SATU
DIPANGGIL
DAN DIPILIH
Hari
ini Juni 1991 aku merasa gembira berjalan diantar nenek untuk daftar sekolah.
Hari yang paling penting bagi setiap anak untuk awal masa depan. Seperti anak
lainnya aku juga ingin sekolah, aku tidak masuk TK melainkan langsung satu SD akan tetapi ayah telah mengajariku
membaca dan menulis sehingga kelak aku tidak ketinggalan sewaktu mengikuti
pelajaran. Kami masuk ruang kepala sekolah setelah menjawab beberapa pertanyaan,
aku disuruh nyanyi dan laguku adalah Garuda Pancasila dengan syair yang hampir
benar
Garuda
Pancasila akulah pendukungmu
Potelot proklamasi sedia berkorban untukmu
Pancasila
dasar negara rakyat adil makmur sentosa
Pribang-pribangsaku ayo maju maju ayo maju maju ayo
maju maju
Inilah
lagu pertamaku untuk memasuki jenjang pendidikan yang merupakan hak setiap
manusia. Tentu saja pujian yang kuterima dari Kepala sekolah yang mengujiku
saat itu. “agamanya apa ?” inilah salah satu pertanyaan yang tak bisa ku jawab,
karena aku memang tak punya agama sejak kecil aku tak mengenal Tuhan walaupun
Tuhan mengenalku sampai kedalaman inti sel tubuhku. Setiap ditanya teman-teman
aku selalu menjawab kafir. Tetapi ini berbeda aku akan masuk sekolah dan anak
sekolah di Indonesia harus punya agama. Nenekku tak juga bisa menjawab dia
lahir di zaman penjajahan Belanda yang tidak diketahui tanggal, bulan dan tahun
kelahirannya sampai saat ini, seperti orang tua pada umumnya.
“Saya
tanya bapak saya dulu pak.” jawabku sebab aku tak punya agama sama sekali. “
Baiklah tulis Islam dulu ya pakai pensil nanti kalau sudah tahu bisa dihapus
dan diganti.” Katanya kemudian.Sesampai dirumah aku langsung menayakan hal ini
kepada ayahku “ Pak kalau sekolah harus punya agama lalu agamaku apa?” Orang
tuaku saat menikah beda agama ayahku seorang Kristen yang tak pernah kulihat
kapan dia pergi ke gereja, dan ibuku seorang Islam KTP. Lingkunganku hampir
mutlak semuanya mengaji sedang agama yang kukenal hanya dua Islam dan Kristen.
Ayahku memberi pilihan yang demokratis “ terserah kamu kamu mau ke gereja atau
ke masjid?” kemudian secara singkat dia jelaskan di gereja ngapain, sedangkan
di masjid tak perlu dijelaskan aku sudah cukup mengerti karena kondisi
lingkunganku.
“Aku
mau ke gereja.” jawabku dengan mantap.”Kalau begitu mulai besok minggu kamu harus
pergi sekolah minggu.” perintah ayahku. Hal itu langsung aku setujui. Mulai
saat itu aku sekolah 7 hari dalam seminggu yaitu sekolah minggu dan senin.
Ibuku mengantar aku dan adikku untuk sekolah minggu dan tentu saja ibu ikut di
dalam menunggu adikku. Ketika aku memilih ke gereja yang ada dalam benakku
adalah untuk menulis huruf latin saja sudah susah apalagi nulis huruf arab,
sering akau melihat orang mengaji melihat tulisannya saja sudah bingung dan aku
tidak ada sedikitpun ketertarikan untuk mempelajarinya. Tapi apa yang kupikir
tidak sama dengan pikiran Allah, ternyata hari itu adalah dimana Allah
memanggil dan memilih akau secara pribadi menjadi anakNya yang dikasihi. Ayahku
telah mengetahuinya sejak lama maka ia berani memberi akau kebebasan. Ketika
usiaku 5 bulan dalam kandungan ibu, ayah bermimpi bahwa anaknya lahir laki-laki
bersinar, mimpi ini diyakini sebagai sinar dari Kristus. Dan aku sungguh
mengucap syukur sampai hari ini karena aku dipilih langsung tanpa perantara
siapapun serta tanpa pengaruh dari pihak manapun. Desember 1991 adalah hadiah
Natal pertamaku yaitu satu set robot plastik.
Aku
masuk SDN Gelangan 7 Magelang, dan mendapati seorang guru yang sangat
menyebalkan, dia adalah seorang guru agama Islam di sekolah kami, Anak Tuhan
disini sedikit dan ketika pelajaran agama Islam kami dipaksa untuk mengikuti
kelasnya, mengucap salamnya, sudah barang tentu membaca dan menulis tulisan
bani Kedar yang tak pernah kusuka. Jika kami melanggar sesuatu dia selalu
memberi kami pukulan mistar kayu. Padahal di sekolah lain mereka mendapat hak
keluar kelas untuk pelajaran agama Islam.
Jumlah
kami sedikit, suatu ketika saat kami berkumpul dan guru ini mengejek kami “hai
kalian orang-orang Kristen besok kalau mati dipentheng (disalib)!” dan tentu kata-kata ini tertanam dalam
benakku. Aku tahu orang muslim kalau mati dipocong. Tapi orang Kristen aku tak
pernah lihat. Belakang sekolahan kami adalah pemakaman umum namanya kuburan
Candi Nambangan, setiap olah raga kami harus melalui tempat ini untuk sampai ke
lapangan bola. Aku perhatikan kuburan orang Kristen ukurannya sama dengan yang
lain, pikirku pasti mayatnya disalib dulu kemudian ditanam, akan tetapi kenapa salibnya
kecil mencuat ke permukaan. Kutanyakan ayahku bagaimana orang Kristen kalau
mati, jawabnya dipeti yang disalib hanya Yesus untuk tebus dosa kita sedang
kita tidak perlu disalib. Akhirnya aku mendapat jawaban yang pasti, kelak jika
ada yang mengatakan orang Kristen matinya disalib aku akan mengatakan tidak
tetapi dipeti.
Ternyata
kesalah pahaman menguatkan imanku yang aku sendiri belum tahu apa itu iman.
Sejak kecil aku sudah berfikir bahwa Tuhan itu sangat hebat selain bisa
membangkitkan orang mati, menyembuhkan orang sakit, itulah yang selalu
diceritakan oleh guru-guru sekolah minggu untuk meletakkan dasar kekristenanku.
Tapi itu masih kurang hebat, bagiku Tuhan cepat besar. Bayangkan baru beberapa
bulan lalu di gereja dikabarkan bahwa hari ini Tuhan lahir, kemudian beberapa
minggu kemudian sudah besar dan menyembuhkan orang lagi, disalib, bangkit pada
hari ketiga dimana kami mendapat telur hias, akhirnya naik ke surga, untuk
selanjutnya lahir lagi ke dunia. Sungguh luar biasa Tuhan Yesus cepat besar
sedangkan aku masih kecil dan belum juga bertumbuh besar. Kini kusadari bahwa
untuk mengenal kebesaran Allah anak kecil juga bisa tanpa harus melihat
mujizat. cukup memikirkan Allah dengan cara kanak-kanak maka kau akan
mengetahui betapa hebatnya Allah yang kita sembah.
Seperti
biasanya saat lebaran tiba, anak-anak sekampung bergerombol untuk mengunjungi
orang-orang tua di kampung kami. Sebagai anak-anak tentu aku ikut, selain
mencari makanan kami mengharapkan salam tempel. Biasanya anak-anak akan hafal
mana tempat yang biasanya memberi uang saku. Setelah bekunjung dari satu tempat
ke tempat lain tibalah kami pada rumah salah seorang nenek, dia terkenal sering
memberi uang pada anak-anak. Sembari kami mencicipi makanan yang sudah
disediakan dalam toples-toples dan tentunya sudah pula dipersilakan. Sang nenek
menanyai kami satu persatu “kalian mengaji di mana?”. Masing masing menjawab
saya di musola ini, saya di musola situ dan seterusnya mereka menyebut tempat
mengaji masing-masing, hingga tiba giliranku. “Saya tidak mengaji, saya sekolah
minggu di Pantekosta cabang Bogeman.” Mendengar jawabanku sepertinya nenek
tidak suka kemudian menimpali “kalau ke gereja tidak boleh ikut lebaran, yang
boleh ikut hanya yang mengaji saja.” Walaupun berkata seperti itu aku tetap
mendapat uang saku yang sama jumlahnya dengan yang lain. Namun aku langsung
pulang tidak melanjutkan kunjungankau ke tempat lain, sedangkan teman-temanku
masih lanjut.
Sesampai
di rumah kuceritakan hal ini kepada ayahku. Maka kata ayahku “memang benar
lebaran itu untuk orang Islam, sedang kamu Natalan. Saat lebaran mereka dapat
uang saku, tapi saat natal kamu dapat hadiah dan paskah dapat telur.” Mulai
saat itu aku tidak mau lagi mengunjungi orang saat lebaran, pikirku jika natal
aku dapat hadiah mereka tidak, maka saat lebaran aku juga tidak mau cari uang
saku. Kuharap ini adil, untuk selanjutnya jika lebaran di tanya orang “ kamu
lebaran main sampai mana saja” maka dengan mantap kujawab “saya tidak lebaran
tapi natalan.” Kelak setelah SMP baru aku mau mengunjungi orang disaat lebaran,
pertama sebagai ucapan antar umat beragama, kedua sudah besar tidak lagi
dikasih uang, hadiah natalpun juga sudah habis.
