Hari
telah terang tanah, embun mengambang, mentaripun perlahan bangun dari
mimpi.Kabut mulai sirna, burung-burung riang bercengkrama di dahan-dahan pohon
asam.Sebuah perkampungan di kaki bukit nampak mulai melakukan aktivitas.Tak ketinggalan
di sebuah rumah tua dengan dinding dari anyaman bambu, beratapkan genting yang
telah lumutan dimakan usia,seorang ibu muda nampak menyiapkan hidangan di dapur
yang berjelaga. Rambut hitam disanggul kecil di belakang kepala,kulit kuning
langsat, tinggi dan berat badan seimbang, mata bulat dihiasi bulu lentik dengan
alis tipis, bibir tipis kemerahan, hidung pesek serasi dengan rahang. Ia
mengenakan kain batik bercorak hitam, coklat dan putih.
Tangannya lincah, cekatan namun penuh kehati-hatian menyiapkan nasi panas,
tempe bacem, tahu bacem, ikan asin, sambal bawang, oseng-oseng kacang panjang,
rambutan segar ditata rapi di atas daun pisang beralaskan tampah, tak
ketinggalan teh panas, kental dan manis. Tanpa disadari seorang bocah laki-laki
kira-kira berumur tiga perempat windu rambut bergelombang, mengenakan kain
batik bertelanjang dada, berlari riang menghampirinya.
“Biyung, biyung… apakah Atma
sudah boleh makan?Atma lapar.” Pintanya.
“Belum boleh Atma,” jawab
biyungnya dengan sabar, “ ini adalah sesaji, kita persembahkan dulu kepada Sang
Hyang Widi, setelah sembahyang dan mengucap syukur atas apa yang kita punya
sampai saat ini, baru kita makan.”
“Baik biyung, jika demikian Atma
bantu bapa saja untuk mempersiapkan perlengkapan sembahyang.”
“Iya nak.”
Atmapun
membantu bapanya mempersiapkan keperluan sembahyang. Bapanya seorang lalaki
perkasa, dengan dada bidang, urat-urat dilengan menunjukkan ia pekerja keras,
berbadan tegap, rambut hitam bergelombang, kulit kuning sedikit gelap dibanding
istrinya, Setelah segalanya siap,
keluarga kecil ini pergi ke atas bukit bersama penduduk lainnya. Mereka menaiki
tangga batu hingga sampai ke tempat pemujaan berbentuk lingga dan yoni sebagai
simbol Dewa Siwa dan saktinya Bethari Durga. Sesaji dipersembahkan, do’a
dipanjatkan, sang Pendeta yang telah berada di situ terlebih dahulu sebelum
yang lain datang memimpin sembahyang, Rambut sang pendeta hampir seluruhnya
beruban, disanggul diatas kepala, beliau mengenakan kain putih menutupi
tubuhnya, ikat kepala putih, kerutan di dahi dan sekitar mata menunjukkan telah
banyak makan asam garam kehidupan, tatapannya tenang penuh kewibawaan dan
memancarkan kebijaksanan. Terdengar mantra dipanjatkan secara bersama-sama,
suaranya memecah keheningan pagi, menggetarkan jagad raya, menyentuh dan
menyejukan sanubari.
- Oṃ bhūr bhuvaḥ svaḥ
- tát savitúr váreṇ(i)yaṃ
- bhárgo devásya dhīmahi
- dhíyo yó naḥ pracodáyāt
Usai
sembahyang para penduduk kembali ke rumah masing-masing, demikian pula keluarga
Atma. Mereka menyantap hidangan pagi itu dengan nikmat. Sesuai adat, tidak
boleh ada suara saat makan apalagi bicara karena bisa menyebabkan tersedak,
maka rasa dari setiap masakan bisa benar-benar dinikmati.Setelah semua kenyang
dan acara sarapan berhenti, barulah perbincangan dimulai.
“Bapa, biyung…” tanya Atma, “
kenapa ikan asin itu asin? Sedangkan ikan dari laut yang masih segar rasanya
tidak asin.”
“Memang ikan laut tidak asin, “
jawab bapanya, “ ikan asin sengaja diberi garam agar awet.”
“Agar awet, kenapa harus
diawetkan? Bukankah lebih enak ikan segar?” Atma semakin penasaran.
