Jumat, 18 April 2014

IBU



Seperti seorang prajurit di medan perang
Ibu memperjuangkan anak-anaknya
Siang malam do’a dipanjatkan demi masa depan anaknya
Tetesan air mata tak mampu lagi terbendung bejana
Tekanan perasaan, ketakutan menghampiri hatinya
Seperti seorang prajurit dalam pertempuran
Perjuangan ibu tak pernah kenal menyerah
Ketika mati, prajurit tak lagi disebut namanya
Ketika kemenangan diraih nama raja tercatat dalam sejarah
Demikian pula nama ibu akan hilang ditelan masa
Ketika anak-anak yang dikasihinya meraih keberhasilan
Nama ayah melekat erat pada anak sepanjang anak itu dikenang

Rabu, 16 April 2014

CAHAYA ANAK TUHAN


SATU
DIPANGGIL DAN DIPILIH

Hari ini Juni 1991 aku merasa gembira berjalan diantar nenek untuk daftar sekolah. Hari yang paling penting bagi setiap anak untuk awal masa depan. Seperti anak lainnya aku juga ingin sekolah, aku tidak masuk TK melainkan langsung  satu SD akan tetapi ayah telah mengajariku membaca dan menulis sehingga kelak aku tidak ketinggalan sewaktu mengikuti pelajaran. Kami masuk ruang kepala sekolah setelah menjawab beberapa pertanyaan, aku disuruh nyanyi dan laguku adalah Garuda Pancasila dengan syair yang hampir benar
Garuda Pancasila akulah pendukungmu
Potelot proklamasi sedia berkorban untukmu
Pancasila dasar negara rakyat adil makmur sentosa
Pribang-pribangsaku ayo maju maju ayo maju maju ayo maju maju
Inilah lagu pertamaku untuk memasuki jenjang pendidikan yang merupakan hak setiap manusia. Tentu saja pujian yang kuterima dari Kepala sekolah yang mengujiku saat itu. “agamanya apa ?” inilah salah satu pertanyaan yang tak bisa ku jawab, karena aku memang tak punya agama sejak kecil aku tak mengenal Tuhan walaupun Tuhan mengenalku sampai kedalaman inti sel tubuhku. Setiap ditanya teman-teman aku selalu menjawab kafir. Tetapi ini berbeda aku akan masuk sekolah dan anak sekolah di Indonesia harus punya agama. Nenekku tak juga bisa menjawab dia lahir di zaman penjajahan Belanda yang tidak diketahui tanggal, bulan dan tahun kelahirannya sampai saat ini, seperti orang tua pada umumnya.
“Saya tanya bapak saya dulu pak.” jawabku sebab aku tak punya agama sama sekali. “ Baiklah tulis Islam dulu ya pakai pensil nanti kalau sudah tahu bisa dihapus dan diganti.” Katanya kemudian.Sesampai dirumah aku langsung menayakan hal ini kepada ayahku “ Pak kalau sekolah harus punya agama lalu agamaku apa?” Orang tuaku saat menikah beda agama ayahku seorang Kristen yang tak pernah kulihat kapan dia pergi ke gereja, dan ibuku seorang Islam KTP. Lingkunganku hampir mutlak semuanya mengaji sedang agama yang kukenal hanya dua Islam dan Kristen. Ayahku memberi pilihan yang demokratis “ terserah kamu kamu mau ke gereja atau ke masjid?” kemudian secara singkat dia jelaskan di gereja ngapain, sedangkan di masjid tak perlu dijelaskan aku sudah cukup mengerti karena kondisi lingkunganku.
“Aku mau ke gereja.” jawabku dengan mantap.”Kalau begitu mulai besok minggu kamu harus pergi sekolah minggu.” perintah ayahku. Hal itu langsung aku setujui. Mulai saat itu aku sekolah 7 hari dalam seminggu yaitu sekolah minggu dan senin. Ibuku mengantar aku dan adikku untuk sekolah minggu dan tentu saja ibu ikut di dalam menunggu adikku. Ketika aku memilih ke gereja yang ada dalam benakku adalah untuk menulis huruf latin saja sudah susah apalagi nulis huruf arab, sering akau melihat orang mengaji melihat tulisannya saja sudah bingung dan aku tidak ada sedikitpun ketertarikan untuk mempelajarinya. Tapi apa yang kupikir tidak sama dengan pikiran Allah, ternyata hari itu adalah dimana Allah memanggil dan memilih akau secara pribadi menjadi anakNya yang dikasihi. Ayahku telah mengetahuinya sejak lama maka ia berani memberi akau kebebasan. Ketika usiaku 5 bulan dalam kandungan ibu, ayah bermimpi bahwa anaknya lahir laki-laki bersinar, mimpi ini diyakini sebagai sinar dari Kristus. Dan aku sungguh mengucap syukur sampai hari ini karena aku dipilih langsung tanpa perantara siapapun serta tanpa pengaruh dari pihak manapun. Desember 1991 adalah hadiah Natal pertamaku yaitu satu set robot plastik.
Aku masuk SDN Gelangan 7 Magelang, dan mendapati seorang guru yang sangat menyebalkan, dia adalah seorang guru agama Islam di sekolah kami, Anak Tuhan disini sedikit dan ketika pelajaran agama Islam kami dipaksa untuk mengikuti kelasnya, mengucap salamnya, sudah barang tentu membaca dan menulis tulisan bani Kedar yang tak pernah kusuka. Jika kami melanggar sesuatu dia selalu memberi kami pukulan mistar kayu. Padahal di sekolah lain mereka mendapat hak keluar kelas untuk pelajaran agama Islam.
Jumlah kami sedikit, suatu ketika saat kami berkumpul dan guru ini mengejek kami “hai kalian orang-orang Kristen besok kalau mati dipentheng (disalib)!” dan tentu kata-kata ini tertanam dalam benakku. Aku tahu orang muslim kalau mati dipocong. Tapi orang Kristen aku tak pernah lihat. Belakang sekolahan kami adalah pemakaman umum namanya kuburan Candi Nambangan, setiap olah raga kami harus melalui tempat ini untuk sampai ke lapangan bola. Aku perhatikan kuburan orang Kristen ukurannya sama dengan yang lain, pikirku pasti mayatnya disalib dulu kemudian ditanam, akan tetapi kenapa salibnya kecil mencuat ke permukaan. Kutanyakan ayahku bagaimana orang Kristen kalau mati, jawabnya dipeti yang disalib hanya Yesus untuk tebus dosa kita sedang kita tidak perlu disalib. Akhirnya aku mendapat jawaban yang pasti, kelak jika ada yang mengatakan orang Kristen matinya disalib aku akan mengatakan tidak tetapi dipeti.
Ternyata kesalah pahaman menguatkan imanku yang aku sendiri belum tahu apa itu iman. Sejak kecil aku sudah berfikir bahwa Tuhan itu sangat hebat selain bisa membangkitkan orang mati, menyembuhkan orang sakit, itulah yang selalu diceritakan oleh guru-guru sekolah minggu untuk meletakkan dasar kekristenanku. Tapi itu masih kurang hebat, bagiku Tuhan cepat besar. Bayangkan baru beberapa bulan lalu di gereja dikabarkan bahwa hari ini Tuhan lahir, kemudian beberapa minggu kemudian sudah besar dan menyembuhkan orang lagi, disalib, bangkit pada hari ketiga dimana kami mendapat telur hias, akhirnya naik ke surga, untuk selanjutnya lahir lagi ke dunia. Sungguh luar biasa Tuhan Yesus cepat besar sedangkan aku masih kecil dan belum juga bertumbuh besar. Kini kusadari bahwa untuk mengenal kebesaran Allah anak kecil juga bisa tanpa harus melihat mujizat. cukup memikirkan Allah dengan cara kanak-kanak maka kau akan mengetahui betapa hebatnya Allah yang kita sembah.
Seperti biasanya saat lebaran tiba, anak-anak sekampung bergerombol untuk mengunjungi orang-orang tua di kampung kami. Sebagai anak-anak tentu aku ikut, selain mencari makanan kami mengharapkan salam tempel. Biasanya anak-anak akan hafal mana tempat yang biasanya memberi uang saku. Setelah bekunjung dari satu tempat ke tempat lain tibalah kami pada rumah salah seorang nenek, dia terkenal sering memberi uang pada anak-anak. Sembari kami mencicipi makanan yang sudah disediakan dalam toples-toples dan tentunya sudah pula dipersilakan. Sang nenek menanyai kami satu persatu “kalian mengaji di mana?”. Masing masing menjawab saya di musola ini, saya di musola situ dan seterusnya mereka menyebut tempat mengaji masing-masing, hingga tiba giliranku. “Saya tidak mengaji, saya sekolah minggu di Pantekosta cabang Bogeman.” Mendengar jawabanku sepertinya nenek tidak suka kemudian menimpali “kalau ke gereja tidak boleh ikut lebaran, yang boleh ikut hanya yang mengaji saja.” Walaupun berkata seperti itu aku tetap mendapat uang saku yang sama jumlahnya dengan yang lain. Namun aku langsung pulang tidak melanjutkan kunjungankau ke tempat lain, sedangkan teman-temanku masih lanjut.
Sesampai di rumah kuceritakan hal ini kepada ayahku. Maka kata ayahku “memang benar lebaran itu untuk orang Islam, sedang kamu Natalan. Saat lebaran mereka dapat uang saku, tapi saat natal kamu dapat hadiah dan paskah dapat telur.” Mulai saat itu aku tidak mau lagi mengunjungi orang saat lebaran, pikirku jika natal aku dapat hadiah mereka tidak, maka saat lebaran aku juga tidak mau cari uang saku. Kuharap ini adil, untuk selanjutnya jika lebaran di tanya orang “ kamu lebaran main sampai mana saja” maka dengan mantap kujawab “saya tidak lebaran tapi natalan.” Kelak setelah SMP baru aku mau mengunjungi orang disaat lebaran, pertama sebagai ucapan antar umat beragama, kedua sudah besar tidak lagi dikasih uang, hadiah natalpun juga sudah habis.
Tiga peristiwa inilah yang kelak selalu mengingatkanku saat kujatuh, jauh dari Tuhan, kesesakan melanda dan bahkan hampir meninggalkan Tuhan aku akan selalu ingat. Masa kecil merupakan masa persiapan awal untuk hadapi tantangan kehidupan. Aku dipilih langsung, jika mati tidak disalib, dan aku natalan.

DUA
WELCOME TO THE JUNGLE

            Ketika kecil aku suka menanam pohon, apapun kuambil kutanam di halaman rumah, akan tetapi ayah melarangku sebab itu bukan tanah kami. Seperti suku-suku primitif, keluarga kami berpindah-pindah tiap tahun yaitu pindah dari kontrakan yang satu ke kontrakan yang berikutnya di kampung yang sama. Dari kebiasaan berpindah inilah maka temanku selalu ganti dan pastinya kulupa hingga sampai aku tidak tahu siapa teman bermainku saat itu. Suatu saat aku tanya pada ayahku kenapa kami harus pindah-pindah tidak seperti teman-temanku yang punya rumah tetap. Belakangan kuketahui bahwa pertanyaanku membebani pikiran ayahku. Saat itu aku dibujuknya, bagaimana kalau kami ikut transmigrasi disana akan punya tanah yang luas dan aku boleh menanam apa saja, tapi tinggal dihutan dan makannya hanya ikan asin. Tentu saja aku menyetujui hal itu yang ternyata ibuku tidak mau, untuk itu maka ayah membujukku yang tak tahu-apa.
            Hari itu berlalu dan setelah pindah tiga kali ayah tidak pernah membicarakannya lagi, ia lebih fokus mengajari aku membaca dan menulis. Hingga menjelang aku masuk sekolah kami sudah punya rumah sendiri. Rumah kecil dibangun di pinggir sungai kecil tak bersertifikat karena merupakan tanah irigasi. Aku senang karena tidak akan pindah lagi. Sehubungan dengan kondisi ekonomi yang tergolong melarat aku sering tidak terima raport, setiap akan THB (tes hasil belajar) catur wulan ayah sering minta dispensasi agar aku bisa ikut tes. Ayahku berfikir bahwa aku bisa lulus SD sudah cukup baik. Menurut informasi bahwa di daerah transmigrasi sekolah gratis. Agar aku dan adikku bisa sekolah minimal lulus SMP maka ayahku memutuskan  untuk kami transmigrasi, walaupun ternyata sekolah bayar juga tapi dapat terjangkau.
November 1993 kami berangkat ke Kalimantan Barat untuk mengikuti Transmigrasi Perkebunan Inti Rakyat (PIR) Kelapa Sawit. Kami berangkat bersama sepuluh keluarga terdiri dari dua keluarga dari kota dan delapan dari kabupaten Magelang serta puluhan keluarga lain dari seluruh Jawa Tengah. Inilah syair lagu yang digubah ayahku untuk mengisahkan perjalanan kami.
Deru suara mesin kapal diselingi gemerciknya ombak
Di tengah samudra nan amat luas iringi kepergian ratusan jiwa
Sebuah pulau yang masih sepi sambut kedatangan mereka
Hutan terbentang sangat menantang untuk dijadikan sebuah desa
            Transmigran......itulah tugasmu sibak belukar bangunlah desamu
            Transmigran.....bulatkan tekatmu demi nasib anak dan cucumu

Para peserta dari wilayah eks Karsidenan Kedu selama tiga hari tinggal di transito Magelang yang kemudian berangkat ke transito Semarang dan disana kami kumpul orang-orang se provinsi. Kami tinggal dibarak dan makannya antri mungkin seperti tawanan perang zaman penjajahan Belanda ketika orang-oran Jawa dibawa ke Suriname dan tak pernah kembali lagi ke tanah Jawa. Kamipun naik kapal perang selama tiga hari, sedangkan transmigran yang ke Irian Jaya naik pesawat terbang. Tiba di transito Pontianak kami juga tinggal beberapa hari, disini kami di bagi ke berbagai daerah. Perjalanan dilanjutkan melalui sungai Kapuas dengan kapal kayu. Di kanan kiri terdapat hutan lebat, terkadang beberapa rumah apung kami temui, air sungainya berwarna kecoklatan. Alam baru, hutan, hujan yang hampir setiap hari disini seakan pepohonan menyambut welcome to the jungle. Setelah melewati siang dan malam beberapa hari kemudian kami tiba di Sepauk. Beberapa rombongan di turunkan yang lain masih melanjutkan perjalanan.
Dari Sepauk kami naik truk menuju lokasi. Sepanjang jalan kami melihat pohon kelapa sawit yang menjulang dan pohon inilah yang kelak kulihat setiap harinya. Untuk rombongan Magelang di tempatkan di satuan pemukiman 6 (SP VI). Perkebuanan Kelapa sawit ini dibagi dalam satuan pemukiman dai 1 sampai 12, saat ini baru sampai 6. SP I dibangun lebih dahulu menyusul SP berikutnya. Sehingga kelak panen sawit dan penanaman lagi akan bergilir. Di SP VI sudah dihuni satu tahun yang lalu dan kami merupakan pendatang baru yang disusul oleh rombongan Serang.
Kami tinggal di desa Nanga Ansar, Kec. Belitang Hulu, Kab. Sanggau.Di sini berkumpul dari berbagai suku Jawa (tengah, timur, ngapak), sunda, NTT. Dayak Mualang merupakan penduduk asli. Kami masing-masing dapat rumah panggung dengan luas tanah setengah hektar. Puji Tuhan orang dayak mualang semuanya Kristen sehingga kami disambut sebagai saudara. Di sini hanya ada satu gereja, saat minggu dipakai bergantian pagi hari Kristen Khatolik kemudian pukul 10.00 Kristen Protestan.

