Sabtu, 29 Oktober 2016

Dargom (IV) ~ Runtuhnya Idealisme

"Jauh sebelum Siwa-Buddha datang ke Nusantara, jauh sebelum aksara palawa digunakan, bahkan jauh sebelum waktu yang diketahui manusia, bangsa kita telah memiliki peradaban sendiri, memiliki kehidupan spiritual sendiri." Bagus bicara dengan mantap sambil menebarkan pandangan kepada kawannya satu persatu. Bejo sang pimpinan Kala Hitam yang  berperawakan sekitar 165 cm,  duduk pada sebuah akar pohon durian yang menonjol ke permukaan tanah sambil menyandarkan punggungnya pada batang pohon tersebut. Yanto yang berperawakan kecil, tinggi, rambut sedikit ikal, mengenakan kacamata berdiri tak jauh di kanan Bejo, sebelah kanannya lagi, Paimin dan Kris masing-masing duduk pada sebuah batu. Sedangkan di sebelah kiri Bejo ada Atma orang terbesar dan tertinggi. dalam kelompok ini berdiri menyilangkan tangan di depan dada, disampingnya lagi Panji duduk pada dahan pohon yang berjarak kira-kira setengah meter dari tanah.

"Sebelum kita melangkah mencari Dargom ada baiknya kita kumpulkan dulu data-data mengenai kehidupan purba di negri kita." Lanjut Bagus. "Yanto, biasanya kamu membawa laptop  agar memudahkan pencarian data."

"Benar," Yanto menjawab sambil membetulkan letak kacamatanya. "Kali ini aku sengaja tak membawanya, karena komputer hanya alat, otak kitalah yang bekerja. Lagi pula saat ini tak semua informasi dari internet bisa dipercaya sepenuhnya. Karena siapa saja bisa menulis apapun di dunia maya, tanpa ada editor,  tanpa bukti empiris. Namun tak semuanya tidak berbobot, maka kita harus pandai memilah mana yang benar dan mana yang iseng dengan menguji setiap informasi."

"Aku setuju dengan Yanto." Kris menimpali. "Kudengar desa yang berbatasan dengan Dargom tak ada sinyal. Lebih baik kita gunakan kecerdasan kita. Namun sebelum kita membahas banyak hal, ada baiknya kita putuskan  dulu apakah kawan pimpinan dan kawannya Atma boleh bergabung atau tidak. Jika boleh bergabung pada proyek kita maka mereka harus dilibatkan dalam rapat ini meskipun mereka bukan anggota. Namun apabila tak diijinkan maka segera kita beritahu agar mereka segera pulang."

"Menurutku kita suruh mereka pulang saja sekarang. Akan lebih baik jika bergerak sendiri." Panji  langsung merespon. "Walaupun teman pimpinan dan adiknya berjasa menemukan titik awal lokasi Dargom bukan berarti boleh ikut campur lebih jauh, bagaimana jika ia berniat jahat pada kita. Kalian ingat saat peristiwa Ornamen Garudeya bukan."

"Tenang dulu Panji." Atma angkat bicara. "Lebih baik kita putuskan bersama melalui musyawarah mufakat dan apapun hasilnya  nanti semua harus berlapang dada. Usahakan jangan pengambilan suara terbanyak, karena hasilnya nanti 4 melawan 3 dan yang 3 orang akan menerima keputusan dengan berat hati."


Pada saat bersamaan, Sarikem dan Jaya duduk di bawah rindangnya pohon beringin menatap lubang yang menganga di hadapan mereka.

"Kenapa manusia hanya mau mengambil kekayaan alam tanpa ada yang peduli untuk memeliharanya." Sarikem menggerutu.

"Awalnya kamu akan merasa kesal jika melihat keserakahan manusia mengeksploitasi alam, namun jika tiba di suatu titik kamu harus memilih perut atau idealisme  maka perutmu akan jadi pemenang." Jaya menanggapi.

"Bagaimana bisa begitu?" Sarikem terheran.

"Karena aku mengalaminya." Jaya tersenyum pahit.

"Boleh ceritakan padaku?"

"Boleh, tetapi aku takut kamu bosan mendengarnya."

"Kalau mas Jaya bercerita sepanjang hari aku akan  mendengarkan dengan seksama asal tak capek yang bicara. Lagipula kita tidak tahu kapan Kala Hitam selesai rapat."

