Selasa, 07 Januari 2020

DIA BUKAN ARWAH (Tumbal Tanah Jawa)



            “Berdasarkan Kisah Tanah Jawa, bahwa sejak Mataram Kuno nenek moyang kita membangun candi puluhan tahun tanpa tumbal nyawa. Para leluhur menanam biji-bijian atau emas pada bangunan candi sebagai wujud syukur pada dewi Sri. Namun sejak pembangunan dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda ketika mengalami gangguan mereka bertanya pada orang jawa, dan leluhur kita berkomunikasi dengan lelembut sang penguasa gaib setempat. Para penguasa gaib meminta tumbal nyawa manusia untuk memberi ijin didirikannya sebuah bangunan, dan itu dituruti. Kenapa kita justru mengalami kemunduran secara spiritual?
            Deadline adalah salah satu alasan mencari jalan pintas dalam mengatasi masalah. Tidak perlu sebuah proyek besar, dalam hal makanpun leluhur kita sangat sabar. Menumbuk padi, memasak dengan kayu bakar, hari ini tinggal hubungkan ke arus listrik selesai. Memang penggunaan waktu penting, tetapi tidak semua yang instan itu benar-benar instan. Contoh mie instan dan minuman instan, proses produksinya tidak instan, harus diproduksi secara industry masal, disimpan dalam jumlah besar, didistribusaikan ke berbagai daerah dan beberapa bulan kemudian baru sampai ke tangan kita, masih juga harus merebus air untuk memasaknya. Demikian dalam hal penanganan masalah, tak bisa diselesaikan secara instan dengan bantuan alam gaib. Masalah hari ini mungkin selesai, tapi jiwa kita terikat dengan mereka. Kalau dengan cara Tuhan lama, waktunya terserah Tuhan dan hasilnya juga terserah Tuhan. Tetapi cara Tuhan menyeselaikan masalah adalah dengan cara terbaik, bukan tercepat dan jiwa kita tetap bebas.
            Jadi, kalian bebas memilih akan berhasil pada bidang kalian dengan bantuan Setan atau Tuhan. Seperti lagu d’rumus yang berjudul Setan Lautan, bahwa Setan bisa memberi kejayaan dan kekayaan pada manusia, tetapi kita harus menjual jiwa pada mereka.” Mbah Karyo menyudahi perkataannya, ia meneguk kopi yang ada dihadapannya. Di luar hujan sudah mulai membasahi bumi, diiringin angin yang menambah hawa dingin. Sejenak suasana menjadi hening, Dani tampak terdiam.
            Goprak angkat biacara, “Bagaimana Dan, setelah mendengar penjelasan mbah Karyo aku kok jadi takut dengan tindakanmu itu.”
            “Aku juga ragu sejak awal.” Rudi menambahi. “Kami sangat berterimakasih mbah atas nasehatnya, teman kami ini terlalu bersikeras. Bahkan salah satu kawan kami benar-benar menentang keputusannya.”
            “Mahesa maksudmu.” Dani angkat bicara. “Mahesa memang sudah tak sejalan denganku, aku mengajak kalian ke sini untuk menguatkan niatku. Memang benar mbah kami sudah berusaha dan berdoa, tapi kapan kami berhasil. Kata mbah tadi waktunya terserah Tuhan, ya kalau Tuhan kasih kalau tidak bagaimana? Kami sudah bosan dengan kondisi kami, kami ingin segera tenar, kami ingin segera berhasil dengan cepat. Makanya kami butuh bantuan secara gaib.”
            “Aku tahu keinginanmu anak muda.” Mbah Karyo menjawab. “Tapi tolong pertimbangkan baik-baik, coba juga dengarkan kata-kata temanmu. Termasuk temanmu yang tidak setuju tadi.”
            “Saya sudah memikirkan ini berbulan-bulan mbah.” Dan menjawab.
