Selasa, 28 April 2020

666







Jika anda butuh kata-kata penghiburan atau yang menguatkan, jangan lanjutkan membaca tulisan ini. Saya mengajak berfikir bagaimana jika hal terburuk yang terjadi, tak ada harapan, tak ada jalan keluar. Bayangkan jika pandemi covid-19 ini berlalu, namun bukan kebahagiaan yang kita peroleh melainkan penderitaan yang lebih menyakitkan menghampiri. Bencana yang terjadi di dunia hari ini hanya permulaaan dari penderitaan yang lebih panjang. Setelah virus hilang, makanan juga hilang dari muka bumi, semua orang menderita kelaparan. Kemudian munculah pahlawan di tengah kekacauan, sang pahlawan akan mengatur dan mengendalikan dunia, menjamin semua orang bisa makan. Pahlawan itu sekelompok manusia yang memiliki kekuasaan, kekuatan dan dapat mewujudkan perdamaian serta ketahanan pangan dunia. Sayangnya kelompok ini tidak percaya dengan adanya Tuhan, dan ia membuat peraturan barang siapa yang masih ingin hidup harus menyangkal keberadaan Tuhan. Jika hal itu terjadi, tindakan apa yang akan anda ambil?

Kamis, 09 April 2020

Setan, Malaikat, Hewan






Kupikir aku adalah anak orang miskin yang beruntung di negeri ini, kenapa beruntung karena aku masih bisa sekolah meskipun ayah selalu datang minta dispensasi Test Hasil Belajar (THB) saat SD dan juga jarang dapat raport karena belum bayar SPP. Namun setelah dewasa aku bertemu banyak orang yang mengalami nasib hampir sama. Aku menyimpulkan bahwa bukan keluargaku yang miskin tetapi bangsa Indonesia waktu aku kecil masih di bawah garis kemiskinan, dengan dinding rumah dari anyaman bambu, makan singkong saat tak ada nasi, makan daging ayam jika Lebaran Idul Fitri, sekolah jalan kaki, sepatu berlubang di kelingking, Kawan sekelasku namanya Hendrikus Durma, kami memanggilnya Lalong artinya anak yatim dari bahasa asalnya NTT, dia sekolah sambil jualan kerupuk. Namun kami tidak mengeluh, kami bahagia dengan proses. Perkataannya yang masih terngiang dan menjadi semangatku saat kami lulus SD adalah, “aku anak pertama dan harus membantu ibu mencari nafkah, tetapi aku harus lanjut SMP karena aku butuh ilmu pengetahuan.”


            Berikut adalah kisah seorang anak Gombong, Kebumen. Namanya Untung dia jauh lebih tua dari umurku, artinya semakin senior manusia dilahirkan di bumi pertiwi semakin miskin kondisi negeri ini. Tetapi itu bukan masalah, semua adalah proses. Setiap angkatan punya masalahnya sendiri. Setidaknya aku bersyukur tidak lahir seangkatan Kakekku yang berjuang melawan penjajah. Setamat SD mas Untung tak bisa sekolah, ia menjadi buruh panjat pohon kelapa milik tetangga, dengan system mengambil 5 buah kelapa tua 4 buah untuk pemilik pohon dan 1 buah untuk dia. Ia memanjat di 12 kebun secara bergantian, upah buah kelapa dia jual dan uangnya di tabung. Selain itu ia meminta pelepah kelapa yang telah tua setiap kali memanjat, sesampainya di rumah pelepah kelapa tersebut ia keringkan. Dalam hatinya ia ingin sekolah namun tak ingin membebani orang tuanya. Dari hasil menjual kelapa selama setahun ia membeli sepeda bekas, seragam bekas, sepatu, buku, dan pelepah kelapa yang setahun dikumpulkan dijualnya sekaligus, sebagian hasilnya untuk mendaftar sekolah. Mujizat selalu terjadi pada setiap orang yang berharap pada Tuhan. Masuk di SMP Muhammadiyah rupanya ada program orang tua asuh, sehingga mas Untung tak perlu bayar SPP. Namun dia butuh buku, seragam, uang jajan. Otaknya berfikir bagaimana caranya agar tidak minta ibu, ia minta bantuan ibunya untuk membuatkan gorengan combro, keripik, bakwan. Seusai sholat subuh dibawalah jajanan tersebut ke sekolah dengan sepeda kesayanganya. Karena masih malu, ia berpesan pada penjaga kantin untuk tidak memberi tahu siapa pemilik jajanan tersebut. Hingga lulus SMP hanya Satpam dan 1 orang penjaga kantin yang tahu.


            Tamat SMP lagi-lagi memiliki masalah yang sama, namun berkat usaha ayahnya ia bisa masuk ke Sebuah Pondok pesantren di Jawa Barat. Pondok pesantren tersebut menampung dari 27 Provinsi di Indonesia, dari Jawa tengah ada 2 orang yakni Boyolali dan Kebumen. Total angkatan mas Untung adalah 29 orang terdiri dari 12 santri dan sisanya santriwati. Di tempat inilah suatu hari diundang acara oleh presiden Habibie. Dan hanya 3 orang terbaik yang mewakili pondok pesantren, salah satunya Mas Untung. Suatu kebanggaan anak kampung bisa berjabat tangan dengan presiden dan sholat jum’at bersama pahlawan Revolusi A.H. Nasution. Setiap hari selepas Asar sampai jam lima sore, semua santri dan santriwati bebas memilih program keahlian, ada yang masak, menjahit, elektonik, mas Untung mengambil kursus Las. Rupanya benih cinta seorang remaja mulai tumbuh, dan demi bisa bertemu melihat paras gadis yang ia kagumi mas Untung sering pergi ke kursus salon. Dari sanalah ia belajar memotong rambut. Dan mulailah ia mencukur rambut santri-santri lainnya, upahnya ia kumpulkan.


            Saat senggang mas Untung memandang tanah kosong milik Pondok. Otaknya berfikir, lalu ia memberanikan diri bicara ke pengasuh untuk menggarap sebagian tanah kosong tersebut untuk ditanami terong. Permintaannya dikabulkan, saat yang lain bermain basket atau olah raga lain, ia sendirian mulai menggarap sepetak tanah dan meminta dibelikan bibit dengan system bagi hasil. Hasil penjualan terong rupanya menjadi inspirasi kawan-kawannya, dan akhirnya semua tanah di garap bersama tak hanya terong tetapi juga cabai dan sayuran lainya mereka kerjakan. Ada sebuah hadiah berupa uang bagi yang Khatam Quran, jadi semakin sering Khatam maka semakin banyak uang hadiahnya. Setahun berlalu, semua mendapat uang saku untuk kembali ke kampung halaman masing-masing. Dengan bermodalkan uang cukur rambut, Khatam Quran, Terong dan uang saku terakhir mas Untung kembali ke Gombong, tujuannya satu ia harus masuk SMA. Masuk SMA Muhammadiyah kelas 1 ia melakukan hal yang sama menitipkan jajanan ke kantin seusai sholat subuh dan masih tersembunyi. Kelas 2 ia sudah tak malu lagi, dan mulai membuka praktek cukur rambut.