Tiga
peristiwa inilah yang kelak selalu mengingatkanku saat kujatuh, jauh dari
Tuhan, kesesakan melanda dan bahkan hampir meninggalkan Tuhan aku akan selalu
ingat. Masa kecil merupakan masa persiapan awal untuk hadapi tantangan
kehidupan. Aku dipilih langsung, jika mati tidak disalib, dan aku natalan.
DUA
WELCOME TO THE JUNGLE
Ketika kecil aku suka menanam pohon,
apapun kuambil kutanam di halaman rumah, akan tetapi ayah melarangku sebab itu
bukan tanah kami. Seperti suku-suku primitif, keluarga kami berpindah-pindah
tiap tahun yaitu pindah dari kontrakan yang satu ke kontrakan yang berikutnya
di kampung yang sama. Dari kebiasaan berpindah inilah maka temanku selalu ganti
dan pastinya kulupa hingga sampai aku tidak tahu siapa teman bermainku saat
itu. Suatu saat aku tanya pada ayahku kenapa kami harus pindah-pindah tidak
seperti teman-temanku yang punya rumah tetap. Belakangan kuketahui bahwa
pertanyaanku membebani pikiran ayahku. Saat itu aku dibujuknya, bagaimana kalau
kami ikut transmigrasi disana akan punya tanah yang luas dan aku boleh menanam
apa saja, tapi tinggal dihutan dan makannya hanya ikan asin. Tentu saja aku
menyetujui hal itu yang ternyata ibuku tidak mau, untuk itu maka ayah
membujukku yang tak tahu-apa.
Hari itu berlalu dan setelah pindah
tiga kali ayah tidak pernah membicarakannya lagi, ia lebih fokus mengajari aku
membaca dan menulis. Hingga menjelang aku masuk sekolah kami sudah punya rumah
sendiri. Rumah kecil dibangun di pinggir sungai kecil tak bersertifikat karena
merupakan tanah irigasi. Aku senang karena tidak akan pindah lagi. Sehubungan
dengan kondisi ekonomi yang tergolong melarat aku sering tidak terima raport,
setiap akan THB (tes hasil belajar) catur wulan ayah sering minta dispensasi
agar aku bisa ikut tes. Ayahku berfikir bahwa aku bisa lulus SD sudah cukup
baik. Menurut informasi bahwa di daerah transmigrasi sekolah gratis. Agar aku
dan adikku bisa sekolah minimal lulus SMP maka ayahku memutuskan untuk kami transmigrasi, walaupun ternyata
sekolah bayar juga tapi dapat terjangkau.
November
1993 kami berangkat ke Kalimantan Barat untuk mengikuti Transmigrasi Perkebunan
Inti Rakyat (PIR) Kelapa Sawit. Kami berangkat bersama sepuluh keluarga terdiri
dari dua keluarga dari kota dan delapan dari kabupaten Magelang serta puluhan
keluarga lain dari seluruh Jawa Tengah. Inilah syair lagu yang digubah ayahku
untuk mengisahkan perjalanan kami.
Deru suara mesin kapal
diselingi gemerciknya ombak
Di tengah samudra nan
amat luas iringi kepergian ratusan jiwa
Sebuah pulau yang masih
sepi sambut kedatangan mereka
Hutan terbentang sangat
menantang untuk dijadikan sebuah desa
Transmigran......itulah tugasmu sibak belukar bangunlah
desamu
Transmigran.....bulatkan tekatmu demi nasib anak dan
cucumu
Para
peserta dari wilayah eks Karsidenan Kedu selama tiga hari tinggal di transito
Magelang yang kemudian berangkat ke transito Semarang dan disana kami kumpul
orang-orang se provinsi. Kami tinggal dibarak dan makannya antri mungkin
seperti tawanan perang zaman penjajahan Belanda ketika orang-oran Jawa dibawa
ke Suriname dan tak pernah kembali lagi ke tanah Jawa. Kamipun naik kapal
perang selama tiga hari, sedangkan transmigran yang ke Irian Jaya naik pesawat
terbang. Tiba di transito Pontianak kami juga tinggal beberapa hari, disini
kami di bagi ke berbagai daerah. Perjalanan dilanjutkan melalui sungai Kapuas
dengan kapal kayu. Di kanan kiri terdapat hutan lebat, terkadang beberapa rumah
apung kami temui, air sungainya berwarna kecoklatan. Alam baru, hutan, hujan
yang hampir setiap hari disini seakan pepohonan menyambut welcome to the jungle. Setelah melewati siang dan malam beberapa
hari kemudian kami tiba di Sepauk. Beberapa rombongan di turunkan yang lain
masih melanjutkan perjalanan.
Dari
Sepauk kami naik truk menuju lokasi. Sepanjang jalan kami melihat pohon kelapa
sawit yang menjulang dan pohon inilah yang kelak kulihat setiap harinya. Untuk
rombongan Magelang di tempatkan di satuan pemukiman 6 (SP VI). Perkebuanan
Kelapa sawit ini dibagi dalam satuan pemukiman dai 1 sampai 12, saat ini baru
sampai 6. SP I dibangun lebih dahulu menyusul SP berikutnya. Sehingga kelak
panen sawit dan penanaman lagi akan bergilir. Di SP VI sudah dihuni satu tahun
yang lalu dan kami merupakan pendatang baru yang disusul oleh rombongan Serang.
Kami
tinggal di desa Nanga Ansar, Kec. Belitang Hulu, Kab. Sanggau.Di sini berkumpul
dari berbagai suku Jawa (tengah, timur, ngapak), sunda, NTT. Dayak Mualang
merupakan penduduk asli. Kami masing-masing dapat rumah panggung dengan luas
tanah setengah hektar. Puji Tuhan orang dayak mualang semuanya Kristen sehingga
kami disambut sebagai saudara. Di sini hanya ada satu gereja, saat minggu
dipakai bergantian pagi hari Kristen Khatolik kemudian pukul 10.00 Kristen Protestan.
TIGA
NEO-KOLONIALISME
Perbedaan kepadatan penduduk di
Indonesia memunculkan ide untuk memeratakan kepadatan penduduknya. Sebuah
program pemerintah yang memindahkan penduduk dari daerah padat terutama Jawa ke
daerah jarang penduduk. Ditanah Jawa banyak petani yang tidak mempunyai lahan
untuk ditanami, mereka hanya menjadi buruh bagi petani lain yang memiliki tanah
luas. Jikapun memiliki tanah sangat sedikit dan hasil buminya tidak akan
mencukupi untuk hidup. Sedangkan orang-orang kota semakin terhimpit oleh
pembangunan, mereka sedikit sekali mendapatkan tempat untuk bernaung dari
teriknya matahari dan dinginnya malam mencekam. Di tanah sebrang lahan baru
dijanjikan, mereka akan memilikinya untuk ditanami dan kelak dinikmati hasil
buminya. Dikemudian hari diharapkan
tanah Jawa tidak semakin sesak, dan tanah di pulau-pulau besar lainnya
semakin ramai ditinggali penduduk. Oleh sebab itu, maka dibuatlah program
Transmigrasi yang disambut cukup baik oleh banyak orang. Walaupun tersiar kabar
dari saudara dan sahabat yang telah pergi tak pernah biasa kembali lagi ke
tanah kelahirannya, akan tetapi minat masyarakat tetap banyak.
Transmigrasi
pada dasarnya dibagi dua macam. Pertama umum yaitu setiap keluarga mendapat
tanah seperempat hektar dilengkapi rumah, dan semuanya menjadi satu
perkampungan. Kemudian mereka juga berhak memiliki tanah seluas dua hektar
terpisah dari rumah, tanah inilah yang akan dibuat lahan pertanian. Kedua
Perkebunan Inti Rakyat yaitu setiap keluarga memperoleh setengah hektar tanah
beserta rumah dan dua hektar tanah terpisah yang ditanami tanaman perkebuan
seperti kopi, coklat, akasia, kelapa sawit. Jenis tanaman sudah ditentukan
sejak awal dan ini berkaitan erat dengan perusahaan yang akan menampung hasil
perkebuana tersebut. Perusahaan Malaysia di bidang minyak kelapa sawit yang
kekurangan lahan memanfaatkan kondisi ini, dengan cara menanam modal dengan
membuka perkebunan di daerah Sumatra dan Kalimantan. Petani merasa memiliki
kebun akan tetapi yang sesungguhnya petani hanya berfungsi sebagai buruh
perkebunan. Hal ini tak ubahnya seperti TKI yang bekerja untuk perkebunan
kelapa sawit.
Petani
merawat kebunnya sendiri dengan biaya dari bank. Sistem kerjanya adalah setiap
orang yang bekerja di perkebunan akan memperoleh gaji harian. Gaji dihitung
sebagai biaya perawatan yang dinai oleh bank termasuk diantaranya pupuk dan
bibit. Ketika panen petani harus membayar angsuran utang ke bank, setelah lunas
sertivikat akan dimiliki. Namun belum tentu petani akan memperoleh
sertivikatnya. Usia pohon kelapa sawit berkisar dua puluh sampai dua puluh lima
tahun, dari masa tanam akan panen lima tahun kemudian, sehingga waktu
produktif berkisar lima belas tahun.
Setelah tidak produktif pohon ditebang dan ditanami kembali, biaya perawatan
kembali utang bank maka secara tidak langsung petani tidak akan pernah memiliki
kebunnya. Dan tanah tersebut tidak boleh ditanami jenis tanaman lainnya.
Pembeli buah kelapa sawit juga dimonopoli oleh perusaahaan sehingga secara
otomatis harga dikensdalikan satu pihak. Sebenarnya ini bukan program
transmigrasi yang akan mengentaskan kemiskinan melainkan perusahaan minyak
goreng dengan bahan baku yang ditanam sendiri dan sebagai buruh adalah para
transmigran.
Orang
kulit putih pergi ke Amerika bukan karena di tanahnya kurang luas tetapi karena
keserakahan dan keinginan untuk menguasi. Kulit merah memakan bishon karena
lapar, kulit putih tidak peduli lapar atau tidak mereka membantai bishon. Kulit
merah tempat tinggalnya dibakar dan mereka pergi ke gunung, saat kulit putih
mengambil makanan meraka mereka memakan onak. Itulah yang banyak tertulis dalam
buku-buku tentang suku-suku indian. Walaupun tidak sama persis tetapi mirip
keadaannya, suku-suku dayak seperti indian, pengusaha adalah kulit putih, dan
para petani dari jawa tak ubahnya budak-budak kulit hitam yang ditawan dari
Afrika.
Inilah
yang terjadi penduduk asli yaitu suku dayak dibujuk untuk menyerahkan hutannya,
sebagai ganti mereka akan memperoleh perkebunan dan uang ganti rugi. Hutan
ditebang untuk diganti dengan tanaman perkebunan. Tempat maungan binatang liar,
paru-paru dunia, matahari yang tak mampu menembus, pohon-pohon yang tak dapat
dilingkari oleh lima orang dewasa yang saling merentangkan tangannya kini harus
runtuh. Pohon-pohon baru ditanam seragam, padang luas didirikan rumah-rumah
penduduk yang jaraknya sangat berjauhan. Memang tidak semua hutan ditebang,
banyak orang dayak yang masih cinta alamnya mempertahankan hutannya. Akan
tetapi disini, di lokasi transmigrasi dimana pohon kelapa sawit menggantikan
hutan, tak ada lagi kehidupan liar. Babi hutan pergi menghilang, kera tak lagi
bergelantungan, kicau burung semakin jauh, tak ada lagi buah-buahan, tak ada
lagi lumut, kelembaban, yang tersisa hanya serangga, ular dan teriknya matahari
yang menyengat menghanguskan kulit.
Dayak
mualang merupakan penduduk asli dimana
kami tinggal, mereka bersama-sama pendatang menempati satuan pemukiman yang
telah dibuat oleh perusahan. Mereka yang tinggal bersama kami adalah yang telah
menyerahkan sebagian hutan mereka dan sebagai ganti mereka mendapat sejumlah
uang serta perkebunan yang sama dengan kami. Sedangkan penduduk asli yang tidak
menyerahkan hutannya tetap tinggal
diperkampungan mereka. Sitem pertanian
yang digunakan suku dayak adalah ladang bepindah. Pertama-tama pohon ditebang, semak ditebas
kemudian dibiarkan kering. Setelah kering maka dibakar sampai menjadi abu, abu
akan menjadi pupuk setelah disiram air hujan. Selanjutnya ditanami padi dan
jagung dengan cara ditugal yaitu pria melubangi tanah dengan tongkat runcing dibelakangnya
diikuti wanita yang menabur benih. Tiga bulan kemudian jagung dipanen dan tiga
bulan berikutnya panen raya padi. Setiap kegiatan kecuali membakar dilakukan
dengan gotong royong secara bergilir dari satu tempat ke tempat lain. Tebang,
tugal dan panen selalu disertai dengan pesta arak dan babi. Hal ini berlangsung
setiap tahunnya pada musim hujan.
Kini
lambat laun mereka akan mengubah cara bertani mereka dengan perkebunan, menanam
padi di sawah. Disini banyak rawa dan tanah rawa tersebut di manfaatkan oleh
orang dari tanah jawa untuk di jadikan
sawah dan diharapkan suku dayak menirunya. Ladang berpindah tetap berlaku,
berburu juga masih dilakukan walaupun hewan buruan semakin punah ditelan
pembangunan. Di sini adat istiadat becampur dan bahasa Indonesia menjadi bahasa
persatuan antar suku-suku yang tinggal disini jawa, sunda, NTT, dayak.
Bagi
pendatang yang hanya mengandalkan perkebunan maka ekonominanya tidak terlalu
baik, hanya yang bemodal besar dari
tanah jawa yang akan sukses dengan berdagang. Demikian pula dengan ayahku, dia
bukan seorang petani dan lingkungan disini tidak cocok dengan pola hidupnya.
Untuk pulang ke jawa kami tak ada uang, untuk hidup kami sama miskinnya dengan
di jawa. Terkadang kami harus makan ubi. Harapannya adalah jika panen, kebun
akan dibagikan dan ayah akan menjualnya ke orang lain agar kami bisa kembali ke
jawa dan mulai dari nol lagi. Ternyata apa yang tersiar itu benar bahwa
transmigran tidak bisa pulang lagi ke tanah asalnya bukan karena telah hidup
mapan tetapi tidak ada onggkos untuk pulang. Seperti buangan yang merindukan
tanah kelahirannya, setidaknya itulah yang dirasakan banyak orang. Tetap
tinggal karena tak bisa menyebrang.
EMPAT
LALONG
Sistem
pendidikan di lokasi transmigrasi bisa dibilang
memprihatinkan. Bagi kami yang telah mengenyam kelas satu di jawa bisa
baca dan tulis serta berhitung, akan tetapi adik kelas kami sejak kelas satu di
sini sampai kelas tiga belum bisa baca. Maklum saja sistem mengajar sangat apa
adanya, diasuh oleh pendatang yang
bersedia mengajar menjadi guru honorer. Secara fisik bangunan sekolah baru bisa
dipakai ketika kami kelas empat. Itupun hanya dibangun tiga ruang kelas dan dua
rumah guru yang di manfaatkan sebagai ruang kelas, jadi kelas satu dan dua harus
berbagi kelas dengan masuk di jam berbeda. Awalnya kami sekolah di rumah
penduduk yang kosong serta kantor desa. Ketika kelas enam SD guru baru dan kepala sekolah baru di kirim
oleh dinas pendidikan, pendidikanpun sedikit berubah. Anak-anak kelas satu
sudah mulai bisa membaca, Guru honorer tidak lagi mengajar, jadi kami diajar
oleh dua orang guru dan satu kepala sekolah. Bayangkan enam kelas diajar oleh
tiga orang. Mereka benar-benar pejuang tangguh untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa.
Teman sekelasku dari berbagai suku,
karakter, nasib, serta latar belakang keluarga yang berbeda-beda. Lalong adalah
sebutan bagi seorang anak yang telah ditinggalkan ayahnya. Seorang kawan
dari NTT, ayahnya meninggal ketika kami masih
4 SD. Semangat belajarnya tinggi, kini dia hidup dengan ibu dan kedua adiknya.
Dia berjuang untuk hidup dan pendidikan. Dibawanya kerupuk orang ke sekolahan
untuk ia jual, aku sering makan ubi yang di rebus oleh ibunya. Ibunya bekerja
di kebun kelapa sawit dan untuk selanjutnya ia akan mengurus perkebunan dan
menjadi tulang punggung keluarga mengganti ayahnya. Ketika selesai EBTANAS SD
dia mengungkapkan pikirannya “aku akan melanjutkan sekolah untuk pengalaman,
aku tidak mau hanya lulus SD dan tidak mengerti apa-apa” kata-katanya ini kelak selalu menjadi
semangatku untuk menempuh dunia pendidikan.
Nasibku berbeda, kedua orang tuaku
masih utuh namun kami hidup melarat. Ketika menjelang Evaluasi Belajar Tahap
Akhir Nasional (EBTANAS) SD hampir didepan mata, kami tidak ada uang untuk
biaya. Seng atap teras rumahku dilepas lima buah dijual untuk biaya EBTANASku.
Dan aku lulus SD dengan nilai terbaik di
kelasku namun nilai tersebut tidak akan mendapat sekolah di Jawa. Lagi pula
kami tidak ada uang untuk ke jawa jadi kelas satu SLTP disini dan kelas dua
rencananya pindah ke Magelang, dengan harapan
Nilai Evaluasi Murni (NEM) tidak ditanyakan melainkan nilai raport saja.
