Senin, 10 Oktober 2016

Sarikem

Parasnya yang cantik bersembunyi di balik kaca helm, semakin cantik di balik senyuman. Tangan kanannya memacu gas sepeda motor yang dikendarai, seakan tak sabar segera sampai ke tempat tujuan. Pikirnya aku harus segera sampai ke rumah malam ini juga, tak sabar bila harus menunggu mentari bangun dari peraduan. Ibu harus tahu malam ini juga, tak sabar aku melihat kegembiraannya saat nanti mendengar keberhasilanku.

Malam telah begitu larut diterangi bintang-bintang ketika ia berhenti memarkir sepeda motor yang dikendarai di depan sebuah rumah dari papan yang sangat sederhana. Ia mengetuk pintu dengan hati-hati.

"Bu, ibu. Tolong bukakan pintu. Aku Sarikem anakmu pulang."

Ia mengulang beberapa kali namun tetap perlahan, sebab di malam hari suara perlahan akan terdengar nyaring. Lima belas menit berlalu, pintu terbuka. Seorang wanita secantik Sarikem hanya saja usianya terlihat berbeda jauh  muncul di balik pintu. Sarikem hendak mencium tangan wanita tersebut ketika seorang lelaki yang sebaya dengan wanita itu keluar dari dalam rumah. Tanpa sepatah katapun yang terucap, lelaki itu berlalu hilang ditelan keremangan malam.

"Ibu! Apa yang ibu lakukan!" Sarikem melepaskan genggaman tangannya. Wajahnya yang tadi ceria mendadak berubah menjadi merah padam, suaranya yang lembut kini menjadi garang. "Jadi ini yang ibu lakukan ketika aku menuntut ilmu di luar kota. Aku malu punya ibu sepertimu."

Ibu Sarikem menarik anaknya ke dalam rumah sambil menutup pintu. "Kamu pikir apa yang kamu makan, buku-bukumu, uang sekolahmu, kos, pakaianmu dari mana semuanya itu. Sejak ayahmu  meninggalkan dunia ini apa yang bisa kulakukan. Ibumu ini berpendidikan rendah, tak punya keahlian. Ibu memang hina, ibu memang berdosa. Biarlah ibu masuk neraka asalkan kau tidak. Biarlah ibu menjadi hinaan asalkan kelak kau hidup terhormat. Biarlah ibumu miskin asalkan kau mendapat pekerjaan yang layak. Sekolahlah yang pintar, jadilah orang terpandang. Setelah itu kau boleh tak mengakui ibumu yang hina ini."

Tulang-tulang Sarikem seakan lepas dari badannya. Dadanya sesak bagaikan dihantam batu. Wajahnya kini pucat bagai tanpa darah. Termenung ia di sudut ruang tamu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar