Sabtu, 08 Juli 2017

Warisan Majapahit (ARCA BUDDHA KENCANA)

Sebuah sedan putih melintasi gapura bentar dari bata merah, beberapa meter kemudian berhenti di depan rumah mewah dengan tiang pualam menyangga bagian depan. Seorang pria separuh baya berbadan tegap, tinggi sekitar 170 cm, dada nampak bidang meski mengenakan hem putih, rambut keriting, kulit sawo matang, kumis dipelihara rapi, sedangkan cambang dan jenggotnya dicukur habis turun dari sedan beserta seorang pemuda dengan tinggi sebahunya, mengenakan kaca mata, rambut disisir ke samping, celana jean, kaos berkerah warna biru, kulitnya gelap namun lebih cerah dibanding pria disampingnya. Merekapun berjalan memasuki rumah yang lebih mirip istana, sedanpun berlalu. Seorang gadis cantik membuka pintu dari dalam, kedua pria itupun langsung masuk.

"Inilah gubukku Bejo, di mana aku tinggal." Kata si pria keriting.

"Pak Adi terlalu merendah." Kata Bejo, ia memandang kagum ruang tamu dengan lukisan Borobudur yang sangat besar, sebuah tangga melingkar menuju lantai atas dengan stainless steel sebagai pegangan tangga. Lantainya dari keramik full polish ukuran 45x90 cm dengan desain keemasan.

"Silakan minum." Gadis yang tadi membukakan pintu membawa nampan dengan dua gelas es teh di atasnya.

"Silakan Bejo." Pak Adi mengambil segelas dan segera meminumnya sampai habis. Tanpa disuruh dua kali Bejo melakukan hal yang sama. Mereka meletakan kembali gelas kosong pada nampan yang langsung dibawa pergi oleh sang gadis. "Apa yang kamu ketahui tentang diriku Bejo."

"Yang saya dengar, pak Adi Bhaskara adalah pemilik CV Harapan Gemilang, sebuah pabrik pemecah batu di Trowulan. Sekarang dermawan yang gemar juga berdoa."

"Yang terakhir terlalu berlebihan." Pak Adi tersenyum. "Sesungguhnya kita memiliki hubungan istimewa."

"Maksud bapak?" Bejo bingung. "Ibu tak pernah cerita kalau punya saudara di Jawa Timur."

"Karena memang aku bukan saudara ibumu, Bejo Karsana. Mari kutunjukkan sesuatu."

Merekapun berjalan ke samping, pak Adi membuka sebuah kamar. Bejo kaget, rupanya bukan kamar tidur. Mirip etalase toko, banyak keris tergantung. 

"Sekarang saya paham." Bejo berdecak kagum. "Kita sama-sama suka benda bersejarah."

"Tepat sekali." Pak Adi memuji. "Ruangan ini khusus untuk menyimpan keris pusaka nusantara yang dikumpulkan ayahku, kini aku yang merawatnya dan kelak anak cucuku yang akan memelihara warisan leluhur kita."

"Kenapa tidak diserahkan ke museum saja."

"Museum katamu. Bejo, Bejo. Rakyat Indonesia hanya segelintir saja yang menghargai sejarah. Coba kamu pergi ke museum dan perpustakaan hitung daftar pengunjungnya dalam sebulan lalu pergilah ke pusat perbelanjaan duduk di pintu masuk dari awal buka sampai tutup hitunglah pengunjungnya. Aku pernah melakukan dan jumlah pengunjung pusat perbelanjaan pada hari libur selama sehari lebih banyak dibandingkan jumlah pengunjung sebuah museum ditambah sebuah perpustakaan dalam sebulan."

"Ya, saya paham yang bapak maksud. Sayangnya saya sendiri kurang paham masalah keris." Tukas Bejo.

Pak Adi tersenyum simpul. "Coba perhatikan semua keris di ruangan ini, kemudian nak Bejo ambil salah satu yang menurutmu paling bernilai."