TIGA
NEO-KOLONIALISME

            Perbedaan kepadatan penduduk di Indonesia memunculkan ide untuk memeratakan kepadatan penduduknya. Sebuah program pemerintah yang memindahkan penduduk dari daerah padat terutama Jawa ke daerah jarang penduduk. Ditanah Jawa banyak petani yang tidak mempunyai lahan untuk ditanami, mereka hanya menjadi buruh bagi petani lain yang memiliki tanah luas. Jikapun memiliki tanah sangat sedikit dan hasil buminya tidak akan mencukupi untuk hidup. Sedangkan orang-orang kota semakin terhimpit oleh pembangunan, mereka sedikit sekali mendapatkan tempat untuk bernaung dari teriknya matahari dan dinginnya malam mencekam. Di tanah sebrang lahan baru dijanjikan, mereka akan memilikinya untuk ditanami dan kelak dinikmati hasil buminya. Dikemudian hari diharapkan  tanah Jawa tidak semakin sesak, dan tanah di pulau-pulau besar lainnya semakin ramai ditinggali penduduk. Oleh sebab itu, maka dibuatlah program Transmigrasi yang disambut cukup baik oleh banyak orang. Walaupun tersiar kabar dari saudara dan sahabat yang telah pergi tak pernah biasa kembali lagi ke tanah kelahirannya, akan tetapi minat masyarakat tetap banyak.
Transmigrasi pada dasarnya dibagi dua macam. Pertama umum yaitu setiap keluarga mendapat tanah seperempat hektar dilengkapi rumah, dan semuanya menjadi satu perkampungan. Kemudian mereka juga berhak memiliki tanah seluas dua hektar terpisah dari rumah, tanah inilah yang akan dibuat lahan pertanian. Kedua Perkebunan Inti Rakyat yaitu setiap keluarga memperoleh setengah hektar tanah beserta rumah dan dua hektar tanah terpisah yang ditanami tanaman perkebuan seperti kopi, coklat, akasia, kelapa sawit. Jenis tanaman sudah ditentukan sejak awal dan ini berkaitan erat dengan perusahaan yang akan menampung hasil perkebuana tersebut. Perusahaan Malaysia di bidang minyak kelapa sawit yang kekurangan lahan memanfaatkan kondisi ini, dengan cara menanam modal dengan membuka perkebunan di daerah Sumatra dan Kalimantan. Petani merasa memiliki kebun akan tetapi yang sesungguhnya petani hanya berfungsi sebagai buruh perkebunan. Hal ini tak ubahnya seperti TKI yang bekerja untuk perkebunan kelapa sawit.
Petani merawat kebunnya sendiri dengan biaya dari bank. Sistem kerjanya adalah setiap orang yang bekerja di perkebunan akan memperoleh gaji harian. Gaji dihitung sebagai biaya perawatan yang dinai oleh bank termasuk diantaranya pupuk dan bibit. Ketika panen petani harus membayar angsuran utang ke bank, setelah lunas sertivikat akan dimiliki. Namun belum tentu petani akan memperoleh sertivikatnya. Usia pohon kelapa sawit berkisar dua puluh sampai dua puluh lima tahun, dari masa tanam akan panen lima tahun kemudian, sehingga waktu produktif  berkisar lima belas tahun. Setelah tidak produktif pohon ditebang dan ditanami kembali, biaya perawatan kembali utang bank maka secara tidak langsung petani tidak akan pernah memiliki kebunnya. Dan tanah tersebut tidak boleh ditanami jenis tanaman lainnya. Pembeli buah kelapa sawit juga dimonopoli oleh perusaahaan sehingga secara otomatis harga dikensdalikan satu pihak. Sebenarnya ini bukan program transmigrasi yang akan mengentaskan kemiskinan melainkan perusahaan minyak goreng dengan bahan baku yang ditanam sendiri dan sebagai buruh adalah para transmigran.
Orang kulit putih pergi ke Amerika bukan karena di tanahnya kurang luas tetapi karena keserakahan dan keinginan untuk menguasi. Kulit merah memakan bishon karena lapar, kulit putih tidak peduli lapar atau tidak mereka membantai bishon. Kulit merah tempat tinggalnya dibakar dan mereka pergi ke gunung, saat kulit putih mengambil makanan meraka mereka memakan onak. Itulah yang banyak tertulis dalam buku-buku tentang suku-suku indian. Walaupun tidak sama persis tetapi mirip keadaannya, suku-suku dayak seperti indian, pengusaha adalah kulit putih, dan para petani dari jawa tak ubahnya budak-budak kulit hitam yang ditawan dari Afrika.
Inilah yang terjadi penduduk asli yaitu suku dayak dibujuk untuk menyerahkan hutannya, sebagai ganti mereka akan memperoleh perkebunan dan uang ganti rugi. Hutan ditebang untuk diganti dengan tanaman perkebunan. Tempat maungan binatang liar, paru-paru dunia, matahari yang tak mampu menembus, pohon-pohon yang tak dapat dilingkari oleh lima orang dewasa yang saling merentangkan tangannya kini harus runtuh. Pohon-pohon baru ditanam seragam, padang luas didirikan rumah-rumah penduduk yang jaraknya sangat berjauhan. Memang tidak semua hutan ditebang, banyak orang dayak yang masih cinta alamnya mempertahankan hutannya. Akan tetapi disini, di lokasi transmigrasi dimana pohon kelapa sawit menggantikan hutan, tak ada lagi kehidupan liar. Babi hutan pergi menghilang, kera tak lagi bergelantungan, kicau burung semakin jauh, tak ada lagi buah-buahan, tak ada lagi lumut, kelembaban, yang tersisa hanya serangga, ular dan teriknya matahari yang menyengat menghanguskan kulit.
Dayak mualang  merupakan penduduk asli dimana kami tinggal, mereka bersama-sama pendatang menempati satuan pemukiman yang telah dibuat oleh perusahan. Mereka yang tinggal bersama kami adalah yang telah menyerahkan sebagian hutan mereka dan sebagai ganti mereka mendapat sejumlah uang serta perkebunan yang sama dengan kami. Sedangkan penduduk asli yang tidak menyerahkan hutannya  tetap tinggal diperkampungan mereka.  Sitem pertanian yang digunakan suku dayak adalah ladang bepindah.  Pertama-tama pohon ditebang, semak ditebas kemudian dibiarkan kering. Setelah kering maka dibakar sampai menjadi abu, abu akan menjadi pupuk setelah disiram air hujan. Selanjutnya ditanami padi dan jagung dengan cara ditugal yaitu pria melubangi tanah dengan tongkat runcing dibelakangnya diikuti wanita yang menabur benih. Tiga bulan kemudian jagung dipanen dan tiga bulan berikutnya panen raya padi. Setiap kegiatan kecuali membakar dilakukan dengan gotong royong secara bergilir dari satu tempat ke tempat lain. Tebang, tugal dan panen selalu disertai dengan pesta arak dan babi. Hal ini berlangsung setiap tahunnya pada musim hujan.
Kini lambat laun mereka akan mengubah cara bertani mereka dengan perkebunan, menanam padi di sawah. Disini banyak rawa dan tanah rawa tersebut di manfaatkan oleh orang  dari tanah jawa untuk di jadikan sawah dan diharapkan suku dayak menirunya. Ladang berpindah tetap berlaku, berburu juga masih dilakukan walaupun hewan buruan semakin punah ditelan pembangunan. Di sini adat istiadat becampur dan bahasa Indonesia menjadi bahasa persatuan antar suku-suku yang tinggal disini jawa, sunda, NTT, dayak.
Bagi pendatang yang hanya mengandalkan perkebunan maka ekonominanya tidak terlalu baik,  hanya yang bemodal besar dari tanah jawa yang akan sukses dengan berdagang. Demikian pula dengan ayahku, dia bukan seorang petani dan lingkungan disini tidak cocok dengan pola hidupnya. Untuk pulang ke jawa kami tak ada uang, untuk hidup kami sama miskinnya dengan di jawa. Terkadang kami harus makan ubi. Harapannya adalah jika panen, kebun akan dibagikan dan ayah akan menjualnya ke orang lain agar kami bisa kembali ke jawa dan mulai dari nol lagi. Ternyata apa yang tersiar itu benar bahwa transmigran tidak bisa pulang lagi ke tanah asalnya bukan karena telah hidup mapan tetapi tidak ada onggkos untuk pulang. Seperti buangan yang merindukan tanah kelahirannya, setidaknya itulah yang dirasakan banyak orang. Tetap tinggal karena tak bisa menyebrang.
EMPAT
LALONG

