Rabu, 24 Mei 2017

TRI BUWANA



"Ayah, jika kita terdiri dari tubuh, jiwa dan roh, bagaimana membedakan jiwa dan roh?" Jaya kecil bertanya dengan polos.

"Saat manusia diciptakan oleh tangan Tuhan dengan material tanah itulah tubuh yang dikendalikan oleh panca indra. Sesudah itu Tuhan menghembuskan nafas pada tanah ciptaannya sehingga manusia hidup, nafas yang Tuhan hembuskan adalah bagian dari Roh Tuhan itu sendiri itulah roh manusia. Manusia bukan robot yang dikendalikan Tuhan, manusia adalah rekan Tuhan maka manusia diberi pikiran, perasaan dan kehendak di sanalah letak jiwa. Kau tahu orang gila disebut apa?"

"Sakit jiwa ayah."

"Bukan sakit roh kan? Gila adalah salah satu sakit jiwa, namun tak semua sakit jiwa adalah gila."

"Berarti ada banyak sakit jiwa?"

"Kata seorang dokter yang mengajar saat ayah ikut penyuluhan kader kesehatan, setiap manusia memiliki sakit jiwa, dengan tingkat keparahan yang berbeda."

"Berarti Jaya punya sakit jiwa, ayah juga?"

"Benar anakku, ketika kita resah, gelisah, merasa tertekan, putus asa bukan tubuh jasmani yang merasakan sakit namun jiwa kitalah yang sakit. Jika tak diobati, meningkat jadi stress, stress yang berkepanjangan bisa mengakibatkan penyakit yang lainnya, hingga tingkat tertinggi ialah gila."

"Obatnya apa? Bila tubuh yang sakit alam semesta menyediakan obatnya, jika batuk diobati kencur, diare daun jambu muda dan sebagainya. Bila jiwa kita yang sakit?"

"Olah pikiran dan olah rasa le. Pikiran adalah pusat kendali manusia, setiap gerak tubuh dikendalikan pikiran dan kehendak."

"Ada yang tidak ayah. Detak jantung, nafas semua berjalan tanpa perintah otak."

"Kau benar. Namun kau bisa mempercepat detak jantung dan tarikan nafas, bila otak memerintahkan kaki untuk berlari sekuat tenaga. Hanya otak tak bisa menghentikan kinerja jantung."

"Bagaimana dengan roh?"

"Roh ialah sejatinya manusia itu sendiri, tanpa roh manusia akan mati. Bila manusia mati yang mati hanyalah tubuh jasmaninya saja. Roh yang akan kembali ke Tuhan, atau dibuang ke lautan api yang kekal . Bagaimana roh itu setelah mati ditentukan oleh apa yang kita lakukan selama hidup ini. Pada dasarnya roh manusia itu suci, namun setelah menempati badan jasmani maka roh akan tercemar oleh keinginan panca indra. Sesungguhnya setiap manusia bisa mendengarkan hatinya yang murni. Contoh, kamu pasti pernah ingin berbuat jahat namun perasaanmu mengatakan jangan."

"Ia, Jaya pernah mengalaminya. Ada keragu-raguan dan rasa takut."

"Itu ialah suara roh kita, kamu bisa melawannya dengan pikiran. Lalu setelah kau lakukan kesalahan ada rasa penyesalan bukan?"

"Benar."

"Namun manusia lebih sering menggunakan pikirannya, berusaha membunuh suara hatinya. Lama kelamaan setelah melakukan kejahatan yang sama secara berulang-ulang, suara itu semakin lemah akhirnya mati tak terdengar, atau disebut mati rohani."

"Apakah roh kita jadi mati?"

"Itu hanya istilah saja, artinya manusia dikendalikan oleh hawa nafsunya. Jika manusia bisa mengendalikan hawa nafsunya, maka roh itu akan terdengar lagi."

"Bagaimana caranya."

"Kecenderungan manusia berbuat jahat. Sejak awal manusia diciptakan, sebenarnya sangat akrab dengan sang pencipta. Bahkan manusia mempunyai wewenang menguasai isi bumi ini. Akan tetapi sesudah manusia mendengarkan bujukan iblis, maka manusia terpisah dari sang pencipta. Kekuasaan di bumi akhirnya menjadi milik iblis."

"Maksudnya iblis yang mengusai bumi yang kita pijak ini ayah?"

"Benar anakku, secara sederhana kugambarkan begini. Permukaan bumi ini dihuni oleh manusia, hewan dan tumbuhan. Lalu di udara dikuasai oleh iblis, di atasnya lagi baru ada Tuhan. Maka hubungan manusia dan Tuhan dipisahkan oleh wilayah iblis. Namun demikian Tuhan sangat sayang pada manusia, Tuhan ingin mengembalikan hubunganNya dengan manusia. Tuhan telah memilih beberapa manusia di masa lalu, memberi banyak peraturan agar manusia bisa kembali pada hakekatnya yang suci. Namun setiap manusia yang dipilih juga tak luput dari kesalahan. Demikian juga dipihak manusia tak sedikit yang berusaha hidup suci, dengan cara mematikan keinginan jasmani hingga tapa brata dengan tujuan moksa, yaitu mati jiwa dan raganya hilang tak meninggalkan jasad. Namun tak semua manusia berhasil, baik usaha Tuhan melalui peraturan, maupun usaha manusia untuk menyucikan diri. Bahkan, tak sedikit dalam perjalanan spiritual manusia yang tujuan awalnya ingin mencari Tuhan disesatkan oleh Iblis. Sebab iblis jauh lebih pintar dari manusia."

"Berarti sulit ya untuk mengembalikan roh kita menjadi suci."

"Sulit bukan tak berarti tak bisa bukan. Karena manusia tak mampu maka Tuhan sendiri turun dalam wujud manusia. Ia memberi teladan dalam menjalani hidup sehari-hari. Tuhan tak lagi mengajar dengan kata-kata, namun kata-kata itu mewujud dalam rupa manusia dan menggunakan nama Yesus. Untuk menghapus penghalang antara manusia dan Tuhan yang dibatasi wilayah iblis, maka kekuasan iblis atas bumi harus direbut kembali. Dalam merebut kekuasaan itu harus ada pengorbanan darah manusia yang suci. Karena manusia tak ada yang memenuhi syarat maka Tuhan sendiri dalam wujud manusia mengorbankan darahnya untuk menghapus kesalahan manusia, dengan demikian kekuasaan iblis telah dilucuti, tapi tak sepenuhnya kembali menjadi milik manusia. Hanya manusia yang percaya pada penebusan darah Tuhan yang memiliki hak. Namun dalam perjalan hidup manusia, tak mungkin lurus. Sebab keinginan panca indra, pikiran, kehendak masih ada. Maka Roh Tuhan sendiri yang akan menuntun roh manusia agar tidak jatuh dan mengajari tentang kebenaran."


Jaya termenung, fikiran melayang melintasi jagad raya, berjalan menelusuri waktu, hingga tak sadar seorang wanita dengan tulang pipi menonjol, hidung pesek, rambut bergelombang, kulit jauh lebih cerah dari Jaya, mengenakan kaos kuning duduk sebelahnya.

"Abang melamun." Sapa sang Wanita.

"Aku teringat ayah Nadia."

"Ayah bang Jaya sudah bahagia bersama Tuhan, tak perlu dicemaskan lagi. Yang perlu difikir adalah kita yang masih di dunia ini."

"Benar Nad, akhir-akhir ini aku galau dengan pekerjaanku. Dulu begitu idealis tak ingin merusak alam, namun sekarang lihat apa yang kukerjakan. Dan aku gagal mendapatkan pekerjaan lain yang sesuai idealismeku dulu."

"Sudahlah bang, jangan merasa bersalah. Abang tak merusak alam. Bumi ini meskipun ditambang, bumi akan tetap ada sebab hasil bahan galian masih di bumi tak pindah ke lain planet bukan. Selain itu pekerjaan abang bukankah mengubah bahan baku menjadi bahan yang lebih bernilai baik secara fungsi maupun ekonomis. Tanah dan bahan mineral tambang lainnya digali dari tempatnya, diproses dibakar dengan gas alam yang dari hasil tambang juga sehingga menghasilkan keramik indah. Tanah, air, udara, api disatukan menghasilkan karya seni berupa bata, semen, keramik semuanya adalah karya peradaban yang dibutuhkan sebagai tempat tinggal manusia. Jadi kita tidak merusak alam melainkan, memanfaatkan alam. "

"Memang dari satu sisi aku menghasilkan karya seni peradaban. Di sisi lain bekas galian tambang sebagai bahan baku menyisakan masalah lingkungan tersendiri."

"Ya. Namun itu bukan tanggungjawabmu, siapa yang empunya lahan, siapa yang memberi perijinan, bukan kita kan. Jika kita diberi rezeki memiliki tanah luas, itu hak kita untuk diapakan. Apakah kita jadikan hutan, ladang, sawah, pusat perbelanjaan, atau area tambang itu hak kita bang. Akan tetapi siapa kita saat ini. Abang hanya buruh, hanya pelaku. Kita syukuri saja apa yang kita miliki sekarang. Bukankah sudah lebih baik jika kita bisa makan setiap hari, punya pakaian dan tempat tinggal. Tak perlu berlebih seperti para pengusaha yang abang bilang merusak alam."

"Iya Nad."






Senin, 22 Mei 2017

Jamu Kanker



Tak ubahnya malam-malam sebelumnya, sepasang suami istri bergantian memangku gadis bungsunya yang telah menginjak remaja hingga terlelap. Sedang suami terlelap karena lelah, sang istri masih terjaga meski raga letih.

"Tuhan, kenapa ini tak adil bagiku. Kau telah mengambil ketiga anakku, aku hanya ingin punya anak yang sehat seperti yang lain. Kenapa hal ini terjadi padaku. Jika tetamggaku yang mantan orang nakal kau beri dua orang putri yang sehat, lincah. Demikian saudaraku yang jangankan ke dokter atau ke bidan, ke puskesmaspun tak pernah selama mengandung. Juga ia melahirkan dengan bantuan dukun bayi, hingga hari ini anaknya baik-baik saja. Sedangkan aku dan suamiku selalu taat padaMu. Sejak mujizat Kau berikan bagi rahimku, aku berkonsultasi dengan dokter spesialis kandungan mulai dari sebelum, semasa hingga pasca melahirkan. Itu semata-mata karena aku menginginkan anak yang sehat. Tapi mana penyertaanMu, mana keadilanMu Tuhan."

Hari berganti, rasa kecewa, amarah, tidak terima terus tertanam dalam hati. Hingga suatu saat bukan kesembuhan bagi sang buah hati yang diperoleh, namun benjolan pada payudara kanan sang ibu muncul entah mulai kapan. Rasanya sangat nyeri. Sejak saat itu, pengeluaran bertambah. Bila obat untuk sang anak telah terpenuhi barulah sang ibu beli obat, namun bila uang tak mencukupi. Obat anak yang di utamakan. Hingga kondisi sang ibu semakin parah, muncul lingkaran besar di punggung kanan dengan lubang kecil di tengah yang kadang-kadang mengeluarkan darah kental.

"Jika sudah dioperasi, apakah saya akan sembuh total dok?" Demikian pertanyaan yang diajukan saat berobat. "Sebab ada banyak kasus, sesudah operasi berpindah penyakitnya."

"Saya tidak bisa menjawab, bu Djoni." Sang dokter dengan sabar menjelaskan. "Kita tidak tahu apakah jinak atau ganas sebelum dioperasi. Jadi prosedurnya, diangkat dulu lalu kita uji laboratorium. Apabila hasil laboratorium menyatakan kanker jinak maka ibu sudah tak perlu berobat. Namun jika hasil laboratorium menyatakan ganas, ada kemungkinan sudah menyebar dan berpotensi muncul di payudara kiri atau tempat lain. Untuk mencegah hal itu, harus ada pengobatan berkelanjutan."

Usaha dilakukan, doa dipanjatkan namun harapan semakin sirna. Tak ada lagi tempat berlari, tak ada lagi tempat mengadu. Rumah yang seharusnya menjadi tempat perlindungan, terasa bagai neraka.
"Apa yang harus kita lakukan pak.?"

"Percaya saja isteriku. Semua yang terjadi dalam hidup kita adalah rencana Tuhan. Tuhan pasti memberi yang terbaik."

"Iya pak. Aku sadar sekarang, aku sering menggerutu, sering protes dan menuntut Tuhan. Padahal sudah sering kali Tuhan memberi mujizat dalam kehidupan kita. Namun aku tetap tak bersyukur, hasilnya Ia bukan mengangkat penderitaanku namun semakin terhimpit aku."
"Syukurlah jika kau menyadarinya. Sekarang marilah kita berdoa, memohon ampun atas kesalahan kita. Memohon ampun atas ketidakpercayaan kita pada Tuhan."

"Iya pak."

Hari terus berjalan, namun malam-malam yang dilalui tak seperti malam-malam sebelumnya. Kini setiap malam bu Djoni memuji Tuhan serta membacakan firman Tuhan ketika putri bungsunya ada di pangkuan. Hatinya tak lagi gundah, namun kasihnya sebagai seorang ibu dicurahkan hingga wajah murungnya berganti wajah sukacita.

"Bu, sekarang giliranku menidurkan anak kita."
Kata pak Djoni pada suatu malam.

"Biar aku saja pak. Bapak istirahat saja, besok bapak kerja. Sedangkan aku kan sudah keluar dari pekerjaan, biar kucurahkan waktuku untuk anak kita."

"Namun kau juga sakit. Kau butuh istirahat."

"Aku sudah tak merasakan sakit, meskipun penyakitku menggerogoti tubuhku namun jiwaku bersuka cita karena Tuhan masih mengijinkan kita untuk merawat anak. Dan rasa sakit itu sudah tak terasa lagi."

"Bagaimana bisa.?"

"Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang."

"Puji Tuhan."

Malam berlalu, pagi menjelang, kembali datang malam lagi demikian waktu berjalan. Hingga suatu senja.

"Bu, aku dapat alamat Balai Penelitian Tanaman Obat di Batu dari mandorku. Baiknya kita ke sana."

Dengan semangat keesokan harinya, mereka pergi dan bertemu dengan kepalanya langsung. Dijelaskan rentan berbagai tanaman yang telah diteliti, nama, bentuk, nama latin serta kandungan dan manfaatnya. Antara lain Kunyit kuning, kunyit putih, pegagan, meniran, bengle, tapak dewa, mahkota dewa, sirih, benalu hingga berjumlah 15 tanaman untuk mengobati kanker. Sesudah tiga kali berkunjung dengan mencatat semua informasi ditambah makalah penelitian dari berbagai Universitas tentang tanaman obat, mereka berdua membuat komposisi jamu sendiri. Adapun bahan-bahan mencari sendiri, dibantu petani, teman pabrik, orang yang tak dikenal dan siapa saja yang Tuhan pakai. Sesudah meminum jamu selama beberapa minggu, lengan kiri bu Djoni yang awalnya tak bisa digerakan akhirnya bisa beraktifitas normal. Setahun kemudian lingkaran di punggung menipis. Genap tiga tahun semua lingkaran hilang beserta benjolan di payudara dan sesudah cek dokter, kanker itu sudah bersih total. Meskipun si bungsu dipanggil pulang oleh Tuhan.

Rasa senang karena Tuhan menyembuhkan melalui tanaman yang telah disediakan sejak dunia dijadikan bercampur duka karena tak lagi memiliki keturunan yang masih tinggal bersamanya. Hingga suatu malam, antara sadar atau tertidur saat bu Djoni duduk di kamar. Empat orang datang menyapanya.

"Bu." Demikian empat orang itu menyapa.

Bu Djoni memandang jelas anak lelaki pertamanya sudah dewasa sekitar 19 tahun, perawakan tinggi lebih tinggi dari ayahnya, disampingnya dua orang adikny yang tak jelas bagai banyang-bayang dan terakhir si bungsu yang sangat cantik.

"Lho le kamu kok sudah besar." Sapa bu Djoni, pada si sulung. Keempat anaknya tersenyum.

Sesudah kepergian mereka bu Djoni berdoa.
"Terimakasih Tuhan akhirnya aku bisa melihat keempat anakku secara bersamaan."

Hari-hari dilalui dengan suka cita. Kini tinggalah mereka berdua saja. "Pak masih ingat saat aku cerita berjumpa anak kita? Entah mimpi entah nyata, tapi aku rasa nyata."

"Tentu aku ingat semua yang kau ceritakan."

"Tadi malam aku bermimpi, kali ini jelas aku bermimpi. Anak kita yang bungsu dipangku oleh Tuhan Yesus pak, sedangkan ketiga kakaknya berada di samping Yesus. Mereka lebih bahagia dari pada kita. Sekarang aku sudah benar-benar rela melepas mereka "

"Segala yang terjadi dalam hidup kita adalah rencana Tuhan. Tuhan telah memberi komposisi jamu penyakit kanker. Sekarang tugas kita selama masih di dunia ini adalah membagikan kebaikan Tuhan yang telah kita terima kepada orang lain. Lanjutkan buat jamu, berikan pada yang membutuhkan sebagai rasa syukur kita pada Tuhan."

Sejak saat itu hingga tulisan ini dibuat bu Djoni membuat jamu yang diberikan pada siapa saja yang membutuhkan, sedangkan bahan dari siapa saja yang menanam atau menemukan. Tak ada jaminan kesembuhan. Tuhan yang menciptakan tanaman obat, Tuhan bisa menggunakan apa saja untuk mengobati. Namun Tuhan juga bisa tak mau mengobati.

"Saat kita diberi sakit, cobaan atau penderitaan kemudian kita menggerutu dan menuntut janji Tuhan justru rasanya semakin parah. Namun ketika kita menerima dengan lapang dada serta menikmati apa yang sedang Tuhan ijinkan terjadi, maka beban terasa ringan sebab jalan keluar itu sudah disediakan oleh Tuhan." Nasehat bu Djoni pada penulis, saat penulis berkunjung ke rumahnya di perumahan Pungging, Mojokerto.

"Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang."  Tertulis pada kemasan jamu.

"Dukunnya ialah Tuhan Yesus."

Hening suasana dalam ruangan, hanya detak jam dinding yang terasa lambat. Sang dokter begitu tenang mempelajari hasil laboratorium, sesaat kemudian dipandangnya sepasang suami istri dihadapannya.


"Ibu harus rawat inap selama empat bulan di sini, agar kami bisa memberikan pengobatan secara optimal."

Sontak suara sang dokter bagaikan sebongkah batu menghantam dada sang pasien yang saat itu juga langsung mengeluarkan air mata. "Tapi dok, kami tak punya biaya. Uang kami sudah habis untuk obat jalan." Kata-katanya patah-patah namun jelas terdengar di antara isak tangis keputus asaan.

"Kalian keluar dari ruangan ini sekarang, masih banyak pasien yang antri. Pikirkan baik-baik, setengah dua datang lagi ke sini untuk memberi keputusan."

"Baik dok." Kata sang suami yang langsung membimbing istrinya keluar ruangan, dan merekapun duduk di pojok ruang tunggu.

"Pak. Kita harus bagaimana? Kita sudah tak ada uang." Sang istri masih dalam kondisi menangis.

"Tenanglah bu." Sang suami berusaha menguatkan hati istrinya. "Tuhan itu Bapa kita. Tak ada bapa yang membiarkan anaknya terlantar begitu saja. Hanya saja Tuhan sedang menguji iman kita. Jika Tuhan menghendaki engkau masuk rumah sakit, maka Tuhan akan sediakan biaya. Ingat bahwa Tuhan sanggup memberi makan lima ribu orang hanya dengan lima roti dan dua ikan masih sisa dua belas keranjang. Jadi apabila engkau harus menjalani rawat inap Tuhan akan sediakan biaya, bahkan sisa dua belas keranjang. Namun bila tidak rawat inap Tuhan juga yang akan menyediakan obatnya. Tuhan bisa menggunakan apa saja yang ada di alam ini untuk obat, bahkan tanah yang dicampur ludah dioleskan pada mata yang buta, si butapun dapat melihat."

Hingga waktu yang ditentukan mereka kembali ke ruang poly kandungan. Sang dokter tak lagi ramah.
"Ibu mau sembuh atau mau mati."Dokter membentak.

"Saya ingin sembuh dok." Secara spontan sang pasien menjawab.

"Jika ingin sembuh harus rawat inap, jika ingin mati silakan pulang." Sang dokter tak menurunkan nada suaranya. "Masalah biaya, kalian bayar setelah diobati."

"Baik dok." Sepasang suami istri, hampir serempak.

Sang istripun lansung di bawa ke kamar pasien, sedang suami mengisi formulir secara lengkap. Tak lupa ia bubuhkan tanda tangan serta namanya, Djoni.

Hari berganti, minggu berlalu, bulanpun berjalan. Total bu Djoni harus menerima 30 obat suntik, dan pada suntikan yang ke 25 kembali di cek HSG lagi  untuk mengetahui apakah ada perkembangan pada rahimnya. Dan hasilnya sangat tidak diinginkan yaitu jika angka manusia sehat ialah dibawah 5, namun nilai bu Djoni ialah 150. Dokter sudah hampir menyerah.

"Penyakit istri bapak sudah menjalar ke darah." Sang dokter menjelaskan pada pak Djoni. "Masih ada lima kali suntikan lagi, kemudian selama dua minggu tidak diberi obat apapun. Namun istri bapak harus tetap tinggal di sini meskipun tanpa pengobatan. Sesudah dua minggu dari suntikan ke 30, maka kami akan test HSG lagi. Apabila tak juga membaik, maka jalan terakhir adalah operasi pengangkatan rahim. Bagaimana bapak?"

"Jika itu adalah jalan terbaik, tak masalah. Berarti sudah kehendak Tuhan apabila saya tak dipercaya punya anak. Setelah anak pertama kami dipanggil Tuhan dalam usia bulan, anak kedua dan ketiga di panggil lagi sejak dalam kandungan. Berarti Tuhan tak mempercayakan anak pada kami."

Waktupun berlalu. "Doter, saya sudah menjalani obat suntik yang ketiga puluh bukan." Kata bu Djoni. "Sesudah itu tak ada pengobatan selama dua minggu, maka ijinkan saya pulang selama seminggu biarkan saya di rumah."

"Tetapi bu, saya tidak mengijinkan, akan lebih terjamin jika ibu tetap tinggal di sini." Kata dokter.

"Bukankah sama saja, jika di rumah atau di sini untuk menunggu reaksi obat selama dua minggu ke depan? Apa dokter bisa menjamin saya pasti sembuh jika di sini?"

"Jika ibu memaksa, maka ibu harus menandatangani surat pulang karena keinginan sendiri, dan bila ada sesuatu terjadi semua diluar tanggung jawab rumah sakit."

"Akan saya lakukan."

Sesampainya di rumah, bu Djoni langsung berpuasa. Dalam doanya ia berkata. "Tuhan jika wanita yang pendarahan dua belas tahun saat menjamah jubahMu langsung Engkau sembuhkan. Saat ini Engkau tak tampak, namun jika Tuhan ijinkan aku menjamah jubahMu entah bagaimana caranya aku pasti sembuh. Amin."

Tiba hari minggu, perjamuan kudus. Setelah empat bulan tak ke gereja maka roti dan anggur bagaikan segelas air di padang gersang. Dengan penuh keyakinan bu Djoni berdoa memohon mujizat. Sedang ia berdoa, nampak sekelebat orang berjalan di depannya, ia tak dapat melihat siapa yang lewat sebab sedang tutup mata. Namun secara sepontan ia menjamah jubah orang yang lewat. Dalam hatinya ia yakin bahwa Tuhan yang lewat.

 Sesudah waktu yang ditentukan, pengecekan dilakukan. Bu Djoni, menunggu hasil dengan hati tenang. Sekonyong-konyon 6 dokter spesialis kandungan, dokter praktek, perawat semua mendatangi kamar di mana bu Djoni si rawat.
"Ibu, hasil pengecekannya ialah 1 koma 2, artinya ibu sembuh total."

Mendengar hal itu, bu Djoni meloncat kegirangan. Tanpa memperhatikan sekeliling ia meloncat-loncat di atas kasur. "Haleluya, Haleluya, Puji Tuhan."

Semua orang ikut senang. "Jika boleh tahu, selama pulang ibu ke dukun mana?" Salah seorang dokter bertanya heran. "Sebab secara medis sudah mustahil menurunkan angka 150 ke 1,2. Jalan terakhir harus operasi pengangkatan rahim."

"Dukunnya ialah Tuhan Yesus." Bu Djoni menjawab dengan girang.

"Mana mungkin, ibu pasti bercanda." Sang dokter benar-benar penasaran.

"Dokter boleh percaya atau tidak itu hak dokter, namun dukun saya ialah Tuhan Yesus."

"Siapapun dukunnya, hari ini boleh pulang. Silakan ke kasir." Seorang dokter lainya bicara.

Pak Djoni pergi ke kasir, namun tak sendiri. Sang istri ikut. "Pak, apa uang kita cukup?"

"Jangan khawatir, Tuhan pasti cukupkan."

"Berapa uang kita?"

"800 ribu rupiah. Tenang saja, pasti sisa."

Sesampainya di kasir, sesudah dihitung. "Kekurangannya 69 ribu rupiah pak.?"

"Apa? Kekurangan?" Pak Djoni terheran.

"Maksudnya apa? Sejak awal kami belum membayar apapun."

"Benar pak." Sang kasir menunjukan kwitansi. "Ini kwitansinya, total biaya hingga hari ini 4 juta rupiah, namun sudah ada yang membayar dengan cara diangsur. Ini bukti pembayarannya, sekarang bapak hanya melunasi kekurangannya."

"Siapa yang membayar."

"Saya juga tidak tahu. Saya hanya menerima uang atas nama ibu."

"Puji Tuhan." Bu Djoni menitikan air mata. "Sisa 12 keranjang pak uang kita."