Sabtu, 15 Februari 2020

RUMAH TUA dan KENANGAN




            Pernah muncul pertanyaan, kenapa suku lain ada marga atau fam sehingga masih bisa bertemu saudara hingga keturunan ke 18 atau 21. Suku jawa tidak memiliki marga, kecuali bangsawan, juga keturunan hanya dihitung 7. Jika dihitung leluhur jawa yaitu, Aku, Ayah-Ibu, Simbah (Kakek-Nenek), Buyut, Canggah, Wareng, Utek-utek Gantung Siwur. Demikian keturunan orang jawa juga dihitung sama yaitu Aku, Anak, Putu (Cucu), Buyut, Canggah, Wareng, Utek-utek Gantung Siwur. Mulai Buyut ke leluhur atau ke  keturunan istilahnya sama, hanya dalam penyebutan leluhur ditambah mbah yaitu mbah Buyut, Mbah Canggah dan seterusnya kalau cucu tidak ada tambahan putu. Mungkin zaman dahulu kala, manusia jawa masih bisa bertemu dengan turunan ke tujuh, namun zaman sekarang jangankan Canggah, Buyut saja sudah jarang ditemui. Istimewanya, keturunan perempuan dan laki-laki memiliki kedudukan yang sama, juga leluhur dari pihak ibu maupun ayah memiliki kedudukan yang sama pula, meskipun tetap laki-laki sebagai pemimpin keluarga dan anak laki-laki tertua sebagai pengganti ayah dalam urusan adat. Dari hal itu Kakek dari ayahku memiliki inisiatif membuat marga sendiri yang melekat pada nama depan kami.
            Leluhurku dari pihak ibu, nenekku bernama mbah Sulami, mbah Buyutku Sastro Prawiro seorang Dukun di desa Prekul, Madiun. Mbah Sulami menekuni ilmu kejawen namun memilih aliran putih, beliau bisa berkomunikasi dengan sedulur pancernya, namun beliau tidak mau bersatu dengan sang pancer dan memilih mengambil jalan hidupnya sendiri. Dalam ajaran kejawen dikenal dengan sedulur papat , kelimo pancer ini sama dengan ajaran Hindu yang disebut Kandapat. Setiap manusia lahir ke dunia selalu disertai oleh 4 saudaranya yakni kakang kawah (air ketuban), getih (darah), puser (pusar), adi ari-ari (plasenta), keempatnya akan mewujud menjadi roh yang menjaga manusia tersebut hingga nanti mati. Lalu kelimo pancer atau yang kelima adalah duplikat atau sama persis atau kembaran kita, tetapi bukan roh manusia itu sendiri. Jika manusia mati, maka rohnya akan ke alam yang ditentukan Tuhan, sedangkan yang masih bisa kita jumpai di dunia ini secara alam gaib adalah saudara pancernya.
            Kakekku bernama Salam Hardjo Prawiro, lahir dan besar di Solo lalu merantau dan menetap di tanah leluhur nenekku. Mbah Buyut sama sekali tidak kuketahui. Kakekku mewariskan pusaka dari leluhurnya ke menantu yang terpilih yakni ayahku. Jadi dalam masyarakat jawa yang mendapat warisan baik ilmu maupun pusaka tidak selalu anak laki-laki pertama, bahkan pewaris ilmu justru jatuh ke tangan murid yang tidak ada hubungan darah. Pusaka tersebut berupa tombak, payung, tongkat pipih bukan bulat seperti gagang tombak panjangnyapun setengah gagang tombak. Ketiganya dari kayu jati dan ditaruh dalam rak senjata yang terbuat dari kayu yang sama. Tombaknya tanpa sarung, dan ternyata aslinya ada sarungnya. Jadi, saat diberi pusaka tersebut ayahku dan temannya membawa ketiga pusaka tersebut serta tempatnya menggunakan sepeda motor dari Madiun sampai Magelang, herannya sepanjang perjalanan meski banyak polisi namun tak ada seorangpun polisi yang menilang, padahal panjang tombak membahayakan pengendara lain, dan tombak adalah senjata tajam yang tidak bisa dibawa secara leluasa. Sesampainya di Magelang, sarung tombak hilang, ayah merasa bersalah karena menghilangkan barang milik mertua yang dipercayakan. Ayah berfikir kalau ke sana lagi akan meminta maaf. Namun belum sempat ayah dan ibu ke Madiun lagi tiba-tiba datanglah surat dari kakek yang berisi bahwa sarung tombak tidak mau ikut ke Magelang, sarungnya memilih pulang ke Madiun.
            Leluhur dari ayah, mbah Buyutku Merto Karyo, beliau meninggal saat masih muda,jadi tak sempat melihat cucu. Kakekku Mudjio, dialah yang berinisiatif membuat marga, mbah Djio meninggal saat muda juga, jadi tak sempat melihat aku sebagai cucu pertamanya, demikian juga ayahku meninggal sebelum melihat cucu dari aku. Kakekku terkenal jujur, ulet, sabar, pada zamannya beliau adalah tukang ketik tercepat dengan sepuluh jari. Dari riwayat kematian berdasarkan keturunan langsung dari pihak ayah, maka sejak muda aku sudah siap mati kapanpun.
            Nenekku Mukini, mbah Buyutku Joyo Kus. Mbah Joyo Kus terkenal sebagai orang yang memiliki kelebihan di kampungku kala itu. Beliau bisa membaca naga dina, bisa berkomunikasi dengan lelembut, dan jika butuh ikan beliau tinggal membawa jaring ke sungai, duduk dan jaringnya dibiarkan terbuka ke atas maka ikan-ikan akan berlompatan masuk jaring. Setelah ikan dimasak untuk keluarga, beliau tidak makan. Beliau sering menghadiri hajatan para lelembut, pesannnya ialah jangan sekali-kali memakan atau meminum hidangan yang ada di dunia lelembut, karena jika manusia makan atau minum tak akan bisa kembali ke alam manusia lagi. Juga perlu diperhatikan jika suatu ketika kita dibelokkan atau tersesat di alam lelembut, perhatikan baik-baik hati kita pasti memiliki sinyal yang janggal. Jangan sekali-kali makan di sana, pasti bisa kembali. Mbah Joyo Kus meninggal saat ayah kecil, beliau meninggalkan warisan ke ayah namun dititipkan ke muridnya, dan boleh diambil setelah ayahku dewasa. Ketika ayahku dewasa, beliau datang ke murid mbah Joyo Kus, dan diberi pesan, ayah harus melakukan puasa di hari wetonnya, maka pusaka itu akan datang dengan sendirinya karena pusaka itu sudah sejodo dengan pemiliknya.
            Ibuku Mudjiati anak kelima dari sepuluh bersaudara, ayahku Mudji Sih Topo sulung dari empat bersaudara. Nama tersebut ialah  nama asli pemberian kakeku, dan perlu diketahui  mbah Salam dan Mbah Djio tidak saling kenal sebelumnya, ayah juga tidak buat sayembara mencari istri dengan nama yang sama, Mereka bertemu saat ayah merantau ke Jawa Timur sebagai seniman ketoprak. Di tanah kelahirannya ayah bergabung dalam sebuah Teater yakni Teater Akha, juga sebagai bassist dangdut, bahkan punya bakat melukis. Dan ketika bergelut di dunia seni maka ayah memakai nama panggung Eko. Nama Eko tercantum juga dalam akte kelahiranku sampai ijazah terakhirku, namun nama panggung tersebut tidak dipakai dalam akte kelahiran ketiga adikku. Ibu gemar membaca, pelahap buku dan suka bereksperimen dengan tips-tips yang dibacanya dari majalah. Hingga hari ini ibu tak perlu menggunakan kalkulator jika mengoprasikan penjumlahan maupun perkalian, bahkan sampai perkalian ribuan yaitu perkalian belanja. Hanya sayangnya mereka tidak punya kesempatan mengenyam Pendidikan formal setinggi kami anak-anaknya. Gen yang turun pada kami adalah gen seni ayah dan sains dari ibu.
            Sejak peristiwa 1965 arah spiritual bangsa ini bergeser, yang tadinya bebas berkeyakinan akhirnya diwajibkan hanya memilih salah satu agama resmi negara. Baik keluarga besar ayah maupun ibu terpencar dalam hal pemilihan agama resmi negara. Pernikahan antar agama hingga tahun 80-an merupakan hal wajar. Akan tetapi aliran kepercayaan termasuk Kejawen tetap hidup secara diam-diam di masyarakat disamping agama resmi negara, kita sebut saja agama KTP. Jadi kebanyakan orang selain beribadah sesuai dengan agama yang tercantum di KTP, praktek ajaran leluhur tak pernah ditinggalkan. Hingga lambat laun angkatanku memilih salah satu agama KTP dan hanya menjalani satu ajaran saja. Yang selalu ditekankan pada kami ialah : “jangan lupa dari mana kamu berasal, jangan menjadi orang jawa yang hilang jawanya.” Demikianlah hal yang ditanamkan kepada kami meskipun sudah memilih agama A, jangan menganggap agama B sesat atau agama C salah. Jika agama A ternyata paling benar belum tentu kelakuanku sama dengan ajaran agama A.  Jadi sebagai manusia lebih baik jika menghargai dan saling menghormati, jika ada waktu lebih akan lebih bijak jika kita belajar agama lain atau aliran kepercayaan lain. Bersyukur sejak zaman Gus Dur aliran kepercayaan diberi kebebasan lagi.
           

Rabu, 12 Februari 2020

JALADWARA (Terkuaknya Garudeya)




JALADWARA (Terkuaknya Garudeya)
            Sebuah mobil hitam melaju dari pusat tanah jawa menuju ke barat laut, melintasi lereng Sumbing, lereng Sindoro terus melaju ke perkampungan berkabut, tiba di persimpangan mengambil jalan ke kanan. Jalanan yang semakin sempit, diantara perkebunan kentang, lalu memasuki hutan, tak ada lagi rumah penduduk, sesaat kemudian tampak sebuah villa berdiri sendiri di lereng perbukitan. Mobil masuk ke sebuah gapura yang mirip duplikat gapura Wringin Lawang di Mojokerto, dan akhirnya berhenti di depan sebuah bangunan utama. Keluar dari pintu kiri depan seorang pria berkumis, rambut keriting, dari pintu kiri belakang keluar Jaya, pemuda setinggi 170 cm berperawakan sedang, disusul Bejo seorang pemuda yang lebih pendek berkaca mata, dari pintu kanan belakang keluar Atma, pemuda bertubuh gemuk setinggi Jaya. Setelah mereka menutup pintu, mobil kembali melaju semakin masuk ke tempat parkir. Mereka seakan disambut sepasang arca dwarapala di kanan kiri pintu bangunan utama, namun mereka tidak masuk ke bangunan tersebut melainkan berjalan ke samping, di sana ada bangunan joglo yang lebih sempit. Pria berkumis memberi isyarat tangan pada seorang pria di dekat pintu, dan tanpa berkata-kata pria tersebut membukakan pintu rumah joglo tersebut.
            “Silakan masuk.” Kata pria berkumis, “Saya sengaja tidak membawa kalian ke ruaang tamu, tetapi langsung ke ruang koleksi pribadi saya. Oh ya sepanjang jalan saya belum memperkenalkan diri, kalian bisa panggil saya Hardi. Sayalah yang mengirim undangan memalui e-mail kalian masing-masing. Bagaimana saya bisa tahu kalian? Jangan heran karena kita sebenarnya sudah lama saling kenal, hanya belum pernah berjumpa. Jika ada pertanyaan simpan saja untuk nanti.”
            Hardi langsung masuk diikuti ketiga pemuda. Sebuah ruangan yang tidak terlalu luas disbanding sebuah museum, namum menyimpan berbagai benda peninggalan abad 8 sampai 9 masehi. Jaya tampak berseri-seri melihat banyaknya benda purbakala, dalam hati dia berkata tidak sia-sia aku memenuhi undangan rahasia ini. Tampak tersusun rapi stupa Buddha, stupa Hindu, dua buah Lingga diletakkan di kanan kiri sebuah Yoni, arca Parwati, arca Nandi, arca Siwa, arca Ganesa, Jaladwara, Kalamakara. Berbeda dengan Jaya, Bejo dan Atma justru memeperlihatkan ekspresi wajah gugup, bahkan yang aneh di daerah pegunungan berkabut mereka berdua justru mengeluarkan kringat, hal ini tidak terlalu diperhatikan Jaya, namun Hardi memperhatikan. Setelah beberapa waktu, Hardi mengajak ke ruangan lain yang tersekat oleh pintu tanpa daun pintu. Ketika memasuki ruangan tersebut sontak mereka bertiga terkejut, bukan karena banyak bertebaran keris pusaka serta tombak, namun diantara belasan keris tergeletak sebuah hiasan dada dari emas.
            Setengah menggumam Jaya, Bejo dan Atma berkata hampir bersamaan. “GARUDEYA.”
            Hardi tersenyum simpul, “Rupanya kalian langsung mengenalinya ya.”
            “Ornamen garudeya ini mirip seperti yang ada di Museum Mpu Tantular, Sidoarjo.” Jaya menjawab. “Apakah ini ditemukan di Jawa Tengah di sekitar sini pak Hardi, di situs Liyangan, Gedong Songo, atau Dieng?”
            Sementara itu Bejo dan Atma semakin berkeringat, “Jaya sebaiknya kamu diam.” Bejo menginjak kaki Jaya dengan maksud memberi kode.
            “Kalian berkeringat di udara sedingin ini?” Jaya baru menyadari sesuatu yang janggal setelah menoleh ke Bejo dan Atma, pandangannya ia alihkan ke Hardi. “Pak Hardi, apa maksud semua ini, jangan-jangan.” Jaya terdiam sejenak.
            “Kenapa berhenti  Jaya.”  Hardi tersenyum, “Ayo lanjutkan perkataanmu.”
            Mendadak semua hening, waktu terasa berjalan melambat. Jaya yang awalnya senang melihat barang-barang kuno kini perasaannya menjadi berubah, sebuah ketakutan tak beralasan. Hatinya mengatakan ada yang tak beres, tetapi mulutnya mendadak terkunci.
            “Halo…” Suara Hardi memecah keheningan. “Kenapa diam, Bejo penggagas dan ketua Kelompok Kala Hitam yang ditakuti seantero negeri hanya terdiam, Atma ahli laboratorium juga penggagas Kala Hitam berbadan besar tapi nyalinya tak ada, Jaya mengaku sebagai mantan anggota Resimen Mahasiswa yang sok pahlawan membantu kepolisian menangkap gerombolan Kala Hitam, juga terdiam. Di mana taring kalian, di mana kecerdasan kalian.”
            “Tunggu sebentar.” Jaya menjawab, agak gugup. “Saya masih belum paham apa yang terjadi. Bukankah kasus hilangnya Garudeya di Jawa Timur sudah ditutup, barangnya sudah kembali ke Museum dan Kala Hitam tidak terbukti tak bersalah.”
            “Dan kamu Jaya serta rekanmu tidak mendapatkan hadiah yang dijanjikan pemerintah, dan sekarang ada kembaran Garudeya di Jawa Tengah.” Hardi setengah mengejek. “Kamu sepertinya cerdas, tetapi tampak bodoh. Atma, Bejo! Coba jelaskan kawanmu atau musuhmu ini. Ayo, jelaskan.”
            “Jadi begini Jaya.” Bejo bicara agak bergetar. “Aku dan Atma prihatin melihat kemiskinan di negri ini, kami ingin membantu rakyat miskin, tetapi kami sendiri miskin untuk itulah kami mengumpulkan beberapa orang yang sepaham dan mendirikan kelompok Kala Hitam. Kami melihat benda-benda purbakala bangsa kita banyak diincar negara lain melalui lelang bawah tanah. Maka kami berinisiatif mengambil artefak sesuai pesanan lalu kami buat tiruannya, yang asli kami kembalikan yang palsu kami jual.”
            “Jadi, garudeya yang ada dihadapan kita adalah barang tiruan.” Tanya Jaya.
            “Benar.” Atma menimpali. “Itu sebabnya kamu dan teammu tak akan bisa membuktikan operasi kami. Lagi pula uannya kami gunakan untuk kegiatan social, membantu rakyat yang membutuhkan. Doa merekalah yang melindungi kami. Dan kami berjanji Garudeya adalah proyek terakhir Kala Hitam, setelah itu kami bubar dan hidup masing-masing. Aku baru ketemu Bejo juga hari ini saat tadi kita menghadiri undangan rahasia.”
            “Sudah jelas Jaya.” Hardi bicara masih terdengar santai, tapi ada energi menakutkan yang dirasakan. “Dan akulah yang memesan semua benda kepada Kala Hitam lewat seseorang yang dapat kupercaya. Dan aku jugalah yang mereka tipu selama ini.”
            “Kami bermaksud menjaga warisan nenek moyang kita agar tetap di Indonesia pak Hardi.” Atma menjawab. “Orang seperti anda harusnya menyadari hal itu.”
            “Berani menggurui.” Hardi memotong. “Dengar Atma, saat seusia kalian aku juga idealis, namun perlahan idealismemu itu tidak akan didengar lalu luntur menjadi realistis, hanya memikirkan diri sendiri. Kalian tak ingin sepertiku, memiliki  villa pribadi di tengah hutan, mobil mewah, makanan berlimpah, bebas pergi ke mana saja aku suka. Jangan munafik tak ada yang suci diantara kita.”
            “Jika ini urusan pemesan dan yang mendapat pesanan kenapa saya dilibatkan.” Jaya meminta penjelasan.
            “Sudah kubilang, kamu ini tampak cerdas tetapi mudah dimanfaatkan Jaya.” Hardi menjawab. “Sikapmu yang polos dan apa adanya itu mudah dimanfaatkan oleh orang-orang yang bertindak baik di hadapanmu, tetapi memanfaatkanmu sebagai perisai.”
            “Saya tidak paham, pak Hardi.”
            “Biar kuperjelas.” Hardi menjelaskan. “Yang tampak jahat tak selamanya jahat, yang tampak baik tak selamanya baik. Coba kamu pikir kenapa aparat pemerintah meminta bantuan warga sipil sepertimu? Semua dilakukan agar mereka tampak suci, kalian seakan menjadi saksi bagaimana mereka berusaha membela negara. Ahkirnya apa, penjahat tidak tertangkap, kasus ditutup, kalian warga sipil yang membantu hanya mendapat rasa bangga saja. Sementara penjahat sesungguhnya masih berkeliaran.”
            “Bukankah Kala Hitam sudah bubar, jika berkeliaranpun mereka sudah tidak melakukan kejahatan yang sama. Setidaknya tidak melakukan kejahatan bersama lagi dalam satu team.”
            “Kala Hitam memang sudah bubar, makanya saya hanya memanggil dua orang dedengkotnya saja, yang lain tidak begitu penting bagiku saat ini. Kala Hitam bubar bukan berarti kejahatan pencurian benda purbakala akan berhenti begitu saja, akan muncul banyak organisasi sejenis Kala Hitam dengan nama baru. Dan perlu kamu ketahui Jaya, saya memiliki anggota yang duduk di pemerintahan, tidak banyak jumlahnya tetapi cukup strategis. Sayangnya kamu tidak sadar saat bekerjasama dengan mereka untuk mengejar pencuri Ornamen Garudeya saat itu.”
