Sabtu, 30 September 2017

Segelas Air di Padang Gersang



Kota kecil yang dipagari gunung Merapi, Merbabu, Sumbing dan Sindoro tampak lenggang. Para pekerja sudah tak tampak berlalu lalang, para pelajar telah memulai pelajaran  jam ke dua. Seorang pemuda berjalan di tepi lapangan RINDAM IV Diponegoro, mengenakan celana SMA, kaos hitam bertuliskan aksara jawa, kakinya beralas sandal jepit. Usai meninggalkan lapangan, langkahnya lurus memasuki bangunan melengkung bagaikan pintu gerbang. Lengkungan itu membentuk lorong, sementara diatas bangunan peninggalan Belanda tesebut ialah saluran irigasi. Pemuda berkulit kuning langsat, rambut bergelombang, tinggi sekitar 170 cm sedikit kurus berkelok ke kanan setelah sampai ujung jalan. Beberapa langkah kemudian ia memasuki gedung   Perpustakaan Daerah dan langsung menuju buku pengunjung. Ia menulis Jaya Prawira pada kolom nama, Bogeman pada kolom alamat, tiga kolom berikutnya di isi tanda centang antara pelajar, mahasiswa, umum. Pemuda tersebut tertegun agak lama sebelum mencentang kolom umum, “Jika tahun lalu aku mengisi kolom pelajar seharusnya hari ini aku mengisi kolom mahasiswa.” demikian isi kepalanya melayang. Seusai membubuhkan paraf tanpa mengisi kolom saran dan kritik iapun langsung menuju rak buku.
Suasana begitu tenang, Jaya mengambil buku kimia organik dan di bawanya ke ruang baca. Ia mebaca halaman demi halaman dengan sangat lambat, keheningan ruang perpustakaan tak mampu mengusir keramaian isi kepala Jaya, tak sekalimatpun kata-kata dalam buku di hadapannya yang masuk ke otak. Terngiang dalam pikiran perkataan paman, saudara, tetangga "Kamu ini anak sopir Jaya, sudah bagus bisa tamat SMA. Kuliah itu hanya bisa dijangkau oleh orang yang beruang, cita-cita jangan terlalu tinggi nanti jatuh sakit."
Namun ia berusaha mengusir kebisingan itu dengan berusaha keras mengulangi perkataan ibunya dalam hati. "Orang tuamu ini orang bodoh yang tak bisa sekolah tinggi, kelak jangan seperti kami. Sekolahlah yang pintar agar kelak kerja pakai otak bukan pakai otot seperti ayahmu. Walaupun kita miskin tetapi Tuhan kaya, kami akan berusaha semampu kami agar kalian minimal bisa tamat SMP." Itu kata-kata ibu Jaya ketika Jaya masih kelas 4 SD sedang adiknya masih kelas 1.
"Kamu bisa sampai SMA itu sudah mujizat. Kalau tidak ada orang tua asuh, kamu pasti seperti bapakmu, sekarang kamu ingin kuliah. Pikir pakai otakmu Jaya." Tiba-tiba perkataan bibinya menerjang kata-kata ibu. Jayapun menutup buku yang tak mampu ia baca dengan konsentrasi, dan beranjak meninggalkan perpustakaan.
Alun-alun begitu sepi, hanya segelintir pedagang dan sedikit orang yang berlalu lalang. Jaya menuju bangku taman di bawah pohon beringin untuk melepas penat, iapun duduk membelakangi menara air peninggalan Belanda yang masih berfungsi dan berdiri kokoh bagai kompor minyak raksasa di pojok alun-alun. Dua kali pengamen melintas dihadapan Jaya namun mereka langsung pergi melihat lambaian   tangan Jaya yang berarti tidak. Seorang pemuda berambut tak bersisir, jaket biru agak kumal, kumis tipis menghampiri Jaya.
"Mas asli orang sini?" Tanya pemuda tadi.
"Iya." Jawab Jaya sambil memperhatikan orang yang mengajaknya bicara.
"Saya Parto, saya dari luar kota ke sini tiga hari yang lalu mencari saudara saya." Ia bicara sambil     mengeluarkan KTP dari dompetnya. "Ini KTP saya mas, saya butuh bantuan untuk pulang ke kota saya. Saya kehabisan uang sudah tiga hari tidak makan."
Jaya memperhatikan KTP tersebut, "Mas ini kan dekat hanya di balik gunung Merbabu. Di situ ada kantor polisi,” Jaya menunjuk kantor polisi di sisi alun-alun, “mas lapor saja ke sana pasti di bantu. Atau naik truk saja, saya pernah melakukannya. Kalau mas Parto butuh makan ke rumah saya saja. Lihat gedung bioskop itu, kampung saya di belakangnya kira-kira jalan kaki 10 sampai 15 menit dari sini. Kalau mau kita ke sana, ibu saya masak."
"Tidak perlu mas, saya butuh uang untuk naik bus. Ke kantor polisi juga ribet."
"Terserah mas, kalau memang butuh pulang pak polisi pasti membantu."
"Tidak mas, terimakasih." Partopun beranjak pergi.
Jaya sendiri menatap langit yang berawan. Dalam hati ia berdoa, "Tuhan di tengah pulau jawa ini aku memohon padaMu. Saat ini ijazah SMA tak lagi dihargai, aku ingin membangun negeri ini dengan ilmu yang lebih dari ilmu SMA, aku ingin lebih dari ayahku. Aku tak bisa kuliah karena orang tuaku miskin,  ayahku miskin karena putus sekolah, ayahku putus sekolah karena kakekku meninggal saat ayah masih sekolah dan ia harus keluar menggantikan peranan ayahnya, kakekku meninggal karena Engkau yang memanggil. Jadi Tuhan jika engkau memberi hujan pada orang jahat dan orang baik, Engkau juga mampu menyekolahkan orang kaya dan miskin. Amin."
Jaya beranjak melangkah gontai memasuki pusat perbelanjaan modern untuk mencari tempat dingin sementara patung pangeran Diponegoro tetap diam diatas kuda putihnya. Jaya mondar mandir hanya melihat lihat tanpa ada tujuan belanja. Tiba-tiba matanya terhenti pada seorang pramuniaga, gadis belia dengan atasan putih dan bawahan hitam, rambut diikat rapi, matanya besar, hidung kecil yang sesuai dengan wajahnya yang bulat. Bibirnya tersenyum begitu manis, senyuman itu yang menbuat Jaya berhenti, dan memang senyuman itu untuk Jaya. Tanpa ada yang memerintah Jaya langsung menghampiri sang gadis sambil membalas senyuman, entah manis di mata si gadis atau tidak ia tak peduli.
"Rini, kaukah itu?" Jaya hampir tak percaya.
"Benar ini aku Rini, Jaya." Sang gadis berusaha meyakinkan Jaya. "Baru setahun kita tak berjumpa, kau tak mengenaliku lagi."
"Bukan tak kenal, namun kau tampak semakin cantik dengan dandanan seperti ini."
"Ah Jaya, biasa saja. Aku berdandan karena tuntutan pekerjaan." Rini tersipu malu. "Kamu sendiri belum kerja?"
"Belum." Jaya ingin menceritakan keinginan kuliah, tapi tak ada guna pikirnya.
"Sabar Jaya, aku saja baru dua bulan kerja di sini. Sejak lulus     banyak teman-teman kita yang kerja serabutan. Kita ini tamatan sekolah swasta paling banyak berakhir jadi pelayan toko. Kuliah adalah barang mahal bagi kita Jaya. Universitas negri untuk anak-anak SMA negri."
Aneh pikir Jaya, tanpa ditanya Rini membahas tentang kuliah. "Tapi Rin, kalau ada kesempatan bea siswa kamu mau kuliah juga kan?" 
"Siapa juga yang tak mau. Masalahnya siapa juga yang mau memberi bea siswa padaku, dirimu yang lebih pintar dariku saja tak ada bea siswa, apa lagi aku."
Jaya tersenyum simpul. "Aku naik dulu Rin. Selamat bekerja."
"Mau belanja ya."
"Bukan. Seperti dulu, hanya jalan-jalan saja."
Hari berganti, bulan bergulir, kehidupan di jantung kota tetap   sama. Senja di sepanjang pertokoan ramai dipadati manusia, entah belanja, sekedar lewat, atau hanya ingin jalan-jalan. Jaya berjalan bersama seorang pria berambut keriting, kulit lebih terang dari Jaya, bekas jenggot yang dicukur menunjukan perbedaan usia,  keduanya mengenakan kemeja rapi hanya saja pria di samping Jaya mengenakan tongkat di kanan dan kiri guna menopang tubuhnya saat berjalan.
“Jaya, kudengar kamu dapat bea siswa kursus komputer." Pria tersebut bicara sambil terus mengayunkan tubuhnya ke depan.
"Benar mas Heru. Padahal aku ingin kuliah, tapi cuma bisa kursus." Jawab Jaya sambil mengimbangi langkah Heru.
"Jaya, Jaya. Kamu ini hanya mengeluh saja, tak ada rasa syukur sedikitpun. Coba kamu lihat diriku, kamu pikir aku tak  ingin jalan normal seperti yang lain. Sejak kecil aku harus memakai tongkat, aku juga berharap mendapat mujizat dari Tuhan seperti orang buta yang melihat, tuli mendengar, lumpuh berjalan. Tetapi bukan itu yang kudapatkan, sebab aku tidak lumpuh, aku masih bisa bepergian sendiri, aku masih bisa berkarya dengan tanganku." Heru bicara agak keras.
"Aku tidak mengeluh mas, hanya   jawaban doaku tak sesuai harapanku."
"Sama saja. Sekarang ku tanya, mana yang akan kamu pilih, segelas air di padang gersang atau banjir di kota ini?" Heru bertanya dengan lembut.
"Pilihan pertama." Jaya menjawab spontan.
"Sekarang kamu minum kursus komputernya untuk menghilangkan dahaga dalam otakmu. Sebab rancangan Tuhan bukan rancangan manusia dan Tuhan memberikan apa yang kita butuhkan serta sesuai kemampuan kita."
"Aku paham sekarang dan akan kujalani apa yang Tuhan beri dengan sukacita dan penuh tanggung jawab."