"Baiklah Sarikem." Jaya mengatur posisi duduknya senyaman mungkin. Pandangannya lepas ke arah depan, pikirannya mulai menyusun memori dari masa lampau.

"Saat kelas 3 SD aku ikut ayah  Transmigrasi ke Kalimantan Barat dengan program Perkebunan Inti Rakyat khusus Kelapa Sawit. Tujuan ayah ialah agar kami anak-anaknya bisa sekolah setinggi mungkin agar kelak kami tak seperti ayah ibu kami yang berpendidikan rendah. Karena di Jawa sebagai keluarga miskin aku sering tak terima raport karena belum bayar SPP.  Ayah tertarik dengan program pengentasan kemiskinan dari pemerintah.  Walau pada dasarnya ibu tak setuju namun beliau akhirnya mau berkorban demi kami anak-anaknya. Selama lima tahun di Borneo aku sebagai anak kecil hanya tahu senang-senang saja. Bisa mengenal budaya dan bahasa suku lain diantaranya Dayak Mualang sebagai penduduk asli, Sunda, NTT. Sayang bahasa NTT sulit dipelajari karena teman sebayaku hanya ada dua mereka dari suku dan bahasa yang berbeda sehingga dalam komunikasi menggunakan bahasa Indonrsia. Namun bahasa Sunda, Dayak Mualang bisa kupelajari walau sedikit. Di sana pula aku tahu bahwa suku Jawa memiliki berbagai logat dan tata bahasa yang beragam, mulai Banyumasan atau sering disebut Ngapak, Jawa Tengah dan Timur juga berbeda logat.

Tak semua lahan dijadikan pemukiman warga dan kebun kelapa sawit. Masih banyak orang Dayak yang tak mau menyerahkan hutannya, hutan inilah tempatku bermain dan menimba ilmu. Dari hutan inilah cita-citaku lahir ingin menjadi ilmuwan. Namun apa yang dirasakan anak tak sama dengan yang dirasakan orang tua. Ayah merasa jika program transmigrasi ini sama dengan penjara, beliau merasa seperti tahanan politik yang dibuang ke  sebuah pulau. Begini perhitungan ayahku yang tak kupahami waktu itu. Setia kepala keluarga memperoleh tanah seluas setengah hektar yaitu 50 m ke samping dan 100 m ke belakang untuk tempat tinggal di atasnya berdiri rumah panggung seluas 6x6 m2. Jadi bisa kamu bayangkan bagaimana jarak antar rumah?"

"Dari tiang listrik ke tiang listrik  100 meter. Ya aku bisa bayangkan." Sahut Sarikem. "Lanjutkan Jaya."

"Diluar pemukiman tiap KK memperoleh 2 hektar tanah yang wajib ditanami Kelapa Sawit tidak boleh tanaman lain. Hasil panennya sudah ditampung langsung oleh pabrik minyak kelapa sawit, yang letaknya ditengah perkebunan, di sana berdiri perumahan mewah para  pejabat perkebunan. Kami menyebutnya Inti. Mulai dari pembukaan lahan, tanam, perawatan, pupuk sampai panen pertama semua ditanggung oleh bank, dan yang mengerjakan adalah para penduduk transmigrasi. Mereka mendapat upah selama bekerja di kebun tersebut. Semua biaya termasuk upah yang diterima saat bekerja kelak akan dihitung sebagai utang. Sesudah kelapa sawit bisa  dipanen maka tiap KK baru mendapat 2 hektar dengan sistem undian. Setelah menjadi hak miliknnya maka hasil panen menjadi milik petani, dipotong utang selama perawatan. Dan sertifikat dipegang oleh bank sampai hutang tersebut lunas.

Perhitungan ayahku, dari tanam sampai panen 5 tahun. Biaya yang dikeluarkan anggap saja Rp.X, umur kelapa sawit di Borneo  berkisar 15 - 20 tahu. Hasil panen per bulan anggap saja Rp. Y. Yang diterima setelah dikurangi utang adalah Rp. Z. Perhitungan ayah hutang akan lunas sekitar 15 tahun, sedangkan Rp. Z hanya cukup untuk kehidupan sederhana. Perlu kamu ketahui Sarikem, harga kebutuhan pokok di sana kira-kira tiga kalilipat harga di Jawa. Sehingga saat peremajaan tiba, yaitu pohon yang tua ditebang ganti dengan pohon yang baru  butuh biaya lagi dan pasti pinjam dari bank. Maka jika sepeti itu terus maka petani tak pernah melihat sertifikat tanahnya. Akhirnya ayah memutuskan pulang ke Jawa, beliau berkata lebih baik kembali dari nol dari pada si sini nol koma.

