Sabtu, 08 Juli 2017

TRAH MUDJI



Indonesia belum merdeka ketika Keluarga Merto Karyo dari Nanggulan, Magelang di karunia putri dan diberi nama Mudjijem, beberapa tahun kemudian adiknya lahir diberi nama Mudjijo. Ketika dewasa Mudjijo heran karena suku jawa tak memiliki marga seperti suku-suku lain di Indonesia bahkan di dunia. Maka saat menikah dengan Mukini putri dari Joyokus dari Bogeman, Magelang dan dikaruniai tiga orang putra dan seorang putri diberilah nama Mudji yakni Mudji Sih Topo, Mudji Sarwono, Mudjimiyati, Mudji Rino Kuminto.

Sementara di Madiun pasangan Salam Hardjo Prawiro dengan Sulami memiliki 10 anak, anak kelima memiliki nama Mudjiati lahir 1960 setahun lebih muda dari Mudji Sih Topo yang saat dewasa merantau ke Jawa Timur sebagai seniman ketoprak panggung. Hingga tahun 1979 mereka menikah dan menetap di Magelang. Mudji Sih Topo bercita-cita memiliki empat orang anak dan mendirikan sebuah band Mu Bers (Mudji Bersaudara), namun enam tahun usia pernikahan barulah diberi karunia seorang putra Mudji Nur Isa Putra, empat setengah tahun kemudian lahir adiknya Mudji Roro Asti Putri, empat setengah tahun kemudian lahir lagi Mudji Kenanga Pawestri. Jarak kelahiran yang jauh membuat cita-cita itu tak akan terwujud sebab beda angkatan pasti beda selera musik. Tujuh tahun kemudian lahir Mudji Thomas Omega. Sebagai seorang seniman ia terus berkarya baik teater, musik, lukis.

Setelah keempat anaknya dewasa si sulung menjadi bassist, anak kedua pelukis, anak ketiga penulis. Maka Mu Bers Band tak akan pernah terwujud. Namun si bungsu memiliki pikiran yang berbeda, sebagai arranger ia berusaha mewujudkan cita-cita sang ayah. Dengan semangat dan dorongan ibu, si bungsu mengaransemen lagu karya ayah mereka yang di gubah saat anak ketiga masih bayi. Maka dibuatlah vocal group karena semua anggota paduan suara kecuali si sulung. Maka perlu kerja keras untuk mengajari kakak-kakaknya.
Dan lahirlah karya Trah Mudji

https://youtu.be/6XgDBLh0-38
https://youtu.be/cy6xNcrtyr0

Warisan Majapahit (RANCANGAN PEMBALASAN)


Dua manusia masing-masing terikat pada sebuah kursi, kepala mereka ditutupi kain hitam. Ketika tutup kepala dibuka oleh seorang berbadan kekar, rambut panjang bergelombang, kumis dan jenggot dicukur rapi, mengenakan kaos hitam tanpa lengan sehingga tampak tato elang jawa di lengan kirinya, tampak jelas orang pertama ialah seorang pemuda, rambut agak kaku sehingga terkesan berdiri, kulit kuning, sebuah tanda lahir berwarna merah ada di pipi sampai pelipis kiri, sebelahnya seorang lelaki berbadan kekar, kulit gelap terbakar matahari, dahi dan kelopak mata berkeriput selaras dengan rambutnya yang dominan memutih. Pria bertato membuka lakban yang melekat pada kedua mulut sandranya.

"Kris." Kata si lelaki beruban kepada pemuda yang memiliki tanda lahir.

"Paman Parman." Si pemuda yang memiliki tanda lahir juga bicara hampir bersamaan.

Keduanya langsung mengalihkan pandangan pada sesosok pria keriting berbadan kekar yang duduk di depan mereka dibatasi oleh meja yang berisi makanan antara lain bebek bakar, gurami asam manis, nasi putih, es kelapa muda. Pria keriting tersebut memberi aba-aba dengan tangannya pada pria bertato. Paham dengan kode tersebut pria bertato melepaskan ikatan pada lengan Kris dan Parman, dan iapun segera berlalu meninggalkan ruangan.

"Saya Adi Bhaskara." Si pria keriting memperkenalkan diri "Maafkan ketidak sopanan anak buah saya. Tentu kalian lapar bukan silakan makan dan minum sambil kita bicara." Iapun langsung mengambil nasi serta lauk.

"Tunggu dulu." Parman bicara. "Anda menculik kami dan sekarang mengajak makan. Maksud anda apa. Lagipula kami ini orang miskin anak saya tak akan bisa menebus, demikian juga orang tua Kris."

"Jangan menghakimi jika tak ingin dihakimi." Kata Adi setelah menelan nasi yang ada pada mulutnya. "Saya tak butuh uang kalian, ada yang lebih berharga dari uang. Lebih baik kalian makan agar ada tenaga. Baru kita bicara."


"Kami tidak akan makan sebelum anda menjelaskan." Parman menanggapi, sementara Kris hanya diam menahan perutnya yang demo sedangkan mau makan gengsi di depan Parman.

"Baiklah jika begitu. Tunggu saya selesai makan baru saya bicara. Kalian boleh diam tidak boleh melakukan gerakan kecuali makan dan minum, saya rasa kalian tak ingin lagi  berurusan dengan anak buahku." Usai bicara Adi meneruskan makan, sementara Parman tetap diam, Kris menelan ludah.

Jam begitu lambat bagi Kris dan Parman, hingga Adi selesai makan minum langsung angkat bicara. "Ini tempat peristirahatan pribadi saya, di belakang rumah ini adalah lereng gunung dan masih hutan lebat, jika kalian ke teras pada malam hari akan melihat lampu kota berkelip di bawah sana. Kanan kiri juga masih hutan, tempat yang ideal bukan, tanpa ada gangguan polusi udara, air dan suara. Kalian akan tinggal di sini selama selapan dan tiap sepasar jumlah kalian akan bertambah. Pada mulanya saya hanya ingin Kris saja tapi berubah pikiran. Semua fasilitas di tempat ini boleh kalian gunakan, ada tukang masak, cuci pakaian, oh ya pakaian kalian tak bawakan? Karena mendadak maka saya pinjami. Juga penjaga kebun sekaligus penjaga kalian, jangan berani kabur karena saya sendiri tidak sanggup mengatakan apa akibatnya."

"Tunggu dulu." Kris angkat bicara. "Tujuan anda apa. Selapan dan sepasar itu hitungan apa?"

"Dasar orang jawa kehilangan jawanya. Parman jelaskan pada Kris." Kata Adi.

"Istilah selapan atau salapan dipakai di beberapa tempat dengan pengertian yang berbeda-beda. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia tahun  1951 karangan  Poerwadarminta  kata selapan dalam bahasa Melayu berarti delapan dan dalam bahasa Sunda berarti sembilan. Kata selapan atau salapan dalam bahasa Jawa dimaksudkan 35 hari atau 7 pasaran. Dalam bahasa Jawa sepasar berarti 5 hari, sedang sepekan dalam bahasa Indonesia satu minggu atau 7 hari. Jadi sepasar tidak sama dengan sepekan." Parman menjelaskan. "Dalam tradisi Jawa selapanan dimaksudkan sebagai suatu upacara syukur atas kelahiran bayi yang tepat berusia 35 hari. Misalnya, bayi lahir pada Minggu Kliwon maka pesta selapanan tepat pada hari Minggu Kliwon berikutnya. Seperti kita ketahui bahwa di Jawa orang masih menghitung hari menurut hitungan 7 hari dalam 1 minggu dalam Kalender Masehi yang mengikuti hitungan matahari yaitu sapta wara meliputi Minggu, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu dan hitungan 5 hari dalam 1 pasaran dalam Kalender Jawa yang mengikuti hitungan bulan yaitu pancawara meliputi Pahing, Pon, Wage, Kliwon, Legi atau Umanis dalam kalender Saka. Jadi, selapan = 7 x 5 = 35 hari."

"Ya saya paham." Tukas Kris.



"Sekarang saya lanjutkan. Simak baik-baik." Adi Bhaskara berkata. "Kris dan anak anda pak Parman serta teman-teman lainnya yang berjumlah tujuh orang membuat organisasi kemanusiaan bernama Kala Hitam. Sayangnya mereka bertujuh adalah orang miskin yang ingin membantu orang miskin lainnya. Mereka tak punya dana untuk mendanai kegiatan sosial mereka dan karena tak ada donatur maka mereka mencuri."

"Apa.!?" Parman geram. "Kris apa benar yang pak Adi katakan."

"Tak sepenuhnya benar paman Parman." Kris tertunduk, wajahnya memerah.

"Tak sepenuhnya benar katamu. Berarti ada unsur benarnya." Suara Parman keras.

"Sabar pak Parman." Adi bicara dengan santai setelah meletakkan gelas yang baru saja diminum isinya. "Jangan langsung marah. Tujuan Kala Hitam mulia, tetapi sayangnya mereka menipu saya. Jadi mereka ini tak sepenuhnya mencuri melainkan meminjam tanpa ijin. Kala Hitam mengambil peninggalan leluhur kita, rata-rata arca dari batu. Mereka membuat tiruan dan menjual yang tiruan ke lelang bawah tanah, yang asli dikembalikan ke tempat mereka mengambil. Saya sebagai kolektor benda asing mengikuti lelang bawah tanah, tujuannya agar benda-benda peninggalan nenek moyang kita jangan sampai jatuh ke tangan asing agar anak cucu kita kelak tak perlu ke Leiden atau London untuk belajar tentang leluhurnya. Dan mereka telah memalsukan ornamen Garudeya milik museum Mpu Tantular yang terbuat dari emas 22 karat. Mengetahui saya ditipu maka saya meminta Kala Hitam menebus dosa-dosanya. Nanti Kris yang akan menjelaskan ke Pak Parman. "




Warisan Majapahit (ARCA BUDDHA KENCANA)

Sebuah sedan putih melintasi gapura bentar dari bata merah, beberapa meter kemudian berhenti di depan rumah mewah dengan tiang pualam menyangga bagian depan. Seorang pria separuh baya berbadan tegap, tinggi sekitar 170 cm, dada nampak bidang meski mengenakan hem putih, rambut keriting, kulit sawo matang, kumis dipelihara rapi, sedangkan cambang dan jenggotnya dicukur habis turun dari sedan beserta seorang pemuda dengan tinggi sebahunya, mengenakan kaca mata, rambut disisir ke samping, celana jean, kaos berkerah warna biru, kulitnya gelap namun lebih cerah dibanding pria disampingnya. Merekapun berjalan memasuki rumah yang lebih mirip istana, sedanpun berlalu. Seorang gadis cantik membuka pintu dari dalam, kedua pria itupun langsung masuk.

"Inilah gubukku Bejo, di mana aku tinggal." Kata si pria keriting.

"Pak Adi terlalu merendah." Kata Bejo, ia memandang kagum ruang tamu dengan lukisan Borobudur yang sangat besar, sebuah tangga melingkar menuju lantai atas dengan stainless steel sebagai pegangan tangga. Lantainya dari keramik full polish ukuran 45x90 cm dengan desain keemasan.

"Silakan minum." Gadis yang tadi membukakan pintu membawa nampan dengan dua gelas es teh di atasnya.

"Silakan Bejo." Pak Adi mengambil segelas dan segera meminumnya sampai habis. Tanpa disuruh dua kali Bejo melakukan hal yang sama. Mereka meletakan kembali gelas kosong pada nampan yang langsung dibawa pergi oleh sang gadis. "Apa yang kamu ketahui tentang diriku Bejo."

"Yang saya dengar, pak Adi Bhaskara adalah pemilik CV Harapan Gemilang, sebuah pabrik pemecah batu di Trowulan. Sekarang dermawan yang gemar juga berdoa."

"Yang terakhir terlalu berlebihan." Pak Adi tersenyum. "Sesungguhnya kita memiliki hubungan istimewa."

"Maksud bapak?" Bejo bingung. "Ibu tak pernah cerita kalau punya saudara di Jawa Timur."

"Karena memang aku bukan saudara ibumu, Bejo Karsana. Mari kutunjukkan sesuatu."

Merekapun berjalan ke samping, pak Adi membuka sebuah kamar. Bejo kaget, rupanya bukan kamar tidur. Mirip etalase toko, banyak keris tergantung. 

"Sekarang saya paham." Bejo berdecak kagum. "Kita sama-sama suka benda bersejarah."

"Tepat sekali." Pak Adi memuji. "Ruangan ini khusus untuk menyimpan keris pusaka nusantara yang dikumpulkan ayahku, kini aku yang merawatnya dan kelak anak cucuku yang akan memelihara warisan leluhur kita."

"Kenapa tidak diserahkan ke museum saja."

"Museum katamu. Bejo, Bejo. Rakyat Indonesia hanya segelintir saja yang menghargai sejarah. Coba kamu pergi ke museum dan perpustakaan hitung daftar pengunjungnya dalam sebulan lalu pergilah ke pusat perbelanjaan duduk di pintu masuk dari awal buka sampai tutup hitunglah pengunjungnya. Aku pernah melakukan dan jumlah pengunjung pusat perbelanjaan pada hari libur selama sehari lebih banyak dibandingkan jumlah pengunjung sebuah museum ditambah sebuah perpustakaan dalam sebulan."

"Ya, saya paham yang bapak maksud. Sayangnya saya sendiri kurang paham masalah keris." Tukas Bejo.

Pak Adi tersenyum simpul. "Coba perhatikan semua keris di ruangan ini, kemudian nak Bejo ambil salah satu yang menurutmu paling bernilai."

Tanpa menjawab Bejopun melayangkan pandangan ke seantero ruangan. Hingga matanya berhenti pada sebuah keris yang gagangnya kepala naga berlapis emas, wrangka keris dari perak bertaburan batu mulia, sedangkan bagian antara keris dan gagangnya berupa cincin berlian. 

"Menurut saya yang paling istimewa ini pak Adi."

Pak Adi segera mengambil keris tersebut dari etalase pribadinya. Iapun mencabut keris tersebut. Mata Bejo semakin terbelalak, setelah melihat keris luk berjumlah tujuh ada di hadapannya, yang lebih mengejutkan lagi ialah pantulan sinar lampu dari bilah keris yang kedua sisinya terukir sisik naga dari emas. 

"Silakan." Pak Adi menyerahkan keris tersebut ke tangan Bejo yang bergetar menerimanya. 

Usai mengagumi Bejopun memasukan keris tersebut dan mengembalikan ke etalase dengan hati-hati. "Suatu karya seni yang luar biasa. Apakah tebakanku benar pak Adi?"

"Jika dilihat dari hasil karyanya keris itu adalah yang terhebat. Namun berdasarkan usianya, keris tersebut sejajar dengan yang lain."

"Maksud bapak?" 

"Keris yang kamu pilih seusia denganku, ayahku memesannya pada seorang pengrajin di Jogjakarta saat ibu mengandung aku lima bulan, dan keris itu jadi tepat dua hari kelahiranku. Setiap peradaban pasti meninggalkan sebuah karya yang agung. Ayahku ingin supaya keris yang beliau pesan menjadi karya pada peradaban Indonesia. Kelak jika kita telah menjadi fosil akan ada yang menemukan keris abad 20. Dengan nilai seni yang semakin baik dari generasi sebelumnya "

"Seperti Garuda Wisnu Kencana di Jimbaran?"

"Tepat. Sayangnya generasi sekarang lebih banyak yang menjiplak budaya asing, tak mau melestarikan budaya sendiri dan menciptakan kreasi baru. Contohnya dalam hal musik, anak muda zaman sekarang lebih merasa keren jika memainkan drum, gitar, piano, biola dibandingkan seruling, gamelan, sasando, tifa, kulintang, angklung." 

"Tak semuanya seperti itu pak Adi. Contohnya basis band d'rumus ia juga pemain kendang kuda lumping."

"Katanya. Jangan percaya sama katanya nanti tertipu. Yang penting buktinya dia main bass atau kendang?"

"Benar juga. Kembali ke keris. Jika keris yang saya pilih adalah setara dengan zaman lainnya. Maka keris seperti apa yang nilainya dapat mengalahkan keris tadi."

Pak Adi langsung membuka sebuah etalase lagi. Keris luk tiga tanpa gagang, tanpa wrangka berada di atas karpet merah. "Coba kamu sentuh, namun jangan diangkat."

Bejopun melakukan sesuai perintah. "Ini dari batu biasa." 

"Itulah bedanya aku dan dirimu anak muda ini memang dari batu, tepatnya dari zaman batu seusia dengan kapak perimbas. Bentuknya masih kasar menurutku gagangnya dari kayu yang lapuk dimakan zaman. Bayangkan nenek moyang kita zaman itu sudah menghasilkan karya yang luar biasa, tak bisa dibandingkan dengan karya ayahku."

"Jika boleh tahu, untuk apa pak Adi memperlihatkan koleksinya ke saya. Bukankah kita baru kenal?"

"Kamu yang baru mengenalku Bejo, namun aku sudah lama mengenal sepak terjangmu. Mari ikut aku."

Belum sempat Bejo memahami kata-kata pak Adi, pak Adi langsung membuka sebuah pintu samping. Bejopun mengikutinya. Rupanya di samping ruangan keris ada ruangan lain. Ruangan ini empat kali lebih lebar dari ruangan keris.

"Kamu memang kurang paham keris Bejo. Namun koleksiku ini pasti tak asing bagaimu."

Lagi-lagi Bejo terkagum melihat banyaknya arca, bahkan ada sebuah caila prasasti. "Ini kan..."

"Peninggalan nenek moyang kita yang lain." Belum sempat Bejo bicara sudah dipotong oleh pak Adi. "Jangan bertanya lagi kenapa tidak di serahkan ke museum. Sekarang perhatikan koleksiku dan sebutkan yang kamu ketahui nanti kamu paham kenapa kamu kuajak kemari."

"Baiklah." Bejo bersemangat. "Ini arca Ganesa, Durga Rarini, Buddha, Kala Makara, Caila Prasasti dengan aksara Kawi akhir pertama." Mendadak langkahnya berhenti di tengah ruangan, lidahnya terasa kelu, keringat mengucur dari pelipis kanan dan kiri, matanya terhenti pada sebuah benda di dalam almari kaca.

"Kenapa berhenti." Suara pak Adi yang ramah berubah bagaikan gong yang dipukul tepat di sebelah telinga Bejo. "Apa ACnya kurang dingin sehingga dirimu berkeringat Bejo?"

"I...i.. itu kan." Bejo tergagap.

"Ornamen Garudeya karya anak bangsa abad sekarang yang menjiplak karya leluhurnya dari masa kejayaan Kediri, yang kini masih tersimpan rapi di museum Mpu Tantular."

"Jadi pak Adi yang memesan ornamen Garudeya di lelang bawah tanah." Bejo berusaha menenangkan diri.

"Ya. Aku ingin memilikinya sebelum jatuh ke tangan orang asing."

"Jika demikian kita memiliki tujuan yang sama agar anak cucu kita tak perlu pergi ke luar negeri untuk melihat peninggalan leluhurnya."

"Beda, sama sekali beda. Aku mencurahkan hartaku untuk melindungi harta leluhur kita. Sedangkan komplotan Kala Hitam yang kamu pimpin hanya mengincar kekayaan dengan mencuri, menjiplak dan menipu. Kemudian kalian gunakan kekayaan yang kalian peroleh untuk berderma, itu hanya kamuflase Bejo."

"Kita sama-sama hitam, untuk apa saling menghakimi?"

"Kita? Hitam? Berkaca dulu anak muda jika ingin bicara. Kita jelas berbeda, aku bisa mendapatkan apa yang aku inginkan dengan uang jerih payahku. Sedangkan kalian anggota Kala Hitam, sudah miskin terima saja nasib kalian."

"Kami memang miskin, tetapi kami masih punya harga diri." Bejo berteriak.

"Mau membentak. Sadar Bejo, sadar. Ini rumah siapa? Dengarkan aku baik-baik, kamu tahu arti garudeya? Itu adalah simbol bakti seorang anak terhadap ibunya. Namun apa wujud bakti kalian terhadap orang tua. Tidak ada Bejo, tidak ada.  Sekarang kalian telah menipuku, sebagai hukuman aku meminta sesuatu yang jauh lebih berharga dari ornamen Garudeya."

"Tidak bisa." Bejo langsung menjawab. "Kala Hitam telah bubar, dan ornamen Garudeya ialah proyek terakhir."

"Bukan Adi Bhaskara jika keinginannya tak terlaksana. Dengarkan baik-baik. Kuberi kalian waktu selapan dalam hitungan jawa bawakan aku Arca Buddha Kencana setinggi 30 cm, peninggalan leluhur Majapahit. Dan dalam tiap sepasar anggota kalian akan hilang satu per satu. Tenang saja, aku ini kolektor bukan pembunuh. Jika yang aku ingini sudah kudapat kalian akan bersatu kembali, dan perlu kalian ketahui kalian tak akan mendapat imbalan apapun. Waktu dimulai dari sekarang. Kalian boleh lapor polisi, aku punya uang untuk membayar pengacara dan hakim. Saudaraku juga polisi, bukan pangkat bintara. Justru kalianlah yang akan mendekam di penjara."