            Usai SMA cita-citanya sebagai Sarjana Ekonomi tak tercapai hanya mampu menempuh D1 di STIE. Berbagai profesi telah ia jalani, mulai buruh pabrik, satpam, ngamen dan tentu saja cukur rambut. Tidak kuliah bukan berarti berhenti belajar, buku apapun yang berhubungan dengan ekonomi dan bisnis ia lahap. Dengan berjalannya waktu Tuhan memberinya ide, dan ia ambil kesempatan yang ada. Saat ini ia memproduksi sabun cair dan sedang meneliti herbal. Banyak pengalaman pahit dan manis yang ia alami namun yang dapat di ringkas adalah :


                    Berbuatlah baik pada semua orang, jangan mengharap balasan baik. Jika kita berbuat baik pada Si A belum tentu Si A merespon baik, tapi lakukanlah yakinlah hasilnya pasti baik. Suatu saat pasti Tuhan kirim si B yang akan membalas kebaikan kita. Saat ada masalah, jangan panik ambil waktu menyendiri tanya sama Tuhan apa yang ia inginkan, pasti Tuhan kasih jalan keluar. Ada kalanya terjadi kasus seperti ini si C dan si D, si C merasa lebih taat beribadah. Ini hanya perasaan si C, belum tentu di mata Tuhan seperti itu. Lalu si C dan si D memiliki masalah yang sama, mereka berdoa minta rezeki 100 ribu. Namun apa yang terjadi si D dijawab doanya, si C tidak dapat 100 ribu. Mau protes, tidak bisa manusia protes, kalau menggerutu wajar. Kenapa manusia merasa tak adil karena manusia tak memahami maksud Tuhan, bisa jadi Tuhan ingin memberi si C lebih dari 100 ribu tapi bukan sekarang, atau bisa jadi Tuhan masih kangen pingin dengar suara si C, pingin ngobrol. Manusia terdiri dari tiga bagian yakni leher ke atas adalah setan, leher sampai pusar adalah malaikat, pusar ke bawah adalah hewan. Tuhan memberi kita kebebasan untuk melakukan apa yang kita inginkan, namun ingat Tuhan sudah memberi kita panduan agar kita menggunakan hati mengendalikan pikiran serta hawa nafsu agar kita bersifat sebagai malaikat. Setiap tindakan, setiap ingin melangkah tanyakan dulu ke Tuhan, pasti Tuhan memberi petunjuk lewat hati nurani kita.

Kamis, 02 April 2020

Pageblug



            “Apa yang pernah ada akan ada lagi, dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi; tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari.” Salomo Alias Sulaiman Bin Daud 970 – 931SM. Demikian halnya dengan wabah atau dalam bahasa jawa PAGEBLUG, yang muncul dalam sejarah dunia antara lain Pes, Kolera, Influensa dan salah satu wabah pes paling terkenal ialah  The Black Death 1300-an M. Jadi Covid-19 kali ini bukan hal yang baru, banyak peristiwa serupa di tiap suku yang terlewat dalam catatan sejarah. Di Nusantara ini sebelum peristiwa besar terjadi selalu ada tanda dari alam yakni Lintang Kemukus, sebuah bintang yang memancarkan cahaya lebih terang beberapa malam. Rupanya adik iparku melihat Lintang tersebut sebelum Covid-19 merebak. Di tahun 1970-an, menurut pengalaman ibuku yang masih SD saat itu terjadi peristiwa yang hampir sama yakni pagi sakit sore mati, sore sakit pagi mati. Saat itu teknologi tak seperti hari ini, pengetahuan rakyat juga masih terbatas. Berikut cerita ibuku.
             Seorang nenek pedagang sayur lelesan (rebelan) di pasar Sleko, Madiun. Pendek, pesek, berkulit putih beliau sering mampir ke rumah ibuku yang jaraknya tak jauh dari water toren. Tidak diketahui siapa nama aslinya dan di mana rumahnya orang-orang memanggilnya mbah Dunuk. Suatu hari mbah Dunuk memerintah nenekku, “Nduk buatlah nasi kuning, pastikan sekeluarga makan lalu berikan kepada tetangga yang mau saja minimal satu suapan, yang tidak mau jangan dipaksa, Mulai malam ini kamu dan seisi rumahmu jangan tidur satu arah. Tidurlah dengan posisi malang melintang, seperti hewan tidur.” Nenekku menuruti perkataan mbah Dunuk tanpa banyak pertanyaan. Keesokan harinya datanglah pageblug, setiap orang sakit yang di bawa ke rumah sakit selalu meninggal. Dan ibuku jatuh sakit, nenekku bersikeras tidak mengijinkan anaknya di bawa ke rumah sakit. Yang dilakukan mbah Dunuk adalah memintakan obat ke mbah Kus, segelas air putih yang telah di doakan diminum dan di usapkan ke pusar dan cuci muka. 4 hari kemudian ibuku sembuh.
Bulan berikutnya mbah Dunuk membawa janur dan meminta nenekku memasang janur kuning tersebut di depan rumah, juga tetangga yang mau pasang silakan yang tidak mau tidak boleh dipaksa. Bahkan ada yang berkata “pemulung kok dipercaya”, yang berkata demikian mati.   Setelah pegeblug selesai orang-orang yang ikut makan nasi kuning serta memasang janur semuanya selamat. Mbah Dunuk pamit ke nenekku, “Sudah nduk, sekarang pageblug sudah selesai sudah aman, aku pamit pulang. Kamu dan keluargamu selalu berdoa marang Gusti.” Sejak hari itu ibuku tak pernah bertemu lagi dengan mbah Dunuk.
            Mungkin dengan pengetahuan kita sekarang penyelamatan mbah Dunuk dianggap klenik, tapi bagi keluargaku orang seperti mbah Dunuk adalah malaikat yang Tuhan kirim untuk menolong kita. Ayahku pernah mendapat pertolongan dari seseorang yang tak di kenal, Budeku menyebut mas Juremi. Kelak akan kubuat cerita sendiri. Sepanjang hidupkupun aku sering ditolong oleh orang yang tak ku kenal. Bagiku begitulah cara Tuhan menolong manusia, dengan menyuruh sesama manusia.

