Senin, 24 Maret 2014

MAHAPRALAYA (bagian 1)


Hari telah terang tanah, embun mengambang, mentaripun perlahan bangun dari mimpi.Kabut mulai sirna, burung-burung riang bercengkrama di dahan-dahan pohon asam.Sebuah perkampungan di kaki bukit nampak mulai melakukan aktivitas.Tak ketinggalan di sebuah rumah tua dengan dinding dari anyaman bambu, beratapkan genting yang telah lumutan dimakan usia,seorang ibu muda nampak menyiapkan hidangan di dapur yang berjelaga. Rambut hitam disanggul kecil di belakang kepala,kulit kuning langsat, tinggi dan berat badan seimbang, mata bulat dihiasi bulu lentik dengan alis tipis, bibir tipis kemerahan, hidung pesek serasi dengan rahang. Ia mengenakan kain batik bercorak hitam, coklat dan putih. Tangannya lincah, cekatan namun penuh kehati-hatian menyiapkan nasi panas, tempe bacem, tahu bacem, ikan asin, sambal bawang, oseng-oseng kacang panjang, rambutan segar ditata rapi di atas daun pisang beralaskan tampah, tak ketinggalan teh panas, kental dan manis. Tanpa disadari seorang bocah laki-laki kira-kira berumur tiga perempat windu rambut bergelombang, mengenakan kain batik bertelanjang dada, berlari riang menghampirinya.
“Biyung, biyung… apakah Atma sudah boleh makan?Atma lapar.” Pintanya.
“Belum boleh Atma,” jawab biyungnya dengan sabar, “ ini adalah sesaji, kita persembahkan dulu kepada Sang Hyang Widi, setelah sembahyang dan mengucap syukur atas apa yang kita punya sampai saat ini, baru kita makan.”
“Baik biyung, jika demikian Atma bantu bapa saja untuk mempersiapkan perlengkapan sembahyang.”
“Iya nak.”
            Atmapun membantu bapanya mempersiapkan keperluan sembahyang. Bapanya seorang lalaki perkasa, dengan dada bidang, urat-urat dilengan menunjukkan ia pekerja keras, berbadan tegap, rambut hitam bergelombang, kulit kuning sedikit gelap dibanding istrinya,  Setelah segalanya siap, keluarga kecil ini pergi ke atas bukit bersama penduduk lainnya. Mereka menaiki tangga batu hingga sampai ke tempat pemujaan berbentuk lingga dan yoni sebagai simbol Dewa Siwa dan saktinya Bethari Durga. Sesaji dipersembahkan, do’a dipanjatkan, sang Pendeta yang telah berada di situ terlebih dahulu sebelum yang lain datang memimpin sembahyang, Rambut sang pendeta hampir seluruhnya beruban, disanggul diatas kepala, beliau mengenakan kain putih menutupi tubuhnya, ikat kepala putih, kerutan di dahi dan sekitar mata menunjukkan telah banyak makan asam garam kehidupan, tatapannya tenang penuh kewibawaan dan memancarkan kebijaksanan. Terdengar mantra dipanjatkan secara bersama-sama, suaranya memecah keheningan pagi, menggetarkan jagad raya, menyentuh dan menyejukan sanubari.
Oṃ bhūr bhuvaḥ svaḥ
tát savitúr váreṇ(i)yaṃ
bhárgo devásya dhīmahi
dhíyo yó naḥ pracodáyāt

            Usai sembahyang para penduduk kembali ke rumah masing-masing, demikian pula keluarga Atma. Mereka menyantap hidangan pagi itu dengan nikmat. Sesuai adat, tidak boleh ada suara saat makan apalagi bicara karena bisa menyebabkan tersedak, maka rasa dari setiap masakan bisa benar-benar dinikmati.Setelah semua kenyang dan acara sarapan berhenti, barulah perbincangan dimulai.
“Bapa, biyung…” tanya Atma, “ kenapa ikan asin itu asin? Sedangkan ikan dari laut yang masih segar rasanya tidak asin.”
“Memang ikan laut tidak asin, “ jawab bapanya, “ ikan asin sengaja diberi garam agar awet.”
“Agar awet, kenapa harus diawetkan? Bukankah lebih enak ikan segar?” Atma semakin penasaran.
“Setidaknya ada dua macam alasan dalam pengawetan makanan,” bapa Atman coba menjelaskan, “ pertama jika nelayan memperoleh hasil tangkapan ikan banyak, tidak semuanya habis dimakan hari itu juga maka ikan itu harus diawetkan agar bisa dimakan hari-hari berikutnya dan juga dikirim ke tempat jauh di pegunungan, jika tidak demikian ikan akan membusuk di hari kedua setelah penangkapan. Alasan kedua, para ksatria saat bepergian butuh perbekalan makanan jangka panjang karena tidak setiap tempat menemukan makanan segar apalagi saat peperangan, biasanya mereka membawa ikan asin dan daging asap.”
“Daging asap. Ya, biyung suka memasaknya bukan? Lalu kenapa garam dan asap bisa mengawetkan makanan?”
“Mengenai hal itu, biar biyungmu saja yang menjelaskan.”
“Bagaimana biyung?”
“Baiklah akan biyung jelaskan,” biyung Atma menanggapi, “ Pada dasarnya semua makanan mudah busuk. Kemudian manusia berusaha mencari penyebab pembusukan makanan dan berusaha mencegahnya.Ternyata ada mahluk hidup yang sangat kecil sekali hingga tak bisa dilihat dengan mata telanjang, orang kemudian menamakan bakteri.Bakteri inilah yang hidup dalam makanan, dan ketika ia makan, berkembang biak dan tentu saja buang kotoran maka terjadilah pembusukan makanan. Selain bakteri ada sejenis jamur yang bisa tumbuh dalam makanan.Agar mencegah pembusukan kita harus membunuh bakteri dan jamur tersebut.Bagaimana caranya?Sementara biyung jelaskan bakteri dulu agar mudah diingat.Kita harus tahu dulu apa penyebab mahluk hidup bisa bertahan hidup. Sama halnya manusia, hewan dan tumbuhan, semua makluk hidup termasuk bakteri mebutuhkan makanan, udara untuk bernafas dan air.Sampai di sini paham?”
“Ya paham, lanjutkan biyung.”
“Untuk membunuh bakteri kita harus menghilangkan salah satu dari ketiga unsur tadi. Makanan tidak mungkin dihapus, karena itu merupakan sumber makanan yang akan kita awetkan tadi. Udara selalu ada si setiap ruangan.Berarti tinggal kita kendalikan air yang terdapat dalam makanan tersebut.”
“Berarti kalau kita jemur sampai kering bisa mengawetkan makanan?”
“Benar itu yang telah dilakukan para leluhur untuk mengawaetkan cabai, padi, jagung, palawija serta pembuatan keripik dari umbi-umbian.Namun ikan dan dagin tak bisa dijemur sampai kering.Maka nenek moyang kita menemukan cara penawetan ikan dengan garam, asap untuk daging serta gula untuk buah-buahan agar tetap segar. “
“Bagaimana garam bisa mengurangi kadar air?”
            Belum sempat biyung Atma menjelaskan, tiba-tiba terdengar pintu di ketok.
“Selamat pagi, permisi.” Terdengar suara laki-laki dari luar
“Selamat pagi,” sahut orang yang di dalam secara bersamaan, Atma lansung berlari menemui tamu.
Seorang pria berbadan agak kurus, tingggi, mata bulat, tulang pipi menonjol, kulit sawo matang, rambut lurus, hidung besar menyapa  ramah.
“Pagi Atma,”
“Pagi paman Paimin dan paman Dalijo, kalian mau berburu dengan bapa ya”
“Benar Atma, bapamu sudah siap?” Jawab seorang lagi yang berbadan tambun, hidung pesek, rambut keriting, kulit putih, mata sipit, cambang lebat, wajah kemerah-merahan ditimpa matahari.
“Aku sudah siap.”Bapa Atma menjawab. Dia sudah berada di belakang Atma, di susul istrinya.
“Kang Bejo, ayo kita berangkat, kawan-kawan telah menunggu di rumah Santoso.”
Bejo jongkok di depan anaknya“Atma, bapa pergi berburu dulu ya.Jika kami mendapat rusa, nanti kita buat daging rusa asap. Kau jaga rumah dan biyungmu baik-baik ya.”
“Ya, bapa. Atma akan menunggu sampai bapa pulang.”
“Rayi, kakang pergi dulu ya.”Bejo berpamitan kepada istrinya. Kemudian Atma dan biyungnya mencium tangan Bejo.
“Yu Ratna, Atma, kami berangkat dulu”
“Hati-hati paman” Jawab Atma. Disusul dengan biyungnya
“Hati-hati kalian, ingatlah selalu eling dan waspada dalam segala tindakan.”
“Baiklah kami pergi.” Sahut mereka bertiga
Atma dan biyungnyapun melepas ketiganya dengan lambaian tangan dan diiringi do’a dalam hati agar Sang Hyang Widi selalu melindungi keluarga mereka dan juga kampung tempat mereka tinggal.
“Biyung, mari kita lanjutkan cara penawetan makanan tadi. “ Atma semakin ingin tahu.
“Baiklah.Atma tahu sungai mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah?”
“Tahu, tapi air dalam ikankan tidak mengalir?”
“Benar, tidak mengalir tetapi dapat berpindah. Air yang banyak dapat berpindah ketempat yang berair sedikit. Jadi dalam tubuh ikan terdapat banyak air, sedangkan dalam garam tidak ada airnya, maka air akan berpindah dari tubuh ikan keluar yaitu terserap oleh garam. Sebaliknya didalam tubuh ikan tidak ada garam, maka garam akan berpindah ke tubuh ikan sehingga rasanya asin.”
“Jadi karena dalam tubuh ikan tiada airnya maka bakteri tidak dapat hidup?”
“Bukan tidak ada air, tetapi sedikit air.Selain bakteri, jamur juga tidak dapat tumbuh.Ingat juga bahwa bakteri merupakan mahluk hidup yang memiliki air dalam tubuhnya, jika air dalam tubuh bakteri berpindah keluar karena garam, maka bakteri akan mati.”
“Saat dimasak, bukankah bakteri sudah mati.”
“Benar bakteri akan mati saat kita menggoreng, merebus atau membakar makanan.Tetapi setelah dingin maka bakteri yang beterbangan di udara akan hinggap ke makanan dan berkembang biak. Jadi walaupun awet tak ada makanan yang awet selamanya. Hanya saja makanansegar dapat busuk dalam tiga hari, jika diawetkan akan busuk juga tetapi sebulan atau dua bulan kemudian.”
“O..Atma mengerti sekarang. Kemudian bagaimana perpindahan air saat diberi asap.”
“Pada prinsipnya hampir sama, udara disekitar kita mengandung air berupa uap. Sebagai bukti saat malam hari udara dingin uap air yang terdapat dalam udara mengembun membasahi dedaunan dan segala seuatu di muka bumi ini, ketika mentari muncul embun tersebut menguap lagi bersatu dengan udara. Kita tidak tahu jumlah air dalam daging, juga tidak tahu jumlah air dalam udara sehingga tidak tahu bagaimana perpindahan air tersebut. Agar air bisa berpindah dari daging ke udara maka kita harus menghilangkan atau membuat kondisi dimana kadar airnya adalah nol. Saat kayu atau arang dibakar hasil pembakaran berupa api, panas, abu dan asap. Asap yang ditimbulkan selain panas juga tidak memiliki kandungan air. Jadi ada dua fungsi asap yaitu memanaskan daging sehingga air dalam daging menguap, kedua akan terjadi perpindahan air dari dalam daging ke asap.”