“Setidaknya ada dua macam alasan
dalam pengawetan makanan,” bapa Atman coba menjelaskan, “ pertama jika nelayan
memperoleh hasil tangkapan ikan banyak, tidak semuanya habis dimakan hari itu
juga maka ikan itu harus diawetkan agar bisa dimakan hari-hari berikutnya dan
juga dikirim ke tempat jauh di pegunungan, jika tidak demikian ikan akan
membusuk di hari kedua setelah penangkapan. Alasan kedua, para ksatria saat
bepergian butuh perbekalan makanan jangka panjang karena tidak setiap tempat
menemukan makanan segar apalagi saat peperangan, biasanya mereka membawa ikan
asin dan daging asap.”
“Daging asap. Ya, biyung suka
memasaknya bukan? Lalu kenapa garam dan asap bisa mengawetkan makanan?”
“Mengenai hal itu, biar biyungmu
saja yang menjelaskan.”
“Bagaimana biyung?”
“Baiklah akan biyung jelaskan,”
biyung Atma menanggapi, “ Pada dasarnya semua makanan mudah busuk. Kemudian
manusia berusaha mencari penyebab pembusukan makanan dan berusaha
mencegahnya.Ternyata ada mahluk hidup yang sangat kecil sekali hingga tak bisa
dilihat dengan mata telanjang, orang kemudian menamakan bakteri.Bakteri inilah
yang hidup dalam makanan, dan ketika ia makan, berkembang biak dan tentu saja
buang kotoran maka terjadilah pembusukan makanan. Selain bakteri ada sejenis
jamur yang bisa tumbuh dalam makanan.Agar mencegah pembusukan kita harus
membunuh bakteri dan jamur tersebut.Bagaimana caranya?Sementara biyung jelaskan
bakteri dulu agar mudah diingat.Kita harus tahu dulu apa penyebab mahluk hidup
bisa bertahan hidup. Sama halnya manusia, hewan dan tumbuhan, semua makluk hidup
termasuk bakteri mebutuhkan makanan, udara untuk bernafas dan air.Sampai di
sini paham?”
“Ya paham, lanjutkan biyung.”
“Untuk membunuh bakteri kita
harus menghilangkan salah satu dari ketiga unsur tadi. Makanan tidak mungkin
dihapus, karena itu merupakan sumber makanan yang akan kita awetkan tadi. Udara
selalu ada si setiap ruangan.Berarti tinggal kita kendalikan air yang terdapat
dalam makanan tersebut.”
“Berarti kalau kita jemur sampai
kering bisa mengawetkan makanan?”
“Benar itu yang telah dilakukan
para leluhur untuk mengawaetkan cabai, padi, jagung, palawija serta pembuatan
keripik dari umbi-umbian.Namun ikan dan dagin tak bisa dijemur sampai
kering.Maka nenek moyang kita menemukan cara penawetan ikan dengan garam, asap
untuk daging serta gula untuk buah-buahan agar tetap segar. “
“Bagaimana garam bisa mengurangi
kadar air?”
Belum
sempat biyung Atma menjelaskan, tiba-tiba terdengar pintu di ketok.
“Selamat pagi, permisi.” Terdengar
suara laki-laki dari luar
“Selamat pagi,” sahut orang yang
di dalam secara bersamaan, Atma lansung berlari menemui tamu.
Seorang pria berbadan agak kurus,
tingggi, mata bulat, tulang pipi menonjol, kulit sawo matang, rambut lurus,
hidung besar menyapa ramah.
“Pagi Atma,”
“Pagi paman Paimin dan paman
Dalijo, kalian mau berburu dengan bapa ya”
“Benar Atma, bapamu sudah siap?” Jawab
seorang lagi yang berbadan tambun, hidung pesek, rambut keriting, kulit putih,
mata sipit, cambang lebat, wajah kemerah-merahan ditimpa matahari.
“Aku sudah siap.”Bapa Atma
menjawab. Dia sudah berada di belakang Atma, di susul istrinya.
“Kang Bejo, ayo kita berangkat,
kawan-kawan telah menunggu di rumah Santoso.”
Bejo jongkok di depan anaknya“Atma,
bapa pergi berburu dulu ya.Jika kami mendapat rusa, nanti kita buat daging rusa
asap. Kau jaga rumah dan biyungmu baik-baik ya.”
“Ya, bapa. Atma akan menunggu
sampai bapa pulang.”
“Rayi, kakang pergi dulu ya.”Bejo
berpamitan kepada istrinya. Kemudian Atma dan biyungnya mencium tangan Bejo.
