Jika anda butuh
kata-kata penghiburan atau yang menguatkan, jangan lanjutkan membaca tulisan
ini. Saya mengajak berfikir bagaimana jika hal terburuk yang terjadi, tak ada harapan,
tak ada jalan keluar. Bayangkan jika pandemi covid-19 ini berlalu, namun bukan
kebahagiaan yang kita peroleh melainkan penderitaan yang lebih menyakitkan menghampiri.
Bencana yang terjadi di dunia hari ini hanya permulaaan dari penderitaan yang
lebih panjang. Setelah virus hilang, makanan juga hilang dari muka bumi, semua
orang menderita kelaparan. Kemudian munculah pahlawan di tengah kekacauan, sang
pahlawan akan mengatur dan mengendalikan dunia, menjamin semua orang bisa makan.
Pahlawan itu sekelompok manusia yang memiliki kekuasaan, kekuatan dan dapat
mewujudkan perdamaian serta ketahanan pangan dunia. Sayangnya kelompok ini
tidak percaya dengan adanya Tuhan, dan ia membuat peraturan barang siapa yang
masih ingin hidup harus menyangkal keberadaan Tuhan. Jika hal itu terjadi, tindakan
apa yang akan anda ambil?
Selasa, 28 April 2020
Kamis, 09 April 2020
Setan, Malaikat, Hewan
Kupikir
aku adalah anak orang miskin yang beruntung di negeri ini, kenapa beruntung
karena aku masih bisa sekolah meskipun ayah selalu datang minta dispensasi Test
Hasil Belajar (THB) saat SD dan juga jarang dapat raport karena belum bayar
SPP. Namun setelah dewasa aku bertemu banyak orang yang mengalami nasib hampir
sama. Aku menyimpulkan bahwa bukan keluargaku yang miskin tetapi bangsa
Indonesia waktu aku kecil masih di bawah garis kemiskinan, dengan dinding rumah
dari anyaman bambu, makan singkong saat tak ada nasi, makan daging ayam jika
Lebaran Idul Fitri, sekolah jalan kaki, sepatu berlubang di kelingking, Kawan
sekelasku namanya Hendrikus Durma, kami memanggilnya Lalong artinya anak yatim
dari bahasa asalnya NTT, dia sekolah sambil jualan kerupuk. Namun kami tidak
mengeluh, kami bahagia dengan proses. Perkataannya yang masih terngiang dan
menjadi semangatku saat kami lulus SD adalah, “aku anak pertama dan harus
membantu ibu mencari nafkah, tetapi aku harus lanjut SMP karena aku butuh ilmu
pengetahuan.”
Berikut adalah kisah seorang anak
Gombong, Kebumen. Namanya Untung dia jauh lebih tua dari umurku, artinya
semakin senior manusia dilahirkan di bumi pertiwi semakin miskin kondisi negeri
ini. Tetapi itu bukan masalah, semua adalah proses. Setiap angkatan punya
masalahnya sendiri. Setidaknya aku bersyukur tidak lahir seangkatan Kakekku
yang berjuang melawan penjajah. Setamat SD mas Untung tak bisa sekolah, ia
menjadi buruh panjat pohon kelapa milik tetangga, dengan system mengambil 5
buah kelapa tua 4 buah untuk pemilik pohon dan 1 buah untuk dia. Ia memanjat di
12 kebun secara bergantian, upah buah kelapa dia jual dan uangnya di tabung.
Selain itu ia meminta pelepah kelapa yang telah tua setiap kali memanjat,
sesampainya di rumah pelepah kelapa tersebut ia keringkan. Dalam hatinya ia
ingin sekolah namun tak ingin membebani orang tuanya. Dari hasil menjual kelapa
selama setahun ia membeli sepeda bekas, seragam bekas, sepatu, buku, dan
pelepah kelapa yang setahun dikumpulkan dijualnya sekaligus, sebagian hasilnya
untuk mendaftar sekolah. Mujizat selalu terjadi pada setiap orang yang berharap
pada Tuhan. Masuk di SMP Muhammadiyah rupanya ada program orang tua asuh,
sehingga mas Untung tak perlu bayar SPP. Namun dia butuh buku, seragam, uang
jajan. Otaknya berfikir bagaimana caranya agar tidak minta ibu, ia minta
bantuan ibunya untuk membuatkan gorengan combro, keripik, bakwan. Seusai sholat
subuh dibawalah jajanan tersebut ke sekolah dengan sepeda kesayanganya. Karena
masih malu, ia berpesan pada penjaga kantin untuk tidak memberi tahu siapa
pemilik jajanan tersebut. Hingga lulus SMP hanya Satpam dan 1 orang penjaga
kantin yang tahu.
Tamat SMP lagi-lagi memiliki masalah
yang sama, namun berkat usaha ayahnya ia bisa masuk ke Sebuah Pondok pesantren
di Jawa Barat. Pondok pesantren tersebut menampung dari 27 Provinsi di
Indonesia, dari Jawa tengah ada 2 orang yakni Boyolali dan Kebumen. Total
angkatan mas Untung adalah 29 orang terdiri dari 12 santri dan sisanya
santriwati. Di tempat inilah suatu hari diundang acara oleh presiden Habibie.
Dan hanya 3 orang terbaik yang mewakili pondok pesantren, salah satunya Mas Untung.
Suatu kebanggaan anak kampung bisa berjabat tangan dengan presiden dan sholat
jum’at bersama pahlawan Revolusi A.H. Nasution. Setiap hari selepas Asar sampai
jam lima sore, semua santri dan santriwati bebas memilih program keahlian, ada
yang masak, menjahit, elektonik, mas Untung mengambil kursus Las. Rupanya benih
cinta seorang remaja mulai tumbuh, dan demi bisa bertemu melihat paras gadis
yang ia kagumi mas Untung sering pergi ke kursus salon. Dari sanalah ia belajar
memotong rambut. Dan mulailah ia mencukur rambut santri-santri lainnya,
upahnya ia kumpulkan.
Saat senggang mas Untung memandang
tanah kosong milik Pondok. Otaknya berfikir, lalu ia memberanikan diri bicara
ke pengasuh untuk menggarap sebagian tanah kosong tersebut untuk ditanami
terong. Permintaannya dikabulkan, saat yang lain bermain basket atau olah raga
lain, ia sendirian mulai menggarap sepetak tanah dan meminta dibelikan bibit
dengan system bagi hasil. Hasil penjualan terong rupanya menjadi inspirasi
kawan-kawannya, dan akhirnya semua tanah di garap bersama tak hanya terong
tetapi juga cabai dan sayuran lainya mereka kerjakan. Ada sebuah hadiah berupa
uang bagi yang Khatam Quran, jadi semakin sering Khatam maka semakin banyak
uang hadiahnya. Setahun berlalu, semua mendapat uang saku untuk kembali ke
kampung halaman masing-masing. Dengan bermodalkan uang cukur rambut, Khatam
Quran, Terong dan uang saku terakhir mas Untung kembali ke Gombong, tujuannya
satu ia harus masuk SMA. Masuk SMA Muhammadiyah kelas 1 ia melakukan hal yang
sama menitipkan jajanan ke kantin seusai sholat subuh dan masih tersembunyi.
Kelas 2 ia sudah tak malu lagi, dan mulai membuka praktek cukur rambut.
Usai SMA cita-citanya sebagai
Sarjana Ekonomi tak tercapai hanya mampu menempuh D1 di STIE. Berbagai profesi
telah ia jalani, mulai buruh pabrik, satpam, ngamen dan tentu saja cukur
rambut. Tidak kuliah bukan berarti berhenti belajar, buku apapun yang berhubungan
dengan ekonomi dan bisnis ia lahap. Dengan berjalannya waktu Tuhan memberinya
ide, dan ia ambil kesempatan yang ada. Saat ini ia memproduksi sabun cair dan
sedang meneliti herbal. Banyak pengalaman pahit dan manis yang ia alami namun
yang dapat di ringkas adalah :
Berbuatlah baik
pada semua orang, jangan mengharap balasan baik. Jika kita berbuat baik pada Si
A belum tentu Si A merespon baik, tapi lakukanlah yakinlah hasilnya pasti baik.
Suatu saat pasti Tuhan kirim si B yang akan membalas kebaikan kita. Saat ada
masalah, jangan panik ambil waktu menyendiri tanya sama Tuhan apa yang ia
inginkan, pasti Tuhan kasih jalan keluar. Ada kalanya terjadi kasus seperti ini
si C dan si D, si C merasa lebih taat beribadah. Ini hanya perasaan si C, belum
tentu di mata Tuhan seperti itu. Lalu si C dan si D memiliki masalah yang sama,
mereka berdoa minta rezeki 100 ribu. Namun apa yang terjadi si D dijawab
doanya, si C tidak dapat 100 ribu. Mau protes, tidak bisa manusia protes, kalau
menggerutu wajar. Kenapa manusia merasa tak adil karena manusia tak memahami
maksud Tuhan, bisa jadi Tuhan ingin memberi si C lebih dari 100 ribu tapi bukan
sekarang, atau bisa jadi Tuhan masih kangen pingin dengar suara si C, pingin
ngobrol. Manusia terdiri dari tiga bagian yakni leher ke atas adalah setan,
leher sampai pusar adalah malaikat, pusar ke bawah adalah hewan. Tuhan memberi
kita kebebasan untuk melakukan apa yang kita inginkan, namun ingat Tuhan sudah
memberi kita panduan agar kita menggunakan hati mengendalikan pikiran serta
hawa nafsu agar kita bersifat sebagai malaikat. Setiap tindakan, setiap ingin
melangkah tanyakan dulu ke Tuhan, pasti Tuhan memberi petunjuk lewat hati
nurani kita.
Kamis, 02 April 2020
Pageblug
“Apa yang pernah ada akan ada lagi,
dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi; tak ada sesuatu yang baru di bawah
matahari.” Salomo Alias Sulaiman Bin Daud 970 – 931SM. Demikian halnya dengan
wabah atau dalam bahasa jawa PAGEBLUG, yang muncul dalam sejarah dunia antara
lain Pes, Kolera, Influensa dan salah satu wabah pes paling terkenal ialah The Black Death 1300-an M. Jadi Covid-19 kali
ini bukan hal yang baru, banyak peristiwa serupa di tiap suku yang terlewat
dalam catatan sejarah. Di Nusantara ini sebelum peristiwa besar terjadi selalu
ada tanda dari alam yakni Lintang Kemukus, sebuah bintang yang memancarkan
cahaya lebih terang beberapa malam. Rupanya adik iparku melihat Lintang
tersebut sebelum Covid-19 merebak. Di tahun 1970-an, menurut pengalaman ibuku
yang masih SD saat itu terjadi peristiwa yang hampir sama yakni pagi sakit sore
mati, sore sakit pagi mati. Saat itu teknologi tak seperti hari ini,
pengetahuan rakyat juga masih terbatas. Berikut cerita ibuku.
Seorang nenek pedagang sayur lelesan (rebelan)
di pasar Sleko, Madiun. Pendek, pesek, berkulit putih beliau sering mampir ke
rumah ibuku yang jaraknya tak jauh dari water toren. Tidak diketahui siapa nama
aslinya dan di mana rumahnya orang-orang memanggilnya mbah Dunuk. Suatu hari
mbah Dunuk memerintah nenekku, “Nduk buatlah nasi kuning, pastikan sekeluarga
makan lalu berikan kepada tetangga yang mau saja minimal satu suapan, yang
tidak mau jangan dipaksa, Mulai malam ini kamu dan seisi rumahmu jangan tidur
satu arah. Tidurlah dengan posisi malang melintang, seperti hewan tidur.”
Nenekku menuruti perkataan mbah Dunuk tanpa banyak pertanyaan. Keesokan harinya
datanglah pageblug, setiap orang sakit yang di bawa ke rumah sakit selalu
meninggal. Dan ibuku jatuh sakit, nenekku bersikeras tidak mengijinkan anaknya
di bawa ke rumah sakit. Yang dilakukan mbah Dunuk adalah memintakan obat ke
mbah Kus, segelas air putih yang telah di doakan diminum dan di usapkan ke
pusar dan cuci muka. 4 hari kemudian ibuku sembuh.
Bulan
berikutnya mbah Dunuk membawa janur dan meminta nenekku memasang janur kuning
tersebut di depan rumah, juga tetangga yang mau pasang silakan yang tidak mau
tidak boleh dipaksa. Bahkan ada yang berkata “pemulung kok dipercaya”, yang
berkata demikian mati. Setelah pegeblug selesai orang-orang yang ikut
makan nasi kuning serta memasang janur semuanya selamat. Mbah Dunuk pamit ke
nenekku, “Sudah nduk, sekarang pageblug sudah selesai sudah aman, aku pamit
pulang. Kamu dan keluargamu selalu berdoa marang Gusti.” Sejak hari itu ibuku
tak pernah bertemu lagi dengan mbah Dunuk.