Karena
sekolah kami masih menginduk, maka saat
EBTANAS SD 1997 kami pergi dari satuan pemukiman (SP) VI ke SP IV untuk
untuk mengikuti ujian. Di pemukiman Transmigrasi Belitang Hulu, Sanggau,
Kalimantan Barat, jarak antar SP sangat jauh apalagi kami masih kecil. Ini
untuk pertama kalinya saya menginap jauh dari orang tua. Daerah yang asing,
hutan belukar, dan orang-orang asing.
Hari-hari kami lalui dengan belajar,
ujian dan melihat sekeliling. Tersiar kabar bahwa didaerah ini angker, tapi itu
tidak membuat saya takut. Saya pernah melihat tuyul saat kecil tapi belum tahu
apa-apa, jadi sama dengan belum melihat. Setiap sekolah mempunyai tempat
penginapan yang berbeda dan jaraknya cukup berjauhan.Ada 8 anak laki-laki
dikelasku dan tinggal serumah tentunya.
Suatu malam 6 anak terbangun 2 masih
tertidur nyenyak. Malam itu cuaca cerah bulan purnama berada diatas kami agak
condong ke barat. Kami pikir pagi telah tiba. Teman-teman mengajak mandi, saya
merasa dingin dan memang dingin ditambah
angin mendesir menusuk tulang ketika pintu di buka. Saya tidak mau dan
kembali lagi meringkuk di bawah selimut
bersama guru dan temanku yang lain sedangkan kelima temanku pergi mandi. Jam berapa waktu itu aku tidak tahu dan tak
peduli.
Malam merambat pelan, kantuk tak ada
lagi padaku , dingin perlahan sirna. Dari balik selimut aku keluar, lebih baik
aku mandi pikirku. Sementara guru dan kedua temanku terlelap, kuambil peralatan
mandi pergi berjalan menyusuri jalan setapak. Semua tampak terang bagai pagi
dan kupikir sudah pagi sementara bulan tersenyum menyapa dan mengantarku.
Semak-semak dikanan kiriku sudah terbiasa, hingga tibalah di suatu tempat
pemandian umum luas dengan air di kolam yang jernih karena hujan cukup banyak
sehingga banyak sumber air. Disana biasanya mandi dikolam atau sungai di tempat
terbuka dengan hanya memakai celana.
Setelah berhasil menyusul kelima
temanku, mereka sedang berkemas untuk pulang selesai mandi. Langsung saja saat
melihatku salah satu dari mereka langsung marah, “ Kamu ini hanya merepotkan
teman saja, tadi diajak tidak mau, sekarang datang setelah kami selesai”.
Dengan
santai saya menjawab “kenapa kamu marah aku salah apa”.
“tentu
saja seharusnya kami pulang tapi sekarang harus menunggu kamu mandi “ tambahnya
lagi.
Dengan
sombong saya berkata “sudahlah tidak
perlu ditunggu aku berani sendiri, kalian pulang saja, apasih yang ditakutkan,
Hantu ! ngapain takut setan , aku tidak perlu takut”.
“baiklah kalau begitu kamu kami tinggal
sendiri, tahu sendiri di sini banyak setan gentayangan” yang lain menimpali. Merekapun pergi, hilang
dalam gelapnya semak belukar.
Aku sendiri, sepi bersama binatang
malam yang bernyanyi, hutan membentang
di barat dan utara, dibelakangku (timur ) semak dan onak duri lebih jauh lagi
terdapat pemukiman penduduk, tapi tak ada jalan setapak disana. Hanya ada satu
jalan keluar masuk yaitu selatan menuju
ketempat kami menginap. Sebuah jalan setapak yang baru saja kulewati
juga temanku yang lain. Sunyi dan sendiri aku mandi, air dingin membasahi
sekujur tubuhku. Busa sabun mulai membersihkan kotoran yang menempel di tubuhku
saat itulah aku merasakan sesuatu yang aneh. Udara serasa berbeda merinding
aku….ya…aku merinding dan ada hawa aneh yang tak kuketahui,.Spontan aku menoleh
kekiri , disebelah jalan setapak tumbuh pohon yang tidak begitu besar. Berdiri
disana sesosok tubuh dengan kerudung putih menutupi kepala hingga kepinggang,
namun raut mukanya hitam pekat kosong dan begitu hampa, seakan bukan wajah.
Sedangkan dari pinggang kebawah tidak
ada, dan memang tidak ada kaki serta
pinggang bak foto setengah badan. Aku semakin takut tapi tidak mungkin lari,
pertama tubuhku penuh busa kedua jalan keluarnya menuju dia artinya sama dengan
mendekat. Karena takut aku tidak berani melihatnya serta berharap dia tidak
mendekatiku. Kulanjutkan mandiku, tidak tahu bagaimana lagi harus berdo’a.
Satu-satunya jalan aku mandi sambil menyanyi lagu-lagu sekolah minggu yang
pasti kuhafal. Dengan cepat kuselesaikan mandiku, berkemas, segera pulang. Aku
berjalan begitu cepat tanpa melihat sekeliling hanya menunduk melihat jalan
setapak yang kuinjak, semakin mendekati pohon tersebut semakin keras aku
bernyanyi dan Haleluya Tuhan selamatkan aku.
Sesampainya di tempat bermalam
kuceritakan apa yang terjadi pada yang lain, yang langsung berkomentar “makanya
jadi anak jangan sombong dan sok berani!!!”. Waktu itu ternyata masih pukul 3
dini hari. Malam pun merambat cepat, mentari bangun dari peraduan.
Beramai-ramai kami mengambil air ditempat tadi, kuperhatikan pohon yang tadi
ternyata tidak ada sesuatu yang tergantung disana, jadi apa yang kulihat ………………..?!!?
Menjelang masuk SMP ayahku sakit
keras sampai tak mampu lagi menyangga tubuhnya yang dagingnya habis dimakan
penyakit. Kondisi seperti ini tak mungkin untuk aku terus sekolah. Ayah
memintaku untuk menunda sekolahku sampai tahun depan. Akan tetapi aku tidak
mau, walaupun aku tidak tahu apa arti iman, lagi pula aku tidak kenal Tuhan
dengan baik, aku yakin bahwa ayahku pasti sembuh dan kelak pasti ada uang untuk
membayar sekolahku. Puji Tuhan oleh karena muzjizat ayahku akhirnya bisa
sembuh.
Masuk SLTP aku tidak punya seragam,
yang kupakai adalah baju SD dan celana pramuka. Suatu ketika aku di beri
seragam bekas oleh kakak kelas dan akhirnya aku benar-benar jadi anak SLTP PGRI
27 Padak. Bukuku hanya dua, semua mata pelajaran masuk di dalamnya. Saat
menjelang tes catur wulan pertama aku belum dapat kartu tes karena memang belum
bayar apapun saat masuk sekolah. Tapi aku masih bisa ikut tes, hingga tiba
penerimaan rapor semua yang belum bayar khusus catur wulan pertama tetap terima
rapor. Untuk rangking 1 dapat hadiah tiga buah buku, rangking 2 dua buah buku
serta rangking 3 sebuah buku tulis. Puji Tuhan aku dapat dua buah buku walaupun
nilai biologi 5, sehingga aku bisa mencatat lagi sebab kedua bukuku sudah habis
terisi tinta. Seperti keyakinanku Desember 1997 uang sekolahku lunas dibayar
dan aku punya seragam dan sepatu baru. Ayah telah menjual kebun kami dengan
harga yang cukup murah, karena memang tidak laku mahal. Rencananya ketika
kenaikan kelas kami akan pulang ke tanah jawa, sebab jika pulang sekarang
kemungkinan aku bisa tidak naik kelas jika meneruskan sekolah.
LIMA
DALAM NAMA BAPA, PUTRA DAN ROH KUDUS
Sewaktu berangkat ke Kalimantan
kami di beri beberapa Alkitab the Gideon
oleh guru sekolah mingguku dan hanya itulah kepunyaan kami. Ayah rajin sekali
membacanya, dia juga membicarakannya
pada waktu kami duduk, berjalan, dan hampir tiap hari. Di sini ibu ke
gereja karena kami dikenal sebagai keluarga Kristen. Radio merupakan hiburan
bagi kami, setiap hari kami mendengarkan siaran radio lokal, salah satu
acaranya yaitu Rencana Agung. Karena kerinduan kami untuk punya Alkitab yang
lengkap Perjanjian Lama dan Baru sedangkan kota sangat jauh, maka ayah mengirim
surat ke Rencana Agung, Jakarta. Waktu yang diperlukan untuk mengirim surat
dari pelosok Kalimantan ke Jawa memakan waktu kurang lebih satu bulan, demikian
pula surat balasannya. Setelah beberapa bulan kemudian, akhirnya kami
mendapatkan surat balasan yaitu sebuah buku renungan harian dan Alkitab yang
kami inginkan. Ayahku sangat gembira dan inilah Alkitab dalam keluarga kami
yang pertama kali, dan Alkitab tersebut masih kami pakai sampai hari ini
walaupun sekarang kami punya masing-masing satu Alkitab.
Ayahku adalah seorang anak Tuhan
sejak kecil, walaupun orang tuanya belum mengenal Tuhan. Ia rajin sekolah
minggu diantar tetangganya bersama dengan anak-anak lainnya. Hingga remaja
akhirnya ia di baptis. Namun ketika beranjak dewasa dan mengalami masalah
keluarga, ia mulai meninggalkan gereja akan tetapi KTPnya tetap Kristen. Hingga
suatu ketika ia bertemu ibuku yang berasal dari keluarga Islam. Ayah dan ibuku
menikah di KUA, tentu saja ayahku mengaku sebagai seorang muslim. Hal ini
dilakukannya agar mudah menikah, karena jika harus menikah di gereja belum
tentu orang tua ibuku merestui mereka. Dengan cita-cita kelak ibuku akan
menjadi satu iman di dalam Kristus. Dalam pernikahan itulah, dihadapan umum
ayahku mengucapkan dua kalimah syahadat. Selang beberapa tahun kemudian ia
merasa berdosa dan menganggap baptisannya tidak lagi berlaku walaupun ia masih
mempertahankan iman Kristennya.
Ternyata ibuku juga anak sekolah
minggu. Akan tetapi sungguh malang nasibnya, ia selalu mendapat pukulan dari
ibunya setiap pulang dari gereja. Jika mendapat hadiah atau makanan ia selalu
mengatakan temannya ulang tahun. Hal ini semakain mendapat pukulan yang lebih parah,
sebab jika orang berulang tahun kita yang memberi hadiah bukan pulang membawa
hadiah. Waktu terus berjalan dan usiapun semakin beranjak dewasa, ketika
menginjak remaja ibuku malu harus menerima pukulan setiap minggu. Oleh sebab
itu ia tidak lagi pergi ke gereja dan secara otomatis mengikuti agama orang
tua. Saat mengantar kami sekolah minggu ibu sangat tidak keberatan dan di
pedalaman ini ibu mulai kembali lagi mengenal Tuhan yang telah lama ia
tinggalkan.
Di sini tak ada saudara, kondisi
kehidupannyapun berbeda. Seakan terbuang terpencil jauh dari segalanya, jauh
informasi, jauh dari jalan beraspal.
Dalam kesendirian, aku
slalu terbayang,
akan kampung halaman,
yang lama kutinggalkan
ku inging cepat pulang, ke kotaku Magelang
setidaknya
seperti itulah perasaan ayahku yang ia goreskan melalui buku catatannya, ketika
malam telah menyelimuti dan hanya ditemani sinar lampu minyak yang tidak begitu
terang.
Suatu ketika ayahku bernazar “jika
kami bisa pulang ke Jawa, gereja mana yang membaptis kami disitulah keluargaku
akan berbakti.” Halleluya, do’anya di jawab Tuhan sehingga dengan menjual kebun
kelapa sawit yang baru saja dibagikan. Tahun 1998 kami pulang, pada tahun yang
sama pula aku dan ibuku dibaptis, bersamaan dengan itu ayahku baptis untuk kedua
kalinya dalam nama Bapa, Putra dan Roh Kudus. Dan hingga saat ini ibukulah yang
paling rajin ke gereja, berdo’a dan patut di contoh bagi semua orang. Kusadari
karena do’anyalah kami bisa menempuh sekolah.
ENAM
SAAT INDAH
Pelajaran Alkitab sebelum baptis
yang umumnya disebut katekisasi wajib bagi setiap orang sebelum baptis.
Demikian halnya dengan aku, setiap malam minggu aku menerima pelajaran besama
tujuh puluhan peserta lainnya. Suatu ketika seseorang menanyakan aku punya
Alkitab atau tidak. Ku jawab punya tentunya, akan tetapi karena aku tidak
pernah bawa Alkitab pertanyaan berikutnya adalah kenapa tidak bawa? terang saja
Alkitab kami hanya satu untuk sekeluarga. Malam itu juga dia memberikan
Alkitabnya kepadaku, sambil memberi informasi bahwa Alkitabnya banyak di rumah.
Inilah Alkitabku yang Tuhan kirimkan lewat orang tak ku kenal.
Di beberapa SMP negri dekat rumahku
akau tidak bisa diterima sebab kelas penuh dan tidak menerima siswa baru pada
kenaikan kelas. Di SMP swastapun aku tidak bisa masuk sebab harus membayar
sejumlah uang yang tak mampu kami bayar, maklum saja keuangan kami sangat mepet
hanya cukup untuk transportasi ke Jawa. Untungnya rumah kami ketika kami
tinggal dikontrakkan sehingga tidak khawatir lagi dengan tempat tinggal.
Akhirnya ada sekolah yang mau menerimaku dengan pembayaran uang gedung
menyusul. Aku masuk SLTP Bunda Wacana dan belum membayar apa-apa, dengan
perjanjian harus membayar sejumlah uang pada bulan-bulan berikutnya dengan cara
mengangsur. Aku kembali sekolah kelas dua dengan hanya membeli bedge sekolah,
sedangkan buku tulisku tak beda dengan saat kelas satu. Di satu sisi akau
gembira karena bisa sekolah, disisi lain ayahku harus memutar otak untuk
biayaku yang belum diketahui sumbernya. Ayahku belum mendapat pekerjaan yang
tetap sedangkan uang sekolah harus tetap dibayar.
Seorang pengerja di gereja kami
menyuruh seorang guru sekolah mingguku untuk mencari sepuluh orang untuk
disponsori sekolah. Aku masuk kriteria orang yang dicari sebab syaratnya tidak
terlalu sulit berupa kondisi keluarga tidak mampu dan semangat belajar tinggi.
Ketika tawaran dar guru sekolah minggu diberikan kepadaku sebenarnya aku agak
keberatan karena harus pindah ke SLTP Pantekosta, padahal suasana sekolahku
cukup nyaman, dalam waktu seminggu aku sudah akrab dengan teman-teman baruku.
Kusampaikan kebimbanganku ke ayah,
ia hanya berkata “terserah kamu, lakukan yang baik bagimu, ambil keputusanmu
sendiri. Jika kamu tidak mau pindah sekolah ayah akan usahakan biaya sekolahmu
semampu ayah.” Ketika bertemu calon orang tua asuhku, aku langsung menyetujui
untuk disponsori, dan segera aku dipamitkan keluar sekolah dengan alasan tidak
ada biaya, kemudian aku pindah dari
sekolah lamaku yang baru kududuki selama dua minggu. Pekerjaan Tuhan sungguh
luar biasa, ternyata dari Belanda dicari 10 anak untuk disponsori dan semua
sudah terpenuhi sebab sekolah sudah berjalan. Aku adalah anak kesebelas yang
secara manusia sudah tidak masuk hitungan, tetapi aku disponsori secara pribadi
bukan hanya SPP tetapi lengkap dengan peralatan sekolah.
Buku terbanyakku adalah saat ini,
bayangkan biasanya aku punya buku tulis dua buah untuk semua mata pelajaran,
sekarang aku punya masing-masing dua buah buku untuk satu mata pelajaran. Tak
hanya itu buku-buku mata pelajaran yang tak pernah mampu kubeli sekarang
kumiliki. Aku bukan tergolong orang pintar jadi aku harus mati-matian berjuang
mengejar ketinggalan mata pelajaran. Sebagai hasil catur wulan pertama di klas
dua nilai terrendahku 6 sedang nilai tertinggi 7. Rangking di kelas sudah pasti
tak kuraih, tapi berkat kemurahan Tuhan aku bisa lulus dengan nilai yang tidak
jelek-jelek amat. Nilaiku memang tidak bisa untuk masuk SMU Negri tapi cukup
baik untuk masuk swasta. Dengan modal nilai yang ditolak di sekolah negri, aku
diterima di SMU Kristen 2 sekaligus
mendapat beasiswa gratis uang gedung dan SPP selama satu catur wulan.
Masa
SMU yang tak pernah dikecap kedua orang tuaku kulalui dengan penyertaan penuh
dari Tuhan. Di sini aku semakin mengenal Tuhan baik melaui kelompok tumbuh
bersama (KTB), maupun persekutuan siswa Kristen (PSK), serta
peristiwa-peristiwa sehari-hari. Banyak kukenal kawan dengan berbagai sifat dan
kelebihan masing-masing. Di sini pula kumengenal cinta pertamaku, walaupun di
kemudian hari tidak menjadi pendamping hidupku namun ia mengisi hatiku.
Menginjak kelas dua aku sudah jarang ke gereja, namun bukan berarti
meninggalkan Tuhan. Banyak harapan, cita-cita yang timbul sejak masa-masa ini.
Fisika adalah mata pelajaran kesukaanku, namun kini akau jatuh cinta dengan
kimia walaupun tak menjauhkan diri dari fisika dan matematika. Tidak ada
pelajaran sulit, juga tak ada pelajaran mudah, semua tergantung kesukaan, jika
suka pasti bisa. Biologi merupakan mata pelajaran IPA yang tak pernah kukuasai
karena begitu banyaknya nama latin yang tak mampu kuhafal, sama halnya dengan
pelajaran IPS yang tak ku pahami sedikitpun. Aku memutuskan kelak aku akan
kuliah di jurusan Teknik Kimia, dengan gelar insinyur yang kini sudah tidak ada
lagi karena diganti dengan sarjana teknik.
Hampir
semua keinginanku yang sesuai dengan kebutuhanku dipenuhi oleh Tuhan. Sebagai
anak Tuhan aku merasa sebagai anak manja, yang disayang-sayang, dibela walaupun
aku bukan orang yang bergaul akrab dengan Tuhan. Aku merasa bosan hingga suatu
ketika aku berkata “ aku tidak ingin dimanja oleh Tuhan, aku ingin dewasa,
mandiri dan siap menghadapi tantangan dari luar, tapi tetap bersama Tuhan
tentunya.” Hari berlalu penuh liku kehidupan, masa remaja kini hampir usai,
indahnya masa SMU kelak akan menjadi kenangan tak terlupakan. Tahun 2003
merupakan awal diberlakukan ujian akhir nasional dengan nilai kelulusan minimal
3.01. Namun karena sekolahan Kristen, sudah pasti Tuhan ikut campur, hasilnya kami lulus 100%
dengan nilai di bawah rata-rata orang
pintar.
Secara
usia aku sudah dibilang dewasa, tetapi untuk hasil karya belum ada sesuatu yang
kuhasilkan. Aku tidak tergolong orang pintar, kemampuan senipun minimal tapi
aku ingin berkarya. Untuk apa Tuhan menciptakan kita jika tidak ada gunanya.
Aku dilahirkan bukan tanpa tujuan, aku dilahirkan bukan hanya untuk memenuhi
bumi, memakan apa yang tumbuh, meminum airnya serta menghirup udara yang
tersedia. Setiap kehidupan, setiap detik pasti ada gunanya. Orang-orang
seusiaku sudah dapat menghasilkan sesuatu yang bisa dibanggakan, sebagian yang
lain sudah tidak menggantungkan lagi hidupnya kepada orang tua. Sampai sat ini aku
masih bingung dengan talentaku, tentang apa yang dapat kulakukan, tentang
segala kehidupan. Usiaku tidak panjang, sangat terbatas, kuharap dari
keterbatasan itu aku berjuang, setidaknya kelak jika mati namaku terkenang
dalam sejarah.
TUJUH
SEBERKAS CAHAYA
Lulus SMU merupakan awal kehidupan
sesungguhnya. Banyak diantara kami yang menjadi barisan pengangguran sebab tak
ada lowongan. Rata-rata kami menempuh pendidikan dua belas tahun, namun ilmu
yang kami dapat tak mampu diterapkan dalam dunia pekerjaan. Lulus SMU
ujung-ujungnya penjaga toko atau buruh pabrik. Kuliah merupakan barang mahal
yang hanya bisa dijangkau oleh segelintir orang-orang beruntung. Sponsor kami
hanya sampai lulus SMU, kemudian mencari anak-anak baru lagi untuk
disekolahkan. Saat kuungkapkan keinginanku untuk kuliah tentu saja tidak
disetujui karena biaya hanya tersedia untuk anak sekolah. Hal itu bisa
kumaklumi, orang yang lebih pintar dari aku saja tidak dikuliahkan apalagi aku.
Namun semangatku tidak putus sampai disitu, aku bisa sekolah itu kemurahan
Tuhan, lulus SMU merupakan modal awal yang telah disediakan Tuhan. Dengan penuh
semangat dan harapan melanjutkan pendidikan aku menjadi salah satu dari ribuan
pengangguran di tanah air tercinta Indonesia.
Dengan harapan yang besar ayah
menyuruhku masuk tentara, walau secara fisik aku lemah tapi bisa dilatih.
Sebenarnya aku tak mau jadi tentara, bagiku kehidupan tentara sangat kaku dan
hanya ada kata siap tanpa bisa mengembangkan kreatifitas otak kita. Kita bisa
mengembangkan kreatifitas jika jadi komandan, namun sebagai anak buah hanya
bisa melakukan tugas sesuai perintah. Setidaknya ada tiga kegiatan dalam
kemiliteran yaitu pendidikan, latihan rutin dan tugas. Semua satu jiwa satu
kesatuan demi mempertahankan keutuhan NKRI. Akan tetapi bagiku kegiatannya
begitu membosankan jika dilihat secara sepintas. Lagipula fisikku sangat malas
untuk berlatih, bagiku membela negara bukan hanya kewajiban tentara tetapi bagi semua warga dengan
berbagai macam profesi. Sebungan dengan biaya pendidikan yang ditanggung negara
serta tak ada biaya untuk kuliah maka aku ikut tes Akademi Angkatan Laut.
Sesungguhnya aku hanya menyenangkan hati orang tua, dan pada tes tahap pertama
aku sudah gagal karena gigiku tidak rata.
Masuk perguruan tinggi negri merupakan
dambaan banyak anak. Dengan modal semangat tinggi, walaupun tidak tau diri
dengan kemampuan yang cukup minimal aku ikut dalam kompetisi UM UGM. Jurusan
yang kuambil sudah pasti Teknik Kimia pada pilihan pertama dan Teknik Fisika
pada pilihan kedua dengan nilai sumbangan yang kuajukan Rp.0 juta. Mulai saat
itu biaya kuliah di perguruan tinggi negri tak jauh beda dengan swasta. Satu
hari sebelum berangkat tes ke Jogja, ayah tak punya uang sama sekali untuk aku
pergi dan makan dalam tiga hari. Tempat tinggal aku bersama temanku menumpang
di kontrakan dosen Atmajaya. Malam hari sebelum aku berangkat teman ayahku
menang judi dadu, sebagian uangnya diberikan
untuk uang sakuku. Hasilnya sudah dapat ditebak tanpa harus menunggu
pengumuman, orang terpintar di sekolahku saja tidak lolos apalagi beberapa yang
lainnya. Lagipula jika aku diterima aku tidak ada uang untuk bayar kuliah, kos
sekalian makanku. Hal ini menunjukan aku bukan golongan orang pintar di negri
ini.
Tidak sekolah bukan berarti tak ada
kesempatan belajar. Jika tidak ada kegiatan dan memang kegiatan tidak selalu
ada aku mengisi waktu di perpustakaan kota. Buku merupan jendela dunia itu kata
orang, membaca juga tidak harus yang berat-berat melainkan mulai dari yang
mudah dicerna lambat laun banyak ilmu akan masuk dalam otak. Dengan hanya duduk
beberapa jam kita akan tau bagaimana kondisi dunia luar yang tak mampu
dijangkau kaki. Banyak kebudayaan bangsa lain, semangat hidup,
pemikiran-pemikiran orang, penemuan masa lalu, perjuangan sekelompok manusia
bisa kita timba hanya dengan membalik-balik halaman buku dan memelototinya
dengan cermat. Walaupun tidak terlalu sering akan tetapi dari membaca semangat
belajarku semakin membara, keyakinanku semakin tinggi akan harapan meraih
cita-cita. Seorang kawan mengatakan bahwa kesuksesan kita bukan ditentukan oleh
kondisi orang tua. Kemiskinan orang tua bukan halangan untuk maju, kekayaan
orang tua juga buakan jaminan untuk berhasil. Semua keberhasilan bermodalkan
tiga hal yaitu bakat, niat, biaya. Bakat sudah kita bawa sejak lahir, setiap
manusia diberi minimal satu talenta oleh Tuhan , hanya kita harus tau diri
seberapa kemampuan yang Tuhan berikan pada kita. Berjuanglah dengan
keterbatasan kita. Biaya bukan perkara mudah bagi manusia tak berharta, tetapi
bukan berarti tak mampu diraih. Tuhan itu kaya raya, Dia mampu menyalurkan
kekayaannya lewat apa saja, siapa saja, dimana saja, kepada siapa saja, semua
tak ada kesukaran bagi-Nya. Dari ketiganya niat adalah hal yang perlu
ditumbuhkan, dipupuk, disirami, dijaga dan itulah modal satu-satunya yang harus
kita perjuangkan. Tanpa bakat, tanpa biaya tetap bisa jaya asal ada niat.
Sebaliknya ada bakat, ada biaya, tak ada niat sama saja jasad tanpa nyawa.
Kehidupan penganguran terkadang
dipandang sebelah mata oleh sebagian manusia dengan kehidupan mapan. Status ini
sangat menekan secara psikologi, bekerja serta mendapat kedudukan layak dalam
suatau perusahaan merupakan sebuah prestasi dalam kehidupan bermasyarakat.
Padahal pengangguran bukan karena tak mau bekerja, selain sedikitnya lowongan,
setiap pengangguran memiliki pemikiran masing-masing yang tak dapat diselami
orang kebanyakan. Dari pada kelihatan tak ada usaha, melamar pekerjaan ke sana
ke mari merupakan pekerjaan iseng namun
rutin kulakukan. Sudah kupastikan dari setiap wawancara aku tak akan diterima.
Dengan latar belakang tidak niat bekerja, setiap pertanyaan ku jawab sekenanya,
ditambah lagi penampilan sesukanya. Akan tetapi beberapa komentar sampai di
telingaku “ zaman sekarang cari kerja memang susah.”