Aku juga masih tak paham dengan pikiran beliau. Hingga aku lulus  Kuliah aku berdoa ingin tahu seperti apa pabrik minyak kelapa sawit. Oh ya aku bisa kuliah itu karena anugrah Tuhan bagi anak yang miskin, kapan-kapan bisa kuceritakan. Walaupun aku ini orang yang berdosa, tidak aktif dalam kegiatan rohani tetapi Tuhan sayang padaku. Sehingga Tuhan menjawab semua doaku. Aki di terima disebuah pabrik kelapa sawit di Swarna Dwipa.

Enam bulan aku di menghantui pikiranku. Yang lebih penting lagi aku memahami pikiran ayahku dan justru aku lebih banyak mengerti dari pada ayahku.

Tujuan utama dari sebuah perusahaan ialah memperoleh CPO singkatan crude palm oil atau minyak kelapa sawit mentah dan KPO singkatan Kernel Palm Oil atau minyak inti kelapa sawit. Untuk memudahkan aku bercerita dan tersingkap semua teka teki yang  menghantui pikiranku. Yang lebih penting lagi aku memahami pikiran ayahku dan justru aku lebih banyak mengerti dari pada ayahku.

Tujuan utama dari sebuah perusahaan ialah memperoleh CPO singkatan crude palm oil atau minyak kelapa sawit mentah dan KPO singkatan Kernel Palm Oil atau minyak inti kelapa sawit. Untuk memudahkan aku bercerita selanjutnya aku hanya menyebut CPO. Kelapa sawit merupakan tanaman tropis, jarak tanam yang ideal ialah 9 meter. CPO tak hanya menghasilkan minyak goreng namun masih banyak produk turunannya diantaranya krimer untuk kopi, sabun bahan dasarnya soda dan minyak, bahan kosmetik, biodisel dan banyak lagi. Dunia sangat membutuhkan CPO khususnya Eropa, para pemilik modal membutuhkan wilayah yang luas dan beriklim tropis. Salah satunya ialah Indonesia yang luas dan mentari bersinar sepanjang tahun. Kamu tahu Sarikem, di khatulistiwa hujan datang pada malam hari dan mentari bersinar di siang hari, hal ini merupakan surga bagi tanaman bukan. Maka para pemegang kepentingan di bidang bisnis ini menanamkan modal di tanah air kita. Dalam undang-undang dasar negara kita disebutkan tanah dan air adalah milik negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyatnya.

Sekarang ada tanah, ada air yang turun dari langit, ada rakyat. Pengusaha harus memanfaatkan semuanya.  Petama-tama harus mendapatkan lahan terlebih dahulu, pengusaha datang pada pemerintah untuk menyewa lahan, maka disepakatilah si pengusaha menyewa lahan pada koordinat sekian sampai sekian. Untuk mengelola lahan butuh tenaga, maka rakyatlah yang dilibatkan dengan tiga sistem yaitu. Perkebunan inti di mana pengusaha mempekerjakan butuh penggarap lahan bisanya dikerjakan oleh buruh tani, kedua petani binaan yaitu penduduk setempat yang memiliki tanah diminta untuk menanam kelapa sawit dan hasil panennya akan ditampung pabrik secara langsung, ketiga petani plasma contohnya transmigran."

"Yang kedua tadi kedengarannya seperti tanam paksa zaman Belanda dulu."

"Bukan seperti Sarikem, menurutku justru lanjutan dari sistem tanam paksa."


"Jadi karena hal itu kamu keluar dari pabrik CPO?"

 "Benar. Aku berfikir kelapa sawit merusak hutan kita, karena keanekaragaman hayati menjadi punah, meskipun ada upaya mempertahankan hutan lindung dan hutan adat itu hanya untuk menutupi keserakahan umat manusia. Dan orang Jawa yang datang keluar pulau rata-rata tujuannya bukan ingin membangun daerah tersebut, namun hanya ingin memperkaya diri, sesudah kaya maka ia akan pulang ke kampungnya. Banyak suku-suku yang kehilangan hutannya, makanya kemarin saat Indonesia meributkan kabut asap aku hanya tertawa karena aku sudah mengalaminya tetapi tak mampu berbuat apa-apa. Sejak keluar dari pabrik CPO aku menjadi semakin idealis, hasilnya aku jadi pengangguran selama setahun."

"Jadi sekarang idealismemu gugur Jaya?"

"Tidak, tak mungkin bisa padam. Hanya saja aku harus membutakan mata dan menulikan telinga."

"Bagaimana bisa jadi seperti itu?"

"Menganggur bukan soal bagiku, sebab setelah lulus SMU aku sudah berpengalaman menganggur sebelum bisa kuliah. Namun sebagai laki-laki sulung, sarjana lagi itu menjadi beban yang sangat berat bagiku, walaupun ibu tetap memeliharaku. Sempat aku bekerja di pabrik yang sangat kejam, aku mencoba bertahan tetapi akhirnya aku dipecat hanya dalam waktu dua minggu dengan alasan tidak sesuai dengan kriteria managemen. Akhirnya aku berdoa, jika Tuhan menghendaki aku bekerja sesuai ijazahku maka bukan aku yang mencari pekerjaan tetapi pekerjaan yang mencari aku."

"Zaman sekarang masih ada pekerjaan mencari pekerja."

"Tak langsung dijawab, aku aktif di LSM. Kamu tahu apa itu LSM?"
"Lembaga Swadaya Masyarakat.  Hanya aku tak paham bagaimana LSM mendapatkan anggaran."

"Tak perlu bingung, LSM itu sesungguhnya Lembaga Senang Masalah, jika ada masalah kami senang karena akan dapat uang. Jika tak ada masalah maka kering."

"Maksudnya?"

"Kapan-kapan kuceritakan. Saat aku masih aktif di LSM Tuhan menjawab doaku, kawanku telpon memberi kabar jika pabrik tempatnya bekerja ada lowongan dan aku direkomendasikan ke atasannya. Singkat cerita aku diterima bekerja dan beberapa prinsipku harus gugur saat itu juga." Jaya berhenti sejenak, sementara Sarikem diam menantikan penuturan Jaya. "Pertama aku tak mau bekerja ikut bangsa A, tak perlu kusebutkan karena kamu tahu bagimana    perlakuan bangsa A terhadap kulinya yang berdarah Jawa, tak usah jauh-jauh nanti kamu boleh bertanya bagaimana kehidupan orang tua Bejo dan Paimin. Mereka akan senang menceritakannnya, akhirnya aku kerja di pabrik milik bangsa A."

"Padahal semua suku pasti ada orang baik dan orang jahatnya bukan?"

"Kamu benar Sarikem, akhirnya aku sadar bahwa manusia itu yang penting hatinya bukan sukunya. Kenyataan justru suku kita yang banyak penjahatnya. Kedua aku ingin berusaha dengan kekuatanku tanpa koneksi, akhirnya aku bekerja karena koneksi. Ketiga aku tak ingin merusak alam Indonesia, kenyataan bahan baku tempatku bekerja adalah bahan galian yang akan menyisakan lubang menganga seperti di hadapan kita, jadi masih banyak bekas galian tambang yang ada di nusantara ini. Keempat."

Belum sempat Jaya melanjutkan kata-katanya Atma sudah ada di belakang mereka dan berkata. "Yang keempat seorang pimpinan tak mungkin berbuat adil, yang kelima dan selanjutnya disambung kelak saja. Kalian diminta untuk bergabung."

Tanpa menjawab Jaya dan Sarikem beranjak dari tempat duduk, mereka berjalan mengikuti langkah Atma. Sesaat kemudian mereka sudah bergabung dalam gerombolan Kala Hitam.

Bejo langsung angkat bicara, "Kami telah memutuskan apakah kalian boleh bergabung dalam ekspedisi Kala Hitam atau kalian harus pulang ditentukan oleh pernyataan kalian. Sebutkan apa tujuan kalian ingin bergabung, dan apa kelebihan kalian yang kami butuhkan."





Tidak ada komentar:

Posting Komentar