Tanpa menjawab Bejopun melayangkan pandangan ke seantero ruangan. Hingga matanya berhenti pada sebuah keris yang gagangnya kepala naga berlapis emas, wrangka keris dari perak bertaburan batu mulia, sedangkan bagian antara keris dan gagangnya berupa cincin berlian. 

"Menurut saya yang paling istimewa ini pak Adi."

Pak Adi segera mengambil keris tersebut dari etalase pribadinya. Iapun mencabut keris tersebut. Mata Bejo semakin terbelalak, setelah melihat keris luk berjumlah tujuh ada di hadapannya, yang lebih mengejutkan lagi ialah pantulan sinar lampu dari bilah keris yang kedua sisinya terukir sisik naga dari emas. 

"Silakan." Pak Adi menyerahkan keris tersebut ke tangan Bejo yang bergetar menerimanya. 

Usai mengagumi Bejopun memasukan keris tersebut dan mengembalikan ke etalase dengan hati-hati. "Suatu karya seni yang luar biasa. Apakah tebakanku benar pak Adi?"

"Jika dilihat dari hasil karyanya keris itu adalah yang terhebat. Namun berdasarkan usianya, keris tersebut sejajar dengan yang lain."

"Maksud bapak?" 

"Keris yang kamu pilih seusia denganku, ayahku memesannya pada seorang pengrajin di Jogjakarta saat ibu mengandung aku lima bulan, dan keris itu jadi tepat dua hari kelahiranku. Setiap peradaban pasti meninggalkan sebuah karya yang agung. Ayahku ingin supaya keris yang beliau pesan menjadi karya pada peradaban Indonesia. Kelak jika kita telah menjadi fosil akan ada yang menemukan keris abad 20. Dengan nilai seni yang semakin baik dari generasi sebelumnya "

"Seperti Garuda Wisnu Kencana di Jimbaran?"

"Tepat. Sayangnya generasi sekarang lebih banyak yang menjiplak budaya asing, tak mau melestarikan budaya sendiri dan menciptakan kreasi baru. Contohnya dalam hal musik, anak muda zaman sekarang lebih merasa keren jika memainkan drum, gitar, piano, biola dibandingkan seruling, gamelan, sasando, tifa, kulintang, angklung." 

"Tak semuanya seperti itu pak Adi. Contohnya basis band d'rumus ia juga pemain kendang kuda lumping."

"Katanya. Jangan percaya sama katanya nanti tertipu. Yang penting buktinya dia main bass atau kendang?"

"Benar juga. Kembali ke keris. Jika keris yang saya pilih adalah setara dengan zaman lainnya. Maka keris seperti apa yang nilainya dapat mengalahkan keris tadi."

Pak Adi langsung membuka sebuah etalase lagi. Keris luk tiga tanpa gagang, tanpa wrangka berada di atas karpet merah. "Coba kamu sentuh, namun jangan diangkat."

Bejopun melakukan sesuai perintah. "Ini dari batu biasa." 

"Itulah bedanya aku dan dirimu anak muda ini memang dari batu, tepatnya dari zaman batu seusia dengan kapak perimbas. Bentuknya masih kasar menurutku gagangnya dari kayu yang lapuk dimakan zaman. Bayangkan nenek moyang kita zaman itu sudah menghasilkan karya yang luar biasa, tak bisa dibandingkan dengan karya ayahku."

"Jika boleh tahu, untuk apa pak Adi memperlihatkan koleksinya ke saya. Bukankah kita baru kenal?"

"Kamu yang baru mengenalku Bejo, namun aku sudah lama mengenal sepak terjangmu. Mari ikut aku."

Belum sempat Bejo memahami kata-kata pak Adi, pak Adi langsung membuka sebuah pintu samping. Bejopun mengikutinya. Rupanya di samping ruangan keris ada ruangan lain. Ruangan ini empat kali lebih lebar dari ruangan keris.

"Kamu memang kurang paham keris Bejo. Namun koleksiku ini pasti tak asing bagaimu."