Dengan perantara seorang guruku aku
bisa diterima di salah satu perusahaan kayu lapis, Temanggung. Bekerja
merupakan dunia baru bagiku, terik matahari, bising mesin-mesin menjadi makanan
setiap hari. Ijazahku hanya mengantar aku jadi buruh. Melaksanakan perintah,
mengerjakan perintah, menerima cacian atas kesalahan adalah kewajiban seorang
buruh. Keringat bercucuran dari setiap pori-pori, debu-debu serpihan kayu
berhamburan terhisap sebagian. Kepenatan, persaingan terjadi secara alami.
Buruh bekerja setengah mati karena keterpaksaan agar tetap bertahan hidup.
Tenaga kami terkuras demi membesarkan perut majikan. Dalam waktu cukup singkat,
sepekan telah kulalui, kini aku kembali bebas menghirup udara dan keluar dari
pekerjaan. Aku tak mau jadi buruh lagi, aku harus sekolah. Tuhan telah
sekolahkan aku sampai SMU pasti Tuhan mampu kuliahkan aku.
Dalam sekejap jabatanku sebagai
pengangguran kembali lagi. Aku tak pernah menyalahkan siapa-siapa, aku hanya
iri kepada teman-teman seusiaku, mereka berhak menikmati pendidikan lebih
tinggi kenapa aku tidak. Sesungguhnya kegagalan sekolah tidak hanya ku alami
sendiri, ribuan orang di Indonesia mengalami nasib sama bahkan banyak
yang tak punya ijazah SD. Aku sadar keberadaanku, aku tidak bisa kuliah karena
ayahku miskin. Ayahku miskin karena dulu ia putus sekolah sehingga
penghasilannya sama rendah dengan pendidikannya. Ayahku putus sekolah karena
kakekku meninggal ketika ayahku duduk di kelas satu SMP, maka sebagai akibatnya ayah harus menopang
adik-adiknya sekaligus kehilangan kesempatan belajar. Kakekku meninggal dunia
karena dipanggil Tuhan. Kesimpulannya penyebab dari ketidak mampuanku menempuh
pendidikan tak lain adalah kesalahan Tuhan, jadi hanya Tuhanlah yang mampu
membiayaiku kuliah.
untuk
apa Tuhan menciptakan kita jika tidak ada gunanya
bapaku
di dunia memang miskin tetapi Bapaku di sorga kaya raya
inilah
moto hidupku yang kupegang sampai sat ini. Banyak orang menghalangi
pemikiranku, mereka menganggap aku tidak mau memahami keadaan orang tuaku.
Seharusnya aku bekerja membantu meringankan beban orang tua. Tetapi tak sedikit
yang mendukungku, aku lebih memihak para pendukung-pendukungku dan harus
membuktikan pada para penentangku.
Setiap orang yang takut akan Tuhan
dan setia akan selalu disertai, diberkati, dipelihara, dan lain sebagainya yang
berupa kebaikan. Sehubungan aku tidak terlalu rajin ke gereja, tak pernah
banyak berdo’a jadi berkat Tuhan sedikit terhambat. Tapi tidak masalah bagiku
sebab bagaimanapun keadaan kita, Tuhan tetap sama dan tak pernah berubah dalam
segala hal. Kesetiaan buakan diukur dari seberapa penuh absen anda dalam
gereja. Kesetiaan seperti itu terkadang hanya formalitas dan rutinitas secara
fisik. Tuhan tak butuh pujian hanya dari mulut, tapi lebih dari itu dia
menuntut sikap hidup. Kesetiaan pada Tuhan sesungguhnya hanya nampak saat kita
menghadapi masalah, tekanan, kehancuran, anaiaya dari pihak manapun. Ketika
badai menghalang, jauh dari saudara seiman, terhimpit kelamnya kegelapan dunia,
disaat seperti itulah kesetiaan diuji. Kita dituntut mempertahankan iman
percaya kita pada Kristus pada konsdisi paling kritis sekalipun.
Terkadang pandangan manusia sering
terbalik dalam hal beribadah. Setia beribadah supaya diberkati, melayani supaya
diberkati. Melaksanakan Firman Tuhan supaya selamat dari mara bahaya. Akan
tetapi bukan itu hakekat sesungguhnya. Kita beribadah, pergi ke gereja karena
rasa syukur kita sbab Tuhan telah selamatkan kita. Kita melayani, melakukan
Firman Tuhan karena Tuhan terlebih dahulu memberkati kita. Sesungguhnya segala
yang kita lakukan dalam hidup ini bukan supaya melainkan karena. Kita makan
bukan supaya kenyang, tapi karena lapar. Kita melakukan segala sesuatu bukan
supaya dipandang layak oleh Tuhan, tetapi karena Tuhan sudah melayakkan kita
jadi anak-anaknya. Kita berbuat baik bukan supaya dibenarkan, tetapi karena
sudah dibenarkan.
Tak ada manusia yang tak pernah
melakukan kesalahan. Keinginan daging sangat
kuat sehingga menyeret manusia ke dalam dosa. Setiap manusia punya
kelemahan yang selalu diincar dan dimanfaatkan oleh iblis. Minuman beralkohol
sudah kukenal sejak lama, walaupun aku bukan pecandu akan tetapi
mengkonsumsinya dalam jangka yang tidak teratur sesuai dengan kondisi hati,
uang dan kawan-kawan. Natal 2003 merupakan peristiwa terburuk. Malam kudus
sunyi senyap, sesunyi hatiku, sesenyap jiwaku. Aku merasa jauh kehilangan suka
cita, tanpa tahu apa yang harus diperbuat. Pulang gereja kami ke rumah sakit
untuk menunggu adik teman kami. Berempat kami merentangkan tikar di emperan
samping kamar adik teman kami. Anggur menjadi minuman kami, aku minum sampai
mabuk, muntah, kemudian tertidur lelap tanpa beban. Ini bukan pertama kalinya
aku mabuk karena memang aku tak bisa minum banyak, sedikit saja sudah membuat
isi kepalaku berputar. Tapi ini natal dimana semua orang bersuka, menyambut
kelahiran Yesus, berdo’a dengan keluarga dengan hiasan-hiasan diseluruh ruangan
lengkap dengan sebuah pohon natal yang tak perneh dimiliki keluarga miskin pada
umumnya seperti diriku.
Seorang kawan sekolah kini menjadi
teman senasib. Melanjutkan kuliah bukan hal yang dia inginkan karena kondisi
ekonomi yang tak memungkinkan. Ia seorang pekerja keras, gigih, rela berkorban,
pejuang, tanggung jawab. Keinginnannya sangat kuat untuk bekerja guna membiayai
sekolah adik-adiknya. Kini ia menjaga gerejanya, membersihkan gereja sekaligus
pastori sekalian mengurus halaman gereja beserta tanaman. Harapannya ingin
mengakhiri status penganguran kemudian mendapat pekerjaan. Terkadang aku
menemaninya tidur di gereja, dengan tujuan hidup masing-masing yang kami
gantungkan dibawah salib Kristus. Dengan beralaskan tikar, dibelakang mimbar
kami sering membahas segala sesuatu dari omong kosong sampai omong berisi.
Disinilah aku mengerti Tuhan, bukankah dulu aku tidak suka dimanja, kini Tuhan
sedang melatihku secara perlahan untuk semakin dewasa. Dikemudian hari kawanku
ini memperoleh pekerjaan, dan menikmati berkat yang dari Tuhan sesuai keinginan
serta kemampuannya.
Tidur di gereja bukan berarti
seperti Samuel. Kami justru sebaliknya, saat ini di Jawa Tengah sedang marak
toto gelap (togel) yaitu perjudian menebak nomor. Seakan-akan judi ini sangat
bebas, terdiri dari dua jenis kuda lari yang berpusat di Semarang dan tak siou
berpusat di Singapura, anda bisa menemuinya di mana saja. Jika menang sangat mengiurkan, nomor terdiri empat digit
jika mampu menebak keempatnya taruhan ribuan bisa jadi jutaan, tiga angka
ratusan ribu, dan dua angka paling belakang menjadi puluhan ribu. Padahal jelas
sesaca ilmu peluang tidak memungkinkan pembeli menang, bandar pasti menang.
Keinginan cepat kaya merupakan alasan kuat untuk mengentaskan rakyat dari
terhimpitnya perekonomian. Hasilnya dukun-dukun, paranormal menjadi laris manis
menerima permintaan tolong menebak angka, dengan hasil tak pernah tepat namun
selalu dipercaya. Lebih parah lagi kuburan, tempat bersemayamnya orang mati
menjadi tujuan untuk bertanya, mimpipun menjadi tumpuan ramalan. Sebagai anak
Tuhan kami tidak akan melakukan seperti orang dunia, saat tidur di gereja kami
menunggu wangsit dari Tuhan. Saat bermimpi di belakang mimbar kami ramal, di
cari artinya diaplikasikan dalam bentuk angka kemudian dibeli. Bukan hanya itu ayat-ayat Alkitabpun menjadi
rangkaian angka. Tujuan kami cuma satu dapat uang, lalu kubelikan formulir.
Tuhan sudah jelas tak memberkati kami.
Penerimaan mahasiswa baru tahun 2004
sudah dimulai. Aku hanya ingin tes, membuktikan apakah otakku masih bisa
bekerja atau tidak. Jika aku di terima aku akan mencari sponsor untuk kuliahku,
tapi aku harus buktikan dulu kemampuanku. Tak ada uang kupegang, menang judi
sudah tidak mungkin. Seorang teman ayah yang juga bandar togel lokal kudatangi
untuk meminjam uang. Uang bandar togel bukan dipinjamkan melainkan diberikan
secara cuma-cuma untukku. Uang tersebut kugunakan untuk beli formulir sekaligus
biaya tes di Jogja. Ketika diterima aku mulai mencari sponsor ke gereja, orang
tua asuhku, namun semuanya gagal total. Sampai seseorang mengatakan, jika
mencari sponsor sekitar bulan mei jangan bulan bulan juli atau agustus sebab
sudah mensponsori orang lain. Kegagalan keduaku melemahkan semangatku.
Tanpa harapan, tanpa semangat aku
berfikir untuk lari jauh tinggalkan kota kelahiran. Melakukan segala sesuatu
yang tak ku ketahui, berjalan tanpa arah tujuan, melayangkan pikiran tanpa
batas. Keputusasaan melingkupi hidupku, jika setahun lagi tak dapat kuliah maka
punah harapanku, tak mampu ku buktikan kemampuan Tuhan atas mimpiku. Ku seret
tubuhku ke gereja setiap minggu bukan karena rindu bertemu Tuhan, semua
semata-mata karena aku Kristen maka aku ke gereja. Aku tidak tahu menyanyi apa,
Firman Tuhan tak ada yang masuk sama sekali. Kegiatanku nongkrong di
perpustakaan sudah kuhapus. Saat ini ibuku adalah orang yang paling dekat
dengan Tuhan, ia rajin berdoa, rajin ke gereja, semua pergumulan masalah keluarga
terutama anak-anak diserahkan ke kaki Tuhan.
Seperti
seorang prajurit di medan perang
Ibu
memperjuangkan anak-anaknya
Siang
malam do’a dipanjatkan demi masa depan anaknya
Tetesan
air mata tak mampu lagi terbendung bejana
Tekanan
perasaan, ketakutan menghampiri hatinya
Seperti
seorang prajurit dalam pertempuran
Perjuangan
ibu tak pernah kenal menyerah
Ketika
mati, prajurit tak lagi disebut namanya
Ketika
kemenangan diraih nama raja tercatat dalam sejarah
Demikian
pula nama ibu akan hilang ditelan masa
Ketika
anak-anak yang dikasihinya meraih keberhasilan
Nama
ayah melekat erat pada anak sepanjang anak itu dikenang
Ibu
gembala di gerakkan Roh Kudus, dengan menanyai ibuku tentang kondisi keluarga
akhirnya sampai pada keadaanku yang pengangguran dengan kemampuan minimal. Aku
di tawari untuk kursus komputer dengan dibiayai penuh. Segera ku sanggupi
dengan tanpa alasan apapun, aku langsung daftar ke tempat kursusan bulan
oktober dan menunggu dengan sabar sampai kelas penuh dan siap dimulai.
Kujalani kursus dasar komputer penuh
semangat belajar tinggi disertai rasa tidak bersyukur. Kenapa aku pingin kuliah
cuma dapat kursus, hingga seorang senior pemuda
mengatakan “Tuhan mendidik anaknya dengan cambuk, lebih baik segelas air
di padang pasir dari pada sungai besar dan kita terhanyut karena tak bisa
berenang.” Sedangkan semangat dari kawan
lainnya “kursus adalah awal dari masa depanku yang lebih baik, setelah ini
pasti berkatku lebih melimpah.”
Kunikmati kegiatan baruku dengan
rasa senang belajar sesuatu yang baru. Di kemudian hari semuanya berguna dalam
menulis laporan, menghitung dan salah satunya menulis buku ini. Walaupun sampai
tulisan ini dibuat, aku belum punya komputer, semua kutulis dengan menumpang
milik teman kos yang empunya kamar disebelah kamarku.
Sebuah tuntutan zaman seakan manusia
dipaksa mengikuti perkembangan dunia. Seperti sebuah keharusan anak manusia
untuk mengusai komputer dan bahasa Inggris. Konon jika tidak bisa menguasai
kedua bidang tersebut maka secara otomatis tersingkirkan dalam dunia kerja.
Sebaliknya kata berbagai sumber barang siapa menguasai komputer dan bahasa
asing tersebut maka dijamin akan sukses. Komputer adalah barang yang tak
mungkin dapat dibeli orang-orang sekastaku, sekelompok masyarakat yang asalkan
ada makan dan pakaian sudah cukup. Sebuah alat pemisah antara satu golongan
dengan golongan yang lain. Tapi zaman sudah berubah, ketika pena tak lagi
menari diatas kertas, ketika surat tak lagi dibawa ke kantor pos. anak manusia
tak lagi saling berkumpul, tak ada lagi gotong royong. Terlebih lagi di bumi
tercinta bahasa ibu mulai sirna. Anak-anak tak tau lagi adat budaya, bahasa
yang diturunkan nenek moyang kita tak lagi dipakai. Setiap anak berlelah-lelah
mempelajari bahasa orang lain sedang bahasa sendiri dilupakan. Ketika huruf
palawa tak lagi ditulis, ha na ca ra ka tak lagi dibudayakan, saat bahasa
sansekerta tak lagi diucapkan, bangsa Indonesia justru berlomba belajar menulis
Arab, Cina, Kanji, melafalkan kata-kata Inggris, Perancis dan lain sebagainya.
Suatu kebanggaan bagi orang tua serta anak itu sendiri jika mampu menguasai
teknologi dan bahasa asing. Walaupun tak lagi mampu berkomunikasi dengan
kakeknya, tangannya tak lagi dilumuri tanah, kulitnya tak pernah terpanggang
matahari.
Selesai
kursus 1 april 2005 statusku dari
pengangguran naik jadi koster di gerejaku sendiri. Ternyata beginilah cara
Tuhan menangkap anaknya, yang tak pernah ke gereja kini tiap hari ada dalam
gereja. Mulai saat ini aku rajin do’a.
Do’a tidak harus banyak tetapi sering, setiap saat, setiap keadaan. Berdasarkan
seorang kawan lebih baik seperti ini, anggap saja aku menyapu dosa-dosaku, lagi
pula aku juga tidak pernah berbuat baik. Kebanyakan pendahuluku berakhir
sekolah Alkitab dan menjadi pendeta. Semua orang berfikir demikian tentangku, bahkan
para pengerja juga. Dengan tegas ku
jawab setiap pertanyan bahwa aku ingin kuliah menjadi seorang insinyur. Sebab
melayani Tuhan tidak harus jadi pendeta tapi harus jadi pelita. Kita harus
mampu menjadi garam dan terang dunia melalui profesi apapun, dimanapun Tuhan
tempatkan kita. Namun bukan berarti aku tidak belajar Firman Tuhan, aku
pelajari segala sesuatu yang berhubungan dengan Tuhan dengan tujuan kalau
ditanya orang bisa menjawab.
Kehausanku membaca mulai terobati,
buku-buku peninggalan pendeta terdahulu kubongkar. Untuk pengetahuan umum
perpustakaan sekolah menjadi tempat sasaran. Harapan kembali muncul ketika
bulan mei ibu gembala menanyakan perihal
rencana dan keinginanku. Dengan panjang lebar penuh semangat kuutarakan
keinginanku untuk kuliah di manapun yang penting Teknik Kimia. Aku diijinkan
mengikuti tes ke perguruan tinggi dan berdo’a utamanya. Dengan gesit aku
mendaftarka diri ke UPN “Veteran” Yogyakarta. Setiap sore selama sebulan ku
ulangi lagi pelajaran SMU demi persiapan tes bulan juni. Pengumuman muncul aku
diterima.
Jum’at pagi seperti biasa aku datang ke
kantor gereja, menyapu, mengepel serta membersihkan kaca yang merupakan
tugasku. Hari ini adalah hari terakhir untuk daftar ulang kuliah. Akan tetapi
kamis lalu bapak dan ibu gembala pergi ke Semarang untuk check up dokter karena
sakit. Jum’at masih berlanjut, aku hanya bisa berdoa serahkan masa depanku
ketangan Tuhan sebab hari ini adalah penentuan masa depanku, tapi kondisi
kesehatan seakan tak memungkinkan. Pukul 10.00 telephon berdering, dari
seberang ibu gembala menayakan kapan terakhir aku bayar kuliah, seingatnya
besok pada hari sabtu. Ketika kujawab hari ini semua berubah panik. Hari itu
seisi pastori menjadi sangat sibuk oleh karena aku. Akhirnya 12.50 pembayaran
sudah dilakukan dengan transfer melalui bank. Kuterima transkrip pembayaran
langsung kubawa ke Jogja. 14.45 lima belas menit menjelang tutup aku tiba di
loket, disana tinggal dua orang, tiga denga kehadiranku. Sungguh pertolongan
Tuhan tepat pada waktu-Nya. Akhirnya mimpiku jadi kenyataan segala biaya
kuliahku ditanggung Tuhan melalui gereja.