Dua
buah meja dirapatkan, dua bakul nasi telah kosong, duri ikan gurami beserta
kepalanya, lidi-lidi bekas sate, tujuh piring yang telah kosong, tulang ikan,
kuah yang tak lagi ada sayurnya, cobek bekas sambal, mentimun, daun kemangi
yang tersisa berserakan tak teratur. Dua buah gelas berisi es teh yang tinggal setengah, seperempat gelas
soda gembira, setengah botol
beras kencur, dan tiga gelas es jeruk yang sisa sedikit. Tujuh laki-laki
mengelilingi meja.
Seorang
pria berperawakan pendek, kulit kehitaman, rambut disisir ke samping, berkacamata
angkat bicara, “Tujuan kita mendirikan Kala Hitam ialah membantu rakyat miskin
negri ini, sebab kita dari keluarga miskin sehingga benar-benar mengerti apa
artinya dihina, disingkirkan dan tak dianggap oleh lingkungan karena latar
belakang kita. Kalian sudah tahu, ibuku pembantu dan sering mendapat hinaan.
Atma pernah menjadi saksi bagaimana majikan kami merendahkan ibuku saat aku
memboncengkan anak majikan kami dengan sepeda onthel dan bertabrakan dengan
becak yang dikendarai oleh ayah Atma.” Ia menunjuk seorang yang bertubuh besar,
muka bulat, rambut ikal dan memiliki kantung mata, orang tersebutpun mengangguk.
“Sebenarnya kami hampir setiap hari mendapat hinaan dan makian dari orang kaya
yang mempekerjakan aku dan ibuku. Namun saat itu puncak kesabaranku habis. Aku
dan Atma berinisiatif mengubah anak miskin negri ini agar tidak lagi dihina. Hingga
kami bertemu dengan Yanto dan Kris kalian berdua sangat beruntung mendapat
beasiswa untuk kuliah.” Iapun menunjuk seorang berkaca mata, kurus, keriting
besar saat menyebut Yanto dan seorang lagi berperawakan sedang, rambut lurus
kaku, kulit kuning langsat, dan memiliki tanda lahir berwarna merah di pipinya
saat ia mnyebut Kris. “Ada banyak anak miskin di Indonesia yang mendapat
beasiswa untuk kuliah, tetapi hanya sedikit yang pedulim pada sesama orang
miskin dari mana mereka berasal, Yanto dan Kris merupakan bagian yang sedikit
itu. Atma membawa kalian Bagus dan Panji untuk bergabung, sedangkan Paimin
adalah kuli angkut sekaligus sopir di pasar yang nasibnya tak lebih baik
dariku.” Ia sekali lagi menunjuk seorang berperawakan kurus tapi tak sekurus Yanto,
kulit kecoklatan, rambut belah tengah saat menyebut Bagus, seorang berperawakan
tanggung, rambut lurus mata bulat kulit sawo matang saat menyebut Panji, dan
orang terakhir yang dipanggil Paimin berkulit paling gelap diantara mereka
bertujuh, rambut lurus belah pinggir, berperawakan gagah berotot. “Kita
bertujuh bekerjasama membangun kelompok ini. Saat ini uang kita sudah sangat
banyak dan aku ingin kita berhenti mencuri artefak, menirunya lalu menjual ke
pelelangan bawah tanah. Walaupun uang yang kita terima milik orang kaya yang
serakah, namun tetap saja kita
menipu dengan menjual barang tiruan. Selain itu kita selalu merepotkan
pemerintah saat kita ambil artefak milik negara, walupun kita kembalikan lagi
karena hanya kita tiru, tetap saja mencuri. Jadi, sebagai pimpinan saya
putuskan Ornamen Garudeya adalah proyek kita yang terakhir.”
Mereka berenam terperangah, diam sejenak tenggelam dalam pikiran
masing-masing hingga Atma memecah keheningan yang berlangsung beberapa saat. “Jadi
kau ingin membubarkan Kala Hitam, Bejo?”
Bejo sang pimpinan menjawab, “Tidak, kita tidak bubar.”
“Jika demikian, apa kegiatan kita selanjutnya.?” Atma
menjadi penasaran.
Bejo menghela nafas sejenak, “Itu yang harus kita
bertujuh pikirkan. Dengan uang yang kita punya, kita bisa apa untuk Indonesia.”
Paimin angkat bicara, “Kita bagikan saja uang yang kita
punya kepada rakyat miskin, suruh mereka usaha.”
“Tidak setuju.” Sahut Bagus. “Jika
uang diberikan cuma-cuma, dalam seminggu sudah habis buat beli beras. Rakyat
kita tidak bisa dibantu dengan cuma-cuma, mereka butuh pembinaan. Contohnya, waktu itu di
kotaku pernah ada bantuan dari Dinas Sosial Provinsi. Syaratnya bantuan harus
dikelola oleh 10 keluarga dan dijadikan usaha bersama. Bantuan berupa barang,
bukan modal uang. Tiap kelompok dasawarga harus mengajukan jenis usaha yang
ingin dijalankan, Dinas Sosial memberi modal awal. Ayahku dan sembialn kepala
keluarga lainnya membuat usulan buka warung sembako. Setelah melalui proses,
maka diberilah modal berupa barang seperti beras, gandum, gula, minyak goreng,
garam dan lain-lain. Harapan Dinas Sosial adalah agar barang-barang tersebut
dijual eceran, setelah uang terkumpul dari hasil penjualan dibelanjakan lagi
untuk jualan selanjutnya, keuntungan dikembangkan sehingga kelak akan menjadi
warung sembako yang besar dan bisa menopang kehidupan 10 keluarga. Namun apa
yang terjadi, semua barang yang diterima dibagi rata 10 keluarga. Untuk
keluargaku, dimasak habis selama tiga minggu. Begitulah gambaran rakyat kita.”