Lagi-lagi Bejo terkagum melihat banyaknya arca, bahkan ada sebuah caila prasasti. "Ini kan..."

"Peninggalan nenek moyang kita yang lain." Belum sempat Bejo bicara sudah dipotong oleh pak Adi. "Jangan bertanya lagi kenapa tidak di serahkan ke museum. Sekarang perhatikan koleksiku dan sebutkan yang kamu ketahui nanti kamu paham kenapa kamu kuajak kemari."

"Baiklah." Bejo bersemangat. "Ini arca Ganesa, Durga Rarini, Buddha, Kala Makara, Caila Prasasti dengan aksara Kawi akhir pertama." Mendadak langkahnya berhenti di tengah ruangan, lidahnya terasa kelu, keringat mengucur dari pelipis kanan dan kiri, matanya terhenti pada sebuah benda di dalam almari kaca.

"Kenapa berhenti." Suara pak Adi yang ramah berubah bagaikan gong yang dipukul tepat di sebelah telinga Bejo. "Apa ACnya kurang dingin sehingga dirimu berkeringat Bejo?"

"I...i.. itu kan." Bejo tergagap.

"Ornamen Garudeya karya anak bangsa abad sekarang yang menjiplak karya leluhurnya dari masa kejayaan Kediri, yang kini masih tersimpan rapi di museum Mpu Tantular."

"Jadi pak Adi yang memesan ornamen Garudeya di lelang bawah tanah." Bejo berusaha menenangkan diri.

"Ya. Aku ingin memilikinya sebelum jatuh ke tangan orang asing."

"Jika demikian kita memiliki tujuan yang sama agar anak cucu kita tak perlu pergi ke luar negeri untuk melihat peninggalan leluhurnya."

"Beda, sama sekali beda. Aku mencurahkan hartaku untuk melindungi harta leluhur kita. Sedangkan komplotan Kala Hitam yang kamu pimpin hanya mengincar kekayaan dengan mencuri, menjiplak dan menipu. Kemudian kalian gunakan kekayaan yang kalian peroleh untuk berderma, itu hanya kamuflase Bejo."

"Kita sama-sama hitam, untuk apa saling menghakimi?"

"Kita? Hitam? Berkaca dulu anak muda jika ingin bicara. Kita jelas berbeda, aku bisa mendapatkan apa yang aku inginkan dengan uang jerih payahku. Sedangkan kalian anggota Kala Hitam, sudah miskin terima saja nasib kalian."

"Kami memang miskin, tetapi kami masih punya harga diri." Bejo berteriak.

"Mau membentak. Sadar Bejo, sadar. Ini rumah siapa? Dengarkan aku baik-baik, kamu tahu arti garudeya? Itu adalah simbol bakti seorang anak terhadap ibunya. Namun apa wujud bakti kalian terhadap orang tua. Tidak ada Bejo, tidak ada.  Sekarang kalian telah menipuku, sebagai hukuman aku meminta sesuatu yang jauh lebih berharga dari ornamen Garudeya."

"Tidak bisa." Bejo langsung menjawab. "Kala Hitam telah bubar, dan ornamen Garudeya ialah proyek terakhir."

"Bukan Adi Bhaskara jika keinginannya tak terlaksana. Dengarkan baik-baik. Kuberi kalian waktu selapan dalam hitungan jawa bawakan aku Arca Buddha Kencana setinggi 30 cm, peninggalan leluhur Majapahit. Dan dalam tiap sepasar anggota kalian akan hilang satu per satu. Tenang saja, aku ini kolektor bukan pembunuh. Jika yang aku ingini sudah kudapat kalian akan bersatu kembali, dan perlu kalian ketahui kalian tak akan mendapat imbalan apapun. Waktu dimulai dari sekarang. Kalian boleh lapor polisi, aku punya uang untuk membayar pengacara dan hakim. Saudaraku juga polisi, bukan pangkat bintara. Justru kalianlah yang akan mendekam di penjara."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar