Selasa, 20 Desember 2016

Jalan Lain

Aku telah kalah dalam sayembara itu
Bukan karena aku tak mampu
Tetapi banyak yang lebih baik dariku
Aku bagai setitik debu yang berhamburan diantara banyak debu

Mungkin ini bukan jalanku
Aku harus menyimpang untuk mencari jalan mana yang harus kutempuh

Kamis, 24 November 2016

Dargom (VI)

Ketujuh caila prasasti masih berdiri kokoh setelah menahan dinginnya malam. Embun perlahan mulai menguap, sirna ditimpa semburat cahaya mentari.

"Seperti rencana kita dua hari yang lalu, kedua team berpisah di sini." Bejo berbucara tegas pada keenam anggota Kala Hitam, Jaya dan Sarikem. Mereka semua mengangguk tanda sudah paham. "Dan Ki Banyaktombe, saya mewakili teman-teman menghaturkan banyak terimakasih atas bantuannya, sejak pertama saya dan Jaya bersaudara kemari hingga saat ini Ki Banyaktombe telah banyak berjasa bagi kami."

"Jangan terlalu memuji anak muda." Ki Banyaktombe yang tak lain adalah pemilik kedai kopi begitu rendah hati, "aku yang tua ini hanya melakukan apa yang bisa kulakukan. Jika ini sudah menjadi keputusan kalian, ingatlah segala pesan yang sudah kusampaikan."

"Baik Ki, kami akan selalu mengingatnya. Dan teman-teman selamat berjuang." Bejo mengakhiri perkataannya dengan menjabat tangan Ki Bayaktombe, selanjutnya semua orang saling berjabat tangan.

Bejo, Bagus, Jaya, Sarikem dan Atma melangkah memasuki perbatasan Dargom, sementara Yanto, Kris, Paimin, Panji dan Ki Banyaktombe mengiringi kepergian team Bejo dengan mata mereka sampai hilang terhalang semak belukar. Team Yanto dan Ki Banyaktombepun akhirnya meninggalkan tempat tersebut ke arah desa Wates Kulon di mana Ki Banyaktombe tinggal.


Team Bejo terus menyusuri lebatnya hutan, udara begitu sejuk dan bersih sama sekali belum tersentuh karbon dioksida hasil pembakaran bahan bakar fosil. Hutan semakin lembab karena sinar mentari banyak yang terhalang daun-daun, dalam kondisi seperti ini justru pandangan bisa lebih luas karena dari pohon ke pohon tak ditumbuhi semak belukar, yang ada hanya tumpukan daun-daun gugur yang lembab. Mereka berhenti sejenak, sebab tak ada jalan setapak artinya hutan ini tak pernah terjamah manusia.

"Teman-teman kalian merasa aneh tidak?" Sarikem bertanya pada keempat pemuda tadi.

"Apanya yang aneh?" Jaya menjawab. "Hutan hujan tropis ya kondisinya seperti ini. Kita tinggal menentukan arah mata angin untuk melangkah."

"Bukan itu maksudku." Sarikem coba menjelaskan. "Kalian perhatikan tidak, dari prasasti sampai sebelum masuk hutan ini ada jalan setapak, setelah pohon asam yang sangat besar tadi jalan setapak baru menghilang. Menurutku perbatasan Dargom bukan terletak pada prasasti tersebut namun hutan ini. Antara pohon asam dan caila prasasti merupakan wilayah bebas, sehingga penduduk di desa terakhir yang kita singgahi mencari kayu bakar di tempat tersebut."

"Jika begitu, berarti pencarian Dargom kita mulai dari sini." Bejo menatap Sarikem, Jaya dan kedua anggotanya yakni Atma dan Bagus. "Sebelum melangkah pastikan dalam hati kalian, apakah kalian akan terus melangkah atau tidak. Sebelum terlambat pastikan jika ini bukan jalan hidupmu pulanglah carilah jalan yang lain."

Selasa, 15 November 2016

Menjelang angka sembilan

"Sesungguhnya Iblis akan melemparkan beberapa orang dari antaramu ke dalam penjara supaya kamu dicobai dan kamu akan beroleh kesusahan selama sepuluh hari. Hendaklah engkau setia sampai mati, dan Aku akan mengaruniakan kepadamu mahkota kehidupan.' Demikian kata-kata eyang Darsu masih jelas terngiang dalam benakku." Tatapan Jaya menerawang jauh ke depan. "Pikirku, sehari buat sang Pencipta sebanding dengan setahun untuk manusia. Dan kini sembilan tahun telah berlalu. Saat menjelang angka sembilan sebuah cahaya remang hampir redup lalu semakin terang kembali redup lagi, hingga kini saat kujalani angka sembilan dalam remang yang penuh misteri, aku menanti apa yang terjadi di angka berikutnya."


Senin, 31 Oktober 2016

Dargom (V)

Ingin kuberlari hilang dari peradaban dan tak seorangpun yang mengharapkan aku pulang, sebab aku penat menghadapi hingar bingarnya manusia yang penuh kepalsuan." Demi ditanya Bejo sang pimpinan Kala Hitam, Sarikem tanpa menunggu lama segera bicara seakan telah lama memendam segala kekesalan dalam hatinya. "Namun aku masih punya ibu yang menyayangiku jadi tak mungkin aku hilang ditelan  bumi. Maka dari itu aku ingin membuat orang memandang keluargaku, orang menghormati keluargaku. Aku salah seorang relawan di salah satu panti asuhan yang kalian danai, saat itu Atma yang merekrutku. Aku bersedia karena ingin lari dari masalah pribadi, aku membayangkan seandainya aku bisa menjadi donatur seperti kalian. Kemudian tersiar kabar desa binaan kalian mendapat rintangan maka aku mengajukan diriku untuk ikut membantu kalian. Awalnya Atma tak mengijinkanku, namun akhirnya ia bersedia membawaku bertemu kalian secara lengkap. Mengenai kelebihanku apakah berguna bagi kalian atau tidak aku tak tahu, kecuali kalian katakan apa yang kalian butuhkan baru kujawab apakah aku punya keahlian tersebut atau tidak."

"Kami ingin mencari situs kuno."    Panji memberi penjelasan. "Rupanya Atma belum memberi tahumu ya. Kami butuh kemampuan fisik untuk keluar masuk hutan, mampu bertahan hidup dan bisa berfikir di bawah tekanan. Minimal kalau kamu pernah pramuka sudah 30 persen kemampuanmu kami pakai."

"Aku dulu penegak Bantara jadi sudah 30 persen kan? Sekarang yang 70 persennya ialah aku punya rancangan alat untuk mendeteksi benda di bawah permukaan tanah. Sayangnya belum sempurna karena masih kekurangan banyak biaya."

"Tidak masalah nona, semua teknologi berawal dari alat sederhana." Yanto nampak tertarik, "Coba kau terangkan ide dasarnya. Mungkin bisa menambah nilaimu 30 persen lagi."

"Ini bukan ideku, tetapi ide temanku dan aku membantunya jadi aku paham cara kerjanya."

Sarikem mengambil empat batang ranting kemudian menancapkan salah satu ranting ke atas tanah. "Anggap saja ini adalah A." Iapun mengukur jarak sejauh dua langkah dan menancapkan ranting kedua. "Dan ini B." Ia melangkah selangkah dan menancapkan ranting ketiga, "ini C." Terakhir ia  menancapkan ranting terakhir pada jarak dua langkah dari C. "Dan ini D."

Setiap orang terdiam memperhatikan dengan seksama apa yang dilakukan Sarikem. "A, B, C, D adalah elektroda yang ditancapkan ke tanah. Perbandingan jaraknya ialah A ke B 2 langkah anggap 2X, B ke C 1X, C ke D ialah 2X. Sehingga ada perbandingan jarak 2-1-2. Perbandingan ini harus ditentukan dulu, tidak harus seperti ini boleh juga 1-1-1 atau 3-2-3. Yang penting  perbandingan A ke B harus sama dengan C ke D. Elektroda A dan D diberi arus listrik, maka katoda C dan B akan menangkap gelombang listrik dan membaca apa yang ada jauh didalam tanah dan informasi tersebut diteruskan ke komputer dengan perangkat lunak tertentu. Nanti di monitor akan menampilkan warna, biru untuk material yang mudah dialiri listrik seperti air, sedangkan warna yang semakin gelap ke arah coklat tak bisa dialiri listrik, biasanya batuan. Harapannya bisa menangkap fosil atau artefak."

"Hanya sesederhana itu?" Kris penasaran.

"Tidak itu belum selesai, ingat pola jarak yang sudah dibuat, yang ini polanya 2X - X - 2X. Pengambilan data tidak hanya sekali. Setelah mendapat data yang pertama kita geser elektrodanya kecuali A sebagai tumpuan. Jika jarak awal 2 meter, 1 meter, 2 meter kita pindah B, C, D dengan jarak 4 meter, 2 meter 4 meter, ambil gelombangnya lagi. Diteruskan sampai jaraknya 100 meter 50 meter 100 meter atau sesuaikan dengan kebutuhan area pengamatan. Sesudah data diperoleh baru dianalisa." "Luar biasa." Panji bertepuk tangan. "Sayang sekali tempat yang kita tuju tak ada listrik, jadi alatmu tak akan berguna. Selanjutnya Jaya. Jangan mentang-mentang kamu kawan pimpinan bukan berarti bisa lolos seleksi."

"Baiklah." Jaya langsung angkat bicara. "Mengenai kemampuanku tak perlu dijelaskan, kalian sudah melihatnya saat peristiwa Ornamen Garudeya, selain itu aku, adikku dan pimpinan kalian yang menemukan titik awal Dargom. Sedangkan tujuanku tetap, yaitu mencari harta bedanya kali ini aku tak lagi mengejar hadiah seperti waktu itu namun aku mengincar harta peninggalan nenek moyang yang lebih besar."

"Kau pernah memusuhi kami. Bagaimana kami bisa mempercayaimu begitu saja,  bagaimana kami bisa memastikan jika kamu tak akan berbuat jahat." Giliran Kris menimpali.

"Aku tidak pernah memusuhi siapapun, hanya saja waktu itu kita berdiri di sisi yang berbeda." Jaya membela diri. "Apakah kelak aku akan berbuat jahat atau tidak tak perlu ku jawab. Yang perlu kalian ketahui aku jahat dan serakah dari sekarang, jika diantara kalian tidak pernah berbuat salah silahkan menghukum aku saat ini juga."

Sejenak semua terdiam, hanya mata yang saling bertatapan. Hening melingkupi belantara dalam beberapa detik. "Kenapa kamu menginginkan harta?" Suara Atma menggaung memecah kesunyian.

"Hanya orang kaya yang mampu berbuat banyak. Bahkan lembaga keagamaan didukung penuh oleh  kekayaan duniawi. Hanya hartawan yang mampu membangun gedung megah sebagai tempat ibadah untuk pemujaan dan rasa syukur pada Tuhan. Selain itu juga..."

"Cukup." Bejo sang pemimpin Kala Hitam memotong perkataan Jaya. "Kalian boleh bergabung, tetapi karena kalian bukan anggota Kala Hitam maka ada hak dan kewajiban dalam kelompok yang kalian tidak miliki."

"Tunggu dulu." Sarikem terheran. "Bagaimana kalian hanya begitu saja menerima kami tanpa memberi tahu kriteria penilaiannya."

"Itu termasuk hak kami." Atma yang menjawab. "Dan kami tak punya kewajiban memberi penjelasan kepada kalian berdua. Sekarang aku yang usul pimpinan." "Silahkan." Bejo memberi kesempatan.

"Sekarang tenaga kita sudah sembilan orang, sebelum kita membuat perencanaan bagaimana kalau makan siang dulu."

"Setuju." Lima anggota Kala Hitam hampir bersamaan.

"Baiklah sidang ditunda sampai makan siang usai. Jaya dan Sarikem, di sini hutan bukan restoran jadi gunakan kemampuan survival kalian. Paham."

Sarikem dan Jaya hanya mengangguk. Sesaat kemudian mereka sudah berpencar. Satu jam kemudian satu persatu kembali ke titik awal dengan membawa bahan-bahan yang diperlukan.  Tak butuh waktu lama, asap telah mengepul menebarkan aroma daging panggang. Mereka bersembilan begitu asik menyantap ubi bakar dengan lauk ikan dan daging panggang.

"Hem tak percuma ada wanita di sini." Paimin memuji Sarikem. "Rupanya kamu pandai meramu rempah-rempah menjadi bumbu daging bakar yang jauh lebih lezat dari restoran manapun."


"Atma memang pandai memilih pacar. Sesuai dengan porsi makannya." Kris menimpali.

"Kami tidak pacaran." Wajah Atma memerah.

"Belum." Jaya ikut campur.

"Bagaimana jika kita bereskan api unggunnya dan segera meneruskan rencana kita." Atma langsung beres-beres, sedangkan yang lain tak ada yang membantu. Jaya hendak membantu tapi mengurungkan niatnya setelah diberi kode oleh Yanto. Melihat semua diam, Sarikem spontan membantu Atma dan memang hal inilah yang sengaja diinginkan oleh Kala Hitam untuk bahan mengolok Atma. Mereka begitu ceria.

Sabtu, 29 Oktober 2016

Dargom (IV) ~ Runtuhnya Idealisme

"Jauh sebelum Siwa-Buddha datang ke Nusantara, jauh sebelum aksara palawa digunakan, bahkan jauh sebelum waktu yang diketahui manusia, bangsa kita telah memiliki peradaban sendiri, memiliki kehidupan spiritual sendiri." Bagus bicara dengan mantap sambil menebarkan pandangan kepada kawannya satu persatu. Bejo sang pimpinan Kala Hitam yang  berperawakan sekitar 165 cm,  duduk pada sebuah akar pohon durian yang menonjol ke permukaan tanah sambil menyandarkan punggungnya pada batang pohon tersebut. Yanto yang berperawakan kecil, tinggi, rambut sedikit ikal, mengenakan kacamata berdiri tak jauh di kanan Bejo, sebelah kanannya lagi, Paimin dan Kris masing-masing duduk pada sebuah batu. Sedangkan di sebelah kiri Bejo ada Atma orang terbesar dan tertinggi. dalam kelompok ini berdiri menyilangkan tangan di depan dada, disampingnya lagi Panji duduk pada dahan pohon yang berjarak kira-kira setengah meter dari tanah.

"Sebelum kita melangkah mencari Dargom ada baiknya kita kumpulkan dulu data-data mengenai kehidupan purba di negri kita." Lanjut Bagus. "Yanto, biasanya kamu membawa laptop  agar memudahkan pencarian data."

"Benar," Yanto menjawab sambil membetulkan letak kacamatanya. "Kali ini aku sengaja tak membawanya, karena komputer hanya alat, otak kitalah yang bekerja. Lagi pula saat ini tak semua informasi dari internet bisa dipercaya sepenuhnya. Karena siapa saja bisa menulis apapun di dunia maya, tanpa ada editor,  tanpa bukti empiris. Namun tak semuanya tidak berbobot, maka kita harus pandai memilah mana yang benar dan mana yang iseng dengan menguji setiap informasi."

"Aku setuju dengan Yanto." Kris menimpali. "Kudengar desa yang berbatasan dengan Dargom tak ada sinyal. Lebih baik kita gunakan kecerdasan kita. Namun sebelum kita membahas banyak hal, ada baiknya kita putuskan  dulu apakah kawan pimpinan dan kawannya Atma boleh bergabung atau tidak. Jika boleh bergabung pada proyek kita maka mereka harus dilibatkan dalam rapat ini meskipun mereka bukan anggota. Namun apabila tak diijinkan maka segera kita beritahu agar mereka segera pulang."