Sistem pendidikan di lokasi transmigrasi bisa dibilang  memprihatinkan. Bagi kami yang telah mengenyam kelas satu di jawa bisa baca dan tulis serta berhitung, akan tetapi adik kelas kami sejak kelas satu di sini sampai kelas tiga belum bisa baca. Maklum saja sistem mengajar sangat apa adanya, diasuh  oleh pendatang yang bersedia mengajar menjadi guru honorer. Secara fisik bangunan sekolah baru bisa dipakai ketika kami kelas empat. Itupun hanya dibangun tiga ruang kelas dan dua rumah guru yang di manfaatkan sebagai ruang kelas, jadi kelas satu dan dua harus berbagi kelas dengan masuk di jam berbeda. Awalnya kami sekolah di rumah penduduk yang kosong serta kantor desa. Ketika kelas enam  SD guru baru dan kepala sekolah baru di kirim oleh dinas pendidikan, pendidikanpun sedikit berubah. Anak-anak kelas satu sudah mulai bisa membaca, Guru honorer tidak lagi mengajar, jadi kami diajar oleh dua orang guru dan satu kepala sekolah. Bayangkan enam kelas diajar oleh tiga orang. Mereka benar-benar pejuang tangguh untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
            Teman sekelasku dari berbagai suku, karakter, nasib, serta latar belakang keluarga yang berbeda-beda. Lalong adalah sebutan bagi seorang anak yang telah ditinggalkan ayahnya. Seorang kawan dari  NTT, ayahnya meninggal ketika kami masih 4 SD. Semangat belajarnya tinggi, kini dia hidup dengan ibu dan kedua adiknya. Dia berjuang untuk hidup dan pendidikan. Dibawanya kerupuk orang ke sekolahan untuk ia jual, aku sering makan ubi yang di rebus oleh ibunya. Ibunya bekerja di kebun kelapa sawit dan untuk selanjutnya ia akan mengurus perkebunan dan menjadi tulang punggung keluarga mengganti ayahnya. Ketika selesai EBTANAS SD dia mengungkapkan pikirannya “aku akan melanjutkan sekolah untuk pengalaman, aku tidak mau hanya lulus SD dan tidak mengerti apa-apa”  kata-katanya ini kelak selalu menjadi semangatku untuk menempuh dunia pendidikan.
            Nasibku berbeda, kedua orang tuaku masih utuh namun kami hidup melarat. Ketika menjelang Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS) SD hampir didepan mata, kami tidak ada uang untuk biaya. Seng atap teras rumahku dilepas lima buah dijual untuk biaya EBTANASku. Dan aku lulus SD  dengan nilai terbaik di kelasku namun nilai tersebut tidak akan mendapat sekolah di Jawa. Lagi pula kami tidak ada uang untuk ke jawa jadi kelas satu SLTP disini dan kelas dua rencananya pindah ke Magelang, dengan harapan  Nilai Evaluasi Murni (NEM) tidak ditanyakan melainkan nilai raport saja.
Karena sekolah kami masih menginduk, maka saat  EBTANAS SD 1997 kami pergi dari satuan pemukiman (SP) VI ke SP IV untuk untuk mengikuti ujian. Di pemukiman Transmigrasi Belitang Hulu, Sanggau, Kalimantan Barat, jarak antar SP sangat jauh apalagi kami masih kecil. Ini untuk pertama kalinya saya menginap jauh dari orang tua. Daerah yang asing, hutan belukar, dan orang-orang asing.
            Hari-hari kami lalui dengan belajar, ujian dan melihat sekeliling. Tersiar kabar bahwa didaerah ini angker, tapi itu tidak membuat saya takut. Saya pernah melihat tuyul saat kecil tapi belum tahu apa-apa, jadi sama dengan belum melihat. Setiap sekolah mempunyai tempat penginapan yang berbeda dan jaraknya cukup berjauhan.Ada 8 anak laki-laki dikelasku dan tinggal serumah tentunya.
            Suatu malam 6 anak terbangun 2 masih tertidur nyenyak. Malam itu cuaca cerah bulan purnama berada diatas kami agak condong ke barat. Kami pikir pagi telah tiba. Teman-teman mengajak mandi, saya merasa dingin dan memang dingin ditambah  angin mendesir menusuk tulang ketika pintu di buka. Saya tidak mau dan kembali lagi meringkuk di  bawah selimut bersama guru dan temanku yang lain sedangkan kelima temanku pergi mandi.  Jam berapa waktu itu aku tidak tahu dan tak peduli.
            Malam merambat pelan, kantuk tak ada lagi padaku , dingin perlahan sirna. Dari balik selimut aku keluar, lebih baik aku mandi pikirku. Sementara guru dan kedua temanku terlelap, kuambil peralatan mandi pergi berjalan menyusuri jalan setapak. Semua tampak terang bagai pagi dan kupikir sudah pagi sementara bulan tersenyum menyapa dan mengantarku. Semak-semak dikanan kiriku sudah terbiasa, hingga tibalah di suatu tempat pemandian umum luas dengan air di kolam yang jernih karena hujan cukup banyak sehingga banyak sumber air. Disana biasanya mandi dikolam atau sungai di tempat terbuka dengan hanya memakai celana.
            Setelah berhasil menyusul kelima temanku, mereka sedang berkemas untuk pulang selesai mandi. Langsung saja saat melihatku salah satu dari mereka langsung marah, “ Kamu ini hanya merepotkan teman saja, tadi diajak tidak mau, sekarang datang setelah kami selesai”.
Dengan santai saya menjawab “kenapa kamu marah aku salah apa”.
“tentu saja seharusnya kami pulang tapi sekarang harus menunggu kamu mandi “ tambahnya lagi.
Dengan sombong  saya berkata “sudahlah tidak perlu ditunggu aku berani sendiri, kalian pulang saja, apasih yang ditakutkan, Hantu ! ngapain takut setan , aku tidak perlu takut”.
 “baiklah kalau begitu kamu kami tinggal sendiri, tahu sendiri di sini banyak setan gentayangan”  yang lain menimpali. Merekapun pergi, hilang dalam gelapnya semak belukar.
            Aku sendiri, sepi bersama binatang malam yang bernyanyi, hutan  membentang di barat dan utara, dibelakangku (timur ) semak dan onak duri lebih jauh lagi terdapat pemukiman penduduk, tapi tak ada jalan setapak disana. Hanya ada satu jalan keluar masuk yaitu selatan menuju  ketempat kami menginap. Sebuah jalan setapak yang baru saja kulewati juga temanku yang lain. Sunyi dan sendiri aku mandi, air dingin membasahi sekujur tubuhku. Busa sabun mulai membersihkan kotoran yang menempel di tubuhku saat itulah aku merasakan sesuatu yang aneh. Udara serasa berbeda merinding aku….ya…aku merinding dan ada hawa aneh yang tak kuketahui,.Spontan aku menoleh kekiri , disebelah jalan setapak tumbuh pohon yang tidak begitu besar. Berdiri disana sesosok tubuh dengan kerudung putih menutupi kepala hingga kepinggang, namun raut mukanya hitam pekat kosong dan begitu hampa, seakan bukan wajah. Sedangkan  dari pinggang kebawah tidak ada, dan memang  tidak ada kaki serta pinggang bak foto setengah badan. Aku semakin takut tapi tidak mungkin lari, pertama tubuhku penuh busa kedua jalan keluarnya menuju dia artinya sama dengan mendekat. Karena takut aku tidak berani melihatnya serta berharap dia tidak mendekatiku. Kulanjutkan mandiku, tidak tahu bagaimana lagi harus berdo’a. Satu-satunya jalan aku mandi sambil menyanyi lagu-lagu sekolah minggu yang pasti kuhafal. Dengan cepat kuselesaikan mandiku, berkemas, segera pulang. Aku berjalan begitu cepat tanpa melihat sekeliling hanya menunduk melihat jalan setapak yang kuinjak, semakin mendekati pohon tersebut semakin keras aku bernyanyi dan Haleluya Tuhan selamatkan aku.
            Sesampainya di tempat bermalam kuceritakan apa yang terjadi pada yang lain, yang langsung berkomentar “makanya jadi anak jangan sombong dan sok berani!!!”. Waktu itu ternyata masih pukul 3 dini hari. Malam pun merambat cepat, mentari bangun dari peraduan. Beramai-ramai kami mengambil air ditempat tadi, kuperhatikan pohon yang tadi ternyata tidak ada sesuatu yang tergantung disana, jadi apa yang  kulihat ………………..?!!?
            Menjelang masuk SMP ayahku sakit keras sampai tak mampu lagi menyangga tubuhnya yang dagingnya habis dimakan penyakit. Kondisi seperti ini tak mungkin untuk aku terus sekolah. Ayah memintaku untuk menunda sekolahku sampai tahun depan. Akan tetapi aku tidak mau, walaupun aku tidak tahu apa arti iman, lagi pula aku tidak kenal Tuhan dengan baik, aku yakin bahwa ayahku pasti sembuh dan kelak pasti ada uang untuk membayar sekolahku. Puji Tuhan oleh karena muzjizat ayahku akhirnya bisa sembuh.
            Masuk SLTP aku tidak punya seragam, yang kupakai adalah baju SD dan celana pramuka. Suatu ketika aku di beri seragam bekas oleh kakak kelas dan akhirnya aku benar-benar jadi anak SLTP PGRI 27 Padak. Bukuku hanya dua, semua mata pelajaran masuk di dalamnya. Saat menjelang tes catur wulan pertama aku belum dapat kartu tes karena memang belum bayar apapun saat masuk sekolah. Tapi aku masih bisa ikut tes, hingga tiba penerimaan rapor semua yang belum bayar khusus catur wulan pertama tetap terima rapor. Untuk rangking 1 dapat hadiah tiga buah buku, rangking 2 dua buah buku serta rangking 3 sebuah buku tulis. Puji Tuhan aku dapat dua buah buku walaupun nilai biologi 5, sehingga aku bisa mencatat lagi sebab kedua bukuku sudah habis terisi tinta. Seperti keyakinanku Desember 1997 uang sekolahku lunas dibayar dan aku punya seragam dan sepatu baru. Ayah telah menjual kebun kami dengan harga yang cukup murah, karena memang tidak laku mahal. Rencananya ketika kenaikan kelas kami akan pulang ke tanah jawa, sebab jika pulang sekarang kemungkinan aku bisa tidak naik kelas jika meneruskan sekolah.