            “Begini saja.” Goprak menyela. “Kami akan pulang dulu mbah, biar kami diskusi lagi.”
            “Ya, itu lebih baik. Jangan terlalu gegabah dalam mengambil keputusan. Tapi tunggu hujannya reda, kalian habiskan dulu ubi gorengya.” Mbah Karyo mengambil sepotong ubi. “Untuk kamu Dani, seorang pimpinan harus mengambil keputusan yang tepat bahkan dalam waktu mendesak, tetapi jangan hanya menuruti egomu saja, pikirkan anggota kelompokmu ke depan, pikirkan juga keluarga mereka. Sebab setiap keputusanmu akan mempengaruhi kehidupan banyak orang.”
           

DIA BUKAN ARWAH (Nasehat Senior)




            “Kami tidak tahu harus mulai dari mana?” Suara bassist d’rumus di hadapan keempat anggota dargom, ia juga didampingi semua anggota d’rumus, tak ketinggalan Sari juga ikut. “Dengarkan baik-baik, kalian telah salah menangkap perkataan kami, tapi tak sepenuhnya kalian salah. Bisa jadi karena banyaknya pertanyaan dari peserta waktu itu, sehingga kami kurang bisa menampung semuanya, dan informasi yang kalian terima tak sepenuhnya sama seperti yang kami sampaikan.”
            “Begini saja, lebih baik kami jelaskan dari sejarah manusia ada,” Gitaris d’rumus menambahkan, “agar semuanya jelas.”
            “Itu terlalu bertele-tele mas bro,” Sang Vocalis d’rumus menyela. “Semua sudah tahu bagaimana Tuhan menciptakan manusia. Langsung saja pada kondisi dunia. Dunia dibagi menjadi tiga, yaitu dunia para malaikat, dunia iblis, dunia manusia, semua di bawah kekuasaan Tuhan, namun Tuhan memberikan kehendak bebas pada mahluk ciptaanNya. Malaikat memilih patuh, iblis memilih memberontak, manusia bimbang. Ya dalam hati, manusia ingin kembali ke Tuhan tetapi iblis berusaha membelokkan keinginan manusia. Sampai di sini bagaimana?”
            “Kami rasa semua itu kami paham,” jawab Dani, “masalahnya apa yang terjadi pada kami, khususnya pada diriku sehingga aku menyeret Rudi dan Goprak.”
            “Kalian masih bersyukur karena Mahesa tidak mau bergabung dengan apa yang kalian lakukan.” Drummer d’rumus menimpali, “Dan meskipun Mahesa tidak lagi bergabung namun dia masih peduli dengan jiwa kalian, Mahesa dengan bantuan Sari berusaha mencari kami. Dargom tetap mencantumkan “M” pada singkatan band kalian, itu menunjukan bahwa sebenarnya roh kalian saat awal mendirikan band ini masih utuh. Hanya saja kalian sempat bimbang di tengah jalan. Arwah yang mendampingi kalian sesungguhnya bukanlah arwah, ya dia bukan arwah, dia adalah salah satu anggota kerajaan iblis yang menyamar menjadi arwah. Sebab setiap manusia yang mati rohnya akan terpisah dari dunia manusia, mereka tak lagi bisa berkomunikasi dengan manusia, hanya roh-roh penguasa kegelapan yang menyamar menjadi arwah manusia, roh itulah yang selama ini membantu kalian. Perlu kalian ketahui…..”
            Belum sempat  drummer d’rumus  melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba hujan turun dengan lebatnya. Diiringi kilat yang menyambar-nyambar, angin puting beliung menyambar kafe tempat mereka nongkrong. Sontak saja semua berlarian mencari perlindungan, atap kafe terlempar, meja, kursi porak poranda. Semua berlarian ke arah dapur yang bangunannya masih kokoh. Lima menit kemudian segalanya reda, langit mendadak jadi cerah dengan bermunculan bintang-bintang. Dargom, d’rumus, Sari serta beberapa pengunjung membantu membereskan meja dan kursi yang berserakan, sementara sebagian besar pengunjung langsung meninggalkan tempat. Para penjaga cafĂ© beberapa kali mengucapkan terimakasih karena telah dibantu.
            “Dani?” Sari seolah baru sadar. “Dimana Dani, dari tadi kita di dapur aku tidak melihatnya.”
            “Mungkin sudah pulang, bersamaan pengunjung lainnya.” Jawab Goprak.
            “Tidak mungkin.” Rudi menunjuk ke arah parkiran. “Itu sepeda motornya, masak pulang jalan kaki.”
            “Coba kucek di toilet.” Mahesa bergegas ke toilet. “Tidak ada orang.” Dia kembali ke teman-temannya.
            “Kalian tenang, jangan panik.” Vocalis d’rumus bicara sambil memejamkan mata. “Teman kalian masih di sini, namun berada di dunia yang berbeda.”
            “Maksudnya? “ Sari semakin panik.
            “Tenang Sar,” Mahesa mencoba menangkan, “Kita ikuti saja petunjuk d’rumus.”
            “Kita pulang dulu ke tempat tinggal masing-masing.” Gitaris d’rumus memberi saran. “Besok pagi kita berkumpul lagi, tempatnya besok aku share lokasinya. Malam ini semua berdoa sebelum tidur.”
            Semua mengagguk dan mereka bubar, Rudi dan Goprak agak berat melangkah, namun Mahesa memaksa mereka berdua.
            Saat tiba-tiba datang hujan, angin dan petir semua orang panik berlarian, Dani tetap tenang di tempat duduknya. Ketika hujan reda semua orang telah hilang meninggalkan ia sendirian. Dani ingin beranjak dari posisi duduknya, namun dibatalkan karena dihadapannya kini duduk seorang pria berjaket kulit.
            “Mau ke mana Dani?”
            “Maaf Uwak, aku harus pulang.” Jawab Dani pada pria di depannya.”Kita tidak bisa bekerjasama lagi.”
            “Apa katamu?” Uwak tersenyum. “Lihatlah kawan-kawanmu itu, saat hujan datang mereka pergi meninggalkanmu. Hanya aku yang bisa menolongmu Dani. Ingat kau dan aku sudah menjadi satu jiwa, karya dargom adalah karyaku juga. Setelah sekian lama aku membantumu, lalu datang kawanmu yang bernama Mahesa kau sudah lupa, kalian tenar karena siapa. Mahesa hanya iri Dani, dia tidak mau bergabung denganmu, sekarang dargom tenar tanpa Mahesa, itu karena aku Dani, karena aku.”


DIA BUKAN ARWAH (Dukun Prewangan)




            “Setiap karya seni memiliki roh, tak terkecuali musik. Bukankah itu yang dikatakan d’rumus saat workshop kemarin.” Dani begitu bersemangat menjelaskan pada ketiga anggota band lainnya.
            “Bukan hanya itu saja Dani, ingat juga kata-kata doctor Memet.” Rudi menimpali. “Ada unsur harmoni, dinamika, dan yang penting satu misi dalam kelompok.”
            “Itu dia, kita harus punya roh yang sama. Kita akan melebihi idola kita d’rumus, jika kita melibatkan roh dalam karya kita.” Dani berkata setelah meletakkan cangkir kopinya.
            “Melibatkan roh? Maksudmu apa Dan.” Goprak menanggapi.
            “Begini.” Dani membetulkan posisi duduknya. “Kalian pasti pernah dengar, arwah orang  meninggal ada yang belum diterima di akhirat, mereka harus mengumpulkan sejumlah pahala di bumi untuk bekal ke akhirat, namun karena mereka tidak lagi memiliki tubuh fisik maka mereka menggunakan media manusia yang masih hidup.”
