Kamis, 24 November 2016

Dargom (VI)

Ketujuh caila prasasti masih berdiri kokoh setelah menahan dinginnya malam. Embun perlahan mulai menguap, sirna ditimpa semburat cahaya mentari.

"Seperti rencana kita dua hari yang lalu, kedua team berpisah di sini." Bejo berbucara tegas pada keenam anggota Kala Hitam, Jaya dan Sarikem. Mereka semua mengangguk tanda sudah paham. "Dan Ki Banyaktombe, saya mewakili teman-teman menghaturkan banyak terimakasih atas bantuannya, sejak pertama saya dan Jaya bersaudara kemari hingga saat ini Ki Banyaktombe telah banyak berjasa bagi kami."

"Jangan terlalu memuji anak muda." Ki Banyaktombe yang tak lain adalah pemilik kedai kopi begitu rendah hati, "aku yang tua ini hanya melakukan apa yang bisa kulakukan. Jika ini sudah menjadi keputusan kalian, ingatlah segala pesan yang sudah kusampaikan."

"Baik Ki, kami akan selalu mengingatnya. Dan teman-teman selamat berjuang." Bejo mengakhiri perkataannya dengan menjabat tangan Ki Bayaktombe, selanjutnya semua orang saling berjabat tangan.

Bejo, Bagus, Jaya, Sarikem dan Atma melangkah memasuki perbatasan Dargom, sementara Yanto, Kris, Paimin, Panji dan Ki Banyaktombe mengiringi kepergian team Bejo dengan mata mereka sampai hilang terhalang semak belukar. Team Yanto dan Ki Banyaktombepun akhirnya meninggalkan tempat tersebut ke arah desa Wates Kulon di mana Ki Banyaktombe tinggal.


Team Bejo terus menyusuri lebatnya hutan, udara begitu sejuk dan bersih sama sekali belum tersentuh karbon dioksida hasil pembakaran bahan bakar fosil. Hutan semakin lembab karena sinar mentari banyak yang terhalang daun-daun, dalam kondisi seperti ini justru pandangan bisa lebih luas karena dari pohon ke pohon tak ditumbuhi semak belukar, yang ada hanya tumpukan daun-daun gugur yang lembab. Mereka berhenti sejenak, sebab tak ada jalan setapak artinya hutan ini tak pernah terjamah manusia.

"Teman-teman kalian merasa aneh tidak?" Sarikem bertanya pada keempat pemuda tadi.

"Apanya yang aneh?" Jaya menjawab. "Hutan hujan tropis ya kondisinya seperti ini. Kita tinggal menentukan arah mata angin untuk melangkah."

"Bukan itu maksudku." Sarikem coba menjelaskan. "Kalian perhatikan tidak, dari prasasti sampai sebelum masuk hutan ini ada jalan setapak, setelah pohon asam yang sangat besar tadi jalan setapak baru menghilang. Menurutku perbatasan Dargom bukan terletak pada prasasti tersebut namun hutan ini. Antara pohon asam dan caila prasasti merupakan wilayah bebas, sehingga penduduk di desa terakhir yang kita singgahi mencari kayu bakar di tempat tersebut."

"Jika begitu, berarti pencarian Dargom kita mulai dari sini." Bejo menatap Sarikem, Jaya dan kedua anggotanya yakni Atma dan Bagus. "Sebelum melangkah pastikan dalam hati kalian, apakah kalian akan terus melangkah atau tidak. Sebelum terlambat pastikan jika ini bukan jalan hidupmu pulanglah carilah jalan yang lain."

Selasa, 15 November 2016

Menjelang angka sembilan

"Sesungguhnya Iblis akan melemparkan beberapa orang dari antaramu ke dalam penjara supaya kamu dicobai dan kamu akan beroleh kesusahan selama sepuluh hari. Hendaklah engkau setia sampai mati, dan Aku akan mengaruniakan kepadamu mahkota kehidupan.' Demikian kata-kata eyang Darsu masih jelas terngiang dalam benakku." Tatapan Jaya menerawang jauh ke depan. "Pikirku, sehari buat sang Pencipta sebanding dengan setahun untuk manusia. Dan kini sembilan tahun telah berlalu. Saat menjelang angka sembilan sebuah cahaya remang hampir redup lalu semakin terang kembali redup lagi, hingga kini saat kujalani angka sembilan dalam remang yang penuh misteri, aku menanti apa yang terjadi di angka berikutnya."