Mungkin dengan pengetahuan kita
sekarang penyelamatan mbah Dunuk dianggap klenik, tapi bagi keluargaku orang
seperti mbah Dunuk adalah malaikat yang Tuhan kirim untuk menolong kita. Ayahku
pernah mendapat pertolongan dari seseorang yang tak di kenal, Budeku menyebut
mas Juremi. Kelak akan kubuat cerita sendiri. Sepanjang hidupkupun aku sering
ditolong oleh orang yang tak ku kenal. Bagiku begitulah cara Tuhan menolong
manusia, dengan menyuruh sesama manusia.
Sabtu, 15 Februari 2020
RUMAH TUA dan KENANGAN
Pernah muncul pertanyaan, kenapa
suku lain ada marga atau fam sehingga masih bisa bertemu saudara hingga
keturunan ke 18 atau 21. Suku jawa tidak memiliki marga, kecuali bangsawan,
juga keturunan hanya dihitung 7. Jika dihitung leluhur jawa yaitu, Aku,
Ayah-Ibu, Simbah (Kakek-Nenek), Buyut, Canggah, Wareng, Utek-utek Gantung
Siwur. Demikian keturunan orang jawa juga dihitung sama yaitu Aku, Anak, Putu
(Cucu), Buyut, Canggah, Wareng, Utek-utek Gantung Siwur. Mulai Buyut ke leluhur
atau ke keturunan istilahnya sama, hanya
dalam penyebutan leluhur ditambah mbah yaitu mbah Buyut, Mbah Canggah dan
seterusnya kalau cucu tidak ada tambahan putu. Mungkin zaman dahulu kala,
manusia jawa masih bisa bertemu dengan turunan ke tujuh, namun zaman sekarang
jangankan Canggah, Buyut saja sudah jarang ditemui. Istimewanya, keturunan
perempuan dan laki-laki memiliki kedudukan yang sama, juga leluhur dari pihak
ibu maupun ayah memiliki kedudukan yang sama pula, meskipun tetap laki-laki sebagai
pemimpin keluarga dan anak laki-laki tertua sebagai pengganti ayah dalam urusan
adat. Dari hal itu Kakek dari ayahku memiliki inisiatif membuat marga sendiri
yang melekat pada nama depan kami.
Leluhurku dari pihak ibu, nenekku
bernama mbah Sulami, mbah Buyutku Sastro Prawiro seorang Dukun di desa Prekul,
Madiun. Mbah Sulami menekuni ilmu kejawen namun memilih aliran putih, beliau
bisa berkomunikasi dengan sedulur pancernya, namun beliau tidak mau bersatu
dengan sang pancer dan memilih mengambil jalan hidupnya sendiri. Dalam ajaran
kejawen dikenal dengan sedulur papat , kelimo pancer ini sama dengan ajaran
Hindu yang disebut Kandapat. Setiap manusia lahir ke dunia selalu disertai oleh
4 saudaranya yakni kakang kawah (air ketuban), getih (darah), puser (pusar),
adi ari-ari (plasenta), keempatnya akan mewujud menjadi roh yang menjaga
manusia tersebut hingga nanti mati. Lalu kelimo pancer atau yang kelima adalah
duplikat atau sama persis atau kembaran kita, tetapi bukan roh manusia itu
sendiri. Jika manusia mati, maka rohnya akan ke alam yang ditentukan Tuhan,
sedangkan yang masih bisa kita jumpai di dunia ini secara alam gaib adalah
saudara pancernya.
Kakekku bernama Salam Hardjo
Prawiro, lahir dan besar di Solo lalu merantau dan menetap di tanah leluhur
nenekku. Mbah Buyut sama sekali tidak kuketahui. Kakekku mewariskan pusaka dari
leluhurnya ke menantu yang terpilih yakni ayahku. Jadi dalam masyarakat jawa
yang mendapat warisan baik ilmu maupun pusaka tidak selalu anak laki-laki
pertama, bahkan pewaris ilmu justru jatuh ke tangan murid yang tidak ada
hubungan darah. Pusaka tersebut berupa tombak, payung, tongkat pipih bukan
bulat seperti gagang tombak panjangnyapun setengah gagang tombak. Ketiganya
dari kayu jati dan ditaruh dalam rak senjata yang terbuat dari kayu yang sama.
Tombaknya tanpa sarung, dan ternyata aslinya ada sarungnya. Jadi, saat diberi
pusaka tersebut ayahku dan temannya membawa ketiga pusaka tersebut serta
tempatnya menggunakan sepeda motor dari Madiun sampai Magelang, herannya sepanjang
perjalanan meski banyak polisi namun tak ada seorangpun polisi yang menilang,
padahal panjang tombak membahayakan pengendara lain, dan tombak adalah senjata
tajam yang tidak bisa dibawa secara leluasa. Sesampainya di Magelang, sarung
tombak hilang, ayah merasa bersalah karena menghilangkan barang milik mertua
yang dipercayakan. Ayah berfikir kalau ke sana lagi akan meminta maaf. Namun
belum sempat ayah dan ibu ke Madiun lagi tiba-tiba datanglah surat dari kakek
yang berisi bahwa sarung tombak tidak mau ikut ke Magelang, sarungnya memilih
pulang ke Madiun.
Leluhur dari ayah, mbah Buyutku
Merto Karyo, beliau meninggal saat masih muda,jadi tak sempat melihat cucu.
Kakekku Mudjio, dialah yang berinisiatif membuat marga, mbah Djio meninggal
saat muda juga, jadi tak sempat melihat aku sebagai cucu pertamanya, demikian
juga ayahku meninggal sebelum melihat cucu dari aku. Kakekku terkenal jujur,
ulet, sabar, pada zamannya beliau adalah tukang ketik tercepat dengan sepuluh
jari. Dari riwayat kematian berdasarkan keturunan langsung dari pihak ayah,
maka sejak muda aku sudah siap mati kapanpun.
Nenekku Mukini, mbah Buyutku Joyo
Kus. Mbah Joyo Kus terkenal sebagai orang yang memiliki kelebihan di kampungku
kala itu. Beliau bisa membaca naga dina, bisa berkomunikasi dengan lelembut,
dan jika butuh ikan beliau tinggal membawa jaring ke sungai, duduk dan
jaringnya dibiarkan terbuka ke atas maka ikan-ikan akan berlompatan masuk
jaring. Setelah ikan dimasak untuk keluarga, beliau tidak makan. Beliau sering
menghadiri hajatan para lelembut, pesannnya ialah jangan sekali-kali memakan
atau meminum hidangan yang ada di dunia lelembut, karena jika manusia makan
atau minum tak akan bisa kembali ke alam manusia lagi. Juga perlu diperhatikan
jika suatu ketika kita dibelokkan atau tersesat di alam lelembut, perhatikan
baik-baik hati kita pasti memiliki sinyal yang janggal. Jangan sekali-kali
makan di sana, pasti bisa kembali. Mbah Joyo Kus meninggal saat ayah kecil,
beliau meninggalkan warisan ke ayah namun dititipkan ke muridnya, dan boleh
diambil setelah ayahku dewasa. Ketika ayahku dewasa, beliau datang ke murid
mbah Joyo Kus, dan diberi pesan, ayah harus melakukan puasa di hari wetonnya,
maka pusaka itu akan datang dengan sendirinya karena pusaka itu sudah sejodo dengan
pemiliknya.
Ibuku Mudjiati anak kelima dari
sepuluh bersaudara, ayahku Mudji Sih Topo sulung dari empat bersaudara. Nama
tersebut ialah nama asli pemberian
kakeku, dan perlu diketahui mbah Salam
dan Mbah Djio tidak saling kenal sebelumnya, ayah juga tidak buat sayembara
mencari istri dengan nama yang sama, Mereka bertemu saat ayah merantau ke Jawa
Timur sebagai seniman ketoprak. Di tanah kelahirannya ayah bergabung dalam
sebuah Teater yakni Teater Akha, juga sebagai bassist dangdut, bahkan punya bakat
melukis. Dan ketika bergelut di dunia seni maka ayah memakai nama panggung Eko.
Nama Eko tercantum juga dalam akte kelahiranku sampai ijazah terakhirku, namun
nama panggung tersebut tidak dipakai dalam akte kelahiran ketiga adikku. Ibu
gemar membaca, pelahap buku dan suka bereksperimen dengan tips-tips yang
dibacanya dari majalah. Hingga hari ini ibu tak perlu menggunakan kalkulator
jika mengoprasikan penjumlahan maupun perkalian, bahkan sampai perkalian ribuan
yaitu perkalian belanja. Hanya sayangnya mereka tidak punya kesempatan
mengenyam Pendidikan formal setinggi kami anak-anaknya. Gen yang turun pada
kami adalah gen seni ayah dan sains dari ibu.
Sejak peristiwa 1965 arah spiritual
bangsa ini bergeser, yang tadinya bebas berkeyakinan akhirnya diwajibkan hanya
memilih salah satu agama resmi negara. Baik keluarga besar ayah maupun ibu
terpencar dalam hal pemilihan agama resmi negara. Pernikahan antar agama hingga
tahun 80-an merupakan hal wajar. Akan tetapi aliran kepercayaan termasuk
Kejawen tetap hidup secara diam-diam di masyarakat disamping agama resmi
negara, kita sebut saja agama KTP. Jadi kebanyakan orang selain beribadah
sesuai dengan agama yang tercantum di KTP, praktek ajaran leluhur tak pernah
ditinggalkan. Hingga lambat laun angkatanku memilih salah satu agama KTP dan
hanya menjalani satu ajaran saja. Yang selalu ditekankan pada kami ialah :
“jangan lupa dari mana kamu berasal, jangan menjadi orang jawa yang hilang
jawanya.” Demikianlah hal yang ditanamkan kepada kami meskipun sudah memilih
agama A, jangan menganggap agama B sesat atau agama C salah. Jika agama A
ternyata paling benar belum tentu kelakuanku sama dengan ajaran agama A. Jadi sebagai manusia lebih baik jika
menghargai dan saling menghormati, jika ada waktu lebih akan lebih bijak jika
kita belajar agama lain atau aliran kepercayaan lain. Bersyukur sejak zaman Gus
Dur aliran kepercayaan diberi kebebasan lagi.
Rabu, 12 Februari 2020
JALADWARA (Terkuaknya Garudeya)
JALADWARA
(Terkuaknya Garudeya)
Sebuah mobil hitam melaju dari pusat
tanah jawa menuju ke barat laut, melintasi lereng Sumbing, lereng Sindoro terus
melaju ke perkampungan berkabut, tiba di persimpangan mengambil jalan ke kanan.
Jalanan yang semakin sempit, diantara perkebunan kentang, lalu memasuki hutan,
tak ada lagi rumah penduduk, sesaat kemudian tampak sebuah villa berdiri
sendiri di lereng perbukitan. Mobil masuk ke sebuah gapura yang mirip duplikat
gapura Wringin Lawang di Mojokerto, dan akhirnya berhenti di depan sebuah
bangunan utama. Keluar dari pintu kiri depan seorang pria berkumis, rambut
keriting, dari pintu kiri belakang keluar Jaya, pemuda setinggi 170 cm
berperawakan sedang, disusul Bejo seorang pemuda yang lebih pendek berkaca
mata, dari pintu kanan belakang keluar Atma, pemuda bertubuh gemuk setinggi
Jaya. Setelah mereka menutup pintu, mobil kembali melaju semakin masuk ke
tempat parkir. Mereka seakan disambut sepasang arca dwarapala di kanan kiri
pintu bangunan utama, namun mereka tidak masuk ke bangunan tersebut melainkan
berjalan ke samping, di sana ada bangunan joglo yang lebih sempit. Pria
berkumis memberi isyarat tangan pada seorang pria di dekat pintu, dan tanpa
berkata-kata pria tersebut membukakan pintu rumah joglo tersebut.
“Silakan masuk.” Kata pria berkumis,
“Saya sengaja tidak membawa kalian ke ruaang tamu, tetapi langsung ke ruang
koleksi pribadi saya. Oh ya sepanjang jalan saya belum memperkenalkan diri,
kalian bisa panggil saya Hardi. Sayalah yang mengirim undangan memalui e-mail
kalian masing-masing. Bagaimana saya bisa tahu kalian? Jangan heran karena kita
sebenarnya sudah lama saling kenal, hanya belum pernah berjumpa. Jika ada
pertanyaan simpan saja untuk nanti.”
Hardi langsung masuk diikuti ketiga
pemuda. Sebuah ruangan yang tidak terlalu luas disbanding sebuah museum, namum
menyimpan berbagai benda peninggalan abad 8 sampai 9 masehi. Jaya tampak
berseri-seri melihat banyaknya benda purbakala, dalam hati dia berkata tidak
sia-sia aku memenuhi undangan rahasia ini. Tampak tersusun rapi stupa Buddha,
stupa Hindu, dua buah Lingga diletakkan di kanan kiri sebuah Yoni, arca
Parwati, arca Nandi, arca Siwa, arca Ganesa, Jaladwara, Kalamakara. Berbeda
dengan Jaya, Bejo dan Atma justru memeperlihatkan ekspresi wajah gugup, bahkan
yang aneh di daerah pegunungan berkabut mereka berdua justru mengeluarkan
kringat, hal ini tidak terlalu diperhatikan Jaya, namun Hardi memperhatikan. Setelah
beberapa waktu, Hardi mengajak ke ruangan lain yang tersekat oleh pintu tanpa
daun pintu. Ketika memasuki ruangan tersebut sontak mereka bertiga terkejut,
bukan karena banyak bertebaran keris pusaka serta tombak, namun diantara
belasan keris tergeletak sebuah hiasan dada dari emas.