            “Dukun prewangan.” Mahesa memotong. “Aku tidak setuju dengan idemu. Meminta bantuan arwah memang bisa membuat kita jaya, namun karya yang kita hasilkan adalah karya arwah tersebut bukan karya kita. Bukankan kita sendiri punya daya kreativitas, lagipula jika kita membantu arwah maka pahala yang kita kerjakan akan dihitung sebagai pahala arwah tersebut.”
            “Tapi kreativitas kita hanya segini-segini saja, tak ada kemajuan Mahesa. Sekarang terserah kalian, mau ikut ideku atau kalian punya ide lain.” Kata Dani.
            “Jika kalian menggunakan cara dukun prewangan, maka aku memilih keluar dari Dargom.” Mahesa menegaskan. “Kita masih punya Tuhan yang bisa kita minta pertolongan Dan, Rud, Prak, Ingat itu.”
            “Jangan terbawa emosi teman-teman.” Goprak menengahi. “Kita sudah berusaha dan berdoa selama ini, namun belum juga berhasil. Lebih baik kita renungkan dulu pembicaraan kita hari ini, kamis depan kita berkumpul lagi di tempat ini untuk mengambil langkah. Mahesa, tolong jangan berfikir pendek untuk keluar, ingat nama band kita DARGOM yaitu singkatan dari Dani, Rudi, Goprak dan Mahesa.”
            “Baiklah, kita ketemu lagi kamis depan.” Rudi menutup diskusi malam itu.
            Malam semakin larut, tiap individu telah berada di kamar masing-masing. Rudi dan Goprak telah berpetualang di alam mimpi masing-masing. Sementara Dani tak mampu memejamkan mata, dipandangi gitar yang tergantung di dinding kamarnya, telinganya hanya menangkap suara detak jam dinding, namun pikirannya dipenuhi suara-suara yang selama ini ia dengar, seakan muncul silih berganti.
            “Maaf, genrenya apa ya kok tidak jelas pop bukan rock terlalu lembek.”
            “Berisik, tak bisa dinikmati.”
            “Jangan dengarkan kata orang, main musik mainkan saja sesuai suara hati.”
            “Tidak perlu ikuti pasar, bauatlah pasarmu sendiri.”
            “Mas, tujuannya untuk apa? Musik industri atau hanya koleksi pribadi.”
            “Genre musiknya tidak cocok untuk tahun ini, musik kalian cocoknya sepuluh tahun yang lalu. Ini bukan rock, ini lebih ke pop. Coba cari refrensi yang baru-baru.”
            “Lagunya tidak enak didengar.”
            “Coba cordnya jangan do sol fa, buat nada-nada tujuh, biar tidak umum nadanya.”
            “Menciptakan musik itu sesuai kata hati, kecuali musik pesanan seperti jingle suatu produk. Mereka yang berkomentar tidak membiayai musik kalian, kok kalian bingung. Kecuali tata krama di panggung itu boleh komentar. Tapi karya itu bersifat pribadi, suara hati kalian.”
            “Semakin lokal sebuah karya maka akan semakin berpotensi dikenal global.”
            “Kalian tentukan segmen pasarnya, apakah hanya didengar komunitas atau untuk komersil. Tentukan dulu tujuannya.”
            “Drum kalian beat semangat, tapi gitarnya tidak terlalu, vocalnya juga tidak mendukung, Jadi sebenarnya kiblat musik kalian ke mana?”
            “Lanjutkan saja, yang penting kalian punya karya sendiri itu sudah merupakan kelebihan, daripada punya kemapuan tinggi tapi hanya meniru.”
            Tak terasa Danipun terlelap, kata-kata diatas sebagian terbawa ke alam mimpi. Pada saat bersamaan, Mahesa memanjatkan doa.
            “Tuhan tolonglah dargom, jangan sampai kawan-kawanku mengambil jalan pintas hanya demi ketenaran. Namun jika kami tetap berbeda dalam langkah, maka ijinkan aku meninggalkan band ini. Amin.”