***
            Tujuh orang laki-laki berjalan meninggalkan kampung, mereka membawa busur lengkap dengan anak panahnya, tombak dan golok. Sampai di pertigaan belok kiri menuju hutan. Sesekali embun masih menetes dari dedaunan, semakin masuk ke dalam hutan sinar mentari terhalangi oleh rimbunnya daun-daun. Monyet-monyet bergelantungan, berebut dahan dengan burung-burung, Mereka melintasi rawa, bukit, semak belukar, sambil terus waspada terhadap sekelilingnya,
            Seekor rusa nampak asik merumput, tanpa disadari tujuh orang telah mengintainya, tiba-tiba anak panah melesat tujuh buah sekaligus. Dua anak panah meleset, sisanya mengenai pantat, dada, leher, kaki kiri dan pinggan. Tak ayal lagi, rusa lari tunggang langgang dengan sekuat tenaga dan para pemburupun mengejarnya. Saat rusa itu hampir kehabisan darah, langkahnya melambat dan akhirnya rebah. Para pemburu memeperlambat langkahnya karena merasa telah berhasil, dan jarak mereka kira-kira delapan tombak. Sekonyong-konyong melesat dua orang didepan mereka dengan menghunus golok.
“Berhenti!” hardiknya.
Mereka bertujuh langsung berhenti, dan mengamati kedua orang tersebut yang jika dilihat dari pakaiannya mereka adalah prajurit kerajaan, namun kenapa ada di hutan seperti ini. Belum sempat mereka berfikir, salah seorang dari prajurit itu bicara sambil tatapan matanya penuh kewaspadaan.
“Kalian dilarang melintasi hutan ini, ini adalah hutan larangan milik kerajaan.”
“Maaf Kisanak,” Paimin menjawab, “ kami bermaksud mengejar rusa buruan kami. Kami tidak tahu jika ini daerah terlarang, namuan ijinkanlah kami mengambil rusa itu kemudian kami akan pergi.”
“Tidak bisa, “ prajurit tadi tetap tegas, “segala sesuatu yang masuk wilayah kami adalah milik kami, lebih baik kalian pulang saja.’
“Kami tahu Kisanak berdua menjalankan tugas,” Paimin berusaha melunakkan hati sang prajurit, “tapi saudara kami init telah berjanji membawakan rusa untuk anaknya. Jika kami pulang tanpa hasil, betapa kecewanya anak istri kami, mereka sangat mengharapkan kami.”
“Maaf kisanak, “ prajurit yang satunya angkat bicara namun tidak terlalu bengis, “memang kami hanya menjalankan tugas, jika kami melanggar peraturan justru kamilah yang akan mendapat celaka, sebaiknya Kisanak bertujuh mencari lagi buruan.”
Dalijo tak bisa menahan emosi, “ Keras kepala sekali Kisanak, apa perlu ada pertumpahan darah diantara kita hanya untuk seekor rusa, mungkin bagi kalian itu tak berarti, tetapi bagi kami itu sangat berarti untuk makan anak istri kami.”
Dalijo menghunus golok, disusul dua temannya.
“Hentikan.” Bejo menahan kawan-kawannya, “ Untuk apa kita bertaruh nyawa hanya untuk hewan buruan, jika para prajurit ini tega memakan hasil jerih payah rakyatnya biarkan saja. Seorang prajurit seharusnya membela rakyatnya bukan mengambil makanan rakyatnya. Kawan-kawan mari kita pulang saja, biarlah anak istri kita lapar asalkan para prajurit ini kenyang, sudah menjadi sebuah cerita lama bahwa rakyat harus selalu mengalah dan tertindas.”
Tiba-tiba terdengar serombongan kuda, dari arah mereka bertujuh datang tadi. Ada enam ekor kuda, penumpangnya bukan sembarangan, dari pakaiannya kita bisa tahu bahwa mereka adalah para pemimpin pasukan kerajaan.”
Seorang yang ada di depan langsung bertanya, sementara kedua prajurit memberi hormat.
“Ada apa ini, apakah mereka penyusup.”
“Bukan Gusti,” salah seoarang prajurit menjelaskan, “mereka ini pemburu.”
Kemudian dia menceritakan apa yang baru saja terjadi. Orang yang dipanggil Gusti mendengarkan dengan seksama, sementara bejo hanya menunduk saat perbincangan.
“Prajurit,” kata orang di atas kuda, “ kalian telah melakukan tugas dengan baik, mereka juga orang yang patut kita lindungi, mereka telah susah payah mencari makanan untuk keluarga. Aturan harus ditegaskan, namun belas kasihan juga harus ada. Begini, mereka tetap dilarang memasuki kawasan kita, namun rusa itu adalah hak mereka. Jadi kalian ambilkan rusa itu dan serahkan kepada mereka.”
“Baik Gusti.” Keduanya menjawab serempak. Tanpa diperintahkan dua kali mereka langsung memberi aba-aba, dari persembunyian muncul empat prajurit lagi yang langsung membantu mengambil sekaligus menyerahkan bangkai rusa ke Paimin dan kawan-kawan.
“Terimakasih Gusti.” Paimin dan kawan kawan menghaturkan sembah ke para penunggang kuda yang langsung berlalu memasuki kawasan terlarang tersebut. Tiba-tiba salah seorang dari mereka menghentikan kudanya.
“Tunggu dulu.”mendadak semua berhenti, iapun berpaling dan turun dari kudanya. “Hei Kisanak kemarilah” Ia menunjuk Bejo, “Sepertinya aku mengenalmu?”
……….

Kamis, 13 Maret 2014

KEPUNG GELANG : Antara Sejarah dan Mitos Makam Kyai Spanjang


Sunyi, sepi, gelap dan angker, itulah kesan yang ada dalam pikiran kita jika mendengar kata makam. Sebuah monumen kehidupan masa lalu, dimana kematian manusia yang tak mungkin dihindari meninggalkan jasadnya. Jasad-jasad tak bernyawa ini dikuburkan secara rapi berkelompok-kelompok dalam apa yang dinamakan makam. Makam merupakan prasasti tentang keluarga, nenek moyang, orang-orang ternama dari masa lampau. Batu nisan seolah menceritakan bahwa pernah ada manusia yang hidup dengan nama dan waktu hidup terpahat. Sebuah makam kadang hanya menjadi gundukan tanah tak terurus, ditumbuhi semak dan duri sampai waktu menggilas dan hilang tak berbekas. Makam lainnya terawat rapi, dibersihkan dan ditaburi bunga setiap hari-hari tertentu, tiga generasi kemudian nasibnyapun tak terurus dan hilang tanpa ada seorangpun menanyakannya. Ada pula makam yang berumur ratusan tahun masih terawat rapi, dikunjungi banyak orang bahkan orang-orang yang tak ada hubungan darah sekalipun. Makam-makam ini banyak tersebar di tanah jawa, biasanya adalah makam-makam orang ternama pada masanya. Entah dia orang bijak maupun jahat, orang yang pernah berjasa bagi negara atau kampung. Dan selalu ada cerita dibalik makam peninggalan nenek moyang kita.

Di tengah pulau jawa ada sebuah gunung yang terletak di kota Magelang, gunung ini terkenal dengan sebutan gunung Tidar. Entah kenapa dinamakan gunung, karena jika kita lihat hanya sebuah bukit yang sangat tinggi dan hanya perlu waktu sekitar 30 menit berjalan kaki menuju puncaknya. Di sepanjang perjalanan ke puncak,  jika kita mulai dari kelurahan Magersari, kita akan menemukan makam Syekh Subakir, Kyai Spanjang dan Kyai Semar. Makam Kyai Spanjang atau labih dikenal dengan sebutan Mbah Panjang, merupakan makam sebuah tombak karena makamnya sangat panjang sekali lebih dari dua kali ukuran manusia dewasa. Banyak versi mengenai makam tersebut, setidaknya ada dua versi yang ingin penulis sampaikan di sini mengenai siapa sesungguhnya Kyai Spanjang tersebut. Cerita pertama dikatakan bahwa gunung Tidar merupakan gunung yang sangat angker pada saat Kedu  merupakan hutan belantara, hingga siapapun yang mendekat kalau tidak “mati” ya “modar” (modar = mati bahasa jawa tetapi konotasinya kasar). Maka dari singkatan inilah muncul nama Tidak (mati-modar). Syekh subakir seorang penyebar agama Islam datang ke tanah jawa menahlukan jin-jin penunggu gunung Tidar. Senjatanya berupa tombak bernama Kyai Spanjang. Ketika wafat senjata dan pemiliknya dimakamkan di gunung tersebut.

Versi lain menceritakan pada zaman Mataram Islam berkuasa, ada seorang buronan kerajaan bernama Jaka Spanjang yang diburu oleh tentara Mataram. Ada dua kisah juga dalam ketokohannya, ada yang menceritakan Jaka Spanjang seorang pemberontak, lainnya mengatakan dia seorang pejuang yang menuntut keadilan. Sama halnya Rangga Lawe di zaman awal Majapahit. Rangga Lawe dianggap pemberontak oleh Majapahit, tetapi dia adalah pahlawan yang menuntut keadilan bagi rakyat Tuban. Saat pengejaran, Jaka Spanjang melarikan diri ke gunung Tidar. Karena gunung ini tidak terlalu besar maka dikerahkan seluruh pasukan Mataram untuk mengepung gunung Tidar. Para prajurit melingkari gunung mulai dari bawah dengan jarak antar prajurit cukup rapat, kemudian secara serentak menyusuri gunung sampai puncaknya. Pengepungan model ini terkenal dengan sebutan “Kepung Gelang” (dikepung seperti gelang), dari peristiwa kepung gelang inilah muncul nama Magelang. Sesampainya di puncak tak seorangpun prajurit yang bertemu dengan Jaka Spanjang, di puncak bukit mereka hanya menemukan sebuah tombak. Tombak inilah yang dimakamkan sebagai makam Kyai Spanjang.

