Sabtu, 20 Agustus 2016

Fotosintesis Buatan

"Hutan kita berkurang, kendaraan bermotor semakin meningkat. Lalu siapa yang akan menyerap gas hasil pembakaran minyak bumi jika tak ada lagi pohon. Bumi akan semakin panas. Manusia akan semakin terhimpit oleh ulah sendiri. Maka dari itu saya memiliki ide membuat alatfotosintesis buatan." Atma berhenti sejenak menunggu reaksi hadirin.

Tuan Ditolak mengangkat tangan. "Maaf saudara Atma, sepertinya anda dan team anda sudah menjelaskan hal ini bukan? Sekarang kami minta hasilnya. Oraganisasi telah menyetujui dan membiayai proyek ini, namun tak juga ada hasilnya."

"Anda benar tuan Dito." Atma menurunkan nada suaranya." Masalahnya tak sesederhana membuat cetakan kue, prosesnya sangat panjang. Saya akan menjelaskan secara rinci agar tuan-tuan sekalian memahami kesulitan kami. Proyek ini untuk masa depan manusia. Bukan saja Indonesia tetapi dunia."

"Tidak." Tuan Dito memotong. "Hal ini terlalu lama. Sudah banyak waktu terbuang sia-sia. Kami ingin segera menutup proyek ini. Kita akan beralih ke teknologi tepat guna yang bermanfaat dalam waktu dekat serta bernilai ekonomis."

"Tetapi tuan-tuan."Atma coba menjelaskan namun sia-sia. Sebab hadirin satu per satu meninggalkan ruangan.

Selasa, 02 Agustus 2016

RASKIN ITU BERGIZI

Lelaki melangkah gontai menuju bangunan setengah ke bawah batu-bata, setengah ke atas anyaman bambu. Hujan baru saja reda sehingga angin malam terasa lebih dingin dari biasanya. Setelah lelaki itu mengetuk, pintupun terbuka, seorang wanita menyambutnya dengan senyuman.

"Sudah selesai rapat RTnya mas Parman?" tanya wanita tersebut.

"Iya dik Laksmi, anak kita sudah tidur?" jawab Parman.

"Sudah setengah jam yang lalu." Laksmi menutup pintu, parman langsung duduk di kursi. Ruangan tersebut tak terlihat lebar, sebuah meja panjang dikelilingi empat kursi di ketiga sisinya dan sebuah kursi panjang di salah satu sisinya. Lantai dari tanah. Laksmi masuk ruangan lain yang ditutup korden dari benderai parta yang disambung-sambung. Sesaat kemuadian keluar lagi membawa secangkir kopi.

"Bagaimana hasil rapatnya, kok mas parman kelihatan lesu?" Laksmi bertanya setelah meletakkan cangkir kopi di atas meja lalu duduk disamping Parman.

Parman menghela nafas sebelum menjawab. "Besok kita tak lagi mendapat jatah beras miskin sebanyak dua puluh kilo lagi melainkan hanya lima kilo saja." 

"Kenapa begitu? apakah program beras miskin dari pemerintah akan dihapuskan secara perlahan, awalnya dikurangi jatahnya, lama-lama tidak ada sama sekali."

"Tidak Laskmi, program pemerintah tidak dihapus, jatah beras miskin atau sering disebut raskin tetap ada. Yang mendapat raskin adalah rakyat miskin berdasarkan peninjauan dari pihak pemerintah. Masih ingatkan petugas yang datang waktu itu? data rakyat miskin sudah ada di Kotamadya dan salinanya ada di Kelurahan masing-masing. Di kelurahan ada buku khusus yang berisi biodata rakyat miskin, dan nama kita tertulis dalam buku tersebut. Keluarga tersebutlah yang berhak mendapat raskin sebanyak dua puluh kilogram per bulan, itu tidah berubah. Namun banyak warga yang protes dan merasa pemerintah tidak adil, pembagian beras tidak merata. Banyak dari mereka yang secara ekonomi mampu membeli beras di pasaran namun mengingini raskin yang jauh lebih murah, sebab mereka merasa masih miskin. Setelah musyawarah cukup panjang, akhirnya terjadilah mufakat bahwa yang menerima raskin harus berbagi dengan warga lainya. Setelah dihitung, jumlah beras yang diperoleh warga RT kita kseseluruhan dibagi jumlah warga yang menginginkan entah miskin atau menganggap dirinya miskin maka diperoleh lima kilogram tiap kepala keluarga."