"Menurutku kita suruh mereka pulang saja sekarang. Akan lebih baik jika bergerak sendiri." Panji  langsung merespon. "Walaupun teman pimpinan dan adiknya berjasa menemukan titik awal lokasi Dargom bukan berarti boleh ikut campur lebih jauh, bagaimana jika ia berniat jahat pada kita. Kalian ingat saat peristiwa Ornamen Garudeya bukan."

"Tenang dulu Panji." Atma angkat bicara. "Lebih baik kita putuskan bersama melalui musyawarah mufakat dan apapun hasilnya  nanti semua harus berlapang dada. Usahakan jangan pengambilan suara terbanyak, karena hasilnya nanti 4 melawan 3 dan yang 3 orang akan menerima keputusan dengan berat hati."


Pada saat bersamaan, Sarikem dan Jaya duduk di bawah rindangnya pohon beringin menatap lubang yang menganga di hadapan mereka.

"Kenapa manusia hanya mau mengambil kekayaan alam tanpa ada yang peduli untuk memeliharanya." Sarikem menggerutu.

"Awalnya kamu akan merasa kesal jika melihat keserakahan manusia mengeksploitasi alam, namun jika tiba di suatu titik kamu harus memilih perut atau idealisme  maka perutmu akan jadi pemenang." Jaya menanggapi.

"Bagaimana bisa begitu?" Sarikem terheran.

"Karena aku mengalaminya." Jaya tersenyum pahit.

"Boleh ceritakan padaku?"

"Boleh, tetapi aku takut kamu bosan mendengarnya."

"Kalau mas Jaya bercerita sepanjang hari aku akan  mendengarkan dengan seksama asal tak capek yang bicara. Lagipula kita tidak tahu kapan Kala Hitam selesai rapat."

"Baiklah Sarikem." Jaya mengatur posisi duduknya senyaman mungkin. Pandangannya lepas ke arah depan, pikirannya mulai menyusun memori dari masa lampau.

"Saat kelas 3 SD aku ikut ayah  Transmigrasi ke Kalimantan Barat dengan program Perkebunan Inti Rakyat khusus Kelapa Sawit. Tujuan ayah ialah agar kami anak-anaknya bisa sekolah setinggi mungkin agar kelak kami tak seperti ayah ibu kami yang berpendidikan rendah. Karena di Jawa sebagai keluarga miskin aku sering tak terima raport karena belum bayar SPP.  Ayah tertarik dengan program pengentasan kemiskinan dari pemerintah.  Walau pada dasarnya ibu tak setuju namun beliau akhirnya mau berkorban demi kami anak-anaknya. Selama lima tahun di Borneo aku sebagai anak kecil hanya tahu senang-senang saja. Bisa mengenal budaya dan bahasa suku lain diantaranya Dayak Mualang sebagai penduduk asli, Sunda, NTT. Sayang bahasa NTT sulit dipelajari karena teman sebayaku hanya ada dua mereka dari suku dan bahasa yang berbeda sehingga dalam komunikasi menggunakan bahasa Indonrsia. Namun bahasa Sunda, Dayak Mualang bisa kupelajari walau sedikit. Di sana pula aku tahu bahwa suku Jawa memiliki berbagai logat dan tata bahasa yang beragam, mulai Banyumasan atau sering disebut Ngapak, Jawa Tengah dan Timur juga berbeda logat.

Tak semua lahan dijadikan pemukiman warga dan kebun kelapa sawit. Masih banyak orang Dayak yang tak mau menyerahkan hutannya, hutan inilah tempatku bermain dan menimba ilmu. Dari hutan inilah cita-citaku lahir ingin menjadi ilmuwan. Namun apa yang dirasakan anak tak sama dengan yang dirasakan orang tua. Ayah merasa jika program transmigrasi ini sama dengan penjara, beliau merasa seperti tahanan politik yang dibuang ke  sebuah pulau. Begini perhitungan ayahku yang tak kupahami waktu itu. Setia kepala keluarga memperoleh tanah seluas setengah hektar yaitu 50 m ke samping dan 100 m ke belakang untuk tempat tinggal di atasnya berdiri rumah panggung seluas 6x6 m2. Jadi bisa kamu bayangkan bagaimana jarak antar rumah?"

"Dari tiang listrik ke tiang listrik  100 meter. Ya aku bisa bayangkan." Sahut Sarikem. "Lanjutkan Jaya."

"Diluar pemukiman tiap KK memperoleh 2 hektar tanah yang wajib ditanami Kelapa Sawit tidak boleh tanaman lain. Hasil panennya sudah ditampung langsung oleh pabrik minyak kelapa sawit, yang letaknya ditengah perkebunan, di sana berdiri perumahan mewah para  pejabat perkebunan. Kami menyebutnya Inti. Mulai dari pembukaan lahan, tanam, perawatan, pupuk sampai panen pertama semua ditanggung oleh bank, dan yang mengerjakan adalah para penduduk transmigrasi. Mereka mendapat upah selama bekerja di kebun tersebut. Semua biaya termasuk upah yang diterima saat bekerja kelak akan dihitung sebagai utang. Sesudah kelapa sawit bisa  dipanen maka tiap KK baru mendapat 2 hektar dengan sistem undian. Setelah menjadi hak miliknnya maka hasil panen menjadi milik petani, dipotong utang selama perawatan. Dan sertifikat dipegang oleh bank sampai hutang tersebut lunas.

Perhitungan ayahku, dari tanam sampai panen 5 tahun. Biaya yang dikeluarkan anggap saja Rp.X, umur kelapa sawit di Borneo  berkisar 15 - 20 tahu. Hasil panen per bulan anggap saja Rp. Y. Yang diterima setelah dikurangi utang adalah Rp. Z. Perhitungan ayah hutang akan lunas sekitar 15 tahun, sedangkan Rp. Z hanya cukup untuk kehidupan sederhana. Perlu kamu ketahui Sarikem, harga kebutuhan pokok di sana kira-kira tiga kalilipat harga di Jawa. Sehingga saat peremajaan tiba, yaitu pohon yang tua ditebang ganti dengan pohon yang baru  butuh biaya lagi dan pasti pinjam dari bank. Maka jika sepeti itu terus maka petani tak pernah melihat sertifikat tanahnya. Akhirnya ayah memutuskan pulang ke Jawa, beliau berkata lebih baik kembali dari nol dari pada si sini nol koma.

Aku juga masih tak paham dengan pikiran beliau. Hingga aku lulus  Kuliah aku berdoa ingin tahu seperti apa pabrik minyak kelapa sawit. Oh ya aku bisa kuliah itu karena anugrah Tuhan bagi anak yang miskin, kapan-kapan bisa kuceritakan. Walaupun aku ini orang yang berdosa, tidak aktif dalam kegiatan rohani tetapi Tuhan sayang padaku. Sehingga Tuhan menjawab semua doaku. Aki di terima disebuah pabrik kelapa sawit di Swarna Dwipa.

Enam bulan aku di menghantui pikiranku. Yang lebih penting lagi aku memahami pikiran ayahku dan justru aku lebih banyak mengerti dari pada ayahku.

Tujuan utama dari sebuah perusahaan ialah memperoleh CPO singkatan crude palm oil atau minyak kelapa sawit mentah dan KPO singkatan Kernel Palm Oil atau minyak inti kelapa sawit. Untuk memudahkan aku bercerita dan tersingkap semua teka teki yang  menghantui pikiranku. Yang lebih penting lagi aku memahami pikiran ayahku dan justru aku lebih banyak mengerti dari pada ayahku.

Tujuan utama dari sebuah perusahaan ialah memperoleh CPO singkatan crude palm oil atau minyak kelapa sawit mentah dan KPO singkatan Kernel Palm Oil atau minyak inti kelapa sawit. Untuk memudahkan aku bercerita selanjutnya aku hanya menyebut CPO. Kelapa sawit merupakan tanaman tropis, jarak tanam yang ideal ialah 9 meter. CPO tak hanya menghasilkan minyak goreng namun masih banyak produk turunannya diantaranya krimer untuk kopi, sabun bahan dasarnya soda dan minyak, bahan kosmetik, biodisel dan banyak lagi. Dunia sangat membutuhkan CPO khususnya Eropa, para pemilik modal membutuhkan wilayah yang luas dan beriklim tropis. Salah satunya ialah Indonesia yang luas dan mentari bersinar sepanjang tahun. Kamu tahu Sarikem, di khatulistiwa hujan datang pada malam hari dan mentari bersinar di siang hari, hal ini merupakan surga bagi tanaman bukan. Maka para pemegang kepentingan di bidang bisnis ini menanamkan modal di tanah air kita. Dalam undang-undang dasar negara kita disebutkan tanah dan air adalah milik negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyatnya.

Sekarang ada tanah, ada air yang turun dari langit, ada rakyat. Pengusaha harus memanfaatkan semuanya.  Petama-tama harus mendapatkan lahan terlebih dahulu, pengusaha datang pada pemerintah untuk menyewa lahan, maka disepakatilah si pengusaha menyewa lahan pada koordinat sekian sampai sekian. Untuk mengelola lahan butuh tenaga, maka rakyatlah yang dilibatkan dengan tiga sistem yaitu. Perkebunan inti di mana pengusaha mempekerjakan butuh penggarap lahan bisanya dikerjakan oleh buruh tani, kedua petani binaan yaitu penduduk setempat yang memiliki tanah diminta untuk menanam kelapa sawit dan hasil panennya akan ditampung pabrik secara langsung, ketiga petani plasma contohnya transmigran."

"Yang kedua tadi kedengarannya seperti tanam paksa zaman Belanda dulu."

"Bukan seperti Sarikem, menurutku justru lanjutan dari sistem tanam paksa."


"Jadi karena hal itu kamu keluar dari pabrik CPO?"

 "Benar. Aku berfikir kelapa sawit merusak hutan kita, karena keanekaragaman hayati menjadi punah, meskipun ada upaya mempertahankan hutan lindung dan hutan adat itu hanya untuk menutupi keserakahan umat manusia. Dan orang Jawa yang datang keluar pulau rata-rata tujuannya bukan ingin membangun daerah tersebut, namun hanya ingin memperkaya diri, sesudah kaya maka ia akan pulang ke kampungnya. Banyak suku-suku yang kehilangan hutannya, makanya kemarin saat Indonesia meributkan kabut asap aku hanya tertawa karena aku sudah mengalaminya tetapi tak mampu berbuat apa-apa. Sejak keluar dari pabrik CPO aku menjadi semakin idealis, hasilnya aku jadi pengangguran selama setahun."

"Jadi sekarang idealismemu gugur Jaya?"

"Tidak, tak mungkin bisa padam. Hanya saja aku harus membutakan mata dan menulikan telinga."

"Bagaimana bisa jadi seperti itu?"

"Menganggur bukan soal bagiku, sebab setelah lulus SMU aku sudah berpengalaman menganggur sebelum bisa kuliah. Namun sebagai laki-laki sulung, sarjana lagi itu menjadi beban yang sangat berat bagiku, walaupun ibu tetap memeliharaku. Sempat aku bekerja di pabrik yang sangat kejam, aku mencoba bertahan tetapi akhirnya aku dipecat hanya dalam waktu dua minggu dengan alasan tidak sesuai dengan kriteria managemen. Akhirnya aku berdoa, jika Tuhan menghendaki aku bekerja sesuai ijazahku maka bukan aku yang mencari pekerjaan tetapi pekerjaan yang mencari aku."

"Zaman sekarang masih ada pekerjaan mencari pekerja."

"Tak langsung dijawab, aku aktif di LSM. Kamu tahu apa itu LSM?"
"Lembaga Swadaya Masyarakat.  Hanya aku tak paham bagaimana LSM mendapatkan anggaran."

"Tak perlu bingung, LSM itu sesungguhnya Lembaga Senang Masalah, jika ada masalah kami senang karena akan dapat uang. Jika tak ada masalah maka kering."

"Maksudnya?"

"Kapan-kapan kuceritakan. Saat aku masih aktif di LSM Tuhan menjawab doaku, kawanku telpon memberi kabar jika pabrik tempatnya bekerja ada lowongan dan aku direkomendasikan ke atasannya. Singkat cerita aku diterima bekerja dan beberapa prinsipku harus gugur saat itu juga." Jaya berhenti sejenak, sementara Sarikem diam menantikan penuturan Jaya. "Pertama aku tak mau bekerja ikut bangsa A, tak perlu kusebutkan karena kamu tahu bagimana    perlakuan bangsa A terhadap kulinya yang berdarah Jawa, tak usah jauh-jauh nanti kamu boleh bertanya bagaimana kehidupan orang tua Bejo dan Paimin. Mereka akan senang menceritakannnya, akhirnya aku kerja di pabrik milik bangsa A."

"Padahal semua suku pasti ada orang baik dan orang jahatnya bukan?"

"Kamu benar Sarikem, akhirnya aku sadar bahwa manusia itu yang penting hatinya bukan sukunya. Kenyataan justru suku kita yang banyak penjahatnya. Kedua aku ingin berusaha dengan kekuatanku tanpa koneksi, akhirnya aku bekerja karena koneksi. Ketiga aku tak ingin merusak alam Indonesia, kenyataan bahan baku tempatku bekerja adalah bahan galian yang akan menyisakan lubang menganga seperti di hadapan kita, jadi masih banyak bekas galian tambang yang ada di nusantara ini. Keempat."

Belum sempat Jaya melanjutkan kata-katanya Atma sudah ada di belakang mereka dan berkata. "Yang keempat seorang pimpinan tak mungkin berbuat adil, yang kelima dan selanjutnya disambung kelak saja. Kalian diminta untuk bergabung."

Tanpa menjawab Jaya dan Sarikem beranjak dari tempat duduk, mereka berjalan mengikuti langkah Atma. Sesaat kemudian mereka sudah bergabung dalam gerombolan Kala Hitam.

Bejo langsung angkat bicara, "Kami telah memutuskan apakah kalian boleh bergabung dalam ekspedisi Kala Hitam atau kalian harus pulang ditentukan oleh pernyataan kalian. Sebutkan apa tujuan kalian ingin bergabung, dan apa kelebihan kalian yang kami butuhkan."





Rabu, 26 Oktober 2016

Dargom (III)

Sarikem mengikat rambutnya yang bergelombang, butiran keringat meluncur dibalik daun telinga menuju leher yang segera dihapus dengan tangan kanan seusai menyelesaikan ikatan terakhir, dilanjutkan mengusap keringat yang ada di kening. Lengan baju disingsingkan sampai di bawah siku, sementera kancing bajunya semua terbuka sehingga tampak jelas kaos hitam bertuliskan NRIMA ING PANDUM  menggunakan aksara jawa modern. Kakinya melangkah cepat di atas tanah merah yang tertimpa cahya mentari pagi. Di sebelahnya Atma yang berbadan tinggi  gemuk berusaha memperlambat langkahnya, namun tetap saja dua langkah bagi Atma sebanding dengan tiga langkah Sarikem.

"Aku tak berjanji kalau kamu diperbolehkan bergabung dengan kami." Atma bicara tanpa menoleh  ke Sarikem. Pandangan mereka berdua melayang jauh ke hijaunya pepohonan di kanan jalan sementara perkebunan sawi ada di sebelah kirinya.

"Aku yakin teman-temanmu mau mengikutsertakan aku." Sarikem begitu percaya diri. "Wanita punya kemampuan yang tak dimiliki laki-laki, dan setiap organisasi butuh kemampuan itu."

"Kita lihat saja nanti." Atma tanpa ekspresi.

Tiba di persimpangan mereka berkelok ke kanan, dari kejauhan tampak sebuah lubang besar menganga, ada jalur untuk kendaran besar dari pinggir melingkar sampai ke inti lubang.

"Itu bekas tambang Atma?" Sarikem tertegun sejenak.

"Benar Sarikem. Bekas tambang pasir yang sudah ditinggalkan sejak dua tahun silam tanpa ada reklamasi."

Pohon beringin besar tumbuh kekar di tepi tambang, akar-akarnya berjuntai bahkan ada yang merambat ke bibir bekas galian. Di bawahnya duduk seorang pemuda sedang asik mendengarkan temannya yang bicara dengan penuh semangat sambil berdiri.

"Bukan begitu Panji," pemuda yang berdiri bicara tanpa menyadari kedatangan Atma dan Sarikem. "Bukti kebenaran teori evolusi  Darwin ada di negara kita. Kau masih tak percaya juga."

"Tenang dulu, dengarkan penjelasankanku dulu Gus." Panji tampak begitu santai menanggapi kawanya. "Ah kebetulan sekali Atma datang, biar kita dengar pendapatnya. Tetapi kenapa kamu bawa cewek Atma? Kita ke sini mau rapat, bukan tamasya jangan bawa pacar."



"Dia bukan pacarku, aku juga tahu apa tujuan kita. Perkenalkan ini Sarikem temanku, Sarikem mereka temanku Panji dan Bagus." Panji beranjak dari duduknya, mereka saling berjabat tangan.

Seusai berjabat tangan dengan Sarikem Panji menyeret Atma menjauh dari pohon beringin. "Kamu sudah gila Atma, kita tak boleh membawa orang di luar kelompok dalam acara rapat  seperti ini. Apalagi kau membawa wanita."

"Aku tahu Panji. Namun dia bersikeras ingin bergabung dengan Kala Hitam. Masalah kita dengan kelompok Mamon sudah diketahui publik, dan dia ingin sekali membantu. Jadi apa salahnya."

"Urusan dengan Kelompok Mamon memang menjadi kekawatiran  bagi orang-orang yang kita bantu, namun kita tak pernah melibatkan orang luar dalam menyelesaikan masalah kita."

"Kita memang tidak akan menambah anggota, tetapi bukan berarti kita tak butuh bantuan orang lain." Entah sejak kapan Bejo sudah ada di belakang Panji. "Tujuan awal kita membantu rakyat miskin Indonesia bukan? Kini kita ada masalah dengan  Mamon dan ada orang luar yang ingin membantu, kenapa tidak. Aku juga membawa teman, kalian pasti masih ingat peristiwa Garudeya bukan." Bejo menunjuk Jaya yang bergabung dengan Sarikem dan Bagus. "Sebenarnya adiknya juga, namun adiknya masih harus menyelesaikan sekolahnya. Kita tunggu yang lain, jika sudah lengkap baru kita mulai rapat kita. Tanpa temanku dan teman Atma. Kamu boleh protes  nanti saat rapat, sekarang tunggu saja yang lain.



Senin, 10 Oktober 2016

Sarikem

Parasnya yang cantik bersembunyi di balik kaca helm, semakin cantik di balik senyuman. Tangan kanannya memacu gas sepeda motor yang dikendarai, seakan tak sabar segera sampai ke tempat tujuan. Pikirnya aku harus segera sampai ke rumah malam ini juga, tak sabar bila harus menunggu mentari bangun dari peraduan. Ibu harus tahu malam ini juga, tak sabar aku melihat kegembiraannya saat nanti mendengar keberhasilanku.

Malam telah begitu larut diterangi bintang-bintang ketika ia berhenti memarkir sepeda motor yang dikendarai di depan sebuah rumah dari papan yang sangat sederhana. Ia mengetuk pintu dengan hati-hati.

"Bu, ibu. Tolong bukakan pintu. Aku Sarikem anakmu pulang."

Ia mengulang beberapa kali namun tetap perlahan, sebab di malam hari suara perlahan akan terdengar nyaring. Lima belas menit berlalu, pintu terbuka. Seorang wanita secantik Sarikem hanya saja usianya terlihat berbeda jauh  muncul di balik pintu. Sarikem hendak mencium tangan wanita tersebut ketika seorang lelaki yang sebaya dengan wanita itu keluar dari dalam rumah. Tanpa sepatah katapun yang terucap, lelaki itu berlalu hilang ditelan keremangan malam.

"Ibu! Apa yang ibu lakukan!" Sarikem melepaskan genggaman tangannya. Wajahnya yang tadi ceria mendadak berubah menjadi merah padam, suaranya yang lembut kini menjadi garang. "Jadi ini yang ibu lakukan ketika aku menuntut ilmu di luar kota. Aku malu punya ibu sepertimu."

Ibu Sarikem menarik anaknya ke dalam rumah sambil menutup pintu. "Kamu pikir apa yang kamu makan, buku-bukumu, uang sekolahmu, kos, pakaianmu dari mana semuanya itu. Sejak ayahmu  meninggalkan dunia ini apa yang bisa kulakukan. Ibumu ini berpendidikan rendah, tak punya keahlian. Ibu memang hina, ibu memang berdosa. Biarlah ibu masuk neraka asalkan kau tidak. Biarlah ibu menjadi hinaan asalkan kelak kau hidup terhormat. Biarlah ibumu miskin asalkan kau mendapat pekerjaan yang layak. Sekolahlah yang pintar, jadilah orang terpandang. Setelah itu kau boleh tak mengakui ibumu yang hina ini."

Tulang-tulang Sarikem seakan lepas dari badannya. Dadanya sesak bagaikan dihantam batu. Wajahnya kini pucat bagai tanpa darah. Termenung ia di sudut ruang tamu.

Sabtu, 08 Oktober 2016

Inti Hitam

Dalam kumpulan putih ku merasa hitam
Ah... tidak tidak
Aku memang hitam di dalam
Hanya Tuhan yang mampu melihatnya

Senyumku penyamaran tangisku
Kidungku penyamaran serapahku
Kananku wujud kiriku
Tawaku wujud gundahku

Mojokerto, 8 Oktober 2016

Selasa, 04 Oktober 2016

Dargom (II)

"Semua mahluk dari sentra gandamayit berkumpul

Dargom kota terkutuk
Karena menyakiti hati ibunya
Dargom kota yang hilang
Karena ditipu saudaranya,"
Suara Manggala menggema di kesunyian.

"Hebat sekali kau Manggala bisa membaca caila prasasti dengan cepat langsung diterjemahkan pula." Bejo berdecak kagum sambil mengamati salah satucaila prasasti.

"Adikku tak sehebat itu, hanya saja pandangannya lebih luas." Jaya berkata sambil menunjuk caila prasasti yang lain. "Coba perhatikan baik-baik, di sini ada tujuh caila prasasti, jika dilihat dari jenis batunya saja berbeda dari segi usia. Jika diperhatikan aksaranya kita bisa mengenali dari zaman apa. Yang itu akasara palawa, selanjutnya kawi awal,yang kamu amati berasal dari kawi akhir pertama, sebelahnya kawi akhir kedua, yang kuamati berasal dari jawa pra modern, sedangkan yang diamati Manggala rupanya jawa modern dan aksara latin."

"Astaga. Aku baru sadar." Mata Bejo menyapu semua prasasti yang ada, "Rupanya ini prasasti yang isinya sama dan ditulis dengan berbagai aksara, dan terkahir menggunakan bahasaIndonesia."

"Lebih tepatnya diterjemahkan mas." Manggala menimpali, "Karena yang menggunakan aksara jawa modern menggunakan bahasa jawa modern dengan makna yang sama. Kita tak perlu memastikan yang lainya karena kita tak menguasai bahasa jawa kuno bukan?"
"Kau benar Menggala, yang perlu kita selidiki kota macam apa Dargom itu sehingga sebegitu pentingnya sampai dibuatkan prasasti sepanjang peradaban." Bejo berfikir serius, sementara Jaya bersaudara mengangguk tanda sependapat.

"Menggala, " Jaya mendekati adiknya. "Pencarian ini tak tahu berakhir kapan, kamu harus sekolah. Jadi selanjutnya serahkan pada kami, pulangkan katakan pada ibu kalau aku dan Bejo sedang melakukan penelitian arkeologi. Tak perlu ceritakan secara lengkap, kau tahu bagaimana ibu mengkhawatirkan anak-anaknya bukan. Jika dalam tiga purnama kami tak pulang beritahukan yang sebenarnyapada ayah, dan biarkan ayah yang bercerita pada ibu. Kami tak tahu apakah bisa kembali atau tidak."

