sang pasien menjawab.

"Jika ingin sembuh harus rawat inap, jika ingin mati silakan pulang." Sang dokter tak menurunkan nada suaranya. "Masalah biaya, kalian bayar setelah diobati."

"Baik dok." Sepasang suami istri, hampir serempak.

Sang istripun lansung di bawa ke kamar pasien, sedang suami mengisi formulir secara lengkap. Tak lupa ia bubuhkan tanda tangan serta namanya, Djoni.

Hari berganti, minggu berlalu, bulanpun berjalan. Total bu Djoni harus menerima 30 obat suntik, dan pada suntikan yang ke 25 kembali di cek HSG lagi  untuk mengetahui apakah ada perkembangan pada rahimnya. Dan hasilnya sangat tidak diinginkan yaitu jika angka manusia sehat ialah dibawah 5, namun nilai bu Djoni ialah 150. Dokter sudah hampir menyerah.

"Penyakit istri bapak sudah menjalar ke darah." Sang dokter menjelaskan pada pak Djoni. "Masih ada lima kali suntikan lagi, kemudian selama dua minggu tidak diberi obat apapun. Namun istri bapak harus tetap tinggal di sini meskipun tanpa pengobatan. Sesudah dua minggu dari suntikan ke 30, maka kami akan test HSG lagi. Apabila tak juga membaik, maka jalan terakhir adalah operasi pengangkatan rahim. Bagaimana bapak?"

"Jika itu adalah jalan terbaik, tak masalah. Berarti sudah kehendak Tuhan apabila saya tak dipercaya punya anak. Setelah anak pertama kami dipanggil Tuhan dalam usia bulan, anak kedua dan ketiga di panggil lagi sejak dalam kandungan. Berarti Tuhan tak mempercayakan anak pada kami."

Waktupun berlalu. "Doter, saya sudah menjalani obat suntik yang ketiga puluh bukan." Kata bu Djoni. "Sesudah itu tak ada pengobatan selama dua minggu, maka ijinkan saya pulang selama seminggu biarkan saya di rumah."

"Tetapi bu, saya tidak mengijinkan, akan lebih terjamin jika ibu tetap tinggal di sini." Kata dokter.

"Bukankah sama saja, jika di rumah atau di sini untuk menunggu reaksi obat selama dua minggu ke depan? Apa dokter bisa menjamin saya pasti sembuh jika di sini?"

"Jika ibu memaksa, maka ibu harus menandatangani surat pulang karena keinginan sendiri, dan bila ada sesuatu terjadi semua diluar tanggung jawab rumah sakit."

"Akan saya lakukan."

Sesampainya di rumah, bu Djoni langsung berpuasa. Dalam doanya ia berkata. "Tuhan jika wanita yang pendarahan dua belas tahun saat menjamah jubahMu langsung Engkau sembuhkan. Saat ini Engkau tak tampak, namun jika Tuhan ijinkan aku menjamah jubahMu entah bagaimana caranya aku pasti sembuh. Amin."

Tiba hari minggu, perjamuan kudus. Setelah empat bulan tak ke gereja maka roti dan anggur bagaikan segelas air di padang gersang. Dengan penuh keyakinan bu Djoni berdoa memohon mujizat. Sedang ia berdoa, nampak sekelebat orang berjalan di depannya, ia tak dapat melihat siapa yang lewat sebab sedang tutup mata. Namun secara sepontan ia menjamah jubah orang yang lewat. Dalam hatinya ia yakin bahwa Tuhan yang lewat.

 Sesudah waktu yang ditentukan, pengecekan dilakukan. Bu Djoni, menunggu hasil dengan hati tenang. Sekonyong-konyon 6 dokter spesialis kandungan, dokter praktek, perawat semua mendatangi kamar di mana bu Djoni si rawat.
"Ibu, hasil pengecekannya ialah 1 koma 2, artinya ibu sembuh total."

Mendengar hal itu, bu Djoni meloncat kegirangan. Tanpa memperhatikan sekeliling ia meloncat-loncat di atas kasur. "Haleluya, Haleluya, Puji Tuhan."

Semua orang ikut senang. "Jika boleh tahu, selama pulang ibu ke dukun mana?" Salah seorang dokter bertanya heran. "Sebab secara medis sudah mustahil menurunkan angka 150 ke 1,2. Jalan terakhir harus operasi pengangkatan rahim."

"Dukunnya ialah Tuhan Yesus." Bu Djoni menjawab dengan girang.

"Mana mungkin, ibu pasti bercanda." Sang dokter benar-benar penasaran.

"Dokter boleh percaya atau tidak itu hak dokter, namun dukun saya ialah Tuhan Yesus."

"Siapapun dukunnya, hari ini boleh pulang. Silakan ke kasir." Seorang dokter lainya bicara.

Pak Djoni pergi ke kasir, namun tak sendiri. Sang istri ikut. "Pak, apa uang kita cukup?"

"Jangan khawatir, Tuhan pasti cukupkan."

"Berapa uang kita?"

"800 ribu rupiah. Tenang saja, pasti sisa."

Sesampainya di kasir, sesudah dihitung. "Kekurangannya 69 ribu rupiah pak.?"

"Apa? Kekurangan?" Pak Djoni terheran.

"Maksudnya apa? Sejak awal kami belum membayar apapun."

"Benar pak." Sang kasir menunjukan kwitansi. "Ini kwitansinya, total biaya hingga hari ini 4 juta rupiah, namun sudah ada yang membayar dengan cara diangsur. Ini bukti pembayarannya, sekarang bapak hanya melunasi kekurangannya."

"Siapa yang membayar."

"Saya juga tidak tahu. Saya hanya menerima uang atas nama ibu."

"Puji Tuhan." Bu Djoni menitikan air mata. "Sisa 12 keranjang pak uang kita."