Senin, 22 Mei 2017

Jamu Kanker



Tak ubahnya malam-malam sebelumnya, sepasang suami istri bergantian memangku gadis bungsunya yang telah menginjak remaja hingga terlelap. Sedang suami terlelap karena lelah, sang istri masih terjaga meski raga letih.

"Tuhan, kenapa ini tak adil bagiku. Kau telah mengambil ketiga anakku, aku hanya ingin punya anak yang sehat seperti yang lain. Kenapa hal ini terjadi padaku. Jika tetamggaku yang mantan orang nakal kau beri dua orang putri yang sehat, lincah. Demikian saudaraku yang jangankan ke dokter atau ke bidan, ke puskesmaspun tak pernah selama mengandung. Juga ia melahirkan dengan bantuan dukun bayi, hingga hari ini anaknya baik-baik saja. Sedangkan aku dan suamiku selalu taat padaMu. Sejak mujizat Kau berikan bagi rahimku, aku berkonsultasi dengan dokter spesialis kandungan mulai dari sebelum, semasa hingga pasca melahirkan. Itu semata-mata karena aku menginginkan anak yang sehat. Tapi mana penyertaanMu, mana keadilanMu Tuhan."

Hari berganti, rasa kecewa, amarah, tidak terima terus tertanam dalam hati. Hingga suatu saat bukan kesembuhan bagi sang buah hati yang diperoleh, namun benjolan pada payudara kanan sang ibu muncul entah mulai kapan. Rasanya sangat nyeri. Sejak saat itu, pengeluaran bertambah. Bila obat untuk sang anak telah terpenuhi barulah sang ibu beli obat, namun bila uang tak mencukupi. Obat anak yang di utamakan. Hingga kondisi sang ibu semakin parah, muncul lingkaran besar di punggung kanan dengan lubang kecil di tengah yang kadang-kadang mengeluarkan darah kental.

"Jika sudah dioperasi, apakah saya akan sembuh total dok?" Demikian pertanyaan yang diajukan saat berobat. "Sebab ada banyak kasus, sesudah operasi berpindah penyakitnya."

"Saya tidak bisa menjawab, bu Djoni." Sang dokter dengan sabar menjelaskan. "Kita tidak tahu apakah jinak atau ganas sebelum dioperasi. Jadi prosedurnya, diangkat dulu lalu kita uji laboratorium. Apabila hasil laboratorium menyatakan kanker jinak maka ibu sudah tak perlu berobat. Namun jika hasil laboratorium menyatakan ganas, ada kemungkinan sudah menyebar dan berpotensi muncul di payudara kiri atau tempat lain. Untuk mencegah hal itu, harus ada pengobatan berkelanjutan."

Usaha dilakukan, doa dipanjatkan namun harapan semakin sirna. Tak ada lagi tempat berlari, tak ada lagi tempat mengadu. Rumah yang seharusnya menjadi tempat perlindungan, terasa bagai neraka.
"Apa yang harus kita lakukan pak.?"

"Percaya saja isteriku. Semua yang terjadi dalam hidup kita adalah rencana Tuhan. Tuhan pasti memberi yang terbaik."

"Iya pak. Aku sadar sekarang, aku sering menggerutu, sering protes dan menuntut Tuhan. Padahal sudah sering kali Tuhan memberi mujizat dalam kehidupan kita. Namun aku tetap tak bersyukur, hasilnya Ia bukan mengangkat penderitaanku namun semakin terhimpit aku."
"Syukurlah jika kau menyadarinya. Sekarang marilah kita berdoa, memohon ampun atas kesalahan kita. Memohon ampun atas ketidakpercayaan kita pada Tuhan."

"Iya pak."

Hari terus berjalan, namun malam-malam yang dilalui tak seperti malam-malam sebelumnya. Kini setiap malam bu Djoni memuji Tuhan serta membacakan firman Tuhan ketika putri bungsunya ada di pangkuan. Hatinya tak lagi gundah, namun kasihnya sebagai seorang ibu dicurahkan hingga wajah murungnya berganti wajah sukacita.

"Bu, sekarang giliranku menidurkan anak kita."
Kata pak Djoni pada suatu malam.

"Biar aku saja pak. Bapak istirahat saja, besok bapak kerja. Sedangkan aku kan sudah keluar dari pekerjaan, biar kucurahkan waktuku untuk anak kita."

"Namun kau juga sakit. Kau butuh istirahat."

"Aku sudah tak merasakan sakit, meskipun penyakitku menggerogoti tubuhku namun jiwaku bersuka cita karena Tuhan masih mengijinkan kita untuk merawat anak. Dan rasa sakit itu sudah tak terasa lagi."

"Bagaimana bisa.?"

"Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang."

"Puji Tuhan."

Malam berlalu, pagi menjelang, kembali datang malam lagi demikian waktu berjalan. Hingga suatu senja.

"Bu, aku dapat alamat Balai Penelitian Tanaman Obat di Batu dari mandorku. Baiknya kita ke sana."

Dengan semangat keesokan harinya, mereka pergi dan bertemu dengan kepalanya langsung. Dijelaskan rentan berbagai tanaman yang telah diteliti, nama, bentuk, nama latin serta kandungan dan manfaatnya. Antara lain Kunyit kuning, kunyit putih, pegagan, meniran, bengle, tapak dewa, mahkota dewa, sirih, benalu hingga berjumlah 15 tanaman untuk mengobati kanker. Sesudah tiga kali berkunjung dengan mencatat semua informasi ditambah makalah penelitian dari berbagai Universitas tentang tanaman obat, mereka berdua membuat komposisi jamu sendiri. Adapun bahan-bahan mencari sendiri, dibantu petani, teman pabrik, orang yang tak dikenal dan siapa saja yang Tuhan pakai. Sesudah meminum jamu selama beberapa minggu, lengan kiri bu Djoni yang awalnya tak bisa digerakan akhirnya bisa beraktifitas normal. Setahun kemudian lingkaran di punggung menipis. Genap tiga tahun semua lingkaran hilang beserta benjolan di payudara dan sesudah cek dokter, kanker itu sudah bersih total. Meskipun si bungsu dipanggil pulang oleh Tuhan.

Rasa senang karena Tuhan menyembuhkan melalui tanaman yang telah disediakan sejak dunia dijadikan bercampur duka karena tak lagi memiliki keturunan yang masih tinggal bersamanya. Hingga suatu malam, antara sadar atau tertidur saat bu Djoni duduk di kamar. Empat orang datang menyapanya.

"Bu." Demikian empat orang itu menyapa.

Bu Djoni memandang jelas anak lelaki pertamanya sudah dewasa sekitar 19 tahun, perawakan tinggi lebih tinggi dari ayahnya, disampingnya dua orang adikny yang tak jelas bagai banyang-bayang dan terakhir si bungsu yang sangat cantik.

"Lho le kamu kok sudah besar." Sapa bu Djoni, pada si sulung. Keempat anaknya tersenyum.

Sesudah kepergian mereka bu Djoni berdoa.
"Terimakasih Tuhan akhirnya aku bisa melihat keempat anakku secara bersamaan."

Hari-hari dilalui dengan suka cita. Kini tinggalah mereka berdua saja. "Pak masih ingat saat aku cerita berjumpa anak kita? Entah mimpi entah nyata, tapi aku rasa nyata."

"Tentu aku ingat semua yang kau ceritakan."

"Tadi malam aku bermimpi, kali ini jelas aku bermimpi. Anak kita yang bungsu dipangku oleh Tuhan Yesus pak, sedangkan ketiga kakaknya berada di samping Yesus. Mereka lebih bahagia dari pada kita. Sekarang aku sudah benar-benar rela melepas mereka "

"Segala yang terjadi dalam hidup kita adalah rencana Tuhan. Tuhan telah memberi komposisi jamu penyakit kanker. Sekarang tugas kita selama masih di dunia ini adalah membagikan kebaikan Tuhan yang telah kita terima kepada orang lain. Lanjutkan buat jamu, berikan pada yang membutuhkan sebagai rasa syukur kita pada Tuhan."

Sejak saat itu hingga tulisan ini dibuat bu Djoni membuat jamu yang diberikan pada siapa saja yang membutuhkan, sedangkan bahan dari siapa saja yang menanam atau menemukan. Tak ada jaminan kesembuhan. Tuhan yang menciptakan tanaman obat, Tuhan bisa menggunakan apa saja untuk mengobati. Namun Tuhan juga bisa tak mau mengobati.

"Saat kita diberi sakit, cobaan atau penderitaan kemudian kita menggerutu dan menuntut janji Tuhan justru rasanya semakin parah. Namun ketika kita menerima dengan lapang dada serta menikmati apa yang sedang Tuhan ijinkan terjadi, maka beban terasa ringan sebab jalan keluar itu sudah disediakan oleh Tuhan." Nasehat bu Djoni pada penulis, saat penulis berkunjung ke rumahnya di perumahan Pungging, Mojokerto.

"Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang."  Tertulis pada kemasan jamu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar