Senin, 22 Mei 2017

"Dukunnya ialah Tuhan Yesus."

Hening suasana dalam ruangan, hanya detak jam dinding yang terasa lambat. Sang dokter begitu tenang mempelajari hasil laboratorium, sesaat kemudian dipandangnya sepasang suami istri dihadapannya.


"Ibu harus rawat inap selama empat bulan di sini, agar kami bisa memberikan pengobatan secara optimal."

Sontak suara sang dokter bagaikan sebongkah batu menghantam dada sang pasien yang saat itu juga langsung mengeluarkan air mata. "Tapi dok, kami tak punya biaya. Uang kami sudah habis untuk obat jalan." Kata-katanya patah-patah namun jelas terdengar di antara isak tangis keputus asaan.

"Kalian keluar dari ruangan ini sekarang, masih banyak pasien yang antri. Pikirkan baik-baik, setengah dua datang lagi ke sini untuk memberi keputusan."

"Baik dok." Kata sang suami yang langsung membimbing istrinya keluar ruangan, dan merekapun duduk di pojok ruang tunggu.

"Pak. Kita harus bagaimana? Kita sudah tak ada uang." Sang istri masih dalam kondisi menangis.

"Tenanglah bu." Sang suami berusaha menguatkan hati istrinya. "Tuhan itu Bapa kita. Tak ada bapa yang membiarkan anaknya terlantar begitu saja. Hanya saja Tuhan sedang menguji iman kita. Jika Tuhan menghendaki engkau masuk rumah sakit, maka Tuhan akan sediakan biaya. Ingat bahwa Tuhan sanggup memberi makan lima ribu orang hanya dengan lima roti dan dua ikan masih sisa dua belas keranjang. Jadi apabila engkau harus menjalani rawat inap Tuhan akan sediakan biaya, bahkan sisa dua belas keranjang. Namun bila tidak rawat inap Tuhan juga yang akan menyediakan obatnya. Tuhan bisa menggunakan apa saja yang ada di alam ini untuk obat, bahkan tanah yang dicampur ludah dioleskan pada mata yang buta, si butapun dapat melihat."

Hingga waktu yang ditentukan mereka kembali ke ruang poly kandungan. Sang dokter tak lagi ramah.
"Ibu mau sembuh atau mau mati."Dokter membentak.

"Saya ingin sembuh dok." Secara spontan sang pasien menjawab.

"Jika ingin sembuh harus rawat inap, jika ingin mati silakan pulang." Sang dokter tak menurunkan nada suaranya. "Masalah biaya, kalian bayar setelah diobati."

"Baik dok." Sepasang suami istri, hampir serempak.

Sang istripun lansung di bawa ke kamar pasien, sedang suami mengisi formulir secara lengkap. Tak lupa ia bubuhkan tanda tangan serta namanya, Djoni.

Hari berganti, minggu berlalu, bulanpun berjalan. Total bu Djoni harus menerima 30 obat suntik, dan pada suntikan yang ke 25 kembali di cek HSG lagi  untuk mengetahui apakah ada perkembangan pada rahimnya. Dan hasilnya sangat tidak diinginkan yaitu jika angka manusia sehat ialah dibawah 5, namun nilai bu Djoni ialah 150. Dokter sudah hampir menyerah.

"Penyakit istri bapak sudah menjalar ke darah." Sang dokter menjelaskan pada pak Djoni. "Masih ada lima kali suntikan lagi, kemudian selama dua minggu tidak diberi obat apapun. Namun istri bapak harus tetap tinggal di sini meskipun tanpa pengobatan. Sesudah dua minggu dari suntikan ke 30, maka kami akan test HSG lagi. Apabila tak juga membaik, maka jalan terakhir adalah operasi pengangkatan rahim. Bagaimana bapak?"

"Jika itu adalah jalan terbaik, tak masalah. Berarti sudah kehendak Tuhan apabila saya tak dipercaya punya anak. Setelah anak pertama kami dipanggil Tuhan dalam usia bulan, anak kedua dan ketiga di panggil lagi sejak dalam kandungan. Berarti Tuhan tak mempercayakan anak pada kami."

