“Berdasarkan Kisah Tanah Jawa, bahwa
sejak Mataram Kuno nenek moyang kita membangun candi puluhan tahun tanpa tumbal
nyawa. Para leluhur menanam biji-bijian atau emas pada bangunan candi sebagai
wujud syukur pada dewi Sri. Namun sejak pembangunan dilakukan oleh Pemerintah
Hindia Belanda ketika mengalami gangguan mereka bertanya pada orang jawa, dan
leluhur kita berkomunikasi dengan lelembut sang penguasa gaib setempat. Para
penguasa gaib meminta tumbal nyawa manusia untuk memberi ijin didirikannya
sebuah bangunan, dan itu dituruti. Kenapa kita justru mengalami kemunduran
secara spiritual?
Deadline
adalah salah satu alasan mencari jalan pintas dalam mengatasi masalah. Tidak
perlu sebuah proyek besar, dalam hal makanpun leluhur kita sangat sabar.
Menumbuk padi, memasak dengan kayu bakar, hari ini tinggal hubungkan ke arus
listrik selesai. Memang penggunaan waktu penting, tetapi tidak semua yang
instan itu benar-benar instan. Contoh mie instan dan minuman instan, proses
produksinya tidak instan, harus diproduksi secara industry masal, disimpan
dalam jumlah besar, didistribusaikan ke berbagai daerah dan beberapa bulan
kemudian baru sampai ke tangan kita, masih juga harus merebus air untuk
memasaknya. Demikian dalam hal penanganan masalah, tak bisa diselesaikan secara
instan dengan bantuan alam gaib. Masalah hari ini mungkin selesai, tapi jiwa
kita terikat dengan mereka. Kalau dengan cara Tuhan lama, waktunya terserah
Tuhan dan hasilnya juga terserah Tuhan. Tetapi cara Tuhan menyeselaikan masalah
adalah dengan cara terbaik, bukan tercepat dan jiwa kita tetap bebas.
Jadi, kalian bebas memilih akan berhasil
pada bidang kalian dengan bantuan Setan atau Tuhan. Seperti lagu d’rumus yang
berjudul Setan Lautan, bahwa Setan bisa memberi kejayaan dan kekayaan pada
manusia, tetapi kita harus menjual jiwa pada mereka.” Mbah Karyo menyudahi
perkataannya, ia meneguk kopi yang ada dihadapannya. Di luar hujan sudah mulai
membasahi bumi, diiringin angin yang menambah hawa dingin. Sejenak suasana
menjadi hening, Dani tampak terdiam.
Goprak angkat biacara, “Bagaimana
Dan, setelah mendengar penjelasan mbah Karyo aku kok jadi takut dengan
tindakanmu itu.”
“Aku juga ragu sejak awal.” Rudi
menambahi. “Kami sangat berterimakasih mbah atas nasehatnya, teman kami ini terlalu
bersikeras. Bahkan salah satu kawan kami benar-benar menentang keputusannya.”
“Mahesa maksudmu.” Dani angkat
bicara. “Mahesa memang sudah tak sejalan denganku, aku mengajak kalian ke sini
untuk menguatkan niatku. Memang benar mbah kami sudah berusaha dan berdoa, tapi
kapan kami berhasil. Kata mbah tadi waktunya terserah Tuhan, ya kalau Tuhan
kasih kalau tidak bagaimana? Kami sudah bosan dengan kondisi kami, kami ingin
segera tenar, kami ingin segera berhasil dengan cepat. Makanya kami butuh
bantuan secara gaib.”
“Aku tahu keinginanmu anak muda.”
Mbah Karyo menjawab. “Tapi tolong pertimbangkan baik-baik, coba juga dengarkan
kata-kata temanmu. Termasuk temanmu yang tidak setuju tadi.”
“Saya sudah memikirkan ini
berbulan-bulan mbah.” Dan menjawab.
“Begini saja.” Goprak menyela. “Kami
akan pulang dulu mbah, biar kami diskusi lagi.”
“Ya, itu lebih baik. Jangan terlalu
gegabah dalam mengambil keputusan. Tapi tunggu hujannya reda, kalian habiskan
dulu ubi gorengya.” Mbah Karyo mengambil sepotong ubi. “Untuk kamu Dani,
seorang pimpinan harus mengambil keputusan yang tepat bahkan dalam waktu
mendesak, tetapi jangan hanya menuruti egomu saja, pikirkan anggota kelompokmu
ke depan, pikirkan juga keluarga mereka. Sebab setiap keputusanmu akan
mempengaruhi kehidupan banyak orang.”