"Ya. Aku mengerti, walau sebenarnya aku juga penasaran." Jawab Manggala. "Mas Bejo ada pesan?"

"Jangan pergi ke rumahku, " Bejo langsung bicara, "Ibuku tak boleh tahu, dia akan sangat kepikiran. Kirimkan e-mail kepada KalaHitam, ceritakan semuanya. Jika dalam tiga purnama kami tak muncul maka mereka harus memilih pemimpin sebagai penggantiku."

"Jangan gegabah anak muda." Pemilik kedai yang dari tadi hanya diam mengamati kini angkat bicara. "Aku menceritakan semua hal yang kutahu dan mengantar kalian ke sini bukan berharap agar kalian lanjut. Perhatikan pesan pada prasasti yang ada. Generasi ayah kami membuat yang berbahasa Indonesia agar anak muda seperti kalian paham dan tak melanjutkan. Apalagi kalian ingin berbohong pada ibu kalian tentang apa yang kalian lakukan. Padahal aku yakin ibu kalian pasti sangat menyayangi kalian. Pulanglah ceritakan yang selengkapnya pada ibu kalian dan minta persetujuan untuk mencari Dargom. Setiap ibu pasti punyafirasat yang kuat jika anaknya dalam bahaya atau akan menemui bahaya. Jadi dengarkan suara hatinya, jika ibu kalian bilang iya baru kalian kembalilah kemari. Kalian boleh numpang dirumahku lagi sebelum mencari Dargom. Perjalanan berbahaya sebaiknya jangan dilakukan berdua, ajak semua teman-teman kalian yang berkepentingan. Tapi dengan syarat mereka juga harus dapat ijin ibu. Jika tidak memperoleh ijinmaka jangan sekali-kali melanggarnya."

Dargom

Sebuah mobil bak terbuka berhenti meninggalkan debu-debu yang beterbangan di belakang. Tiga pemuda turun.

"Terimakasih pak atas tumpangannya." Bejo berkata pada sopir.

"Kalian yakin pergi ke tempat ini?" Sang sopir terlihat ketakutan.

"Yakin pak, sekali lagi terimakasih." Manggala menimpali.

"Baiklah jika demikian. Hati-hati anak muda." Setelah berucap, sang sopir menancap gas. Ketiga pemuda tadi yang tak lain adalah Bejo, Jaya Prawira, dan Jaya Manggala menutup hidung bersih mencegah debu yang beterbangan agar tak masuk ke hidung.

Hamparan ilalang membentang hingga ke lereng gunung. Manggala mengeluarkan hp lalu memasukannya lagi setelah melihat tak ada sinyal.
"Kamu benar-benar yakin Manggala." Bejo mencari kepastian. "Tanpa peta, tanpa sinyal."

"Jadi segitu saja mental ketua Kala Hitam." Jaya mengejek Bejo, "Bukankah kamu yang melibatkan Manggala adikku untuk membantunya? Jika kamu sendiritak yakin lebih baik kita pulang saja."

Wajah Bejo merah, "Bukan begitu maksudku, aku hanya ingin memastikan apakah kita menuju tempat yang tepat atau tidak."

"Bagaimana jika mas Bejo dan mas Prawira tak usah bertengkar untuk hal yang tak penting." Jaya Manggala menengahi, "kita tidak akan tahu benar atau salah jikakita tidak mencari tahu. Kita tak akan tersesat jika kita punya ilmu. Pertama gunakan IMPK yaitu ilmu medan peta dan kompas, karena tidak bawa peta dan kompas google map tak ada jaringan maka kita gunakan IMTP yaitu ilmu medan tanya penduduk."

"Tetapi tampaknya di sekitar sini ada penduduk, mau tanya siapa? Ilalang yang bergoyang?" Kata Bejo.
 "Benar." Sahut Jaya. "Kalau teknologi mungkin aku kalah dengan adikku tetapi ilmu alam bukankah kita ahlinya Bejo? Lihatlah jalan setapak itu. Pasti ada orang yang melaluinya, kita telusuri saja. Perhatikan juga ladang jagung di kejauhan sana pasti ada yang menanamnya bukan. Kita gunakan saja ilmu pramuka, jika tersesat kembali ke titik awal."

"Baiklah kita mulai, kita akan berjalan urut ketinggian. Aku yang masih kecil di depan mas Bejo di belakang dan mas Prawira paling akhir. Selama perjalanan jangan berisik, tajamkan mata dan pendengaran kita. Setiap ada yang mencurigakan berhenti." Usai bicara tanpa persetujuan yang lain Manggala langsung menerobos jalan setapak.
Terik mentari tak terasa menyengat sebab panasnya terhapus oleh hembusan angin. Suara ilalang yang saling bergesekan ditiup sang bayu, nyanyian burung, mendadak menjadi sunyi. Mereka berhenti sejenak, setelah mengamati sekitar dan tak ada yang janggal mereka melangkah lagi. Tak ada suara lain selain langkah kaki dan gesekan celana. Sunyi tanpa suara, bahkan angin mendadakberhenti bertiup. Hingga tiba di persimpangan ke kanan ladang jagung ke kiri ladang wortel, namun sejauh mata memandang tak nampak aktivitas petani. Manggala diam, mata dan telinganya dipertajam. Sementara kakaknya dan Bejo tak berani mengganggu, mereka tahu bagaimana cara Manggala berfikir, tanpa perlu diskusi. Tiga belas menit kemudian Manggala melangkah ke arah kebun jagung, tanpa pertanyaan atau pertimbangan apapun Bejo dan Jaya mengikuti. Tak seberapa jauh mereka berjalan tiba-tiba angin bertiup kencang menggoyangkan bunga-bunga jagung, hal ini sangat menguntungkan karena angin membantu pembuahan pada tanaman jagung.

"Aku tahu sekarang." Mendadak Jaya bicara. "Rupanya adikku menggunakan kemampuan ibukami."

"Maksudmu apa?" Bejo bertanya tanpa menoleh  sambil terus mengikuti tapak Manggala.

"Ibu kami punya penciuman tajam, sedangkan ayah kami punya pendengaran tajam." Jaya tersenyum walau tak ada yang melihat senyumnya. "Kupikir Manggala menggunakan ketajaman pendengaran rupanya ia gunakan hidungnya. Tadi tak ada angin sehingga kita tak bisa mendeteksi apapun, sekarang angin mengirimkan aroma peradaban."

Bejo mempertajam penciumannya, namun tak menangkap apapun, "Aku tak mencium apapun."

"Karena kamu bukan anak ibuku." Jaya tersenyum simpul. Sementara Bejo berusahamemahami apa yang ditangkap kakak beradik ini.

Sebuah sungai membentang memisahkan dua ladang jagung, airnya begitu jernih sehingga nampak ikan-ikan yang berenang mencari makan. Sungai seperti ini tak bisa lagi ditemui di kota yang telah tercemar limbah manusia. Sebatang pohon tumbang terlentang diatas pohon, ketiga pemuda tadi melewatinyadengan mudah. Setelah melalui jalanan menanjak mereka berhenti pada sebuah bukit. Manggala menunjuk lembah subur dengan gubuk-gubuk yang tersusun rapi bagai perumahan.

"Sekarang aku paham." Bejo membetulkan posisi kaca mata yang sedikit melorot. "Jadi aroma seduhan kopi ini yang kalian cium tadi. Nampaknya berasal dari kedai yang di pinggirperkampungan itu. Kuharap kedai tersebut juga menjual nasi atau minimal mie instan." Bejo langsung menuruni bukit setengah berlari, entah karena semangat atau karena lapar. Jaya bersaudara mengikuti kecepatan langkah Bejo.

Kedai kopi berbahan anyaman bambu beratapkan ilalang begitu ramai. Cangkul, sabit, golok, tampah, beberapa onggok kayubakar tertata rapi di depan kedai bagaikan sepeda motor yang diparkir di depan kafe.  Kedai ini seolah pintu gerbang menuju perkampungan karena terletak di pinggir jalan antara kampung dan ladang. Ketiga pemuda tersebut memberi ucapan selamat siang padapengunjung kedai, penduduk di situ begitu ramah dalam menyambut orang asing.

"Nampaknya kalian datang dari jauh." Sambut seorang bapak setengah baya, rupanya ia pemilik kedai tersebut.

"Dibilang jauh ya jauh tapi dibilang dekat ya dekat tergantung melihatnya dari mana pak." Sahut Manggala.

Maksudnya? Bapak tidak paham."

"Maaf pak atas ketidak sopanan adik saya." Jaya bicara berusaha selembut mungkin. "Saya Jaya Prawira, dia Jaya Manggala adik saya di sekolah kami dipanggil Jaya semua namun orang lebih mudah memanggil Manggala dari pada Prawira, jadi saya lebih sering dipanggil Jaya dan dia dipanggil Manggala, untuk terserah bapak enaknya panggil apa. Yang ini kawan saya sejak SMU namanya Bejo. Yang dimaksud jauh, jarak tempat ini beberapa kilometer. Namun dekat karena masih satu eks Karsidenan,  kami dari Kotamadya sedang tempat ini secara administratif ikut    Kabupaten."

"Jadi kalian orang kota rupanya. Apa kalian Mahasiswa pencinta alam, sedang cari tempat KKN, atau sekedar jalan-jalan untukmelihat indahnya alam Indonesia? Tetapi kenapa bawa anak kecil? Kurasa kau masih SMP atau SMA." Pemilik kedai menunjuk Manggala.

"Dan kami terlalu tua sebagai mahasiswa." Bejo berkelakar. "Kami bukan seperti apa yang bapak kira. Kami hanya rakyat miskin seperti kebanyakan orang di negeri ini. Rumah kami di kota bukan karena anak orang kayayang punya banyak uang untuk menjelajahi bumi pertiwi. Kami di kota karena tak punya ladang seluas yang kalian punya, dan halaman rumah kami adalah rumah tetangga."

"Ah kalian terlalu merendah. Jika boleh tahu apa keperluan kalian hingga sampai ke tempat ini?"

"Sangat boleh. Tapi sebelumnya, apa kami boleh memesan makanan dan minuman?" Manggala menyambut, tampaknya kelaparan.

"Oh ya, maaf keasikan ngobrol. Silakan duduk di mana saja. Hanya saja di sini tidak menjual es, tidak ada wi-fi, tidak ada mie instan."

Ketiga pemuda tersebut langsung memesan dan duduk berbaur dengan pengunjung lainnya. Tanpacanggung mereka langsung akrab.       Rupanya penduduk di tempat ini bangun pagi-pagi untuk pergi ke ladang, dan saat pulang mereka mampir ke kedai untuk ngopi dan berbincang. Walau tak ada listrik namun mereka tak pernah ketinggalan informasi, setiap sabtu anak-anak mereka yang sekolah di kota pulang membawa berita hal-hal yang terjadi di negeri ini. Lalu mereka membahasnya di kedai kopi bahkan di analisaseperti para pengamat politik. Desa mereka sering dijadikan tempat KKN, sehingga mereka sangat mendukung pendidikan anak-anak mereka, walaupun SD hanya ada di desa sebelah kira-kira sekitar 1 jam jalan kaki untuk kecepatan anak SD dan SMP ada di kota kecamatan.

"Kalian tahu anak muda," seorang setengah baya bicara, "tahun lalu ada mahasiswa pertanian datangkemari mengajari kami menanam jagung yang baik agar meningkatkan hasil panen dengan luas area yang tetap. Lalu apa kubilang, hai nak kami ini petani jadi tak usah kau ajari bertani. Pulang saja tanya ke dosenmu, di sini banyak singkong, jagung bagaimana cara menjualnya?" Bapak tersebut menutupnya dengan tawa, sedang yang lain hanya diam.

Pria yang lain menimpali, "Jangan diambil hati anak muda, dia orangnya memang suka ceplas-ceplos. Tetapi hatinya memang tulus."

Sesaat kemudian pesanan datang, jagung rebus, tiwul, nasi jagung, sayur rebung, buntil, ikan asin sambal, susu jahe, wedang sinom. Sesudah berdoa mengucap syukur pada sang pencipta atas makanan yang tersedia mereka langsungmelahapnya. Sambil mendengarkan cerita tentang siapa pembunuh sebenarnya, benarkah kopinya mengandung sianida, lalu berganti topik anak mantan presiden yang melepaskan jabatan militer untuk mencalonkan diri sebagai calon gubernur ibu kota. Tanpa terasa makanan yang dipesan ketiga pemuda tadi telah berpindah ke lambung, kini mereka santai mentransfer minuman ke mulut.

"Sudah selesai makannya?boleh kalian katakan apa tujuan kalian jika bukan sekedar jalan-jalan."
Jaya mengeluarkan foto, secara bergantian setiap orang memandangi foto tersebut. Bagian dari caila prasati atau prasasti batu, "Kami mencari tahu tentang apa yang tertulis pada caila prasasti ini."

"Dari mana kalian mendapat prasasti tersebut dan apa yang tertulis di sana?" Sang pemilik kedai mengamati dengan seksama foto tersebut.

"Kami tidak tahu pasti. Yang kami tahu ini berasal dari zaman Kawi awal, kami hanya dapat membaca aksaranya saja yaitu Da Ga Ma, sedangkan sandangannya tak kami pahami." Jaya menjawab, "Kami mencari murid Tuhan terakhir, berdasarkan petunjukawal dari Eyang Darsu kami sampai ke petunjuk selanjutnya berupa prasasti tersebut, dan selanjutnya tibalah kami di sini."

"Eyang Darsu?" Sang pemilik kedai bergumam, sementara yang lain diam tak tahu ingin berkata apa. "Jadi beliau yang mengirim kalian kemari."

"Syukurlah," Bejo tampak senang, "rupanya bapak kenal EyangDarsu, apa beliau sering kemari."

"Dua kali Eyang Darsu ke kedai ini. Namun aku tak pernah melupakan pertemuan kami. Pertama saat aku masih kecil, kedai ini milik ayahku mereka berbincang hingga larut malam, namun Eyang Darsu tak bermalam, malam itu juga beliau langsung pergi walau ayah berusaha menyuruhnya menginap.  Ke dua beberapa tahun silam, Eyang Darsu datang lagi namunayahku telah lama tiada anakku juga sudah SMA namun Eyang Darsu sama sekali tak berubah wajah dan perawatannya tetap, setua saat aku masih kecil."

"Apa?" Manggala terheran, "jadi yang namanya Eyang Darsu itu sudah kakek-kakek sejak bapak masih anak-anak? Aku jadi semakin penasaran seperti apa orangnya."

"Jadi kamu belum pernah bertatap muka?"

"Benar," Manggala mengangguk, "mas Bejo dan Kakakku bertemu di   tempat dan waktu yang berbeda. Namun yang namanya Eyang Darsu menyuruh mas Bejo melibatkan aku, padahal aku belum pernah kenal."

"Berarti kamu termasuk yang dipilih," kata sang pemilik kedai,"banyak cara beliau memilih murid, bisa lewat orang lain, bisa juga ditemui secara pribadi. Mungkin kamu belum ditemui tapi kelak pasti bertemu karena sudah dipilih. Sekarang yang penting kita baca tulisan di prasasti yang kalian foto." Sang pemilik kedai memegang menunjuk foto sang dipegangnya. "Ini adalah layar dan yang ini adalah pangku."

"Dargom!" Mereka bertiga bicarahampir serentak. Demi mendengar kata tersebut satu persatu pengunjung meninggalkan kedai, ada yang membayar dulu namun tak sedikit yang meninggalkan uang di meja lalu segera angkat kaki.

"Kenapa semua orang tampak buru-buru?" Jaya terheran. "Apa ditunggu istri masing-masing. Atau karena mendengar kata Dargom, tetapi kenapa bapak takikut beranjak?"