Waktupun berlalu. "Doter, saya sudah menjalani obat suntik yang ketiga puluh bukan." Kata bu Djoni. "Sesudah itu tak ada pengobatan selama dua minggu, maka ijinkan saya pulang selama seminggu biarkan saya di rumah."

"Tetapi bu, saya tidak mengijinkan, akan lebih terjamin jika ibu tetap tinggal di sini." Kata dokter.

"Bukankah sama saja, jika di rumah atau di sini untuk menunggu reaksi obat selama dua minggu ke depan? Apa dokter bisa menjamin saya pasti sembuh jika di sini?"

"Jika ibu memaksa, maka ibu harus menandatangani surat pulang karena keinginan sendiri, dan bila ada sesuatu terjadi semua diluar tanggung jawab rumah sakit."

"Akan saya lakukan."

Sesampainya di rumah, bu Djoni langsung berpuasa. Dalam doanya ia berkata. "Tuhan jika wanita yang pendarahan dua belas tahun saat menjamah jubahMu langsung Engkau sembuhkan. Saat ini Engkau tak tampak, namun jika Tuhan ijinkan aku menjamah jubahMu entah bagaimana caranya aku pasti sembuh. Amin."

Tiba hari minggu, perjamuan kudus. Setelah empat bulan tak ke gereja maka roti dan anggur bagaikan segelas air di padang gersang. Dengan penuh keyakinan bu Djoni berdoa memohon mujizat. Sedang ia berdoa, nampak sekelebat orang berjalan di depannya, ia tak dapat melihat siapa yang lewat sebab sedang tutup mata. Namun secara sepontan ia menjamah jubah orang yang lewat. Dalam hatinya ia yakin bahwa Tuhan yang lewat.

 Sesudah waktu yang ditentukan, pengecekan dilakukan. Bu Djoni, menunggu hasil dengan hati tenang. Sekonyong-konyon 6 dokter spesialis kandungan, dokter praktek, perawat semua mendatangi kamar di mana bu Djoni si rawat.
"Ibu, hasil pengecekannya ialah 1 koma 2, artinya ibu sembuh total."

Mendengar hal itu, bu Djoni meloncat kegirangan. Tanpa memperhatikan sekeliling ia meloncat-loncat di atas kasur. "Haleluya, Haleluya, Puji Tuhan."

Semua orang ikut senang. "Jika boleh tahu, selama pulang ibu ke dukun mana?" Salah seorang dokter bertanya heran. "Sebab secara medis sudah mustahil menurunkan angka 150 ke 1,2. Jalan terakhir harus operasi pengangkatan rahim."

"Dukunnya ialah Tuhan Yesus." Bu Djoni menjawab dengan girang.

"Mana mungkin, ibu pasti bercanda." Sang dokter benar-benar penasaran.

"Dokter boleh percaya atau tidak itu hak dokter, namun dukun saya ialah Tuhan Yesus."

"Siapapun dukunnya, hari ini boleh pulang. Silakan ke kasir." Seorang dokter lainya bicara.

Pak Djoni pergi ke kasir, namun tak sendiri. Sang istri ikut. "Pak, apa uang kita cukup?"

"Jangan khawatir, Tuhan pasti cukupkan."

"Berapa uang kita?"

"800 ribu rupiah. Tenang saja, pasti sisa."

Sesampainya di kasir, sesudah dihitung. "Kekurangannya 69 ribu rupiah pak.?"

"Apa? Kekurangan?" Pak Djoni terheran.

"Maksudnya apa? Sejak awal kami belum membayar apapun."

"Benar pak." Sang kasir menunjukan kwitansi. "Ini kwitansinya, total biaya hingga hari ini 4 juta rupiah, namun sudah ada yang membayar dengan cara diangsur. Ini bukti pembayarannya, sekarang bapak hanya melunasi kekurangannya."

"Siapa yang membayar."

"Saya juga tidak tahu. Saya hanya menerima uang atas nama ibu."

"Puji Tuhan." Bu Djoni menitikan air mata. "Sisa 12 keranjang pak uang kita."



Tidak ada komentar:

Posting Komentar