"Sungguh tak adail." laksmi geram. "Kenapa mereka mau makan jatahnya orang miskin?!"

"Sudahlah, bahkan dalam pengadilan terdapat ketidak adilan. Lebih baik kita berdoa agar anak kita kelak tak mengalami nasib seperti kita."

"Iya mas, di minum dulu kopinya."

"Iya, terimakasih ya."

***

Mentari menyinari bumi dengan leluasa, sebab mendung tak menghalanginya. Seorang bocah SD berjalan dengan ceria, bayang-bayang kepalanya hampir bersatu dengan kaki. ia mempercepat langkah saat mendekati rumahnya.

"Ibu, Atma pulang." Ia menghambur ke arah laksmi, kemudian mencium tangannya.

"Ganti pakaianmua, cuci tangan, segera makan. " Perintah laksmi.

"Iya bu, tetapi makannya nanti tunggu bapak pulang. " jawab atma sambil mengganti bajunya.

"Bapakmu pulangnya tidak pasti, kalau mengantar penumpang pulangnya bisa agak nanti."

"Tidak apa-apa bu, Atma akan menunggu, bapak pasti pulang untuk makan siang, bapak pasti laparkan?"

"Baiklah kalau begitu, bagaimana sekolahmu hari ini?"

"Atma dapat nilai sepuluh saat ulanngan matematika bu." Ia mengambil kertas pekerjaannya dan menyerahkan ke laksmi ibunya.

"Pintar anak ibu."

"Buku guru juga berkata demikian. Bu guru bertanyan, Atma minum susu apa di rumah kok bisa pintar? Atma jawab, bapak tak mampu beli susu sehingga ibu biasa membuatkan tajin dan yang paling pentimng adalah berdoa sebelum makan, doanya begini : Tuhan bergizikan makaan ini. Amin."

"Bagaiman tanggapan bu guru?'

"Bu guru heran, kok doanya bergizikan makan ini? Atma kemuadian menjelaskan. Bukankah kata bu guru jika ingin pintar harus rajin belajar serta makan makanan bergizi? Kalau makannya hanya pakai kerupuk saja, atau sayur nangka muda, maka tak akan memenuhi syarat empat sehat lima sempurna. Maka minta Tuhan agar bergizikan makanan tersebut, sehingga walaupun lauk sederhanya, makannan yang Atma adalah makanan yang bergizi karena sudah dibergizikan Tuhan."

"Benar. Tuhan yang menciptakan alam semesta, jadi membuat makanan bergizi adalah hal mudah bagi Tuhan." Tiba-tiba parman sudah ada di depan pintu. 

"Bapak." Atma langsung menyongsongnya, mencium tangannya. Parmanpun menggendong anak tersebut.

"Ayo makan bersama." Ajak Paraman.

Sesaat kemuadian mereka makan bersama di ruang tamu, sebab tak punya rauang makan bahkan meja makanpun tak ada.

"Puji Tuhan mas, " Laksmi membuka pembicaraan setelah semua selesai makan. "Ternyata banyak orang yang tak mau makan raskin.  Setelah menerima jatah mereka menjual kembali ke warung dengan harga yang lebih tinggi tentunya, kemudian hasil penjualan ditambah uang mereka belikan beras yang lebih enak. Pihak warung menjualnya kembali dengan mengambil keuntungan tetapi harganya masih cukup murah dibanding beras pasaran normalnya. Aku membelinya lima kilo tadi, walaupun lebih mahal dari harga pemerintah namun Tuhan mencukupkan."

Parman tersenyum, "Memang aneh rakyat kita, jika tak diberi minta, jika diberi gengsi untuk memakannya. Kau tahu Laksmi aku mendengar dari seorang pendeta yang tadi naik becakku, beliau tak doyan raskin. Beliau mendapat jatah juga tiga kilo setengah namun diberikan ke anjing dan ayam peliharaannya. dalam hati kuberkata, bukankah semua padi Tuhan yang menumbuhkan, mangapa manusia menyia-nyiakannya."