Setengah menggumam Jaya, Bejo dan
Atma berkata hampir bersamaan. “GARUDEYA.”
Hardi tersenyum simpul, “Rupanya
kalian langsung mengenalinya ya.”
“Ornamen garudeya ini mirip seperti
yang ada di Museum Mpu Tantular, Sidoarjo.” Jaya menjawab. “Apakah ini
ditemukan di Jawa Tengah di sekitar sini pak Hardi, di situs Liyangan, Gedong
Songo, atau Dieng?”
Sementara itu Bejo dan Atma semakin
berkeringat, “Jaya sebaiknya kamu diam.” Bejo menginjak kaki Jaya dengan maksud
memberi kode.
“Kalian berkeringat di udara
sedingin ini?” Jaya baru menyadari sesuatu yang janggal setelah menoleh ke Bejo
dan Atma, pandangannya ia alihkan ke Hardi. “Pak Hardi, apa maksud semua ini,
jangan-jangan.” Jaya terdiam sejenak.
“Kenapa berhenti Jaya.”
Hardi tersenyum, “Ayo lanjutkan perkataanmu.”
Mendadak semua hening, waktu terasa
berjalan melambat. Jaya yang awalnya senang melihat barang-barang kuno kini
perasaannya menjadi berubah, sebuah ketakutan tak beralasan. Hatinya mengatakan
ada yang tak beres, tetapi mulutnya mendadak terkunci.
“Halo…” Suara Hardi memecah
keheningan. “Kenapa diam, Bejo penggagas dan ketua Kelompok Kala Hitam yang
ditakuti seantero negeri hanya terdiam, Atma ahli laboratorium juga penggagas
Kala Hitam berbadan besar tapi nyalinya tak ada, Jaya mengaku sebagai mantan
anggota Resimen Mahasiswa yang sok pahlawan membantu kepolisian menangkap
gerombolan Kala Hitam, juga terdiam. Di mana taring kalian, di mana kecerdasan
kalian.”
“Tunggu sebentar.” Jaya menjawab,
agak gugup. “Saya masih belum paham apa yang terjadi. Bukankah kasus hilangnya
Garudeya di Jawa Timur sudah ditutup, barangnya sudah kembali ke Museum dan
Kala Hitam tidak terbukti tak bersalah.”
“Dan kamu Jaya serta rekanmu tidak
mendapatkan hadiah yang dijanjikan pemerintah, dan sekarang ada kembaran
Garudeya di Jawa Tengah.” Hardi setengah mengejek. “Kamu sepertinya cerdas,
tetapi tampak bodoh. Atma, Bejo! Coba jelaskan kawanmu atau musuhmu ini. Ayo,
jelaskan.”
“Jadi begini Jaya.” Bejo bicara agak
bergetar. “Aku dan Atma prihatin melihat kemiskinan di negri ini, kami ingin
membantu rakyat miskin, tetapi kami sendiri miskin untuk itulah kami
mengumpulkan beberapa orang yang sepaham dan mendirikan kelompok Kala Hitam. Kami
melihat benda-benda purbakala bangsa kita banyak diincar negara lain melalui
lelang bawah tanah. Maka kami berinisiatif mengambil artefak sesuai pesanan
lalu kami buat tiruannya, yang asli kami kembalikan yang palsu kami jual.”
“Jadi, garudeya yang ada dihadapan
kita adalah barang tiruan.” Tanya Jaya.
“Benar.” Atma menimpali. “Itu
sebabnya kamu dan teammu tak akan bisa membuktikan operasi kami. Lagi pula
uannya kami gunakan untuk kegiatan social, membantu rakyat yang membutuhkan.
Doa merekalah yang melindungi kami. Dan kami berjanji Garudeya adalah proyek
terakhir Kala Hitam, setelah itu kami bubar dan hidup masing-masing. Aku baru
ketemu Bejo juga hari ini saat tadi kita menghadiri undangan rahasia.”
“Sudah jelas Jaya.” Hardi bicara
masih terdengar santai, tapi ada energi menakutkan yang dirasakan. “Dan akulah
yang memesan semua benda kepada Kala Hitam lewat seseorang yang dapat
kupercaya. Dan aku jugalah yang mereka tipu selama ini.”
“Kami bermaksud menjaga warisan
nenek moyang kita agar tetap di Indonesia pak Hardi.” Atma menjawab. “Orang
seperti anda harusnya menyadari hal itu.”
“Berani menggurui.” Hardi memotong.
“Dengar Atma, saat seusia kalian aku juga idealis, namun perlahan idealismemu
itu tidak akan didengar lalu luntur menjadi realistis, hanya memikirkan diri
sendiri. Kalian tak ingin sepertiku, memiliki
villa pribadi di tengah hutan, mobil mewah, makanan berlimpah, bebas
pergi ke mana saja aku suka. Jangan munafik tak ada yang suci diantara kita.”
“Jika ini urusan pemesan dan yang
mendapat pesanan kenapa saya dilibatkan.” Jaya meminta penjelasan.
“Sudah kubilang, kamu ini tampak
cerdas tetapi mudah dimanfaatkan Jaya.” Hardi menjawab. “Sikapmu yang polos dan
apa adanya itu mudah dimanfaatkan oleh orang-orang yang bertindak baik di
hadapanmu, tetapi memanfaatkanmu sebagai perisai.”
“Saya tidak paham, pak Hardi.”
“Biar kuperjelas.” Hardi
menjelaskan. “Yang tampak jahat tak selamanya jahat, yang tampak baik tak
selamanya baik. Coba kamu pikir kenapa aparat pemerintah meminta bantuan warga
sipil sepertimu? Semua dilakukan agar mereka tampak suci, kalian seakan menjadi
saksi bagaimana mereka berusaha membela negara. Ahkirnya apa, penjahat tidak
tertangkap, kasus ditutup, kalian warga sipil yang membantu hanya mendapat rasa
bangga saja. Sementara penjahat sesungguhnya masih berkeliaran.”
“Bukankah Kala Hitam sudah bubar,
jika berkeliaranpun mereka sudah tidak melakukan kejahatan yang sama.
Setidaknya tidak melakukan kejahatan bersama lagi dalam satu team.”