Panji nampak berpikir keras, “Jika demikian kondisinya,
apa usulmu Bagus.”
Bagus mengangkat bahu, “Tidak punya ide Panji.” Iapun
melempar pandangan ke arah yang lain.
Yanto membetulkan kacamatanya sebelum bicara, “Usulku. Negara
kita banyak pulau-pulau kosong, contohnya di laut Jawa banyak terhampar
pulau-pulau kecil tak berpenghuni. Kita buka lahan di sana, melibatkan para
buruh tani yang tak punya lahan di tanah kelahirannya.”
“Itukan sudah diusahakan pemerintah dengan program
transmigrasi.” Potong Kris.
“Ya kita jangan seperti pemerintah.” Sahut Yanto, “Kita
pakai cara yang berbeda, namun intinya kita manfaatkan lahan yang tak bertuan untuk pertanian.”
“Tanah dan air milik negara, kita harus beli pulau jika
seperti itu Yanto.” Tukas Atma.
“Tidak harus beli Atma, “ kata Yanto. “Kita sewa, warga
asaing saja boleh sewa tanah dengan Hak Guna Usaha masak kita asli Indonesia
tidak bisa.”
“Setuju.” Sahut Bagus. “Tetapi bagaiman urusan
administrasinya?”
“Tenang Bagus,” kata Atma. “Hal-hal seperti itu biar
diurus ahlinya, ada Yanto dan Kris. Sekarang bagaimana pendapat pimpinan?”
“Kalau aku setuju.” Jawab Bejo. “Sekarang hal-hal apa
saja yang ingin kita kerjakan. Kita buat perencanaan yang matang. Namun sebelum
membuat rencana ada baiknya kita sepakat dulu, kita harus bersatu dulu baru
bisa kerja. Yang lain setuju atau tidak.”
“Ragu-ragu.” Panji langsung menanggapi. “Begini pandangan
saya. Membangun sebuah peradaban atau apalah namanya itu tak semudah yang
dibayangkan. Banyak orang akan ikut program dengan harapan bisa menggarap lahan
baru, hidup lebih makmur, namun jika gagal bagaimana? Kita bisa dihajar masa. Bayangkan
kita menyewa sebuah pulau kosong yang tak jauh dari pilau Jawa, kita buat
pemukiman, pertanian, dan pengolahan hasil pertanian. Jika berhasil kita harus
punya kapal dan dermaga untuk mengangkut hasil kita serta mengangkut
barang-barang kebutuhan kita dari pulau utama. Kita juga harus membangun
sekolah, sarana kesehatan dan lainnya. Semua itu sama artinya kita membangun
negara dalam negara. Negara yang sudah terbentuk saja susah ngaturnya, apalgi
kita buat baru. Jadi, karena Indonesia sangat luas dan banyak pulau sedangkan
kita saat ini berada di pulau Jawa maka alangkah lebih baik jika kita bangun
dulu pulau ini, baru menjadi contoh bagi pulau lainnya. Sebab di Jawa sendiri
masih banyak daerah terpencil dan tertinggal yang belum dijamah pemerintah.”
“Jadi usulmu?” Tanya Bejo.
“Yang sederhana dan mudah dilakukan saja, yaitu jadi
donatur panti asuhan.”
“Itu sudah kita lakukan Panji. Dengan uang hasil kita
mencuri, menduplikasikan artefak. Sudah kubilang diawal kita akan berhenti
mencuri dan menggunakan uang yang ada untuk dikembangkan bagi kemakmuran rakyat
miskin. Lagipula, panti asuhan sudah banyak yang peduli. Banyak orang kaya baik
perorangan maupun kelompok yang peduli dengan anak-anak panti asuhan dengan
menjadi donatur tetap. Yang sekarang
kita pikirkan, bagaimana rakyat miskin yang tak punya tanah untuk dikerjakan, tak ada ijazah untuk melamar
pekerjaan, tak ada modal untuk berjualan, yang hanya menjadi buruh kasar.”
“Kupikir menjadi miskin itu ada baiknya.” Atma bicara
setelah menyedot soda gembira, “Seperti kita bertujuh yang berasal dari
keluarga miskin semua, akhirnya setelah diberkati bisa peduli dengan rakyat
miskin.”
“Bukan diberkati Atma.” Bagus menanggapi. “Tetapi
mengambil berkat orang lain.”
“Kau yakin Bagus?” Balas Atma, “Bahwa orang-orang kaya
yang kita tipu uangnya ialah berkat dari Tuhan? Mereka bisa jadi mencuri lebih banyak
dari yang kita curi.”
“Sudahlah tak perlu berdebat yang tak penting.” Kris
menengahi. “Mungkin kita masih buntu dan belum mencapai kata mufakat, sebaiknya
kita bubar dulu, yang penting kita tahu maksud dan tujuan pimpinan, kita juga
sudah ada satu ide dari Yanto. Kita masing-masing merenungkan apa yang akan
kita kerjakan. Sementara usul Yanto kita simpan kemudian kita kumpulkan lebih
banyak ide setelah itu kita rapat lagi untuk mengutarakan ide masing-masing dan
kita mufakati.”
“Aku setuju.” Bejo menanggapi. “Jika demikian kita tutup
rapat kali ini.”