LIMA
DALAM NAMA BAPA, PUTRA DAN ROH KUDUS

            Sewaktu berangkat ke Kalimantan kami  di beri beberapa Alkitab the Gideon oleh guru sekolah mingguku dan hanya itulah kepunyaan kami. Ayah rajin sekali membacanya, dia juga membicarakannya  pada waktu kami duduk, berjalan, dan hampir tiap hari. Di sini ibu ke gereja karena kami dikenal sebagai keluarga Kristen. Radio merupakan hiburan bagi kami, setiap hari kami mendengarkan siaran radio lokal, salah satu acaranya yaitu Rencana Agung. Karena kerinduan kami untuk punya Alkitab yang lengkap Perjanjian Lama dan Baru sedangkan kota sangat jauh, maka ayah mengirim surat ke Rencana Agung, Jakarta. Waktu yang diperlukan untuk mengirim surat dari pelosok Kalimantan ke Jawa memakan waktu kurang lebih satu bulan, demikian pula surat balasannya. Setelah beberapa bulan kemudian, akhirnya kami mendapatkan surat balasan yaitu sebuah buku renungan harian dan Alkitab yang kami inginkan. Ayahku sangat gembira dan inilah Alkitab dalam keluarga kami yang pertama kali, dan Alkitab tersebut masih kami pakai sampai hari ini walaupun sekarang kami punya masing-masing satu Alkitab.
            Ayahku adalah seorang anak Tuhan sejak kecil, walaupun orang tuanya belum mengenal Tuhan. Ia rajin sekolah minggu diantar tetangganya bersama dengan anak-anak lainnya. Hingga remaja akhirnya ia di baptis. Namun ketika beranjak dewasa dan mengalami masalah keluarga, ia mulai meninggalkan gereja akan tetapi KTPnya tetap Kristen. Hingga suatu ketika ia bertemu ibuku yang berasal dari keluarga Islam. Ayah dan ibuku menikah di KUA, tentu saja ayahku mengaku sebagai seorang muslim. Hal ini dilakukannya agar mudah menikah, karena jika harus menikah di gereja belum tentu orang tua ibuku merestui mereka. Dengan cita-cita kelak ibuku akan menjadi satu iman di dalam Kristus. Dalam pernikahan itulah, dihadapan umum ayahku mengucapkan dua kalimah syahadat. Selang beberapa tahun kemudian ia merasa berdosa dan menganggap baptisannya tidak lagi berlaku walaupun ia masih mempertahankan iman Kristennya.
            Ternyata ibuku juga anak sekolah minggu. Akan tetapi sungguh malang nasibnya, ia selalu mendapat pukulan dari ibunya setiap pulang dari gereja. Jika mendapat hadiah atau makanan ia selalu mengatakan temannya ulang tahun. Hal ini semakain mendapat pukulan yang lebih parah, sebab jika orang berulang tahun kita yang memberi hadiah bukan pulang membawa hadiah. Waktu terus berjalan dan usiapun semakin beranjak dewasa, ketika menginjak remaja ibuku malu harus menerima pukulan setiap minggu. Oleh sebab itu ia tidak lagi pergi ke gereja dan secara otomatis mengikuti agama orang tua. Saat mengantar kami sekolah minggu ibu sangat tidak keberatan dan di pedalaman ini ibu mulai kembali lagi mengenal Tuhan yang telah lama ia tinggalkan.
            Di sini tak ada saudara, kondisi kehidupannyapun berbeda. Seakan terbuang terpencil jauh dari segalanya, jauh informasi, jauh dari jalan beraspal.
Dalam kesendirian, aku slalu terbayang,
akan kampung halaman, yang lama kutinggalkan
                        ku inging cepat pulang, ke kotaku Magelang
setidaknya seperti itulah perasaan ayahku yang ia goreskan melalui buku catatannya, ketika malam telah menyelimuti dan hanya ditemani sinar lampu minyak yang tidak begitu terang.
            Suatu ketika ayahku bernazar “jika kami bisa pulang ke Jawa, gereja mana yang membaptis kami disitulah keluargaku akan berbakti.” Halleluya, do’anya di jawab Tuhan sehingga dengan menjual kebun kelapa sawit yang baru saja dibagikan. Tahun 1998 kami pulang, pada tahun yang sama pula aku dan ibuku dibaptis, bersamaan dengan itu ayahku baptis untuk kedua kalinya dalam nama Bapa, Putra dan Roh Kudus. Dan hingga saat ini ibukulah yang paling rajin ke gereja, berdo’a dan patut di contoh bagi semua orang. Kusadari karena do’anyalah kami bisa menempuh sekolah.


ENAM
SAAT INDAH

            Pelajaran Alkitab sebelum baptis yang umumnya disebut katekisasi wajib bagi setiap orang sebelum baptis. Demikian halnya dengan aku, setiap malam minggu aku menerima pelajaran besama tujuh puluhan peserta lainnya. Suatu ketika seseorang menanyakan aku punya Alkitab atau tidak. Ku jawab punya tentunya, akan tetapi karena aku tidak pernah bawa Alkitab pertanyaan berikutnya adalah kenapa tidak bawa? terang saja Alkitab kami hanya satu untuk sekeluarga. Malam itu juga dia memberikan Alkitabnya kepadaku, sambil memberi informasi bahwa Alkitabnya banyak di rumah. Inilah Alkitabku yang Tuhan kirimkan lewat orang tak ku kenal.
            Di beberapa SMP negri dekat rumahku akau tidak bisa diterima sebab kelas penuh dan tidak menerima siswa baru pada kenaikan kelas. Di SMP swastapun aku tidak bisa masuk sebab harus membayar sejumlah uang yang tak mampu kami bayar, maklum saja keuangan kami sangat mepet hanya cukup untuk transportasi ke Jawa. Untungnya rumah kami ketika kami tinggal dikontrakkan sehingga tidak khawatir lagi dengan tempat tinggal. Akhirnya ada sekolah yang mau menerimaku dengan pembayaran uang gedung menyusul. Aku masuk SLTP Bunda Wacana dan belum membayar apa-apa, dengan perjanjian harus membayar sejumlah uang pada bulan-bulan berikutnya dengan cara mengangsur. Aku kembali sekolah kelas dua dengan hanya membeli bedge sekolah, sedangkan buku tulisku tak beda dengan saat kelas satu. Di satu sisi akau gembira karena bisa sekolah, disisi lain ayahku harus memutar otak untuk biayaku yang belum diketahui sumbernya. Ayahku belum mendapat pekerjaan yang tetap sedangkan uang sekolah harus tetap dibayar.
            Seorang pengerja di gereja kami menyuruh seorang guru sekolah mingguku untuk mencari sepuluh orang untuk disponsori sekolah. Aku masuk kriteria orang yang dicari sebab syaratnya tidak terlalu sulit berupa kondisi keluarga tidak mampu dan semangat belajar tinggi. Ketika tawaran dar guru sekolah minggu diberikan kepadaku sebenarnya aku agak keberatan karena harus pindah ke SLTP Pantekosta, padahal suasana sekolahku cukup nyaman, dalam waktu seminggu aku sudah akrab dengan teman-teman baruku.
            Kusampaikan kebimbanganku ke ayah, ia hanya berkata “terserah kamu, lakukan yang baik bagimu, ambil keputusanmu sendiri. Jika kamu tidak mau pindah sekolah ayah akan usahakan biaya sekolahmu semampu ayah.” Ketika bertemu calon orang tua asuhku, aku langsung menyetujui untuk disponsori, dan segera aku dipamitkan keluar sekolah dengan alasan tidak ada biaya,  kemudian aku pindah dari sekolah lamaku yang baru kududuki selama dua minggu. Pekerjaan Tuhan sungguh luar biasa, ternyata dari Belanda dicari 10 anak untuk disponsori dan semua sudah terpenuhi sebab sekolah sudah berjalan. Aku adalah anak kesebelas yang secara manusia sudah tidak masuk hitungan, tetapi aku disponsori secara pribadi bukan hanya SPP tetapi lengkap dengan peralatan sekolah.
            Buku terbanyakku adalah saat ini, bayangkan biasanya aku punya buku tulis dua buah untuk semua mata pelajaran, sekarang aku punya masing-masing dua buah buku untuk satu mata pelajaran. Tak hanya itu buku-buku mata pelajaran yang tak pernah mampu kubeli sekarang kumiliki. Aku bukan tergolong orang pintar jadi aku harus mati-matian berjuang mengejar ketinggalan mata pelajaran. Sebagai hasil catur wulan pertama di klas dua nilai terrendahku 6 sedang nilai tertinggi 7. Rangking di kelas sudah pasti tak kuraih, tapi berkat kemurahan Tuhan aku bisa lulus dengan nilai yang tidak jelek-jelek amat. Nilaiku memang tidak bisa untuk masuk SMU Negri tapi cukup baik untuk masuk swasta. Dengan modal nilai yang ditolak di sekolah negri, aku diterima di SMU Kristen 2 sekaligus  mendapat beasiswa gratis uang gedung dan SPP selama satu catur wulan.

Masa SMU yang tak pernah dikecap kedua orang tuaku kulalui dengan penyertaan penuh dari Tuhan. Di sini aku semakin mengenal Tuhan baik melaui kelompok tumbuh bersama (KTB), maupun persekutuan siswa Kristen (PSK), serta peristiwa-peristiwa sehari-hari. Banyak kukenal kawan dengan berbagai sifat dan kelebihan masing-masing. Di sini pula kumengenal cinta pertamaku, walaupun di kemudian hari tidak menjadi pendamping hidupku namun ia mengisi hatiku. Menginjak kelas dua aku sudah jarang ke gereja, namun bukan berarti meninggalkan Tuhan. Banyak harapan, cita-cita yang timbul sejak masa-masa ini. Fisika adalah mata pelajaran kesukaanku, namun kini akau jatuh cinta dengan kimia walaupun tak menjauhkan diri dari fisika dan matematika. Tidak ada pelajaran sulit, juga tak ada pelajaran mudah, semua tergantung kesukaan, jika suka pasti bisa. Biologi merupakan mata pelajaran IPA yang tak pernah kukuasai karena begitu banyaknya nama latin yang tak mampu kuhafal, sama halnya dengan pelajaran IPS yang tak ku pahami sedikitpun. Aku memutuskan kelak aku akan kuliah di jurusan Teknik Kimia, dengan gelar insinyur yang kini sudah tidak ada lagi karena diganti dengan sarjana teknik.
Hampir semua keinginanku yang sesuai dengan kebutuhanku dipenuhi oleh Tuhan. Sebagai anak Tuhan aku merasa sebagai anak manja, yang disayang-sayang, dibela walaupun aku bukan orang yang bergaul akrab dengan Tuhan. Aku merasa bosan hingga suatu ketika aku berkata “ aku tidak ingin dimanja oleh Tuhan, aku ingin dewasa, mandiri dan siap menghadapi tantangan dari luar, tapi tetap bersama Tuhan tentunya.” Hari berlalu penuh liku kehidupan, masa remaja kini hampir usai, indahnya masa SMU kelak akan menjadi kenangan tak terlupakan. Tahun 2003 merupakan awal diberlakukan ujian akhir nasional dengan nilai kelulusan minimal 3.01. Namun karena sekolahan Kristen, sudah pasti  Tuhan ikut campur, hasilnya kami lulus 100% dengan nilai di bawah rata-rata  orang pintar.
Secara usia aku sudah dibilang dewasa, tetapi untuk hasil karya belum ada sesuatu yang kuhasilkan. Aku tidak tergolong orang pintar, kemampuan senipun minimal tapi aku ingin berkarya. Untuk apa Tuhan menciptakan kita jika tidak ada gunanya. Aku dilahirkan bukan tanpa tujuan, aku dilahirkan bukan hanya untuk memenuhi bumi, memakan apa yang tumbuh, meminum airnya serta menghirup udara yang tersedia. Setiap kehidupan, setiap detik pasti ada gunanya. Orang-orang seusiaku sudah dapat menghasilkan sesuatu yang bisa dibanggakan, sebagian yang lain sudah tidak menggantungkan lagi hidupnya kepada orang tua. Sampai sat ini aku masih bingung dengan talentaku, tentang apa yang dapat kulakukan, tentang segala kehidupan. Usiaku tidak panjang, sangat terbatas, kuharap dari keterbatasan itu aku berjuang, setidaknya kelak jika mati namaku terkenang dalam sejarah.

TUJUH
 SEBERKAS CAHAYA

            Lulus SMU merupakan awal kehidupan sesungguhnya. Banyak diantara kami yang menjadi barisan pengangguran sebab tak ada lowongan. Rata-rata kami menempuh pendidikan dua belas tahun, namun ilmu yang kami dapat tak mampu diterapkan dalam dunia pekerjaan. Lulus SMU ujung-ujungnya penjaga toko atau buruh pabrik. Kuliah merupakan barang mahal yang hanya bisa dijangkau oleh segelintir orang-orang beruntung. Sponsor kami hanya sampai lulus SMU, kemudian mencari anak-anak baru lagi untuk disekolahkan. Saat kuungkapkan keinginanku untuk kuliah tentu saja tidak disetujui karena biaya hanya tersedia untuk anak sekolah. Hal itu bisa kumaklumi, orang yang lebih pintar dari aku saja tidak dikuliahkan apalagi aku. Namun semangatku tidak putus sampai disitu, aku bisa sekolah itu kemurahan Tuhan, lulus SMU merupakan modal awal yang telah disediakan Tuhan. Dengan penuh semangat dan harapan melanjutkan pendidikan aku menjadi salah satu dari ribuan pengangguran di tanah air tercinta Indonesia.
Dengan harapan yang besar ayah menyuruhku masuk tentara, walau secara fisik aku lemah tapi bisa dilatih. Sebenarnya aku tak mau jadi tentara, bagiku kehidupan tentara sangat kaku dan hanya ada kata siap tanpa bisa mengembangkan kreatifitas otak kita. Kita bisa mengembangkan kreatifitas jika jadi komandan, namun sebagai anak buah hanya bisa melakukan tugas sesuai perintah. Setidaknya ada tiga kegiatan dalam kemiliteran yaitu pendidikan, latihan rutin dan tugas. Semua satu jiwa satu kesatuan demi mempertahankan keutuhan NKRI. Akan tetapi bagiku kegiatannya begitu membosankan jika dilihat secara sepintas. Lagipula fisikku sangat malas untuk berlatih, bagiku membela negara bukan hanya kewajiban  tentara tetapi bagi semua warga dengan berbagai macam profesi. Sebungan dengan biaya pendidikan yang ditanggung negara serta tak ada biaya untuk kuliah maka aku ikut tes Akademi Angkatan Laut. Sesungguhnya aku hanya menyenangkan hati orang tua, dan pada tes tahap pertama aku sudah gagal karena gigiku tidak rata.
Masuk perguruan tinggi negri merupakan dambaan banyak anak. Dengan modal semangat tinggi, walaupun tidak tau diri dengan kemampuan yang cukup minimal aku ikut dalam kompetisi UM UGM. Jurusan yang kuambil sudah pasti Teknik Kimia pada pilihan pertama dan Teknik Fisika pada pilihan kedua dengan nilai sumbangan yang kuajukan Rp.0 juta. Mulai saat itu biaya kuliah di perguruan tinggi negri tak jauh beda dengan swasta. Satu hari sebelum berangkat tes ke Jogja, ayah tak punya uang sama sekali untuk aku pergi dan makan dalam tiga hari. Tempat tinggal aku bersama temanku menumpang di kontrakan dosen Atmajaya. Malam hari sebelum aku berangkat teman ayahku menang judi dadu, sebagian uangnya diberikan  untuk uang sakuku. Hasilnya sudah dapat ditebak tanpa harus menunggu pengumuman, orang terpintar di sekolahku saja tidak lolos apalagi beberapa yang lainnya. Lagipula jika aku diterima aku tidak ada uang untuk bayar kuliah, kos sekalian makanku. Hal ini menunjukan aku bukan golongan orang pintar di negri ini.
            Tidak sekolah bukan berarti tak ada kesempatan belajar. Jika tidak ada kegiatan dan memang kegiatan tidak selalu ada aku mengisi waktu di perpustakaan kota. Buku merupan jendela dunia itu kata orang, membaca juga tidak harus yang berat-berat melainkan mulai dari yang mudah dicerna lambat laun banyak ilmu akan masuk dalam otak. Dengan hanya duduk beberapa jam kita akan tau bagaimana kondisi dunia luar yang tak mampu dijangkau kaki. Banyak kebudayaan bangsa lain, semangat hidup, pemikiran-pemikiran orang, penemuan masa lalu, perjuangan sekelompok manusia bisa kita timba hanya dengan membalik-balik halaman buku dan memelototinya dengan cermat. Walaupun tidak terlalu sering akan tetapi dari membaca semangat belajarku semakin membara, keyakinanku semakin tinggi akan harapan meraih cita-cita. Seorang kawan mengatakan bahwa kesuksesan kita bukan ditentukan oleh kondisi orang tua. Kemiskinan orang tua bukan halangan untuk maju, kekayaan orang tua juga buakan jaminan untuk berhasil. Semua keberhasilan bermodalkan tiga hal yaitu bakat, niat, biaya. Bakat sudah kita bawa sejak lahir, setiap manusia diberi minimal satu talenta oleh Tuhan , hanya kita harus tau diri seberapa kemampuan yang Tuhan berikan pada kita. Berjuanglah dengan keterbatasan kita. Biaya bukan perkara mudah bagi manusia tak berharta, tetapi bukan berarti tak mampu diraih. Tuhan itu kaya raya, Dia mampu menyalurkan kekayaannya lewat apa saja, siapa saja, dimana saja, kepada siapa saja, semua tak ada kesukaran bagi-Nya. Dari ketiganya niat adalah hal yang perlu ditumbuhkan, dipupuk, disirami, dijaga dan itulah modal satu-satunya yang harus kita perjuangkan. Tanpa bakat, tanpa biaya tetap bisa jaya asal ada niat. Sebaliknya ada bakat, ada biaya, tak ada niat sama saja jasad tanpa nyawa.
            Kehidupan penganguran terkadang dipandang sebelah mata oleh sebagian manusia dengan kehidupan mapan. Status ini sangat menekan secara psikologi, bekerja serta mendapat kedudukan layak dalam suatau perusahaan merupakan sebuah prestasi dalam kehidupan bermasyarakat. Padahal pengangguran bukan karena tak mau bekerja, selain sedikitnya lowongan, setiap pengangguran memiliki pemikiran masing-masing yang tak dapat diselami orang kebanyakan. Dari pada kelihatan tak ada usaha, melamar pekerjaan ke sana ke mari merupakan pekerjaan iseng  namun rutin kulakukan. Sudah kupastikan dari setiap wawancara aku tak akan diterima. Dengan latar belakang tidak niat bekerja, setiap pertanyaan ku jawab sekenanya, ditambah lagi penampilan sesukanya. Akan tetapi beberapa komentar sampai di telingaku “ zaman sekarang cari kerja memang susah.”
            Dengan perantara seorang guruku aku bisa diterima di salah satu perusahaan kayu lapis, Temanggung. Bekerja merupakan dunia baru bagiku, terik matahari, bising mesin-mesin menjadi makanan setiap hari. Ijazahku hanya mengantar aku jadi buruh. Melaksanakan perintah, mengerjakan perintah, menerima cacian atas kesalahan adalah kewajiban seorang buruh. Keringat bercucuran dari setiap pori-pori, debu-debu serpihan kayu berhamburan terhisap sebagian. Kepenatan, persaingan terjadi secara alami. Buruh bekerja setengah mati karena keterpaksaan agar tetap bertahan hidup. Tenaga kami terkuras demi membesarkan perut majikan. Dalam waktu cukup singkat, sepekan telah kulalui, kini aku kembali bebas menghirup udara dan keluar dari pekerjaan. Aku tak mau jadi buruh lagi, aku harus sekolah. Tuhan telah sekolahkan aku sampai SMU pasti Tuhan mampu kuliahkan aku.
            Dalam sekejap jabatanku sebagai pengangguran kembali lagi. Aku tak pernah menyalahkan siapa-siapa, aku hanya iri kepada teman-teman seusiaku, mereka berhak menikmati pendidikan lebih tinggi kenapa aku tidak. Sesungguhnya kegagalan sekolah tidak hanya  ku alami  sendiri, ribuan orang di Indonesia mengalami nasib sama bahkan banyak yang tak punya ijazah SD. Aku sadar keberadaanku, aku tidak bisa kuliah karena ayahku miskin. Ayahku miskin karena dulu ia putus sekolah sehingga penghasilannya sama rendah dengan pendidikannya. Ayahku putus sekolah karena kakekku meninggal ketika ayahku duduk di kelas satu SMP,  maka sebagai akibatnya ayah harus menopang adik-adiknya sekaligus kehilangan kesempatan belajar. Kakekku meninggal dunia karena dipanggil Tuhan. Kesimpulannya penyebab dari ketidak mampuanku menempuh pendidikan tak lain adalah kesalahan Tuhan, jadi hanya Tuhanlah yang mampu membiayaiku kuliah.
untuk apa Tuhan menciptakan kita jika tidak ada gunanya
bapaku di dunia memang miskin tetapi Bapaku di sorga kaya raya
inilah moto hidupku yang kupegang sampai sat ini. Banyak orang menghalangi pemikiranku, mereka menganggap aku tidak mau memahami keadaan orang tuaku. Seharusnya aku bekerja membantu meringankan beban orang tua. Tetapi tak sedikit yang mendukungku, aku lebih memihak para pendukung-pendukungku dan harus membuktikan pada para penentangku.
            Setiap orang yang takut akan Tuhan dan setia akan selalu disertai, diberkati, dipelihara, dan lain sebagainya yang berupa kebaikan. Sehubungan aku tidak terlalu rajin ke gereja, tak pernah banyak berdo’a jadi berkat Tuhan sedikit terhambat. Tapi tidak masalah bagiku sebab bagaimanapun keadaan kita, Tuhan tetap sama dan tak pernah berubah dalam segala hal. Kesetiaan buakan diukur dari seberapa penuh absen anda dalam gereja. Kesetiaan seperti itu terkadang hanya formalitas dan rutinitas secara fisik. Tuhan tak butuh pujian hanya dari mulut, tapi lebih dari itu dia menuntut sikap hidup. Kesetiaan pada Tuhan sesungguhnya hanya nampak saat kita menghadapi masalah, tekanan, kehancuran, anaiaya dari pihak manapun. Ketika badai menghalang, jauh dari saudara seiman, terhimpit kelamnya kegelapan dunia, disaat seperti itulah kesetiaan diuji. Kita dituntut mempertahankan iman percaya kita pada Kristus pada konsdisi paling kritis sekalipun.
            Terkadang pandangan manusia sering terbalik dalam hal beribadah. Setia beribadah supaya diberkati, melayani supaya diberkati. Melaksanakan Firman Tuhan supaya selamat dari mara bahaya. Akan tetapi bukan itu hakekat sesungguhnya. Kita beribadah, pergi ke gereja karena rasa syukur kita sbab Tuhan telah selamatkan kita. Kita melayani, melakukan Firman Tuhan karena Tuhan terlebih dahulu memberkati kita. Sesungguhnya segala yang kita lakukan dalam hidup ini bukan supaya melainkan karena. Kita makan bukan supaya kenyang, tapi karena lapar. Kita melakukan segala sesuatu bukan supaya dipandang layak oleh Tuhan, tetapi karena Tuhan sudah melayakkan kita jadi anak-anaknya. Kita berbuat baik bukan supaya dibenarkan, tetapi karena sudah dibenarkan.
            Tak ada manusia yang tak pernah melakukan kesalahan. Keinginan daging sangat  kuat sehingga menyeret manusia ke dalam dosa. Setiap manusia punya kelemahan yang selalu diincar dan dimanfaatkan oleh iblis. Minuman beralkohol sudah kukenal sejak lama, walaupun aku bukan pecandu akan tetapi mengkonsumsinya dalam jangka yang tidak teratur sesuai dengan kondisi hati, uang dan kawan-kawan. Natal 2003 merupakan peristiwa terburuk. Malam kudus sunyi senyap, sesunyi hatiku, sesenyap jiwaku. Aku merasa jauh kehilangan suka cita, tanpa tahu apa yang harus diperbuat. Pulang gereja kami ke rumah sakit untuk menunggu adik teman kami. Berempat kami merentangkan tikar di emperan samping kamar adik teman kami. Anggur menjadi minuman kami, aku minum sampai mabuk, muntah, kemudian tertidur lelap tanpa beban. Ini bukan pertama kalinya aku mabuk karena memang aku tak bisa minum banyak, sedikit saja sudah membuat isi kepalaku berputar. Tapi ini natal dimana semua orang bersuka, menyambut kelahiran Yesus, berdo’a dengan keluarga dengan hiasan-hiasan diseluruh ruangan lengkap dengan sebuah pohon natal yang tak perneh dimiliki keluarga miskin pada umumnya seperti diriku.
            Seorang kawan sekolah kini menjadi teman senasib. Melanjutkan kuliah bukan hal yang dia inginkan karena kondisi ekonomi yang tak memungkinkan. Ia seorang pekerja keras, gigih, rela berkorban, pejuang, tanggung jawab. Keinginnannya sangat kuat untuk bekerja guna membiayai sekolah adik-adiknya. Kini ia menjaga gerejanya, membersihkan gereja sekaligus pastori sekalian mengurus halaman gereja beserta tanaman. Harapannya ingin mengakhiri status penganguran kemudian mendapat pekerjaan. Terkadang aku menemaninya tidur di gereja, dengan tujuan hidup masing-masing yang kami gantungkan dibawah salib Kristus. Dengan beralaskan tikar, dibelakang mimbar kami sering membahas segala sesuatu dari omong kosong sampai omong berisi. Disinilah aku mengerti Tuhan, bukankah dulu aku tidak suka dimanja, kini Tuhan sedang melatihku secara perlahan untuk semakin dewasa. Dikemudian hari kawanku ini memperoleh pekerjaan, dan menikmati berkat yang dari Tuhan sesuai keinginan serta kemampuannya.
            Tidur di gereja bukan berarti seperti Samuel. Kami justru sebaliknya, saat ini di Jawa Tengah sedang marak toto gelap (togel) yaitu perjudian menebak nomor. Seakan-akan judi ini sangat bebas, terdiri dari dua jenis kuda lari yang berpusat di Semarang dan tak siou berpusat di Singapura, anda bisa menemuinya di mana saja. Jika menang  sangat mengiurkan, nomor terdiri empat digit jika mampu menebak keempatnya taruhan ribuan bisa jadi jutaan, tiga angka ratusan ribu, dan dua angka paling belakang menjadi puluhan ribu. Padahal jelas sesaca ilmu peluang tidak memungkinkan pembeli menang, bandar pasti menang. Keinginan cepat kaya merupakan alasan kuat untuk mengentaskan rakyat dari terhimpitnya perekonomian. Hasilnya dukun-dukun, paranormal menjadi laris manis menerima permintaan tolong menebak angka, dengan hasil tak pernah tepat namun selalu dipercaya. Lebih parah lagi kuburan, tempat bersemayamnya orang mati menjadi tujuan untuk bertanya, mimpipun menjadi tumpuan ramalan. Sebagai anak Tuhan kami tidak akan melakukan seperti orang dunia, saat tidur di gereja kami menunggu wangsit dari Tuhan. Saat bermimpi di belakang mimbar kami ramal, di cari artinya diaplikasikan dalam bentuk angka kemudian dibeli.  Bukan hanya itu ayat-ayat Alkitabpun menjadi rangkaian angka. Tujuan kami cuma satu dapat uang, lalu kubelikan formulir. Tuhan sudah jelas tak memberkati kami.
Penerimaan mahasiswa baru tahun 2004 sudah dimulai. Aku hanya ingin tes, membuktikan apakah otakku masih bisa bekerja atau tidak. Jika aku di terima aku akan mencari sponsor untuk kuliahku, tapi aku harus buktikan dulu kemampuanku. Tak ada uang kupegang, menang judi sudah tidak mungkin. Seorang teman ayah yang juga bandar togel lokal kudatangi untuk meminjam uang. Uang bandar togel bukan dipinjamkan melainkan diberikan secara cuma-cuma untukku. Uang tersebut kugunakan untuk beli formulir sekaligus biaya tes di Jogja. Ketika diterima aku mulai mencari sponsor ke gereja, orang tua asuhku, namun semuanya gagal total. Sampai seseorang mengatakan, jika mencari sponsor sekitar bulan mei jangan bulan bulan juli atau agustus sebab sudah mensponsori orang lain. Kegagalan keduaku melemahkan semangatku.
Tanpa harapan, tanpa semangat aku berfikir untuk lari jauh tinggalkan kota kelahiran. Melakukan segala sesuatu yang tak ku ketahui, berjalan tanpa arah tujuan, melayangkan pikiran tanpa batas. Keputusasaan melingkupi hidupku, jika setahun lagi tak dapat kuliah maka punah harapanku, tak mampu ku buktikan kemampuan Tuhan atas mimpiku. Ku seret tubuhku ke gereja setiap minggu bukan karena rindu bertemu Tuhan, semua semata-mata karena aku Kristen maka aku ke gereja. Aku tidak tahu menyanyi apa, Firman Tuhan tak ada yang masuk sama sekali. Kegiatanku nongkrong di perpustakaan sudah kuhapus. Saat ini ibuku adalah orang yang paling dekat dengan Tuhan, ia rajin berdoa, rajin ke gereja, semua pergumulan masalah keluarga terutama anak-anak diserahkan ke kaki Tuhan.
Seperti seorang prajurit di medan perang
Ibu memperjuangkan anak-anaknya
Siang malam do’a dipanjatkan demi masa depan anaknya
Tetesan air mata tak mampu lagi terbendung bejana
Tekanan perasaan, ketakutan menghampiri hatinya
Seperti seorang prajurit dalam pertempuran
Perjuangan ibu tak pernah kenal menyerah
Ketika mati, prajurit tak lagi disebut namanya
Ketika kemenangan diraih nama raja tercatat dalam sejarah
Demikian pula nama ibu akan hilang ditelan masa
Ketika anak-anak yang dikasihinya meraih keberhasilan
Nama ayah melekat erat pada anak sepanjang anak itu dikenang
Ibu gembala di gerakkan Roh Kudus, dengan menanyai ibuku tentang kondisi keluarga akhirnya sampai pada keadaanku yang pengangguran dengan kemampuan minimal. Aku di tawari untuk kursus komputer dengan dibiayai penuh. Segera ku sanggupi dengan tanpa alasan apapun, aku langsung daftar ke tempat kursusan bulan oktober dan menunggu dengan sabar sampai kelas penuh dan siap dimulai.
Kujalani kursus dasar komputer penuh semangat belajar tinggi disertai rasa tidak bersyukur. Kenapa aku pingin kuliah cuma dapat kursus, hingga seorang senior pemuda  mengatakan “Tuhan mendidik anaknya dengan cambuk, lebih baik segelas air di padang pasir dari pada sungai besar dan kita terhanyut karena tak bisa berenang.”  Sedangkan semangat dari kawan lainnya “kursus adalah awal dari masa depanku yang lebih baik, setelah ini pasti berkatku lebih melimpah.”  Kunikmati kegiatan baruku  dengan rasa senang belajar sesuatu yang baru. Di kemudian hari semuanya berguna dalam menulis laporan, menghitung dan salah satunya menulis buku ini. Walaupun sampai tulisan ini dibuat, aku belum punya komputer, semua kutulis dengan menumpang milik teman kos yang empunya kamar disebelah kamarku.
Sebuah tuntutan zaman seakan manusia dipaksa mengikuti perkembangan dunia. Seperti sebuah keharusan anak manusia untuk mengusai komputer dan bahasa Inggris. Konon jika tidak bisa menguasai kedua bidang tersebut maka secara otomatis tersingkirkan dalam dunia kerja. Sebaliknya kata berbagai sumber barang siapa menguasai komputer dan bahasa asing tersebut maka dijamin akan sukses. Komputer adalah barang yang tak mungkin dapat dibeli orang-orang sekastaku, sekelompok masyarakat yang asalkan ada makan dan pakaian sudah cukup. Sebuah alat pemisah antara satu golongan dengan golongan yang lain. Tapi zaman sudah berubah, ketika pena tak lagi menari diatas kertas, ketika surat tak lagi dibawa ke kantor pos. anak manusia tak lagi saling berkumpul, tak ada lagi gotong royong. Terlebih lagi di bumi tercinta bahasa ibu mulai sirna. Anak-anak tak tau lagi adat budaya, bahasa yang diturunkan nenek moyang kita tak lagi dipakai. Setiap anak berlelah-lelah mempelajari bahasa orang lain sedang bahasa sendiri dilupakan. Ketika huruf palawa tak lagi ditulis, ha na ca ra ka tak lagi dibudayakan, saat bahasa sansekerta tak lagi diucapkan, bangsa Indonesia justru berlomba belajar menulis Arab, Cina, Kanji, melafalkan kata-kata Inggris, Perancis dan lain sebagainya. Suatu kebanggaan bagi orang tua serta anak itu sendiri jika mampu menguasai teknologi dan bahasa asing. Walaupun tak lagi mampu berkomunikasi dengan kakeknya, tangannya tak lagi dilumuri tanah, kulitnya tak pernah terpanggang matahari.
            Selesai kursus  1 april 2005 statusku dari pengangguran naik jadi koster di gerejaku sendiri. Ternyata beginilah cara Tuhan menangkap anaknya, yang tak pernah ke gereja kini tiap hari ada dalam gereja. Mulai saat ini aku  rajin do’a. Do’a tidak harus banyak tetapi sering, setiap saat, setiap keadaan. Berdasarkan seorang kawan lebih baik seperti ini, anggap saja aku menyapu dosa-dosaku, lagi pula aku juga tidak pernah berbuat baik. Kebanyakan pendahuluku berakhir sekolah Alkitab dan menjadi pendeta. Semua orang berfikir demikian tentangku, bahkan para pengerja juga. Dengan  tegas ku jawab setiap pertanyan bahwa aku ingin kuliah menjadi seorang insinyur. Sebab melayani Tuhan tidak harus jadi pendeta tapi harus jadi pelita. Kita harus mampu menjadi garam dan terang dunia melalui profesi apapun, dimanapun Tuhan tempatkan kita. Namun bukan berarti aku tidak belajar Firman Tuhan, aku pelajari segala sesuatu yang berhubungan dengan Tuhan dengan tujuan kalau ditanya orang bisa menjawab.
Kehausanku membaca mulai terobati, buku-buku peninggalan pendeta terdahulu kubongkar. Untuk pengetahuan umum perpustakaan sekolah menjadi tempat sasaran. Harapan kembali muncul ketika bulan mei  ibu gembala menanyakan perihal rencana dan keinginanku. Dengan panjang lebar penuh semangat kuutarakan keinginanku untuk kuliah di manapun yang penting Teknik Kimia. Aku diijinkan mengikuti tes ke perguruan tinggi dan berdo’a utamanya. Dengan gesit aku mendaftarka diri ke UPN “Veteran” Yogyakarta. Setiap sore selama sebulan ku ulangi lagi pelajaran SMU demi persiapan tes bulan juni. Pengumuman muncul aku diterima.
Jum’at pagi seperti biasa aku datang ke kantor gereja, menyapu, mengepel serta membersihkan kaca yang merupakan tugasku. Hari ini adalah hari terakhir untuk daftar ulang kuliah. Akan tetapi kamis lalu bapak dan ibu gembala pergi ke Semarang untuk check up  dokter karena sakit. Jum’at masih berlanjut, aku hanya bisa berdoa serahkan masa depanku ketangan Tuhan sebab hari ini adalah penentuan masa depanku, tapi kondisi kesehatan seakan tak memungkinkan. Pukul 10.00 telephon berdering, dari seberang ibu gembala menayakan kapan terakhir aku bayar kuliah, seingatnya besok pada hari sabtu. Ketika kujawab hari ini semua berubah panik. Hari itu seisi pastori menjadi sangat sibuk oleh karena aku. Akhirnya 12.50 pembayaran sudah dilakukan dengan transfer melalui bank. Kuterima transkrip pembayaran langsung kubawa ke Jogja. 14.45 lima belas menit menjelang tutup aku tiba di loket, disana tinggal dua orang, tiga denga kehadiranku. Sungguh pertolongan Tuhan tepat pada waktu-Nya. Akhirnya mimpiku jadi kenyataan segala biaya kuliahku ditanggung Tuhan melalui gereja.