“Kala Hitam memang sudah bubar,
makanya saya hanya memanggil dua orang dedengkotnya saja, yang lain tidak
begitu penting bagiku saat ini. Kala Hitam bubar bukan berarti kejahatan
pencurian benda purbakala akan berhenti begitu saja, akan muncul banyak
organisasi sejenis Kala Hitam dengan nama baru. Dan perlu kamu ketahui Jaya,
saya memiliki anggota yang duduk di pemerintahan, tidak banyak jumlahnya tetapi
cukup strategis. Sayangnya kamu tidak sadar saat bekerjasama dengan mereka
untuk mengejar pencuri Ornamen Garudeya saat itu.”
“Jadi, selama ini segala yang
kulakukan sia-sia.” Jaya tampak kesal. “Lalu sekarang apa yang pak Hardi
inginkan dari kami bertiga? Bukankan urusan anda hanya dengan Kala Hitam saja?
Kenapa melibatkan saya.”
“Tenang.” Hardi kembali tersenyum,
namun bukan kesan ramah yang diterima tetapi kesan menakutkan. “Saya orang
cerdas dan hanya memilih orang-orang yang cerdas dan bermanfaat bagi saya, saya
tidak akan melibatkan seluruh anggota Kala Hitam, cukup kemampuan kalian
bertiga saja, ingat saya sudah memperhatikan sepak terjang kalian, jadi saya
setidaknya tahu kemampuan kalian.”
“Maaf pak Hardi, saya sudah tidak
mau mencuri lagi.” Atma memotong. “Garudeya adalah proyek terakhir, dan jika
pak Hardi meminta kami mencuri saya tidak akan melakukannya lagi.”
“Silakan, saya beri kalian
kebebasan.” Hardi mengeluarkan HP. “Di sini susah sinyal, bisa nyalakan
Bluetooth kalian.
Semua mengeluarkan HP, sesaat
kemudian secara bergantian wajah mereka bertiga tampak pucat. Setiap orang
masing-masing menerima foto keluarga yang sedang makan malam bersama Hardi, seorang wanita dan anak kecil.
“Jangan panik.” Hardi begitu tenang.
“Kalian lihat bukan, saya sudah bisa makan malam dengan keluarga kalian. Wanita
dan anak kecil itu apakah istri atau anakku asli kalian juga tidak tahu. Mudah
saja membuat keluarga kalian bahagia atau menderita, pilihan di tangan kalian.”
Mereka bertiga tampak geram. Namun
hanya terdiam, rupanya Hardi sudah mendekati keluarga mereka, jika ingin
berbuat jahat mudah saja.
“Sekarang silakan kalian pilih,
keluarga kalian bahagia setidaknya kalian berusaha membahagiakan mereka atau
tindakan kalian membahayakan hidup mereka.”
“Baiklah, pak Hardi.” Bejo geram.
“Apa yang anda inginkan dari kami.”
“Keputusan yang bagus Bejo. Bagaiman
dengan Atma dan Jaya?”
“Saya ikut, asalkan jangan anda
apa-apakan keluargaku.” Jawab Jaya.
“Aku juga ikut.” Jawab Atma.
“Bagus, keluarga kalian akan aman
selama kalian tidak keluar jalur. Karena saya bisa mengajak keluarga kalian
makan malam yang indah atau makan malam terakhir. Dengarkan baik-baik, kalian
tidak perlu menghubungi keluarga, katakana saja pada mereka kalian sedang ada
proyek atau apa saja. Kedua jika kalian ingin menghubungi aparat pemerintah,
silakan saja tapi itu adalah hal yang sia-sia, bukan begitu Jaya? Dan misi
kalian adalah carikan saya JALADWARA KENCANA. Tidak ada pemalsuan di
laboratorium Atma, saya minta yang asli.”
“Apa?! Jaladwara Kencana?” Mereka
bertiga hampir serempak.
“Ya. Tidak perlu saya jelaskan.
Setelah ini silakan kalian makan di ruang makan yang sudah di sediakan. Saya
sarankan makan yang banyak agar dapat tenaga. Dan kalian tidak akan naik mobil
seperti saat kalian datang, silakan berjalan kaki ke jalan utama untuk mencegat
anggkutan umum. Sekian.”
Hardi langsung pergi meninggalkan
ruangan, sementara mereka bertiga diantarkan oleh seorang pria yang tadi
membukakan pintu ke ruangan lain. Di sana sudah disediakan makanan untuk mereka
santap.
Selasa, 07 Januari 2020
DIA BUKAN ARWAH (Tumbal Tanah Jawa)
“Berdasarkan Kisah Tanah Jawa, bahwa
sejak Mataram Kuno nenek moyang kita membangun candi puluhan tahun tanpa tumbal
nyawa. Para leluhur menanam biji-bijian atau emas pada bangunan candi sebagai
wujud syukur pada dewi Sri. Namun sejak pembangunan dilakukan oleh Pemerintah
Hindia Belanda ketika mengalami gangguan mereka bertanya pada orang jawa, dan
leluhur kita berkomunikasi dengan lelembut sang penguasa gaib setempat. Para
penguasa gaib meminta tumbal nyawa manusia untuk memberi ijin didirikannya
sebuah bangunan, dan itu dituruti. Kenapa kita justru mengalami kemunduran
secara spiritual?
Deadline
adalah salah satu alasan mencari jalan pintas dalam mengatasi masalah. Tidak
perlu sebuah proyek besar, dalam hal makanpun leluhur kita sangat sabar.
Menumbuk padi, memasak dengan kayu bakar, hari ini tinggal hubungkan ke arus
listrik selesai. Memang penggunaan waktu penting, tetapi tidak semua yang
instan itu benar-benar instan. Contoh mie instan dan minuman instan, proses
produksinya tidak instan, harus diproduksi secara industry masal, disimpan
dalam jumlah besar, didistribusaikan ke berbagai daerah dan beberapa bulan
kemudian baru sampai ke tangan kita, masih juga harus merebus air untuk
memasaknya. Demikian dalam hal penanganan masalah, tak bisa diselesaikan secara
instan dengan bantuan alam gaib. Masalah hari ini mungkin selesai, tapi jiwa
kita terikat dengan mereka. Kalau dengan cara Tuhan lama, waktunya terserah
Tuhan dan hasilnya juga terserah Tuhan. Tetapi cara Tuhan menyeselaikan masalah
adalah dengan cara terbaik, bukan tercepat dan jiwa kita tetap bebas.
Jadi, kalian bebas memilih akan berhasil
pada bidang kalian dengan bantuan Setan atau Tuhan. Seperti lagu d’rumus yang
berjudul Setan Lautan, bahwa Setan bisa memberi kejayaan dan kekayaan pada
manusia, tetapi kita harus menjual jiwa pada mereka.” Mbah Karyo menyudahi
perkataannya, ia meneguk kopi yang ada dihadapannya. Di luar hujan sudah mulai
membasahi bumi, diiringin angin yang menambah hawa dingin. Sejenak suasana
menjadi hening, Dani tampak terdiam.