Sabtu, 15 Februari 2020

RUMAH TUA dan KENANGAN




            Pernah muncul pertanyaan, kenapa suku lain ada marga atau fam sehingga masih bisa bertemu saudara hingga keturunan ke 18 atau 21. Suku jawa tidak memiliki marga, kecuali bangsawan, juga keturunan hanya dihitung 7. Jika dihitung leluhur jawa yaitu, Aku, Ayah-Ibu, Simbah (Kakek-Nenek), Buyut, Canggah, Wareng, Utek-utek Gantung Siwur. Demikian keturunan orang jawa juga dihitung sama yaitu Aku, Anak, Putu (Cucu), Buyut, Canggah, Wareng, Utek-utek Gantung Siwur. Mulai Buyut ke leluhur atau ke  keturunan istilahnya sama, hanya dalam penyebutan leluhur ditambah mbah yaitu mbah Buyut, Mbah Canggah dan seterusnya kalau cucu tidak ada tambahan putu. Mungkin zaman dahulu kala, manusia jawa masih bisa bertemu dengan turunan ke tujuh, namun zaman sekarang jangankan Canggah, Buyut saja sudah jarang ditemui. Istimewanya, keturunan perempuan dan laki-laki memiliki kedudukan yang sama, juga leluhur dari pihak ibu maupun ayah memiliki kedudukan yang sama pula, meskipun tetap laki-laki sebagai pemimpin keluarga dan anak laki-laki tertua sebagai pengganti ayah dalam urusan adat. Dari hal itu Kakek dari ayahku memiliki inisiatif membuat marga sendiri yang melekat pada nama depan kami.
            Leluhurku dari pihak ibu, nenekku bernama mbah Sulami, mbah Buyutku Sastro Prawiro seorang Dukun di desa Prekul, Madiun. Mbah Sulami menekuni ilmu kejawen namun memilih aliran putih, beliau bisa berkomunikasi dengan sedulur pancernya, namun beliau tidak mau bersatu dengan sang pancer dan memilih mengambil jalan hidupnya sendiri. Dalam ajaran kejawen dikenal dengan sedulur papat , kelimo pancer ini sama dengan ajaran Hindu yang disebut Kandapat. Setiap manusia lahir ke dunia selalu disertai oleh 4 saudaranya yakni kakang kawah (air ketuban), getih (darah), puser (pusar), adi ari-ari (plasenta), keempatnya akan mewujud menjadi roh yang menjaga manusia tersebut hingga nanti mati. Lalu kelimo pancer atau yang kelima adalah duplikat atau sama persis atau kembaran kita, tetapi bukan roh manusia itu sendiri. Jika manusia mati, maka rohnya akan ke alam yang ditentukan Tuhan, sedangkan yang masih bisa kita jumpai di dunia ini secara alam gaib adalah saudara pancernya.
            Kakekku bernama Salam Hardjo Prawiro, lahir dan besar di Solo lalu merantau dan menetap di tanah leluhur nenekku. Mbah Buyut sama sekali tidak kuketahui. Kakekku mewariskan pusaka dari leluhurnya ke menantu yang terpilih yakni ayahku. Jadi dalam masyarakat jawa yang mendapat warisan baik ilmu maupun pusaka tidak selalu anak laki-laki pertama, bahkan pewaris ilmu justru jatuh ke tangan murid yang tidak ada hubungan darah. Pusaka tersebut berupa tombak, payung, tongkat pipih bukan bulat seperti gagang tombak panjangnyapun setengah gagang tombak. Ketiganya dari kayu jati dan ditaruh dalam rak senjata yang terbuat dari kayu yang sama. Tombaknya tanpa sarung, dan ternyata aslinya ada sarungnya. Jadi, saat diberi pusaka tersebut ayahku dan temannya membawa ketiga pusaka tersebut serta tempatnya menggunakan sepeda motor dari Madiun sampai Magelang, herannya sepanjang perjalanan meski banyak polisi namun tak ada seorangpun polisi yang menilang, padahal panjang tombak membahayakan pengendara lain, dan tombak adalah senjata tajam yang tidak bisa dibawa secara leluasa. Sesampainya di Magelang, sarung tombak hilang, ayah merasa bersalah karena menghilangkan barang milik mertua yang dipercayakan. Ayah berfikir kalau ke sana lagi akan meminta maaf. Namun belum sempat ayah dan ibu ke Madiun lagi tiba-tiba datanglah surat dari kakek yang berisi bahwa sarung tombak tidak mau ikut ke Magelang, sarungnya memilih pulang ke Madiun.
            Leluhur dari ayah, mbah Buyutku Merto Karyo, beliau meninggal saat masih muda,jadi tak sempat melihat cucu. Kakekku Mudjio, dialah yang berinisiatif membuat marga, mbah Djio meninggal saat muda juga, jadi tak sempat melihat aku sebagai cucu pertamanya, demikian juga ayahku meninggal sebelum melihat cucu dari aku. Kakekku terkenal jujur, ulet, sabar, pada zamannya beliau adalah tukang ketik tercepat dengan sepuluh jari. Dari riwayat kematian berdasarkan keturunan langsung dari pihak ayah, maka sejak muda aku sudah siap mati kapanpun.
            Nenekku Mukini, mbah Buyutku Joyo Kus. Mbah Joyo Kus terkenal sebagai orang yang memiliki kelebihan di kampungku kala itu. Beliau bisa membaca naga dina, bisa berkomunikasi dengan lelembut, dan jika butuh ikan beliau tinggal membawa jaring ke sungai, duduk dan jaringnya dibiarkan terbuka ke atas maka ikan-ikan akan berlompatan masuk jaring. Setelah ikan dimasak untuk keluarga, beliau tidak makan. Beliau sering menghadiri hajatan para lelembut, pesannnya ialah jangan sekali-kali memakan atau meminum hidangan yang ada di dunia lelembut, karena jika manusia makan atau minum tak akan bisa kembali ke alam manusia lagi. Juga perlu diperhatikan jika suatu ketika kita dibelokkan atau tersesat di alam lelembut, perhatikan baik-baik hati kita pasti memiliki sinyal yang janggal. Jangan sekali-kali makan di sana, pasti bisa kembali. Mbah Joyo Kus meninggal saat ayah kecil, beliau meninggalkan warisan ke ayah namun dititipkan ke muridnya, dan boleh diambil setelah ayahku dewasa. Ketika ayahku dewasa, beliau datang ke murid mbah Joyo Kus, dan diberi pesan, ayah harus melakukan puasa di hari wetonnya, maka pusaka itu akan datang dengan sendirinya karena pusaka itu sudah sejodo dengan pemiliknya.
            Ibuku Mudjiati anak kelima dari sepuluh bersaudara, ayahku Mudji Sih Topo sulung dari empat bersaudara. Nama tersebut ialah  nama asli pemberian kakeku, dan perlu diketahui  mbah Salam dan Mbah Djio tidak saling kenal sebelumnya, ayah juga tidak buat sayembara mencari istri dengan nama yang sama, Mereka bertemu saat ayah merantau ke Jawa Timur sebagai seniman ketoprak. Di tanah kelahirannya ayah bergabung dalam sebuah Teater yakni Teater Akha, juga sebagai bassist dangdut, bahkan punya bakat melukis. Dan ketika bergelut di dunia seni maka ayah memakai nama panggung Eko. Nama Eko tercantum juga dalam akte kelahiranku sampai ijazah terakhirku, namun nama panggung tersebut tidak dipakai dalam akte kelahiran ketiga adikku. Ibu gemar membaca, pelahap buku dan suka bereksperimen dengan tips-tips yang dibacanya dari majalah. Hingga hari ini ibu tak perlu menggunakan kalkulator jika mengoprasikan penjumlahan maupun perkalian, bahkan sampai perkalian ribuan yaitu perkalian belanja. Hanya sayangnya mereka tidak punya kesempatan mengenyam Pendidikan formal setinggi kami anak-anaknya. Gen yang turun pada kami adalah gen seni ayah dan sains dari ibu.
            Sejak peristiwa 1965 arah spiritual bangsa ini bergeser, yang tadinya bebas berkeyakinan akhirnya diwajibkan hanya memilih salah satu agama resmi negara. Baik keluarga besar ayah maupun ibu terpencar dalam hal pemilihan agama resmi negara. Pernikahan antar agama hingga tahun 80-an merupakan hal wajar. Akan tetapi aliran kepercayaan termasuk Kejawen tetap hidup secara diam-diam di masyarakat disamping agama resmi negara, kita sebut saja agama KTP. Jadi kebanyakan orang selain beribadah sesuai dengan agama yang tercantum di KTP, praktek ajaran leluhur tak pernah ditinggalkan. Hingga lambat laun angkatanku memilih salah satu agama KTP dan hanya menjalani satu ajaran saja. Yang selalu ditekankan pada kami ialah : “jangan lupa dari mana kamu berasal, jangan menjadi orang jawa yang hilang jawanya.” Demikianlah hal yang ditanamkan kepada kami meskipun sudah memilih agama A, jangan menganggap agama B sesat atau agama C salah. Jika agama A ternyata paling benar belum tentu kelakuanku sama dengan ajaran agama A.  Jadi sebagai manusia lebih baik jika menghargai dan saling menghormati, jika ada waktu lebih akan lebih bijak jika kita belajar agama lain atau aliran kepercayaan lain. Bersyukur sejak zaman Gus Dur aliran kepercayaan diberi kebebasan lagi.
           