“Yu Ratna, Atma, kami berangkat
dulu”
“Hati-hati paman” Jawab Atma. Disusul
dengan biyungnya
“Hati-hati kalian, ingatlah
selalu eling dan waspada dalam segala tindakan.”
“Baiklah kami pergi.” Sahut
mereka bertiga
Atma dan biyungnyapun melepas ketiganya
dengan lambaian tangan dan diiringi do’a dalam hati agar Sang Hyang Widi selalu
melindungi keluarga mereka dan juga kampung tempat mereka tinggal.
“Biyung, mari kita lanjutkan cara
penawetan makanan tadi. “ Atma semakin ingin tahu.
“Baiklah.Atma tahu sungai mengalir
dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah?”
“Tahu, tapi air dalam ikankan
tidak mengalir?”
“Benar, tidak mengalir tetapi
dapat berpindah. Air yang banyak dapat berpindah ketempat yang berair sedikit.
Jadi dalam tubuh ikan terdapat banyak air, sedangkan dalam garam tidak ada
airnya, maka air akan berpindah dari tubuh ikan keluar yaitu terserap oleh
garam. Sebaliknya didalam tubuh ikan tidak ada garam, maka garam akan berpindah
ke tubuh ikan sehingga rasanya asin.”
“Jadi karena dalam tubuh ikan
tiada airnya maka bakteri tidak dapat hidup?”
“Bukan tidak ada air, tetapi
sedikit air.Selain bakteri, jamur juga tidak dapat tumbuh.Ingat juga bahwa
bakteri merupakan mahluk hidup yang memiliki air dalam tubuhnya, jika air dalam
tubuh bakteri berpindah keluar karena garam, maka bakteri akan mati.”
“Saat dimasak, bukankah bakteri
sudah mati.”
“Benar bakteri akan mati saat
kita menggoreng, merebus atau membakar makanan.Tetapi setelah dingin maka
bakteri yang beterbangan di udara akan hinggap ke makanan dan berkembang biak.
Jadi walaupun awet tak ada makanan yang awet selamanya. Hanya saja makanansegar
dapat busuk dalam tiga hari, jika diawetkan akan busuk juga tetapi sebulan atau
dua bulan kemudian.”
“O..Atma mengerti sekarang.
Kemudian bagaimana perpindahan air saat diberi asap.”
“Pada prinsipnya hampir sama,
udara disekitar kita mengandung air berupa uap. Sebagai bukti saat malam hari
udara dingin uap air yang terdapat dalam udara mengembun membasahi dedaunan dan
segala seuatu di muka bumi ini, ketika mentari muncul embun tersebut menguap
lagi bersatu dengan udara. Kita tidak tahu jumlah air dalam daging, juga tidak
tahu jumlah air dalam udara sehingga tidak tahu bagaimana perpindahan air
tersebut. Agar air bisa berpindah dari daging ke udara maka kita harus
menghilangkan atau membuat kondisi dimana kadar airnya adalah nol. Saat kayu
atau arang dibakar hasil pembakaran berupa api, panas, abu dan asap. Asap yang
ditimbulkan selain panas juga tidak memiliki kandungan air. Jadi ada dua fungsi
asap yaitu memanaskan daging sehingga air dalam daging menguap, kedua akan
terjadi perpindahan air dari dalam daging ke asap.”
***
Tujuh
orang laki-laki berjalan meninggalkan kampung, mereka membawa busur lengkap
dengan anak panahnya, tombak dan golok. Sampai di pertigaan belok kiri menuju
hutan. Sesekali embun masih menetes dari dedaunan, semakin masuk ke dalam hutan sinar
mentari terhalangi oleh rimbunnya daun-daun. Monyet-monyet bergelantungan,
berebut dahan dengan burung-burung, Mereka melintasi rawa, bukit, semak
belukar, sambil terus waspada terhadap sekelilingnya,
Seekor
rusa nampak asik merumput, tanpa disadari tujuh orang telah mengintainya,
tiba-tiba anak panah melesat tujuh buah sekaligus. Dua anak panah meleset,
sisanya mengenai pantat, dada, leher, kaki kiri dan pinggan. Tak ayal lagi,
rusa lari tunggang langgang dengan sekuat tenaga dan para pemburupun mengejarnya.
Saat rusa itu hampir kehabisan darah, langkahnya melambat dan akhirnya rebah.
Para pemburu memeperlambat langkahnya karena merasa telah berhasil, dan jarak
mereka kira-kira delapan tombak. Sekonyong-konyong melesat dua orang didepan
mereka dengan menghunus golok.