Goprak angkat biacara, “Bagaimana
Dan, setelah mendengar penjelasan mbah Karyo aku kok jadi takut dengan
tindakanmu itu.”
“Aku juga ragu sejak awal.” Rudi
menambahi. “Kami sangat berterimakasih mbah atas nasehatnya, teman kami ini terlalu
bersikeras. Bahkan salah satu kawan kami benar-benar menentang keputusannya.”
“Mahesa maksudmu.” Dani angkat
bicara. “Mahesa memang sudah tak sejalan denganku, aku mengajak kalian ke sini
untuk menguatkan niatku. Memang benar mbah kami sudah berusaha dan berdoa, tapi
kapan kami berhasil. Kata mbah tadi waktunya terserah Tuhan, ya kalau Tuhan
kasih kalau tidak bagaimana? Kami sudah bosan dengan kondisi kami, kami ingin
segera tenar, kami ingin segera berhasil dengan cepat. Makanya kami butuh
bantuan secara gaib.”
“Aku tahu keinginanmu anak muda.”
Mbah Karyo menjawab. “Tapi tolong pertimbangkan baik-baik, coba juga dengarkan
kata-kata temanmu. Termasuk temanmu yang tidak setuju tadi.”
“Saya sudah memikirkan ini
berbulan-bulan mbah.” Dan menjawab.
“Begini saja.” Goprak menyela. “Kami
akan pulang dulu mbah, biar kami diskusi lagi.”
“Ya, itu lebih baik. Jangan terlalu
gegabah dalam mengambil keputusan. Tapi tunggu hujannya reda, kalian habiskan
dulu ubi gorengya.” Mbah Karyo mengambil sepotong ubi. “Untuk kamu Dani,
seorang pimpinan harus mengambil keputusan yang tepat bahkan dalam waktu
mendesak, tetapi jangan hanya menuruti egomu saja, pikirkan anggota kelompokmu
ke depan, pikirkan juga keluarga mereka. Sebab setiap keputusanmu akan
mempengaruhi kehidupan banyak orang.”
DIA BUKAN ARWAH (Nasehat Senior)
“Kami tidak tahu harus mulai dari
mana?” Suara bassist d’rumus di hadapan keempat anggota dargom, ia juga
didampingi semua anggota d’rumus, tak ketinggalan Sari juga ikut. “Dengarkan
baik-baik, kalian telah salah menangkap perkataan kami, tapi tak sepenuhnya
kalian salah. Bisa jadi karena banyaknya pertanyaan dari peserta waktu itu,
sehingga kami kurang bisa menampung semuanya, dan informasi yang kalian terima
tak sepenuhnya sama seperti yang kami sampaikan.”
“Begini saja, lebih baik kami
jelaskan dari sejarah manusia ada,” Gitaris d’rumus menambahkan, “agar semuanya
jelas.”
“Itu terlalu bertele-tele mas bro,”
Sang Vocalis d’rumus menyela. “Semua sudah tahu bagaimana Tuhan menciptakan
manusia. Langsung saja pada kondisi dunia. Dunia dibagi menjadi tiga, yaitu
dunia para malaikat, dunia iblis, dunia manusia, semua di bawah kekuasaan
Tuhan, namun Tuhan memberikan kehendak bebas pada mahluk ciptaanNya. Malaikat
memilih patuh, iblis memilih memberontak, manusia bimbang. Ya dalam hati,
manusia ingin kembali ke Tuhan tetapi iblis berusaha membelokkan keinginan
manusia. Sampai di sini bagaimana?”
“Kami rasa semua itu kami paham,”
jawab Dani, “masalahnya apa yang terjadi pada kami, khususnya pada diriku
sehingga aku menyeret Rudi dan Goprak.”
“Kalian masih bersyukur karena
Mahesa tidak mau bergabung dengan apa yang kalian lakukan.” Drummer d’rumus
menimpali, “Dan meskipun Mahesa tidak lagi bergabung namun dia masih peduli
dengan jiwa kalian, Mahesa dengan bantuan Sari berusaha mencari kami. Dargom
tetap mencantumkan “M” pada singkatan band kalian, itu menunjukan bahwa
sebenarnya roh kalian saat awal mendirikan band ini masih utuh. Hanya saja
kalian sempat bimbang di tengah jalan. Arwah yang mendampingi kalian
sesungguhnya bukanlah arwah, ya dia bukan arwah, dia adalah salah satu anggota
kerajaan iblis yang menyamar menjadi arwah. Sebab setiap manusia yang mati
rohnya akan terpisah dari dunia manusia, mereka tak lagi bisa berkomunikasi
dengan manusia, hanya roh-roh penguasa kegelapan yang menyamar menjadi arwah
manusia, roh itulah yang selama ini membantu kalian. Perlu kalian ketahui…..”
Belum sempat drummer d’rumus melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba hujan
turun dengan lebatnya. Diiringi kilat yang menyambar-nyambar, angin puting
beliung menyambar kafe tempat mereka nongkrong. Sontak saja semua berlarian
mencari perlindungan, atap kafe terlempar, meja, kursi porak poranda. Semua
berlarian ke arah dapur yang bangunannya masih kokoh. Lima menit kemudian
segalanya reda, langit mendadak jadi cerah dengan bermunculan bintang-bintang.
Dargom, d’rumus, Sari serta beberapa pengunjung membantu membereskan meja dan
kursi yang berserakan, sementara sebagian besar pengunjung langsung
meninggalkan tempat. Para penjaga café beberapa kali mengucapkan terimakasih
karena telah dibantu.
“Dani?” Sari seolah baru sadar.
“Dimana Dani, dari tadi kita di dapur aku tidak melihatnya.”
“Mungkin sudah pulang, bersamaan
pengunjung lainnya.” Jawab Goprak.
“Tidak mungkin.” Rudi menunjuk ke arah
parkiran. “Itu sepeda motornya, masak pulang jalan kaki.”
“Coba kucek di toilet.” Mahesa
bergegas ke toilet. “Tidak ada orang.” Dia kembali ke teman-temannya.
“Kalian tenang, jangan panik.”
Vocalis d’rumus bicara sambil memejamkan mata. “Teman kalian masih di sini,
namun berada di dunia yang berbeda.”
“Maksudnya? “ Sari semakin panik.
“Tenang Sar,” Mahesa mencoba
menangkan, “Kita ikuti saja petunjuk d’rumus.”