Rabu, 12 Februari 2020

JALADWARA (Terkuaknya Garudeya)




JALADWARA (Terkuaknya Garudeya)
            Sebuah mobil hitam melaju dari pusat tanah jawa menuju ke barat laut, melintasi lereng Sumbing, lereng Sindoro terus melaju ke perkampungan berkabut, tiba di persimpangan mengambil jalan ke kanan. Jalanan yang semakin sempit, diantara perkebunan kentang, lalu memasuki hutan, tak ada lagi rumah penduduk, sesaat kemudian tampak sebuah villa berdiri sendiri di lereng perbukitan. Mobil masuk ke sebuah gapura yang mirip duplikat gapura Wringin Lawang di Mojokerto, dan akhirnya berhenti di depan sebuah bangunan utama. Keluar dari pintu kiri depan seorang pria berkumis, rambut keriting, dari pintu kiri belakang keluar Jaya, pemuda setinggi 170 cm berperawakan sedang, disusul Bejo seorang pemuda yang lebih pendek berkaca mata, dari pintu kanan belakang keluar Atma, pemuda bertubuh gemuk setinggi Jaya. Setelah mereka menutup pintu, mobil kembali melaju semakin masuk ke tempat parkir. Mereka seakan disambut sepasang arca dwarapala di kanan kiri pintu bangunan utama, namun mereka tidak masuk ke bangunan tersebut melainkan berjalan ke samping, di sana ada bangunan joglo yang lebih sempit. Pria berkumis memberi isyarat tangan pada seorang pria di dekat pintu, dan tanpa berkata-kata pria tersebut membukakan pintu rumah joglo tersebut.
            “Silakan masuk.” Kata pria berkumis, “Saya sengaja tidak membawa kalian ke ruaang tamu, tetapi langsung ke ruang koleksi pribadi saya. Oh ya sepanjang jalan saya belum memperkenalkan diri, kalian bisa panggil saya Hardi. Sayalah yang mengirim undangan memalui e-mail kalian masing-masing. Bagaimana saya bisa tahu kalian? Jangan heran karena kita sebenarnya sudah lama saling kenal, hanya belum pernah berjumpa. Jika ada pertanyaan simpan saja untuk nanti.”
            Hardi langsung masuk diikuti ketiga pemuda. Sebuah ruangan yang tidak terlalu luas disbanding sebuah museum, namum menyimpan berbagai benda peninggalan abad 8 sampai 9 masehi. Jaya tampak berseri-seri melihat banyaknya benda purbakala, dalam hati dia berkata tidak sia-sia aku memenuhi undangan rahasia ini. Tampak tersusun rapi stupa Buddha, stupa Hindu, dua buah Lingga diletakkan di kanan kiri sebuah Yoni, arca Parwati, arca Nandi, arca Siwa, arca Ganesa, Jaladwara, Kalamakara. Berbeda dengan Jaya, Bejo dan Atma justru memeperlihatkan ekspresi wajah gugup, bahkan yang aneh di daerah pegunungan berkabut mereka berdua justru mengeluarkan kringat, hal ini tidak terlalu diperhatikan Jaya, namun Hardi memperhatikan. Setelah beberapa waktu, Hardi mengajak ke ruangan lain yang tersekat oleh pintu tanpa daun pintu. Ketika memasuki ruangan tersebut sontak mereka bertiga terkejut, bukan karena banyak bertebaran keris pusaka serta tombak, namun diantara belasan keris tergeletak sebuah hiasan dada dari emas.
            Setengah menggumam Jaya, Bejo dan Atma berkata hampir bersamaan. “GARUDEYA.”
            Hardi tersenyum simpul, “Rupanya kalian langsung mengenalinya ya.”
            “Ornamen garudeya ini mirip seperti yang ada di Museum Mpu Tantular, Sidoarjo.” Jaya menjawab. “Apakah ini ditemukan di Jawa Tengah di sekitar sini pak Hardi, di situs Liyangan, Gedong Songo, atau Dieng?”
            Sementara itu Bejo dan Atma semakin berkeringat, “Jaya sebaiknya kamu diam.” Bejo menginjak kaki Jaya dengan maksud memberi kode.
            “Kalian berkeringat di udara sedingin ini?” Jaya baru menyadari sesuatu yang janggal setelah menoleh ke Bejo dan Atma, pandangannya ia alihkan ke Hardi. “Pak Hardi, apa maksud semua ini, jangan-jangan.” Jaya terdiam sejenak.
            “Kenapa berhenti  Jaya.”  Hardi tersenyum, “Ayo lanjutkan perkataanmu.”
            Mendadak semua hening, waktu terasa berjalan melambat. Jaya yang awalnya senang melihat barang-barang kuno kini perasaannya menjadi berubah, sebuah ketakutan tak beralasan. Hatinya mengatakan ada yang tak beres, tetapi mulutnya mendadak terkunci.
            “Halo…” Suara Hardi memecah keheningan. “Kenapa diam, Bejo penggagas dan ketua Kelompok Kala Hitam yang ditakuti seantero negeri hanya terdiam, Atma ahli laboratorium juga penggagas Kala Hitam berbadan besar tapi nyalinya tak ada, Jaya mengaku sebagai mantan anggota Resimen Mahasiswa yang sok pahlawan membantu kepolisian menangkap gerombolan Kala Hitam, juga terdiam. Di mana taring kalian, di mana kecerdasan kalian.”
            “Tunggu sebentar.” Jaya menjawab, agak gugup. “Saya masih belum paham apa yang terjadi. Bukankah kasus hilangnya Garudeya di Jawa Timur sudah ditutup, barangnya sudah kembali ke Museum dan Kala Hitam tidak terbukti tak bersalah.”
            “Dan kamu Jaya serta rekanmu tidak mendapatkan hadiah yang dijanjikan pemerintah, dan sekarang ada kembaran Garudeya di Jawa Tengah.” Hardi setengah mengejek. “Kamu sepertinya cerdas, tetapi tampak bodoh. Atma, Bejo! Coba jelaskan kawanmu atau musuhmu ini. Ayo, jelaskan.”
            “Jadi begini Jaya.” Bejo bicara agak bergetar. “Aku dan Atma prihatin melihat kemiskinan di negri ini, kami ingin membantu rakyat miskin, tetapi kami sendiri miskin untuk itulah kami mengumpulkan beberapa orang yang sepaham dan mendirikan kelompok Kala Hitam. Kami melihat benda-benda purbakala bangsa kita banyak diincar negara lain melalui lelang bawah tanah. Maka kami berinisiatif mengambil artefak sesuai pesanan lalu kami buat tiruannya, yang asli kami kembalikan yang palsu kami jual.”
            “Jadi, garudeya yang ada dihadapan kita adalah barang tiruan.” Tanya Jaya.
            “Benar.” Atma menimpali. “Itu sebabnya kamu dan teammu tak akan bisa membuktikan operasi kami. Lagi pula uannya kami gunakan untuk kegiatan social, membantu rakyat yang membutuhkan. Doa merekalah yang melindungi kami. Dan kami berjanji Garudeya adalah proyek terakhir Kala Hitam, setelah itu kami bubar dan hidup masing-masing. Aku baru ketemu Bejo juga hari ini saat tadi kita menghadiri undangan rahasia.”
