Kota kecil yang dipagari gunung Merapi, Merbabu, Sumbing dan
Sindoro tampak lenggang. Para pekerja sudah tak tampak berlalu lalang, para
pelajar telah memulai pelajaran jam ke dua. Seorang pemuda berjalan di
tepi lapangan RINDAM IV Diponegoro, mengenakan celana SMA, kaos hitam
bertuliskan aksara jawa, kakinya beralas sandal jepit. Usai meninggalkan
lapangan, langkahnya lurus memasuki bangunan melengkung bagaikan pintu gerbang.
Lengkungan itu membentuk lorong, sementara diatas bangunan peninggalan Belanda
tesebut ialah saluran irigasi. Pemuda berkulit kuning langsat, rambut
bergelombang, tinggi sekitar 170 cm sedikit kurus berkelok ke kanan setelah
sampai ujung jalan. Beberapa langkah kemudian ia memasuki gedung Perpustakaan
Daerah dan langsung menuju buku pengunjung. Ia menulis Jaya Prawira pada kolom
nama, Bogeman pada kolom alamat, tiga kolom berikutnya di isi tanda centang
antara pelajar, mahasiswa, umum. Pemuda tersebut tertegun agak lama sebelum
mencentang kolom umum, “Jika tahun lalu aku mengisi kolom pelajar seharusnya
hari ini aku mengisi kolom mahasiswa.” demikian isi kepalanya melayang. Seusai
membubuhkan paraf tanpa mengisi kolom saran dan kritik iapun langsung menuju
rak buku.
Suasana begitu tenang, Jaya mengambil buku kimia organik dan
di bawanya ke ruang baca. Ia mebaca halaman demi halaman dengan sangat lambat,
keheningan ruang perpustakaan tak mampu mengusir keramaian isi kepala Jaya, tak
sekalimatpun kata-kata dalam buku di hadapannya yang masuk ke otak. Terngiang
dalam pikiran perkataan paman, saudara, tetangga "Kamu ini anak sopir
Jaya, sudah bagus bisa tamat SMA. Kuliah itu hanya bisa dijangkau oleh orang
yang beruang, cita-cita jangan terlalu tinggi nanti jatuh sakit."
Namun ia berusaha mengusir kebisingan itu dengan berusaha
keras mengulangi perkataan ibunya dalam hati. "Orang tuamu ini orang
bodoh yang tak bisa sekolah tinggi, kelak jangan seperti kami. Sekolahlah yang
pintar agar kelak kerja pakai otak bukan pakai otot seperti ayahmu. Walaupun
kita miskin tetapi Tuhan kaya, kami akan berusaha semampu kami agar kalian
minimal bisa tamat SMP." Itu kata-kata ibu Jaya ketika Jaya masih kelas 4
SD sedang adiknya masih kelas 1.
"Kamu bisa sampai SMA itu sudah mujizat. Kalau tidak
ada orang tua asuh, kamu pasti seperti bapakmu, sekarang kamu ingin kuliah.
Pikir pakai otakmu Jaya." Tiba-tiba perkataan bibinya menerjang kata-kata
ibu. Jayapun menutup buku yang tak mampu ia baca dengan konsentrasi, dan
beranjak meninggalkan perpustakaan.
Alun-alun begitu sepi, hanya segelintir pedagang dan sedikit
orang yang berlalu lalang. Jaya menuju bangku taman di bawah pohon beringin
untuk melepas penat, iapun duduk membelakangi menara air peninggalan Belanda
yang masih berfungsi dan berdiri kokoh bagai kompor minyak raksasa di pojok
alun-alun. Dua kali pengamen melintas dihadapan Jaya namun mereka langsung
pergi melihat lambaian tangan Jaya yang berarti tidak. Seorang pemuda
berambut tak bersisir, jaket biru agak kumal, kumis tipis menghampiri Jaya.
"Mas asli orang sini?" Tanya pemuda tadi.
"Iya." Jawab Jaya sambil memperhatikan orang yang
mengajaknya bicara.
"Saya Parto, saya dari luar kota ke sini tiga hari yang
lalu mencari saudara saya." Ia bicara sambil mengeluarkan
KTP dari dompetnya. "Ini KTP saya mas, saya butuh bantuan untuk pulang ke
kota saya. Saya kehabisan uang sudah tiga hari tidak makan."
Jaya memperhatikan KTP tersebut, "Mas ini kan dekat
hanya di balik gunung Merbabu. Di situ ada kantor polisi,” Jaya menunjuk kantor
polisi di sisi alun-alun, “mas lapor saja ke sana pasti di bantu. Atau naik
truk saja, saya pernah melakukannya. Kalau mas Parto butuh makan ke rumah saya
saja. Lihat gedung bioskop itu, kampung saya di belakangnya kira-kira jalan
kaki 10 sampai 15 menit dari sini. Kalau mau kita ke sana, ibu saya
masak."
"Tidak perlu mas, saya butuh uang untuk naik bus. Ke
kantor polisi juga ribet."
"Terserah mas, kalau memang butuh pulang pak polisi
pasti membantu."
"Tidak mas, terimakasih." Partopun beranjak pergi.
Jaya sendiri menatap langit yang berawan. Dalam hati ia
berdoa, "Tuhan di tengah pulau jawa ini aku memohon padaMu. Saat ini
ijazah SMA tak lagi dihargai, aku ingin membangun negeri ini dengan ilmu yang
lebih dari ilmu SMA, aku ingin lebih dari ayahku. Aku tak bisa kuliah
karena orang tuaku miskin, ayahku miskin karena putus sekolah, ayahku
putus sekolah karena kakekku meninggal saat ayah masih sekolah dan ia harus
keluar menggantikan peranan ayahnya, kakekku meninggal karena Engkau yang
memanggil. Jadi Tuhan jika engkau memberi hujan pada orang jahat dan orang
baik, Engkau juga mampu menyekolahkan orang kaya dan miskin. Amin."
Jaya beranjak melangkah gontai memasuki pusat perbelanjaan
modern untuk mencari tempat dingin sementara patung pangeran Diponegoro tetap
diam diatas kuda putihnya. Jaya mondar mandir hanya melihat lihat tanpa ada
tujuan belanja. Tiba-tiba matanya terhenti pada seorang pramuniaga, gadis belia
dengan atasan putih dan bawahan hitam, rambut diikat rapi, matanya besar,
hidung kecil yang sesuai dengan wajahnya yang bulat. Bibirnya tersenyum begitu
manis, senyuman itu yang menbuat Jaya berhenti, dan memang senyuman itu untuk
Jaya. Tanpa ada yang memerintah Jaya langsung menghampiri sang gadis sambil
membalas senyuman, entah manis di mata si gadis atau tidak ia tak peduli.
"Rini, kaukah itu?" Jaya hampir tak percaya.
"Benar ini aku Rini, Jaya." Sang gadis berusaha
meyakinkan Jaya. "Baru setahun kita tak berjumpa, kau tak mengenaliku
lagi."
"Bukan tak kenal, namun kau tampak semakin cantik
dengan dandanan seperti ini."
"Ah Jaya, biasa saja. Aku berdandan karena tuntutan
pekerjaan." Rini tersipu malu. "Kamu sendiri belum kerja?"
"Belum." Jaya ingin menceritakan keinginan kuliah,
tapi tak ada guna pikirnya.
"Sabar Jaya, aku saja baru dua bulan kerja di sini.
Sejak lulus banyak teman-teman kita yang kerja serabutan. Kita
ini tamatan sekolah swasta paling banyak berakhir jadi pelayan toko. Kuliah
adalah barang mahal bagi kita Jaya. Universitas negri untuk anak-anak SMA
negri."
Aneh pikir Jaya, tanpa ditanya Rini membahas tentang kuliah.
"Tapi Rin, kalau ada kesempatan bea siswa kamu mau kuliah juga
kan?"
"Siapa juga yang tak mau. Masalahnya siapa juga yang
mau memberi bea siswa padaku, dirimu yang lebih pintar dariku saja tak ada bea siswa,
apa lagi aku."
Jaya tersenyum simpul. "Aku naik dulu Rin. Selamat
bekerja."
"Mau belanja ya."
"Bukan. Seperti dulu, hanya jalan-jalan saja."
Hari berganti, bulan bergulir, kehidupan di jantung kota
tetap sama. Senja di sepanjang pertokoan ramai dipadati manusia,
entah belanja, sekedar lewat, atau hanya ingin jalan-jalan. Jaya berjalan
bersama seorang pria berambut keriting, kulit lebih terang dari Jaya, bekas
jenggot yang dicukur menunjukan perbedaan usia, keduanya mengenakan
kemeja rapi hanya saja pria di samping Jaya mengenakan tongkat di kanan dan
kiri guna menopang tubuhnya saat berjalan.
“Jaya, kudengar kamu dapat bea siswa kursus komputer."
Pria tersebut bicara sambil terus mengayunkan tubuhnya ke depan.
"Benar mas Heru. Padahal aku ingin kuliah, tapi cuma
bisa kursus." Jawab Jaya sambil mengimbangi langkah Heru.
"Jaya, Jaya. Kamu ini hanya mengeluh saja, tak ada rasa
syukur sedikitpun. Coba kamu lihat diriku, kamu pikir aku tak ingin jalan
normal seperti yang lain. Sejak kecil aku harus memakai tongkat, aku juga
berharap mendapat mujizat dari Tuhan seperti orang buta yang melihat, tuli
mendengar, lumpuh berjalan. Tetapi bukan itu yang kudapatkan, sebab aku tidak
lumpuh, aku masih bisa bepergian sendiri, aku masih bisa berkarya dengan
tanganku." Heru bicara agak keras.
"Aku tidak mengeluh mas, hanya jawaban doaku tak
sesuai harapanku."
"Sama saja. Sekarang ku tanya, mana yang akan kamu
pilih, segelas air di padang gersang atau banjir di kota ini?" Heru
bertanya dengan lembut.
"Pilihan pertama." Jaya menjawab spontan.
"Sekarang kamu minum kursus komputernya untuk
menghilangkan dahaga dalam otakmu. Sebab rancangan Tuhan bukan rancangan
manusia dan Tuhan memberikan apa yang kita butuhkan serta sesuai kemampuan
kita."
"Aku paham sekarang dan akan kujalani apa yang Tuhan
beri dengan sukacita dan penuh tanggung jawab."