Kamis, 22 Juni 2017

MAINAN




Senja menyelimuti kota gethuk, para pedagang kaki lima ramah menawarkan barang. Berbagai jenis manusia hilir mudik di sepanjang pertokoan jalan pemuda. Lelaki kecil berlari lincah di samping sang ayah yang menuntun gerobak. Sesaat kemudian ia berlari mendahului, berhenti sejenak di depan etalase toko mainan anak-anak.

"Ayah. Kelak kalau ayah punya uang banyak belikan aku mobil-mobilan itu ya." Pinta sang anak sambil berjalan di samping gerobak setelah puas memandang isi etalase.

"Berdoa saja Darmo." Sang ayah entah karena beriman atau putus asa dengan kemampuannya memberi jawaban sebisanya. "Tuhan itu maha kaya, apapun yang kamu minta dengan sungguh-sungguh pasti diberikanNya. Sesuai kebutuhannmu nak."

"Iya ayah."

Sesampainya di pertigaan mereka ke kiri menuju jalan Sri Wijaya, terus menyusuri jalan hingga melewati jembatan mereka ke kanan menuju jalan Daha. Ayah Darmo membongkar isi gerobak berdasarkan kelompok barang, ditimbang dan sesudah memindahkan semua isi gerobak ia menerima sejumlah uang.

"Darmo ayo kita beli makan. Sesudah itu ke alun-alun. Kita nonton kuda lumping."

"Hore. Kita nonton kuda lumping sambil mengumpulkan botol bekas para penonton." Darmo begitu bersuka cita.

Menara air peninggalan kolonial Belanda menjulang tinggi di tengah kota bagaikan kompor minyak raksasa menjadi latar belakang perayaan ulang tahun kota yang telah berusia 1110. Usia kota kecil yang dipagari gunung Merapi, Merbabu, Sumbing, Sindoro ini berdasarkan Prasasti Mantyasih berangka tahun 829 Çaka atau bertepatan dengan 11 April 907 M, dengan menggunakan aksara dan berbahasa Jawa Kuno. Mentari telah di ufuk barat saat semua orang mengundurkan diri dari keramaian. Darmo dan ayahnya memanfaatkan sampah yang dibuang dengan sembarangan menjadi rezeki bagi mereka.

"Ayah. Darmo lelah pingin istirahat."

"Ya nak. Duduklah di bawah pohon beringin sana. Ayah selesaikan pekerjaan ini dulu. Nanti ayah ke sana jika telah selesai."

Darmo mengangguk, langsung berlari ke bawah pohon beringin tepat di tengah alun-alun. Ia duduk di taman buatan, patung pangeran Diponegoro menunggangi turanggga seta tetap diam tak bergeming, pusat perbelanjaan di seberang jalan mulai menyalakan lampu, sedangkan gedung bioskop tua telah beralih fungsi menjadi pertokoan. Darmo menatap langit biru yang semakin gelap, gelap dan semakin gelap bukan karena mendung namun karena sudah tak memantulkan gelombang cahaya matahari. Satu persatu bintang mulai menampakkan diri, Darmo mengamati kemunculan setiap bintang.

"Tuhan." Dalam hatinya ia berkata. "Di tengah alun-alun ini aku memohon padaMu. Sebab kami tak punya rumah untuk berdoa, aku juga tak punya baju bersih serta belum mandi untuk pergi ke rumah ibadah. Namun Tuhan pasti mendengarkan aku bukan? Aku hanya ingin seperti anak kecil lain yang juga punya mainan. Amin."

Malam berlalu, Darmo terlelap berselimut dingin yang sudah terbiasa. Ayah Darmo duduk termenung di samping anaknya, matanya enggan terpejam. Dipandangi foto kusam didompetnya, "Ratna, maafkan aku tak bisa membahagiakan anak kita. Kau pasti sudah bertemu Tuhan bukan? Tolong sampaikan padaNya agar anak kita bisa sekolah dan tak mengalami nasib seperti kita. Aku sudah enggan bicara pada Tuhan, karena Tuhan bukan untuk manusia macam kita. Sejak kau kena malaria lalu pergi meninggalkan kami di dunia ini, sejak saat itulah tak pernah ada Tuhan dihidupku."

Fajar menyingsing dari balik gunung merapi, kehidupan tak berubah. Sekelompok anak muda membagi-bagikan makanan untuk orang-orang yang kurang beruntung, tak ketinggalan mereka juga membagikan kaos serta mainan bagi anak-anak kecil. Darmopun melonjak kegirangan ketika menerima sebuah mobil-mobilan.

"Ayah, ayah. Ternyata ayah benar. Tuhan mendengar doaku, sekarang aku punya mobil-mobilan."

Hari-hari dilalui dengan suka cita, hingga batu baterai mobil-mobilan Darmo habis.

"Kenapa kau murung nak." Ayahnya memperhatikan Darmo. "Apakah mainanmu rusak."

"Tidak ayah. Tidak rusak melainkan baterainya habis. Aku tahu uang ayah tak banyak, aku juga tak mau berdoa karena Tuhan terlalu besar untuk mengurusi mainanku."




Tidak ada komentar:

Posting Komentar