            “Sudah jelas Jaya.” Hardi bicara masih terdengar santai, tapi ada energi menakutkan yang dirasakan. “Dan akulah yang memesan semua benda kepada Kala Hitam lewat seseorang yang dapat kupercaya. Dan aku jugalah yang mereka tipu selama ini.”
            “Kami bermaksud menjaga warisan nenek moyang kita agar tetap di Indonesia pak Hardi.” Atma menjawab. “Orang seperti anda harusnya menyadari hal itu.”
            “Berani menggurui.” Hardi memotong. “Dengar Atma, saat seusia kalian aku juga idealis, namun perlahan idealismemu itu tidak akan didengar lalu luntur menjadi realistis, hanya memikirkan diri sendiri. Kalian tak ingin sepertiku, memiliki  villa pribadi di tengah hutan, mobil mewah, makanan berlimpah, bebas pergi ke mana saja aku suka. Jangan munafik tak ada yang suci diantara kita.”
            “Jika ini urusan pemesan dan yang mendapat pesanan kenapa saya dilibatkan.” Jaya meminta penjelasan.
            “Sudah kubilang, kamu ini tampak cerdas tetapi mudah dimanfaatkan Jaya.” Hardi menjawab. “Sikapmu yang polos dan apa adanya itu mudah dimanfaatkan oleh orang-orang yang bertindak baik di hadapanmu, tetapi memanfaatkanmu sebagai perisai.”
            “Saya tidak paham, pak Hardi.”
            “Biar kuperjelas.” Hardi menjelaskan. “Yang tampak jahat tak selamanya jahat, yang tampak baik tak selamanya baik. Coba kamu pikir kenapa aparat pemerintah meminta bantuan warga sipil sepertimu? Semua dilakukan agar mereka tampak suci, kalian seakan menjadi saksi bagaimana mereka berusaha membela negara. Ahkirnya apa, penjahat tidak tertangkap, kasus ditutup, kalian warga sipil yang membantu hanya mendapat rasa bangga saja. Sementara penjahat sesungguhnya masih berkeliaran.”
            “Bukankah Kala Hitam sudah bubar, jika berkeliaranpun mereka sudah tidak melakukan kejahatan yang sama. Setidaknya tidak melakukan kejahatan bersama lagi dalam satu team.”
            “Kala Hitam memang sudah bubar, makanya saya hanya memanggil dua orang dedengkotnya saja, yang lain tidak begitu penting bagiku saat ini. Kala Hitam bubar bukan berarti kejahatan pencurian benda purbakala akan berhenti begitu saja, akan muncul banyak organisasi sejenis Kala Hitam dengan nama baru. Dan perlu kamu ketahui Jaya, saya memiliki anggota yang duduk di pemerintahan, tidak banyak jumlahnya tetapi cukup strategis. Sayangnya kamu tidak sadar saat bekerjasama dengan mereka untuk mengejar pencuri Ornamen Garudeya saat itu.”
            “Jadi, selama ini segala yang kulakukan sia-sia.” Jaya tampak kesal. “Lalu sekarang apa yang pak Hardi inginkan dari kami bertiga? Bukankan urusan anda hanya dengan Kala Hitam saja? Kenapa melibatkan saya.”
            “Tenang.” Hardi kembali tersenyum, namun bukan kesan ramah yang diterima tetapi kesan menakutkan. “Saya orang cerdas dan hanya memilih orang-orang yang cerdas dan bermanfaat bagi saya, saya tidak akan melibatkan seluruh anggota Kala Hitam, cukup kemampuan kalian bertiga saja, ingat saya sudah memperhatikan sepak terjang kalian, jadi saya setidaknya tahu kemampuan kalian.”
            “Maaf pak Hardi, saya sudah tidak mau mencuri lagi.” Atma memotong. “Garudeya adalah proyek terakhir, dan jika pak Hardi meminta kami mencuri saya tidak akan melakukannya lagi.”
            “Silakan, saya beri kalian kebebasan.” Hardi mengeluarkan HP. “Di sini susah sinyal, bisa nyalakan Bluetooth kalian.
            Semua mengeluarkan HP, sesaat kemudian secara bergantian wajah mereka bertiga tampak pucat. Setiap orang masing-masing menerima foto keluarga yang sedang makan malam bersama  Hardi, seorang wanita dan anak kecil.
            “Jangan panik.” Hardi begitu tenang. “Kalian lihat bukan, saya sudah bisa makan malam dengan keluarga kalian. Wanita dan anak kecil itu apakah istri atau anakku asli kalian juga tidak tahu. Mudah saja membuat keluarga kalian bahagia atau menderita, pilihan di tangan kalian.”
            Mereka bertiga tampak geram. Namun hanya terdiam, rupanya Hardi sudah mendekati keluarga mereka, jika ingin berbuat jahat mudah saja.
            “Sekarang silakan kalian pilih, keluarga kalian bahagia setidaknya kalian berusaha membahagiakan mereka atau tindakan kalian membahayakan hidup mereka.”
            “Baiklah, pak Hardi.” Bejo geram. “Apa yang anda inginkan dari kami.”
            “Keputusan yang bagus Bejo. Bagaiman dengan Atma dan Jaya?”
            “Saya ikut, asalkan jangan anda apa-apakan keluargaku.” Jawab Jaya.
            “Aku juga ikut.” Jawab Atma.
            “Bagus, keluarga kalian akan aman selama kalian tidak keluar jalur. Karena saya bisa mengajak keluarga kalian makan malam yang indah atau makan malam terakhir. Dengarkan baik-baik, kalian tidak perlu menghubungi keluarga, katakana saja pada mereka kalian sedang ada proyek atau apa saja. Kedua jika kalian ingin menghubungi aparat pemerintah, silakan saja tapi itu adalah hal yang sia-sia, bukan begitu Jaya? Dan misi kalian adalah carikan saya JALADWARA KENCANA. Tidak ada pemalsuan di laboratorium Atma, saya minta yang asli.”
            “Apa?! Jaladwara Kencana?” Mereka bertiga hampir serempak.
            “Ya. Tidak perlu saya jelaskan. Setelah ini silakan kalian makan di ruang makan yang sudah di sediakan. Saya sarankan makan yang banyak agar dapat tenaga. Dan kalian tidak akan naik mobil seperti saat kalian datang, silakan berjalan kaki ke jalan utama untuk mencegat anggkutan umum. Sekian.”
            Hardi langsung pergi meninggalkan ruangan, sementara mereka bertiga diantarkan oleh seorang pria yang tadi membukakan pintu ke ruangan lain. Di sana sudah disediakan makanan untuk mereka santap.

           

Selasa, 07 Januari 2020

DIA BUKAN ARWAH (Tumbal Tanah Jawa)



            “Berdasarkan Kisah Tanah Jawa, bahwa sejak Mataram Kuno nenek moyang kita membangun candi puluhan tahun tanpa tumbal nyawa. Para leluhur menanam biji-bijian atau emas pada bangunan candi sebagai wujud syukur pada dewi Sri. Namun sejak pembangunan dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda ketika mengalami gangguan mereka bertanya pada orang jawa, dan leluhur kita berkomunikasi dengan lelembut sang penguasa gaib setempat. Para penguasa gaib meminta tumbal nyawa manusia untuk memberi ijin didirikannya sebuah bangunan, dan itu dituruti. Kenapa kita justru mengalami kemunduran secara spiritual?
            Deadline adalah salah satu alasan mencari jalan pintas dalam mengatasi masalah. Tidak perlu sebuah proyek besar, dalam hal makanpun leluhur kita sangat sabar. Menumbuk padi, memasak dengan kayu bakar, hari ini tinggal hubungkan ke arus listrik selesai. Memang penggunaan waktu penting, tetapi tidak semua yang instan itu benar-benar instan. Contoh mie instan dan minuman instan, proses produksinya tidak instan, harus diproduksi secara industry masal, disimpan dalam jumlah besar, didistribusaikan ke berbagai daerah dan beberapa bulan kemudian baru sampai ke tangan kita, masih juga harus merebus air untuk memasaknya. Demikian dalam hal penanganan masalah, tak bisa diselesaikan secara instan dengan bantuan alam gaib. Masalah hari ini mungkin selesai, tapi jiwa kita terikat dengan mereka. Kalau dengan cara Tuhan lama, waktunya terserah Tuhan dan hasilnya juga terserah Tuhan. Tetapi cara Tuhan menyeselaikan masalah adalah dengan cara terbaik, bukan tercepat dan jiwa kita tetap bebas.
            Jadi, kalian bebas memilih akan berhasil pada bidang kalian dengan bantuan Setan atau Tuhan. Seperti lagu d’rumus yang berjudul Setan Lautan, bahwa Setan bisa memberi kejayaan dan kekayaan pada manusia, tetapi kita harus menjual jiwa pada mereka.” Mbah Karyo menyudahi perkataannya, ia meneguk kopi yang ada dihadapannya. Di luar hujan sudah mulai membasahi bumi, diiringin angin yang menambah hawa dingin. Sejenak suasana menjadi hening, Dani tampak terdiam.
            Goprak angkat biacara, “Bagaimana Dan, setelah mendengar penjelasan mbah Karyo aku kok jadi takut dengan tindakanmu itu.”
            “Aku juga ragu sejak awal.” Rudi menambahi. “Kami sangat berterimakasih mbah atas nasehatnya, teman kami ini terlalu bersikeras. Bahkan salah satu kawan kami benar-benar menentang keputusannya.”
            “Mahesa maksudmu.” Dani angkat bicara. “Mahesa memang sudah tak sejalan denganku, aku mengajak kalian ke sini untuk menguatkan niatku. Memang benar mbah kami sudah berusaha dan berdoa, tapi kapan kami berhasil. Kata mbah tadi waktunya terserah Tuhan, ya kalau Tuhan kasih kalau tidak bagaimana? Kami sudah bosan dengan kondisi kami, kami ingin segera tenar, kami ingin segera berhasil dengan cepat. Makanya kami butuh bantuan secara gaib.”
            “Aku tahu keinginanmu anak muda.” Mbah Karyo menjawab. “Tapi tolong pertimbangkan baik-baik, coba juga dengarkan kata-kata temanmu. Termasuk temanmu yang tidak setuju tadi.”
            “Saya sudah memikirkan ini berbulan-bulan mbah.” Dan menjawab.
            “Begini saja.” Goprak menyela. “Kami akan pulang dulu mbah, biar kami diskusi lagi.”
            “Ya, itu lebih baik. Jangan terlalu gegabah dalam mengambil keputusan. Tapi tunggu hujannya reda, kalian habiskan dulu ubi gorengya.” Mbah Karyo mengambil sepotong ubi. “Untuk kamu Dani, seorang pimpinan harus mengambil keputusan yang tepat bahkan dalam waktu mendesak, tetapi jangan hanya menuruti egomu saja, pikirkan anggota kelompokmu ke depan, pikirkan juga keluarga mereka. Sebab setiap keputusanmu akan mempengaruhi kehidupan banyak orang.”
           

DIA BUKAN ARWAH (Nasehat Senior)




            “Kami tidak tahu harus mulai dari mana?” Suara bassist d’rumus di hadapan keempat anggota dargom, ia juga didampingi semua anggota d’rumus, tak ketinggalan Sari juga ikut. “Dengarkan baik-baik, kalian telah salah menangkap perkataan kami, tapi tak sepenuhnya kalian salah. Bisa jadi karena banyaknya pertanyaan dari peserta waktu itu, sehingga kami kurang bisa menampung semuanya, dan informasi yang kalian terima tak sepenuhnya sama seperti yang kami sampaikan.”
            “Begini saja, lebih baik kami jelaskan dari sejarah manusia ada,” Gitaris d’rumus menambahkan, “agar semuanya jelas.”
            “Itu terlalu bertele-tele mas bro,” Sang Vocalis d’rumus menyela. “Semua sudah tahu bagaimana Tuhan menciptakan manusia. Langsung saja pada kondisi dunia. Dunia dibagi menjadi tiga, yaitu dunia para malaikat, dunia iblis, dunia manusia, semua di bawah kekuasaan Tuhan, namun Tuhan memberikan kehendak bebas pada mahluk ciptaanNya. Malaikat memilih patuh, iblis memilih memberontak, manusia bimbang. Ya dalam hati, manusia ingin kembali ke Tuhan tetapi iblis berusaha membelokkan keinginan manusia. Sampai di sini bagaimana?”
            “Kami rasa semua itu kami paham,” jawab Dani, “masalahnya apa yang terjadi pada kami, khususnya pada diriku sehingga aku menyeret Rudi dan Goprak.”
            “Kalian masih bersyukur karena Mahesa tidak mau bergabung dengan apa yang kalian lakukan.” Drummer d’rumus menimpali, “Dan meskipun Mahesa tidak lagi bergabung namun dia masih peduli dengan jiwa kalian, Mahesa dengan bantuan Sari berusaha mencari kami. Dargom tetap mencantumkan “M” pada singkatan band kalian, itu menunjukan bahwa sebenarnya roh kalian saat awal mendirikan band ini masih utuh. Hanya saja kalian sempat bimbang di tengah jalan. Arwah yang mendampingi kalian sesungguhnya bukanlah arwah, ya dia bukan arwah, dia adalah salah satu anggota kerajaan iblis yang menyamar menjadi arwah. Sebab setiap manusia yang mati rohnya akan terpisah dari dunia manusia, mereka tak lagi bisa berkomunikasi dengan manusia, hanya roh-roh penguasa kegelapan yang menyamar menjadi arwah manusia, roh itulah yang selama ini membantu kalian. Perlu kalian ketahui…..”
            Belum sempat  drummer d’rumus  melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba hujan turun dengan lebatnya. Diiringi kilat yang menyambar-nyambar, angin puting beliung menyambar kafe tempat mereka nongkrong. Sontak saja semua berlarian mencari perlindungan, atap kafe terlempar, meja, kursi porak poranda. Semua berlarian ke arah dapur yang bangunannya masih kokoh. Lima menit kemudian segalanya reda, langit mendadak jadi cerah dengan bermunculan bintang-bintang. Dargom, d’rumus, Sari serta beberapa pengunjung membantu membereskan meja dan kursi yang berserakan, sementara sebagian besar pengunjung langsung meninggalkan tempat. Para penjaga cafĂ© beberapa kali mengucapkan terimakasih karena telah dibantu.
            “Dani?” Sari seolah baru sadar. “Dimana Dani, dari tadi kita di dapur aku tidak melihatnya.”
            “Mungkin sudah pulang, bersamaan pengunjung lainnya.” Jawab Goprak.
            “Tidak mungkin.” Rudi menunjuk ke arah parkiran. “Itu sepeda motornya, masak pulang jalan kaki.”
            “Coba kucek di toilet.” Mahesa bergegas ke toilet. “Tidak ada orang.” Dia kembali ke teman-temannya.
            “Kalian tenang, jangan panik.” Vocalis d’rumus bicara sambil memejamkan mata. “Teman kalian masih di sini, namun berada di dunia yang berbeda.”
            “Maksudnya? “ Sari semakin panik.
            “Tenang Sar,” Mahesa mencoba menangkan, “Kita ikuti saja petunjuk d’rumus.”
            “Kita pulang dulu ke tempat tinggal masing-masing.” Gitaris d’rumus memberi saran. “Besok pagi kita berkumpul lagi, tempatnya besok aku share lokasinya. Malam ini semua berdoa sebelum tidur.”
            Semua mengagguk dan mereka bubar, Rudi dan Goprak agak berat melangkah, namun Mahesa memaksa mereka berdua.
            Saat tiba-tiba datang hujan, angin dan petir semua orang panik berlarian, Dani tetap tenang di tempat duduknya. Ketika hujan reda semua orang telah hilang meninggalkan ia sendirian. Dani ingin beranjak dari posisi duduknya, namun dibatalkan karena dihadapannya kini duduk seorang pria berjaket kulit.
            “Mau ke mana Dani?”
            “Maaf Uwak, aku harus pulang.” Jawab Dani pada pria di depannya.”Kita tidak bisa bekerjasama lagi.”
            “Apa katamu?” Uwak tersenyum. “Lihatlah kawan-kawanmu itu, saat hujan datang mereka pergi meninggalkanmu. Hanya aku yang bisa menolongmu Dani. Ingat kau dan aku sudah menjadi satu jiwa, karya dargom adalah karyaku juga. Setelah sekian lama aku membantumu, lalu datang kawanmu yang bernama Mahesa kau sudah lupa, kalian tenar karena siapa. Mahesa hanya iri Dani, dia tidak mau bergabung denganmu, sekarang dargom tenar tanpa Mahesa, itu karena aku Dani, karena aku.”


DIA BUKAN ARWAH (Dukun Prewangan)




            “Setiap karya seni memiliki roh, tak terkecuali musik. Bukankah itu yang dikatakan d’rumus saat workshop kemarin.” Dani begitu bersemangat menjelaskan pada ketiga anggota band lainnya.
            “Bukan hanya itu saja Dani, ingat juga kata-kata doctor Memet.” Rudi menimpali. “Ada unsur harmoni, dinamika, dan yang penting satu misi dalam kelompok.”
            “Itu dia, kita harus punya roh yang sama. Kita akan melebihi idola kita d’rumus, jika kita melibatkan roh dalam karya kita.” Dani berkata setelah meletakkan cangkir kopinya.
            “Melibatkan roh? Maksudmu apa Dan.” Goprak menanggapi.
            “Begini.” Dani membetulkan posisi duduknya. “Kalian pasti pernah dengar, arwah orang  meninggal ada yang belum diterima di akhirat, mereka harus mengumpulkan sejumlah pahala di bumi untuk bekal ke akhirat, namun karena mereka tidak lagi memiliki tubuh fisik maka mereka menggunakan media manusia yang masih hidup.”
            “Dukun prewangan.” Mahesa memotong. “Aku tidak setuju dengan idemu. Meminta bantuan arwah memang bisa membuat kita jaya, namun karya yang kita hasilkan adalah karya arwah tersebut bukan karya kita. Bukankan kita sendiri punya daya kreativitas, lagipula jika kita membantu arwah maka pahala yang kita kerjakan akan dihitung sebagai pahala arwah tersebut.”
            “Tapi kreativitas kita hanya segini-segini saja, tak ada kemajuan Mahesa. Sekarang terserah kalian, mau ikut ideku atau kalian punya ide lain.” Kata Dani.
            “Jika kalian menggunakan cara dukun prewangan, maka aku memilih keluar dari Dargom.” Mahesa menegaskan. “Kita masih punya Tuhan yang bisa kita minta pertolongan Dan, Rud, Prak, Ingat itu.”
            “Jangan terbawa emosi teman-teman.” Goprak menengahi. “Kita sudah berusaha dan berdoa selama ini, namun belum juga berhasil. Lebih baik kita renungkan dulu pembicaraan kita hari ini, kamis depan kita berkumpul lagi di tempat ini untuk mengambil langkah. Mahesa, tolong jangan berfikir pendek untuk keluar, ingat nama band kita DARGOM yaitu singkatan dari Dani, Rudi, Goprak dan Mahesa.”
            “Baiklah, kita ketemu lagi kamis depan.” Rudi menutup diskusi malam itu.
            Malam semakin larut, tiap individu telah berada di kamar masing-masing. Rudi dan Goprak telah berpetualang di alam mimpi masing-masing. Sementara Dani tak mampu memejamkan mata, dipandangi gitar yang tergantung di dinding kamarnya, telinganya hanya menangkap suara detak jam dinding, namun pikirannya dipenuhi suara-suara yang selama ini ia dengar, seakan muncul silih berganti.
            “Maaf, genrenya apa ya kok tidak jelas pop bukan rock terlalu lembek.”
            “Berisik, tak bisa dinikmati.”
            “Jangan dengarkan kata orang, main musik mainkan saja sesuai suara hati.”
            “Tidak perlu ikuti pasar, bauatlah pasarmu sendiri.”
            “Mas, tujuannya untuk apa? Musik industri atau hanya koleksi pribadi.”
            “Genre musiknya tidak cocok untuk tahun ini, musik kalian cocoknya sepuluh tahun yang lalu. Ini bukan rock, ini lebih ke pop. Coba cari refrensi yang baru-baru.”
            “Lagunya tidak enak didengar.”
            “Coba cordnya jangan do sol fa, buat nada-nada tujuh, biar tidak umum nadanya.”
            “Menciptakan musik itu sesuai kata hati, kecuali musik pesanan seperti jingle suatu produk. Mereka yang berkomentar tidak membiayai musik kalian, kok kalian bingung. Kecuali tata krama di panggung itu boleh komentar. Tapi karya itu bersifat pribadi, suara hati kalian.”
            “Semakin lokal sebuah karya maka akan semakin berpotensi dikenal global.”
            “Kalian tentukan segmen pasarnya, apakah hanya didengar komunitas atau untuk komersil. Tentukan dulu tujuannya.”
            “Drum kalian beat semangat, tapi gitarnya tidak terlalu, vocalnya juga tidak mendukung, Jadi sebenarnya kiblat musik kalian ke mana?”
            “Lanjutkan saja, yang penting kalian punya karya sendiri itu sudah merupakan kelebihan, daripada punya kemapuan tinggi tapi hanya meniru.”
            Tak terasa Danipun terlelap, kata-kata diatas sebagian terbawa ke alam mimpi. Pada saat bersamaan, Mahesa memanjatkan doa.
            “Tuhan tolonglah dargom, jangan sampai kawan-kawanku mengambil jalan pintas hanya demi ketenaran. Namun jika kami tetap berbeda dalam langkah, maka ijinkan aku meninggalkan band ini. Amin.”