"Kalau aku pergi siapa yang menjaga kedainya. Hari sudah senja sebaiknya kalian istirahat di gubukku akan kuceritakan apa yang aku ketahui."

"Bapak tidak tinggal di sini?" Tanya Bejo.

"Bapak ini pedagang bukan Dwarapala, kalau tinggal di sinisama dengan penjaga gerbang kampung bukan. Bapak tinggal bersama yang lain di kampung. Setelah beres-beres, kita ke kepala dusun minta ijin menginap kemudian baru ke tubuhku."

"Jika demikian kami bantu beres-beres." Manggala menawarkan diri.

"Kalian pembeli. Di mana-mana pembeli tidak membereskanwarung. Lebih baik kalian mandi atau cuci muka di sungai yang ada di belakang kedai ini, sebelum hari menjadi gelap."

"Baik pak." Sungainya adalah lanjutan dari sungai yang kami lalui tadi ya. "Manggala segera bergegas." Sang pemilik kedai mengangguk.

"Bagimana kamu tahu sungai tadi mengalir ke sini?" Bejo bertanyasambil mengikuti langkah Manggala.

"Bukankah itu gunanya kita mengajak dia." Jawab Jaya.

Kamis, 29 September 2016

TERULANG

Sudah lima bulan sepuluh hari kami di sini
Mengulangi hari-hari yang sama
Ingin kami teriak tapi tak ada yang mendengar
Ingin kami berlari tapi kami terikat
Kami terjebak dalam perjanjian sepihak
Kami mengulangi sejarah
Apa yang terjadi pada nenek moyang kami
Kini terulang kembali
Rakyat hanya bisa menjalani
Tanpa ada kemampuan melawan
Hanya diam dan bekerja
Dalam apa yang disebut cultuur stelsel
Tanah dan air adalah milik negara
Dan digunakan untuk kesejahteraan rakyatnya
Tapi kenapa kami menjadi kuli
Menggali tanah kami untuk orang asing
Labuhan Batu, 10 Nov’ 2010

GELAP

Dalam gelap senyap tanpa suara
Aku menahan perih tercekik
Tak sepatah kata terucap
Hanya gelisah dan amarah
Melekat dalam dada
Akankah ini berakhir
Bilakah ini berujung
Aku bertanya pada bayang-bayang maut
Jauh dalam gelap
Tempat berkumpul arwah nenek moyang
Namun tak ada jawab kudapat
Fajar segera tiba
Kemudian akan disusul lagi malam yang pengap
Tiada lagi harapan
Tiada lagi asa
Tertinggal hanya puing kehancuran jiwa
Labuhan Batu, 8 Sept’ 2010



SIA-SIA

Kami melangkah resah
Berjalan di bawah mentari
Mengulangi apa yang terjadi kemarin
Melakukan pekerjaan yang sia-sia
Kami terkurung
Tanpa ada kesempatan
Kami termenung
Tanpa ada tindakan
Hampa dan gelisah
Di bawah mentari
Teriknya menyinari
Tapi tak mampu singkirkan
Kegelapan dalam jiwa
Labuhan Batu, 7 Sept’ 2010

DIAM

Hatiku gelisah resah tak menentu
Melihat ketidakadilan di depan mataku
Penjajahan di dunia belum dihapuskan
Rakyat merana dan menderita
Indonesia negriku tercinta
Berlimpah ruah kekayaan alam
Bumimu banyak ditumbuhi tanaman
Lautmu membentang luas menantang
Namun kenapa rakyatku
Menjadi kuli di negri sendiri
Nasibnya ditentukan orang asing
Ku hanya diam tak mampu berkata
Labuhan Batu, 1 Sept’ 2010

BENCANA

Pagi ini gunung kelud meletus
Abu vulkanik menutupi tanah jawa
Setiap orang bertanya-tanya
Dengan banyaknya bencana alam di dunia
Apakah kesudahan zaman sudah dekat?
Mengapa hari-hari ini banyak bencana?
Gunung meletus, banjir, tsunami, gempa bumi
Tanah merekah, tanah yang mengeluarkan gas alam
Apakah karena banyaknya dosa manusia?
Apakah alam sudah terlalu tua?
Bukan..
Semata-mata bukan
Salomo pernah menulis “tidak ada yang baru di bawah matahari
Apa yang dikatakan baru sesungguhnya pernah ada dan akan ada lagi”
Bencana alam merupakan fenomena wajar
Merupakan peristiwa berulang selama jutaan tahun
Mengapa kini semakin banyak bencana?
Karena hari ini banyak media massa
Kita bisa melihat peristiwa di belahan bumi lain saat ini juga
Mangapa kita merasa dunia semakin tua?
Karena kita hidup hari ini
Kita ada sekarang bukan di masa lalu
Manusia hanya bisa menyadari
Bahwa Tuhan nyata adanya
Kita tak bisa lari kemanapun
Tak ada tempat yang aman di muka bumi
Hanya berserah pada sang pencipta alam ini
Hidup dalam lindunganNya
Mati adalah keuntungan
Mojokerto, 14 Februari 2014

BOS

Di dalam gereja
Ia berkata sambil tersenyum bahagia
“Haleluya, Tuhan itu baik
Tuhan memberkati usaha saya”
Dipersembahkannya hartanya yang melimpah
Namanya tercatat dalam warta jemaat
Di pabriknya
Para buruh mengeluh
Nasinya diambil, susu anaknya dirampas
Tenaganya dikuras
Menerima cacian dan makian
Dan ia tetap berkata “Haleluya”
Mojokerto, 12 November 2012

NATALIA

Dalam sepiku Tuhan kirim dirimu
Untuk terangi gelap dalam jiwaku
Dalam derita kita selalu bersama
Jalani hidup suka dan duka
Terkadang hujan badai datang melanda
Terkadang riang tertawa bahagia
Walaupun adat coba pisahkan kita
Tetapi Tuhan beserta kita
Natalia kau tulang rusukku
Yang telah kutemukan
Kita akan hidup bersama
Sampai maut memisahkan kita
Mojokerto, 1 April 2012

BIMBANG

Di dalam gelap kita cari
Di dalam pengap kita berharap
Cahaya datang kita bimbang
Tak terbiasa hidup dalam terang
Kebenaran yang telah datang
Tak dapat diterima manusia
Setiap insan menginginkan
Kebahagiaan tanpa nestapa
Setiap hati mengharapkan
Kemerdekaan dan kedamaian
Namun sayang manusia
Tak mau terima cahaya
Setiap mahluk di alam ini
Alami kelahiran dan mati
Setiap mahluk di alam ini
Tuaian itu yang terjadi
Magelang, 2011

AYUB

Lelaki hina berselimut kabut
Tubuh penuh luka tidur beralas debu
Berharap pagi segera tiba
Saat fajar merekah
Tiada kawan, tiada saudara
Berteman kesepian
Lelaki diam tanpa air mata
Bibir mengering tenggorokan tersumbat
Di dalam hati hanya berdoa
Memohon ampunanNya
Kedalam tanganMu, kuserahkan nyamaku
Jadilah kehendakMu
Si Ayub rebah di tanah merekah
Ia tak bersalah
Tuhanpun datang hentikan derita
Pulihkan kehidupan semula
Magelang, 2008

BELUM MERDEKA

Di keremangan malam di bawah terik matahari
Hutan dan rimba sudah tak nampak lagi
Desing peluru sudah tak terdengar lagi
Tapi ada satu tanya dalam hati
Sudahkah Indonesia merdeka?
Negri ini kaya raya
Tapi kami harus merengek meminta-minta
Kepada anjing-anjing bangsa asing
Merintih perih tak terperi
Kami menangis di negri sendiri
Kami diperbudak ditanah moyang kami
VOC dan NIPON telah pergi
Tapi kini negri kami dibagi-bagi
Bangsaku rakyatku masih terbelenggu
Oleh tangan-tangan yang tak tahu malu
Indonesia belum merdeka
Mojokerto, 11 November 2012