“Kita pulang dulu ke tempat tinggal
masing-masing.” Gitaris d’rumus memberi saran. “Besok pagi kita berkumpul lagi,
tempatnya besok aku share lokasinya. Malam ini semua berdoa sebelum tidur.”
Semua mengagguk dan mereka bubar,
Rudi dan Goprak agak berat melangkah, namun Mahesa memaksa mereka berdua.
Saat tiba-tiba datang hujan, angin
dan petir semua orang panik berlarian, Dani tetap tenang di tempat duduknya.
Ketika hujan reda semua orang telah hilang meninggalkan ia sendirian. Dani
ingin beranjak dari posisi duduknya, namun dibatalkan karena dihadapannya kini
duduk seorang pria berjaket kulit.
“Mau ke mana Dani?”
“Maaf Uwak, aku harus pulang.” Jawab
Dani pada pria di depannya.”Kita tidak bisa bekerjasama lagi.”
“Apa katamu?” Uwak tersenyum.
“Lihatlah kawan-kawanmu itu, saat hujan datang mereka pergi meninggalkanmu.
Hanya aku yang bisa menolongmu Dani. Ingat kau dan aku sudah menjadi satu jiwa,
karya dargom adalah karyaku juga. Setelah sekian lama aku membantumu, lalu
datang kawanmu yang bernama Mahesa kau sudah lupa, kalian tenar karena siapa.
Mahesa hanya iri Dani, dia tidak mau bergabung denganmu, sekarang dargom tenar
tanpa Mahesa, itu karena aku Dani, karena aku.”
DIA BUKAN ARWAH (Dukun Prewangan)
“Setiap karya seni memiliki roh, tak
terkecuali musik. Bukankah itu yang dikatakan d’rumus saat workshop kemarin.”
Dani begitu bersemangat menjelaskan pada ketiga anggota band lainnya.
“Bukan hanya itu saja Dani, ingat
juga kata-kata doctor Memet.” Rudi menimpali. “Ada unsur harmoni, dinamika, dan
yang penting satu misi dalam kelompok.”
“Itu dia, kita harus punya roh yang
sama. Kita akan melebihi idola kita d’rumus, jika kita melibatkan roh dalam
karya kita.” Dani berkata setelah meletakkan cangkir kopinya.
“Melibatkan roh? Maksudmu apa Dan.”
Goprak menanggapi.
“Begini.” Dani membetulkan posisi
duduknya. “Kalian pasti pernah dengar, arwah orang meninggal ada yang belum diterima di akhirat,
mereka harus mengumpulkan sejumlah pahala di bumi untuk bekal ke akhirat, namun
karena mereka tidak lagi memiliki tubuh fisik maka mereka menggunakan media
manusia yang masih hidup.”
“Dukun prewangan.” Mahesa memotong.
“Aku tidak setuju dengan idemu. Meminta bantuan arwah memang bisa membuat kita
jaya, namun karya yang kita hasilkan adalah karya arwah tersebut bukan karya
kita. Bukankan kita sendiri punya daya kreativitas, lagipula jika kita membantu
arwah maka pahala yang kita kerjakan akan dihitung sebagai pahala arwah
tersebut.”
“Tapi kreativitas kita hanya
segini-segini saja, tak ada kemajuan Mahesa. Sekarang terserah kalian, mau ikut
ideku atau kalian punya ide lain.” Kata Dani.
“Jika kalian menggunakan cara dukun
prewangan, maka aku memilih keluar dari Dargom.” Mahesa menegaskan. “Kita masih
punya Tuhan yang bisa kita minta pertolongan Dan, Rud, Prak, Ingat itu.”
“Jangan terbawa emosi teman-teman.”
Goprak menengahi. “Kita sudah berusaha dan berdoa selama ini, namun belum juga
berhasil. Lebih baik kita renungkan dulu pembicaraan kita hari ini, kamis depan
kita berkumpul lagi di tempat ini untuk mengambil langkah. Mahesa, tolong
jangan berfikir pendek untuk keluar, ingat nama band kita DARGOM yaitu
singkatan dari Dani, Rudi, Goprak dan Mahesa.”
“Baiklah, kita ketemu lagi kamis depan.”
Rudi menutup diskusi malam itu.
Malam semakin larut, tiap individu
telah berada di kamar masing-masing. Rudi dan Goprak telah berpetualang di alam
mimpi masing-masing. Sementara Dani tak mampu memejamkan mata, dipandangi gitar
yang tergantung di dinding kamarnya, telinganya hanya menangkap suara detak jam
dinding, namun pikirannya dipenuhi suara-suara yang selama ini ia dengar,
seakan muncul silih berganti.
“Maaf, genrenya apa ya kok tidak
jelas pop bukan rock terlalu lembek.”
“Berisik, tak bisa dinikmati.”
“Jangan dengarkan kata orang, main musik
mainkan saja sesuai suara hati.”
“Tidak perlu ikuti pasar, bauatlah
pasarmu sendiri.”
“Mas, tujuannya untuk apa? Musik
industri atau hanya koleksi pribadi.”
“Genre musiknya tidak cocok untuk
tahun ini, musik kalian cocoknya sepuluh tahun yang lalu. Ini bukan rock, ini
lebih ke pop. Coba cari refrensi yang baru-baru.”
“Lagunya tidak enak didengar.”
“Coba cordnya jangan do sol fa, buat
nada-nada tujuh, biar tidak umum nadanya.”
“Menciptakan musik itu sesuai kata
hati, kecuali musik pesanan seperti jingle suatu produk. Mereka yang
berkomentar tidak membiayai musik kalian, kok kalian bingung. Kecuali tata
krama di panggung itu boleh komentar. Tapi karya itu bersifat pribadi, suara
hati kalian.”
“Semakin lokal sebuah karya maka
akan semakin berpotensi dikenal global.”
“Kalian tentukan segmen pasarnya,
apakah hanya didengar komunitas atau untuk komersil. Tentukan dulu tujuannya.”
“Drum kalian beat semangat, tapi
gitarnya tidak terlalu, vocalnya juga tidak mendukung, Jadi sebenarnya kiblat
musik kalian ke mana?”
“Lanjutkan saja, yang penting kalian
punya karya sendiri itu sudah merupakan kelebihan, daripada punya kemapuan
tinggi tapi hanya meniru.”
Tak terasa Danipun terlelap,
kata-kata diatas sebagian terbawa ke alam mimpi. Pada saat bersamaan, Mahesa memanjatkan
doa.
“Tuhan tolonglah dargom, jangan
sampai kawan-kawanku mengambil jalan pintas hanya demi ketenaran. Namun jika
kami tetap berbeda dalam langkah, maka ijinkan aku meninggalkan band ini. Amin.”
Langganan:
Postingan (Atom)