            “Jadi, selama ini segala yang kulakukan sia-sia.” Jaya tampak kesal. “Lalu sekarang apa yang pak Hardi inginkan dari kami bertiga? Bukankan urusan anda hanya dengan Kala Hitam saja? Kenapa melibatkan saya.”
            “Tenang.” Hardi kembali tersenyum, namun bukan kesan ramah yang diterima tetapi kesan menakutkan. “Saya orang cerdas dan hanya memilih orang-orang yang cerdas dan bermanfaat bagi saya, saya tidak akan melibatkan seluruh anggota Kala Hitam, cukup kemampuan kalian bertiga saja, ingat saya sudah memperhatikan sepak terjang kalian, jadi saya setidaknya tahu kemampuan kalian.”
            “Maaf pak Hardi, saya sudah tidak mau mencuri lagi.” Atma memotong. “Garudeya adalah proyek terakhir, dan jika pak Hardi meminta kami mencuri saya tidak akan melakukannya lagi.”
            “Silakan, saya beri kalian kebebasan.” Hardi mengeluarkan HP. “Di sini susah sinyal, bisa nyalakan Bluetooth kalian.
            Semua mengeluarkan HP, sesaat kemudian secara bergantian wajah mereka bertiga tampak pucat. Setiap orang masing-masing menerima foto keluarga yang sedang makan malam bersama  Hardi, seorang wanita dan anak kecil.
            “Jangan panik.” Hardi begitu tenang. “Kalian lihat bukan, saya sudah bisa makan malam dengan keluarga kalian. Wanita dan anak kecil itu apakah istri atau anakku asli kalian juga tidak tahu. Mudah saja membuat keluarga kalian bahagia atau menderita, pilihan di tangan kalian.”
            Mereka bertiga tampak geram. Namun hanya terdiam, rupanya Hardi sudah mendekati keluarga mereka, jika ingin berbuat jahat mudah saja.
            “Sekarang silakan kalian pilih, keluarga kalian bahagia setidaknya kalian berusaha membahagiakan mereka atau tindakan kalian membahayakan hidup mereka.”
            “Baiklah, pak Hardi.” Bejo geram. “Apa yang anda inginkan dari kami.”
            “Keputusan yang bagus Bejo. Bagaiman dengan Atma dan Jaya?”
            “Saya ikut, asalkan jangan anda apa-apakan keluargaku.” Jawab Jaya.
            “Aku juga ikut.” Jawab Atma.
            “Bagus, keluarga kalian akan aman selama kalian tidak keluar jalur. Karena saya bisa mengajak keluarga kalian makan malam yang indah atau makan malam terakhir. Dengarkan baik-baik, kalian tidak perlu menghubungi keluarga, katakana saja pada mereka kalian sedang ada proyek atau apa saja. Kedua jika kalian ingin menghubungi aparat pemerintah, silakan saja tapi itu adalah hal yang sia-sia, bukan begitu Jaya? Dan misi kalian adalah carikan saya JALADWARA KENCANA. Tidak ada pemalsuan di laboratorium Atma, saya minta yang asli.”
            “Apa?! Jaladwara Kencana?” Mereka bertiga hampir serempak.
            “Ya. Tidak perlu saya jelaskan. Setelah ini silakan kalian makan di ruang makan yang sudah di sediakan. Saya sarankan makan yang banyak agar dapat tenaga. Dan kalian tidak akan naik mobil seperti saat kalian datang, silakan berjalan kaki ke jalan utama untuk mencegat anggkutan umum. Sekian.”
            Hardi langsung pergi meninggalkan ruangan, sementara mereka bertiga diantarkan oleh seorang pria yang tadi membukakan pintu ke ruangan lain. Di sana sudah disediakan makanan untuk mereka santap.