Ada dua dugaan dalam peristiwa kepung gelang, prajurit tidak tahu pasti apakah tombak tersebut jelmaan Jaka Spanjang atau senjatannya, karena sejak peristiwa itu Jaka Spanjang tidak muncul lagi. Banyak yang percaya bahwa tombak Kyai Spanjang adalah jelmaan Jaka Spanjang, tetapi banyak juga yang percaya bahwa tombak tersebut hanyalah senjata sedangkan Jaka Spanjang melarikan diri lewat gua tawon. Gua tawon adalah gua sempit kira-kira satu orang saja bisa masuk. Gua ini pernah diisi batu untuk pembangunan jalan aspal menuju puncak. Harapannya akan dibangun vila diatas gunung, namun karena sudah puluhan truk batu yang mengisi gua dan tidak penuh juga, juga tak diketahui berapa dalamnya, maka proyek dihentikan. Konon kabarnya gua tawon ini tembus sampai pantai selatan, dan Jaka Spanjang lari melalui jalur ini saat peristiwa kepung gelang. Tetapi siapa juga yang ingin membuktikannya? Jika ada yang ingin membuktikan silakan, carilah di punggung gunung sisi selatan dari arah kampung mBaben, gua ini tertutup semak-semak di samping jalan setapak sehingga butuh pemandu untuk menemukannya.

Setidaknya ada dua versi siapa Kyai Spanjang yaitu senjata Syekh Subakir atau seorang buronan Mataram. Ada dua mitos pula tentang seorang buronan yaitu pahlawan atau pemberontak. Ada dua kemungkinan tentang tombak yang ditemukan prajurit Mataram, jelmaan Jaka Spanjang atau senjatanya. Belum diketahui dengan pasti mana yang benar, tetapi merupakan fakta bahwa ada dua makam Kyai Spanjang. Keduanya sama-sama panjang dan mitosnya berisi tombak. Yang pertama di gunung Tidar, makam kedua di jantung kota Magelang tepatnya di kelurahan Panjang. Nama kelurahan inipun asalnya dari adanya makam Kyai Spanjang (mbah Panjang). Makam di kelurahan Panjang inipun menempati dua tempat. Awalnya berada di sisi utara kelurahan, yaitu di kampung Losmenan, sekarang tepatnya di belakang PLN. Karena terletak di jantung kota dan daerah tersebut semakin ramai, maka Dinas Kebudayaan Kota Magelang memindahkan ke tempat yang sekarang yaitu di ujung kampung Bogeman Wetan. Tempat tersebut dahulu sangat sepi, dikelilingi persawahan dan hutan bambu. Kota terus berkembang, di depan makam dibangun jalan tembus, hingga saat ini Makam Mbah Panjang ramai dikelilingi penduduk. Tak ada lagi kesan angker bagi masyarakat sekitarnya, tetapi bagi orang yang mengkultuskan makam, makam tersebut tetap keramat. Konon saat pemindahan, tombak Kyai Spanjang diangkat secara gaib oleh orang-orang sakti, jadi tidak ada yang pernah melihat wujudnya.


MAKNA MAKAM

Pak Tukiman atau lebih dikenal Pak Mantuk, seorang setengah baya berbadan tambun dipercaya menjadi juru kunci Makam Kyai Spanjang. Dia bukan seorang yang sakti mandraguna atau punya kelebihan lain kecuali kelebihan berat badannya, beliau menjadi juru kunci kareana rumahnya persis di belakang makam. Setiap peziarah pasti ijin dulu pada sang kuncen (juru kunci), dan jika ingin banyak informasi tentang sejarah kota Magelang tanyakan saja padanya. Karena beliau mendapat pendidikan serta serta sertifikat dari Dinas Kebudayaan Kota, dan punya SK sebagai juru kunci. Saat ini pak mantuk dipercaya pula oleh warga menjadi ketua RT.
Makam mbah Panjang seperti kuburan pada umumnya namun dipagari, di tengah kuburan ada pusara khusus yaitu makam mbah Panjang. Makam ini dikelilingi tembok tetapi tidak beratap, di depan makam ada pintu untuk keluar masuk peziarah. Sebelum masuk pintu kita harus melewati pendopo berbentuk joglo di depannya. Di pojok kanan komplek pemakaman terdapat pintu gerbang, di sisinya ada pos kamling. Di pendopo makam inilah pak Mantuk dan kawan-kawanya sering berkumpul untuk diskusi spiritual. Selain itu, pendopo ini juga dipakai untuk kumpulan RT dan malam tirakatan 17 agustus. Tiap malam hampir selalu ada orang di makam, ditambah lagi ada warung-warung makanan di depan makam. Makam mbah panjang di tengah kota memang sudah ramai, tetapi makna makam tetap tidak luntur sebagai monumen sejarah tentang masa lampau.

Diantara yang hadir di makam ada pak Titis ketua RW yang peduli dengan kebudayaan dan ajaran leluhur jawa. Pak Domo seorang Kejawen tulen yang mengerti banyak hal, dalam bidang ilmu kebatinan beliau sedikit lebih tinggi dari sang juru kunci. Pak No seorang yang sederhana, hidup untuk keluarga tanpa banyak bicara, namun kadang dianggap remeh oleh orang lain. Pak Trimo anak seorang pemuka agama Islam, beliau seorang guru ngaji, fanatik tetapi sangat menghormati agama lain dan mau berbaur mendengarkan orang lain. Pak Topo, seorang Kristen. Masih banyak orang-orang yang turut andil dalam perbincangan di makam, mulai dari politik, sosial, ekonomi sampai jagad lelembut di bahas. Setiap jam 12 malam beberapa orang sowan (menghadap) ke mbah Panjang. Kecuali pak Trimo dan pak Topo yang dipastikan sudah pulang tidak ikut ritual.

