Jumat, 27 Januari 2017

Saya LGBT

Sebagai seorang perantau yang jauh dari orang tua serta kampung halaman, maka kebutuhan hidup dan gaya hidup harus sesuai dengan kondisi lingkungan. Sebagai lelaki jawa satu persatu saya harus memenuhi syarat seorang ksatria yaitu wisma, turangga, curiga, wanita dan kulika. Pertama curiga artinya keris secara luas berarti senjata, di dunia modern ini senjata kita adalah keahlian dan ijazah, hal ini sudah dibekali orang tua. Selanjutnya kulika yang berarti burung, secara luas berarti kesenangan, sebab zaman dulu memelihara burung atau ayam jantan merupakan kesenangan. Akan tetapi di zaman ini walaupun banyak pecinta burung yang sering ditandingkan kicaunya banyak kesenangan lain seperti olah raga, kesenian, petualangan dan banyak lagi. Karena kesenangan saya adalah musik maka sebuah gitar akustik sudah cukup sebagai kulika.

Turangga atau kuda merupakan kendaraan utama zaman sebelum ditemukan mesin. Sesudah zaman pencerahan maka kendaraan hewan digantikan oleh mesin. Pada dasarnya sejak kecil saya biasa jalan kaki ke mana-mana, bila agak jauh naik angkutan      umum. Akan tetapi ketika merantau ke jawa timur jarak dari tempat tinggal ke tempat kerja cukup jauh untuk ditempuh dengan kaki, sedangkan angkutan umum tak masuk ke kawasan industri kecuali ojek. Maka kendaraan bermotor yang awalnya bukan masalah bagi saya menjadi kebutuhan. Ada dua cara mendapatkannya yaitu kredit atau menabung sambil berdoa. Pilihan pertama tidak saya ambil karena   prinsip saya lebih baik tak punya daripada dililit utang. Akhirnya sejak saat itu saya jadi LGBT yaitu Lelaki Ganteng Butuh Tumpangan. Dari numpang sana numpang sini, menabung dan berdoa, "Tuhan saya butuh kendaraan walaupun bekas tidak masalah yang penting tidak kredit." Setelah sekian lama akhirnya dapatlah saya kendaraan bekas. Tahun berikutnya bisa ganti kendaraan baru. Dan saya tetap LGBT yaitu Lelaki Ganteng Butuh   Tuhan. Karena tanpa Tuhan saya tak mampu mencapai apapun.