“Berhenti!” hardiknya.
Mereka bertujuh langsung
berhenti, dan mengamati kedua orang tersebut yang jika dilihat dari pakaiannya
mereka adalah prajurit kerajaan, namun kenapa ada di hutan seperti ini. Belum
sempat mereka berfikir, salah seorang dari prajurit itu bicara sambil tatapan
matanya penuh kewaspadaan.
“Kalian dilarang melintasi hutan
ini, ini adalah hutan larangan milik kerajaan.”
“Maaf Kisanak,” Paimin menjawab,
“ kami bermaksud mengejar rusa buruan kami. Kami tidak tahu jika ini daerah
terlarang, namuan ijinkanlah kami mengambil rusa itu kemudian kami akan pergi.”
“Tidak bisa, “ prajurit tadi
tetap tegas, “segala sesuatu yang masuk wilayah kami adalah milik kami, lebih
baik kalian pulang saja.’
“Kami tahu Kisanak berdua
menjalankan tugas,” Paimin berusaha melunakkan hati sang prajurit, “tapi
saudara kami init telah berjanji membawakan rusa untuk anaknya. Jika kami pulang
tanpa hasil, betapa kecewanya anak istri kami, mereka sangat mengharapkan
kami.”
“Maaf kisanak, “ prajurit yang
satunya angkat bicara namun tidak terlalu bengis, “memang kami hanya
menjalankan tugas, jika kami melanggar peraturan justru kamilah yang akan
mendapat celaka, sebaiknya Kisanak bertujuh mencari lagi buruan.”
Dalijo tak bisa menahan emosi, “
Keras kepala sekali Kisanak, apa perlu ada pertumpahan darah diantara kita
hanya untuk seekor rusa, mungkin bagi kalian itu tak berarti, tetapi bagi kami
itu sangat berarti untuk makan anak istri kami.”
Dalijo menghunus golok, disusul
dua temannya.
“Hentikan.” Bejo menahan
kawan-kawannya, “ Untuk apa kita bertaruh nyawa hanya untuk hewan buruan, jika
para prajurit ini tega memakan hasil jerih payah rakyatnya biarkan saja.
Seorang prajurit seharusnya membela rakyatnya bukan mengambil makanan
rakyatnya. Kawan-kawan mari kita pulang saja, biarlah anak istri kita lapar asalkan
para prajurit ini kenyang, sudah menjadi sebuah cerita lama bahwa rakyat harus
selalu mengalah dan tertindas.”
Tiba-tiba terdengar serombongan
kuda, dari arah mereka bertujuh datang tadi. Ada enam ekor kuda, penumpangnya
bukan sembarangan, dari pakaiannya kita bisa tahu bahwa mereka adalah para
pemimpin pasukan kerajaan.”
Seorang yang ada di depan
langsung bertanya, sementara kedua prajurit memberi hormat.
“Ada apa ini, apakah mereka penyusup.”
“Bukan Gusti,” salah seoarang
prajurit menjelaskan, “mereka ini pemburu.”
Kemudian dia menceritakan apa
yang baru saja terjadi. Orang yang dipanggil Gusti mendengarkan dengan seksama,
sementara bejo hanya menunduk saat perbincangan.
“Prajurit,” kata orang di atas
kuda, “ kalian telah melakukan tugas dengan baik, mereka juga orang yang patut
kita lindungi, mereka telah susah payah mencari makanan untuk keluarga. Aturan
harus ditegaskan, namun belas kasihan juga harus ada. Begini, mereka tetap
dilarang memasuki kawasan kita, namun rusa itu adalah hak mereka. Jadi kalian
ambilkan rusa itu dan serahkan kepada mereka.”
“Baik Gusti.” Keduanya menjawab
serempak. Tanpa diperintahkan dua kali mereka langsung memberi aba-aba, dari
persembunyian muncul empat prajurit lagi yang langsung membantu mengambil
sekaligus menyerahkan bangkai rusa ke Paimin dan kawan-kawan.
“Terimakasih Gusti.” Paimin dan
kawan kawan menghaturkan sembah ke para penunggang kuda yang langsung berlalu
memasuki kawasan terlarang tersebut. Tiba-tiba salah seorang dari mereka
menghentikan kudanya.
“Tunggu dulu.”mendadak semua
berhenti, iapun berpaling dan turun dari kudanya. “Hei Kisanak kemarilah” Ia
menunjuk Bejo, “Sepertinya aku mengenalmu?”
……….