Malam itu udara cukup dingin, hujan baru saja selesai mengguyur kota getuk. Makam mbah Panjang tetap diam membisu, lampu di pendopo menerangi orang-orang yang berkumpul di sana. Dengan wajah letih pak No datang bergabung, setelah menghela nafas iapun mengeluh
“Sial-sial, hari ini benar-benar sial. Aku sudah bekerja seharian, namun apa yang kudapat? Tak sesenpun. Entah apa yang salah dalam hidupku.”
“Kenapa marah-marah?” tungkas pak Mantuk, “kita seharusnya tidak perlu menanggapi masalah dengan amarah, bukankah rejeki ada yang mengatur.”
“Aku juga tahu, tapi aku cukup lelah hari ini.” Jawab pak No, “aku sudah berdoa, aku berharap dapat penumpang sehingga dapurku bisa mengepul. “ Setelah diam sejenak menegatur nafas, “ Seorang tukang becak sepertiku seolah tak ada harapan, hari-hari ini setiap manusia sudah bisa punya sepeda motor sendiri dengan sedikit uang. Karena barang-barang kridit inilah maka angkutan umum tak laku lagi, semua sudah memakai sepeda motor kridit.”
“Pak No, “ pak Mantuk bicara dengan nada rendah, “kita ini di sini tiap malam tirakat bersama, saling berbagi dan mengingatkan. Ada tiga prinsip yang harus kita pegang yaitu eling, sabar lan waspada (ingat, sabar dan waspada)”
“Ya, ya, aku mengerti. Tapi apa kaitanya dengan kesialanku hari ini?”
“Bukan sial, tapi belum waktunya. Eling yaitu kita harus selalu ingat pada Sang pencipta, Dia yang sudah membagi-bagi rejeki pada setiap orang secara adil. Sabar artinya kita sedang diuji apakah dengan tidak diberi rejeki kita masih ingat pada Sang pencipta atau marah-marah seperti tadi. Waspada, jangan sampai hal-hal remeh temeh mengganggu hubungan kita dengan Sang pencipta.”
“Ya, ya, aku sedikit paham, “ dengan manggut-manggut pak No menurunkan nada suaranya, ia mulai sedikit reda amarahnya, “ bukankah aku harus eling, sabar lan waspada.”
“Benar pak No, “ tambah pak Topo “ coba perhatikan burung-burung di udara yang tidak pernah menanam namun Gusti Allah memberi makan, lihat pula bunga-bunga di taman tidak pernah menenun tetapi didandaniNya dengan cantik. Bukankah kita melebihi burung-burung itu. Kita tidak perlu takut lapar maupun telanjang karena Tuhan menyediakannya bagi semua orang. Sama halnya hujan tadi sore, diberikan kepada orang jahat maupun baik, demikian juga dengan rejeki, Tuhan sudah mengaturnya.”
“Jika demikian saya salah tadi, “ pak No agak menyesal.
“Bukan salah tapi khilaf,” pak Trimo menyahut, “sesuatu yang wajar jika manusia emosi, tapi paling baik adalah menyadari kasalahannya dan ingat pada Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang.”

