Senja menyelimuti kota Poh Pitu di
lembah Tidar berpagar gunung Merapi, Merbabu, Sumbing, Sindoro. Segerombolan
anak muda berpakaian serba hitam mencari tumpangan di perempatan lampu merah.
Belasan kendaraan telah berlalu, tetapi belum juga ada yang mengangkut mereka.
Jaya mengamati anak-anak muda tersebut, pandanganya tertuju pada kaos beberapa
anak muda bertuliskan d’rumus, seorang lagi membawa bendera merah putih,
kawannya membawa bendera d’rumus dengan lambang
kala. Jayapun mendekati meraka.
“Mas, d’rumus mau konser ya?” tanya Jaya.
“Benar, hari ini di GOR Samapta,” jawab seseorang bertubuh kecil dengan tindik di telinga
kirinya.
Sebuah
mobil bak terbuka warna hitam berhenti dan memberi tumpangan.
“Aku
ikut kalian ya,” kata Jaya sembari meloncat ke bak mobil, “sebab d’rumus salah
satu band kesukaanku.”
Jaya disambut dengan hangat, mereka bernyanyi
dan bersendau gurau. Yang aneh hanya Jaya yang tidak memakai kaos d’rumus
melainkan hem biru kotak-kotak. Mobilpun berhenti, mereka turun dilanjutkan
dengan jalan kaki. Sesampainya di depan GOR, ternyata sudah sesak dipenuhi
orang. Jaya pergi ke loket membeli tiket seharga Rp. 15.000,00 yang sepaket
dengan sebungkus rokok.
“Kalian
tidak beli tiket?” tanya Jaya pada rombongan tadi.
“Nanti
mas, mas masuk saja dulu,” jawab seseorang dari mereka.
“Jika
begitu aku masuk dulu,” Jaya menyerahkan rokok kepada orang tersebut, “ini buat
kalian, aku tidak merokok.”
“Makasih
mas.”
Jaya
memasuki gerbang yang dijaga keamanan, di belakangnya ada seorang bertubuh
besar, rambut dipotong ekor kuda mengenakan kaos d’rumus.
“Hai
Bang,” orang tersebut menyapa Jaya, “kasihan kawan-kawanmu tadi, mereka ingin
menonton pertunjukan saja tak punya uang.”
“Dari
mana Abang tahu?” Jaya terheran, “mereka bilang nanti dulu beli tiketnya.”
“Ah…kau
ini tolol atau pura-pura tidak tahu. Jangan panggil aku abang panggil saja
Dorkas.”
“Dorkas?”
Jaya memotong omongan pria raksasa tersebut.
“Iya
Dorkas, aneh ya namaku?”
“Iya
aneh, Dorkas kan nama perempuan. Namaku Jaya Bang Dorkas. Apapun nama kita itu
hadiah orang tua, mereka pasti punya tujuan dan harapan saat memberi nama.”
“Nah
itu kau tahu. Tidak usah pakai abang.”
“Iya,
tadi mau bilang apa?”
“Kawanmu
serombonganmu tadi ke sini naik apa?”
“Nebeng
mobil?”
“Nah,
artinya mereka tak ada uang, buat beli tiket pun tak mampu.”
“Tapi
kan ini sangat murah, Rp. 15.000 dapat rokok lagi.”
“Benar
harga rokok Rp. 10.500 tapi kita tidak
bisa beli tiket Rp. 4.500 dan tidak mengambil rokoknya bukan?”
“Benar
juga,” Jaya manggut-manggut.
“Artinya
para musisi kita hidup dari rokok, sebab para penggemarnya tak mampu
menghidupi. Sementara band-band luar negeri yang tiketnya jutaan rupiah hanya
bisa ditonton oleh artis dan orang-orang kaya saja.”
“Lalu
kalau tidak nonton kenapa mereka kemari?”
“Ya
dengarkan dari luar, nanti kalau pertengahan konser pintu dibuka barulah mereka
masuk berdesak-desakan,” jelas Dorkas.
Jaya
dan Dorkas telah masuk GOR berbaur dengan berbagai jenis manusia, mereka
memiliki persamaan yaitu sama-sama suka musik. Jaya menonton tak jauh dari
panggung, setelah band pembuka selesai memainkan musik maka giliran d’rumus
memasuki panggung. Lima pemuda mengenakan kaos hitam dengan gambar sampul album
mereka yang kedua.
Lagu
pertama diambil dari album pertama mereka, Natalia. Semua orang menyanyi dengan
serentak, disambung dengan Bimbang, Ayub, dan Nyonya Potifar. Suara kedua gitar
sangat harmonis dan bersahut-sahutan, ditambah dentuman aksi solo bass yang
memukau saat membawakan lagu Setan Lautan.
“Selamat
malam Poh Pitu,” sang vokalis menyapa, “kita akan bawakan single andalan kita
di album kedua, saya harap kita nyanyi bersama. Setuju!”
“Setuju!”
sahut para penonton.
“Ini
dia, Terkurung.”
Kata
Terkurung disambut hentakan serentak drum, bass, gitar satu, gitar dua dengan
nada rumit serta irama cepat membangkitkan gejolak darah muda.
Tiba di suatu saat kuterhenti
Seribu bayang menarikku tuk diam
Bayangan kejayaan masa silam
Bayangan yang akan datang
Kenyataanku hanyalah penonton
Tak pernah kuterjang segala rintangan
Menonton dari sudut keyakinanku
Menonton dari tembok yang mengurungku
Reff :
Terkurungku dalam tembok doktrinasi
Terkurungku dalam kebenaran diri
Noda hitam dan bayang-bayang kelam
Tak pernah hengkang dari jiwa ini
Disusul
Cinta Banci, Transmigran, Tolonglah Kami, Takbir Bergema, Sri Tanjung, semua dimainkan
dengan harmonis dan ditutup dengan lagu Ingin Pulang.