Malampun semakin larut, gorengan dan kopi menyisakan bekasnya, entah siapa yang memulai, perbincangan berlanjut mengenai serombongan peziarah yang datang tadi sore sebelum hujan turun. Merera melakukan ritual di pusara Kyai Spanjang, setelah ijin dan diantarkan pak Mantuk tentunya.
“Aneh, sungguh aneh, “ pak No bingung, “ kenapa orang jauh-jauh datang dari luar kota bahkan luar provinsi untuk berziarah ke sini. Padahal jika mereka mau di kampungnya pasti ada makam orang-orang sakti zaman nenek moyang kita. Demikian juga orang-orang Magelang, di kampung ini saja ada makam Ki Bogem, Nyai Bogem, Ki Dongso, Nayi Dongso para pendiri kampun Bogeman, makam Kyai Kramat pendiri kampung Keramat dan masih banyak yang lainya. Tetapi justru orang Magelang jauh-jauh berziarah ke makam di luar kota. Sebenarnya apa makna makam bagi peziarah ini?”
Suasana hening sejenak, tiba-tiba pak Topo memecah keheningan “ Lha pak No sendiri apa tujuannya ziarah ke makam?”
“Mencari ketenangan.” Jawabnya singkat
“Maksudnya?”
“Dalam ritual jawa ada yang dinamakan nyepi dan nepi. Nyepi adalah mencari suasana sunyi dan tenang untuk merenungi ke dalam jiwa kita, tempatnya bisa di kamar atau dimana saja yang penting sepi. Sedangkan nepi adalah menuju ke tepi atau mengundurkan diri dari keramaian untuk mencari keheningan. Saya rasa di sini cukup untuk nepi.”
“Tujuannya?”
Neng, Ning, Nung. Singkatan dari meneng, wening, dunung. Meneng (diam), adalah kondisi dimana kita diam meresapi dan merasakan alam di sekitar kita, mencari makna dalam hidup ini. Wening (hening), artinya kondisi setelah diam dimana ada ketenangan dan benar-benar sunyi, hanya ada roh kita dan menghilangkan keinginan duniawi. Setelah itu kita mengerti dunung yaitu asal mula dari sesuatu, kita bisa meresapi dari mana kita berasal, dan mensyukuri keberadaan kita hingga berhubungan langsung dengan Sang pencipta.”
“Mungkin para peziarah itu melakukan hal yang sama.” Sahut pak Trimo.
“Jika itu tujuannya, kenapa harus jauh-jauh. Itu bisa dilakukan di mana saja yang terdekat dari rumah.” Sahut pak No.
Pak Mantuk menghela nafas, dengan nada berwibawa ia memulai pembicaraan, “ begini pak No, kenapa banyak orang berbondong-bondong ke makam orang-orang sakti. Tujuannya adalah mencari berkah. Bagi orang-orang sakti, raganya boleh mati tetapi aura ilmunya masih tertinggal pada jasadnya, sehingga para peziarah mengharapkan aura kesaktiannya tersebut. Ada banyak tujuan, ada yang ingin hal baik ada pula yang ingin hal-hal jahat. Contoh orang-orang yang menginginkan hal baik datang ke makam Wali Songo, tetapi jika ingin hal jahat entah kenapa disarankan berziarah ke makam Harya Penangsang.”
“Apa ada alasan lain selain hal tersebut?” tanya pak No masih penasaran.
Kemudian satu persatu memberi jawab, berdasarkan apa yang mereka pelajari. Dimulai dari pak Titis, “  Pada zama Hindu-Budha leluhur sangat dihormati, hal ini bercampur dengan ajaran asli bangsa kita yaitu animisme dan dinamisme sebelum Hindu datang. Ziarah ke makam itu dikhususkan ke makam leluhurnya. Dengan harapan satu keturunan dapat berkumpul jadi satu. Jadi bukan ziarah  ke makam oarang-orang sakti yang tidak ada sangkut paut hubungan darahnya. Hal ini masih dilestarikan oleh Hindu Bali sampai hari ini, mereka punya Pura leluhur. Jadi ada kewajiban sembahyang di pura leluhur, sehingga mereka tahu dari mana asal usulnya, tahu siapa saudara-saudaranya. Di tanah jawa kebiasaan tersebut dihapuskan sejak datangnya Islam.”
“Benar,” sambung pak Trimo, “ dalam Islam, datang sembahyang ke makam merupakan perbuatan musrik atau menduakan Allah. Karena yang patut disembah adalah Allah. Itu sebabnya di Arab sana tidak ada kuburan yang bernisan, bahkan tak ada gundukannya. Penyebabnya dua hal, tak ada budaya menyembah nenek moyang dan di sana padang pasir sehingga jika membuat gundukan akan tersapu saat badai pasir. Maka tidak ada pemakaman yang berkelompok seperti di negara kita. “
“Sejatinya seperti ini, “ pak Domo angkat bicara, “ dalam tradisi jawa, saat kita pergi ke makam kita harus mengamati aku ada karena ayah ibu, ayah ibu ada kerena kakek nenek, kakek nenek ada kerena buyut, buyut ada karena canggah, canggah ada karena wareng, wareng ada karena uthek-uthek gantung siwur dan seterusnya hingga manusia  pertama. Akhirnya kita akan bertanya kerena siapa ada manusia mula-mula, tumbuhan, hewan, dan alam semesta ini. Maka kita akan menyadari betapa kecilnya kita di hadapan alam semesta, apalagi dihadapan pencipta alam semesta ini. Jadi tujuannya ke makam adalah menyadari keberadaan kita dihadapan Tuhan.”
“Bagaimana pandang Kristen tentang hal ini, “ tanya pak No ditujukan langsung ke pak Topo yang segera memberi jawaban,
“Ayah tidak menanggung  dosa anak, anak tidak menanggung dosa ayah. Apa yang dilahirkan oleh daging (badan wadhag) adalah daging, dan apa yang dilahirkan oleh roh adalah roh.Hubungan manusia dengan leluhurnya adalah hubungan darah dan daging. Setiap orang memiliki karakter, kejiwaan serta genetik dari orang tuanya. Tetapi rohnya adalah dari Tuhan. Jika Tuhan menghendaki seorang lahir dengan genetik pak Mantuk, maka anak tersebut dititipkan menjadi anaknya pak Mantuk. Namun dalam dunia roh anatara anak dan orang tua apalagi leluhurnya tidak ada hubungannya. Setiap insan memiliki perjalanan rohani sendiri, tetapi suatu kewajiban bagi orang tua adalah membimbing perjalanan rohani anaknya berdasarkan pengalaman rohaninya dan rohani leluhurnya. Orang Kristen diwajibkan berdoa dalam roh dan kebenaran, tak terbatas oleh ruang dan waktu, bisa kapan saja pagi, siang, malam, bisa di mana saja kuburan, sungai, hutan, gunung, pantai, kamar yang penting fokusnya komunikasi dengan Tuhan. Pada umumnya dianjurkan doa di kamar kerena dekat dan bisa kapan saja. Mengenai makam, makam merupakan budaya setiap suku bangsa. Di Israel makam merupakan gua batu, di  Arab seperti kata pak Trimo tadi, di Cina jasad diperabukan, di Suku Dayak Mualang makam dibiarkan ditumbuhi semak-semak hingga hilang tak terurus karena tak pernah diziarahi, di jawa seperti di sini ini. Jadi dalam Kristen tak ada sembahyang ke makam, jika kita ke makam orang tua hanya mengenang jasa-jasa mereka. “
“Jadi terserah setiap orang apapun tujuannya.”  kata pak No.
“Benar, “ sahut pak Domo, “ yang penting tidak saling mengganggu satu sama lain.”

Malampun menuju puncaknya, pak Trimo dan pak Topo mengundurkan diri dari pertemuan untuk pulang ke rumah masing-masing, sedangkan sisanya sowan (menghadap) mbah Panjang.




Kamis, 06 Maret 2014

MASA SILAM TELAH HILANG

Jika tidak ada masa lalu tak ada masa sekarang
masa lalu tinggal kenangan tak akan terulang
kejayaan nenek moyang kita selalu membayang
namun kita harus maju terus untuk berjuang


Suatu peristiwa memiliki dampak berbeda-beda, tergantung sudut pandang penerima akibat dari peristiwa tersebut. Seseorang bisa menjadi pahlawan sekaligus pemberontak pada saat bersamaan dan perbuatan sama pula. seorang pencuri sangat merugikan pemilik barang yang dicuri, tetapi menjadi pahlawan bagi anaknya yang lapar.Peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar kita mulai dari nenek moyang hingga hari ini, biasanya hanya dikenang dari satu sisi saja, tanpa melihat dampak lain dari peristiwa tersebut. Seperti halnya dalam masa kejayaan Nusantara di bawah bendera Majapahit, hanya diceritakan sudut pandang dari tanah jawa tanpa mengupas dampak dari wilayah nusantara di luar pulau. Setiap kejayaan suatu bangsa pasti didampingi oleh masa kekelaman bangsa lainnya.

Awal berdirinya kerajaan Majapahit, pasukan Tar tar datang ke bumi Tumapel untuk membalas penghinaan Raja Jawa terhadap utusan Kubilai Khan sbelumnya. Saat itu penguasa di Tumapel adalah Singosari.Saat Tar tar datang kerajaan sudah berganti Kediri, kesempatan ini dimanfaatkan Raden Wijaya untuk membalas kekalahan Singosaari dengan meminjam kekuatan tentara Tar tar yang tidak tahu mana Raja Jawa untuk mengalahkan Kediri. Begitu berhasil, bukan mendapat hadiah malah tentara Tar tar dihalau hingga keluar dari tanah Jawa. Dalam sejarah tanah jawa hanya diceritakan bahwa pasuka Kubilai Khan pergi ke luar pulau, tidak tahu bagaimana nasibnya dan tidak ada yang peduli bagaimana respon Kubilai Khan saat mengetahui pasukannya gagal dalam tugas. Setelah gagal dalam tugas, prajurit-prajurit Tar tar tak mungkin pulang ke negrinya karena pasti akan mendapat hukuman. Karena sebab tersebut mereka berhenti di pulau Kalimantan, masuk hutan dan beradaptasi di sana, hingga bertemu dengan penduduk asli dan terjadilah perkawinan campur antara Dayak dan Mongol. Hingga saat ini penduduk Kalimantan Timur merupakan keturunan prajurit Mongol di era abad 12.

Ketika Ratu Kencono Wungu dan Damar Wulan memerintah Majapahit, seorang patih yang terkenal jahat melarikan diri tak tahu rimbanya. Patih Logender tak diketahui lagi bagaimana kisah hidupnya dan tak ada yang peduli. Ternyata ia pergi ke Kalimantan Barat dan kawin dengan wanita setempat, hingga melahirkan keturunan Dayak Mualang. Hingga saat ini makamnya masih ada di kabupaten Sintang. Indonesia luas, namun sejarah yang kita pelajari hanya berkutat di pulau Jawa dan Sumatra, seolah pulau lain hanya menyumbang sedikit dalam sejarah. Padahal bangsa kita adalah bangsa yang masih memiliki pertalian darah di masa lampau.

Kejayaan Majapahitpun tiba pada puncaknya, ketika Mahapatih Gajah Mada mempersatukan Nusantara. Bagi kerajaan di tanah jawa hal itu merupakan prestasi gemilang dalam sejarah bangsa kita. Namun bagi daerah-daerah tahlukan kejayaan Negarakertagama menyisakan kepiluan akibat perang. Salah satunya masyarakat Bali, ketika itu kerajaan Bali dipimpin oleh Patih Kebo Iwa , seorang panglima perang pembela rakyatnya. Gajah Mada tak mampu menandingi kesaktian Kebo Iwa, akhirnya dibuatlah muslihat. Kebo Iwa ditawari wanita cantik untuk dipersunting menjadi istrinya. Dan ketika datang dengan damai, bukan istri yang diperoleh namun maut yang didapat. Akhirnya tanpa Kebo Iwa Bali tahluk ditangan Majapahit. Hal inipun tak diceritakan dalam babad tanah jawa, namun di Bali menjadi kisah kelam.

Apa yang ditabur itulah yang dituai. Di bawah kepemimpinan Brawijaya V, Majapahit runtuh bukan oleh tangan asing namun oleh anaknya sendiri. Masih banyak peristiwa di bumi ini merupakan suatu keseimbangan, karena hidup itu harus seimbang. Jadi ketika manusia berlomba-lomba lepas dari perburuhan banyak pengusa-pengusaha baru muncul. Dan ketika pengusaha baru muncul, maka muncul pula buruh-buruh baru, karena tak seorangpun sukses tanpa bantuan orang lain, khususnya orang-orang bawah yang menopang kesuksesannya. Oleh sebab itu, kemiskinan tak bisa dihapuskan, semakin kaya seseorang maka semakin banyak orang miskin di sekitarnya. Kesuksesan seseorang membawa kemalangan bagi orang lain. Hidup adalah seimbang tak mungkin sama rata sama rasa seperti cita-cita komunis.

Pura-pura Majapahit telah sunyi
Candi-candi telah musnah
yang tersisa tak terurus dan tak dipedulikan lagi
reruntuhannya bukan karena tangan asing
Sang Nata runtuh oleh anaknya sendiri
seorang anak yang mengambil jalan pelepasan sendiri
bersama agama baru yang kini merajai negri
anak yang memberontak terhadap orang tuanya
menganggap ayahnya sesat
hingga kehancuran dan reruntuhan semakin parah
hari ini
di sini
para pemuja ajaran nenek moyang dianggap sesat
para pemelihara budaya dianggap pengikut iblis
batu-batu menjadi saksi bisu
atas kekejaman zaman pelalihan