Selasa, 04 Oktober 2016

Dargom

Sebuah mobil bak terbuka berhenti meninggalkan debu-debu yang beterbangan di belakang. Tiga pemuda turun.

"Terimakasih pak atas tumpangannya." Bejo berkata pada sopir.

"Kalian yakin pergi ke tempat ini?" Sang sopir terlihat ketakutan.

"Yakin pak, sekali lagi terimakasih." Manggala menimpali.

"Baiklah jika demikian. Hati-hati anak muda." Setelah berucap, sang sopir menancap gas. Ketiga pemuda tadi yang tak lain adalah Bejo, Jaya Prawira, dan Jaya Manggala menutup hidung bersih mencegah debu yang beterbangan agar tak masuk ke hidung.

Hamparan ilalang membentang hingga ke lereng gunung. Manggala mengeluarkan hp lalu memasukannya lagi setelah melihat tak ada sinyal.
"Kamu benar-benar yakin Manggala." Bejo mencari kepastian. "Tanpa peta, tanpa sinyal."

"Jadi segitu saja mental ketua Kala Hitam." Jaya mengejek Bejo, "Bukankah kamu yang melibatkan Manggala adikku untuk membantunya? Jika kamu sendiritak yakin lebih baik kita pulang saja."

Wajah Bejo merah, "Bukan begitu maksudku, aku hanya ingin memastikan apakah kita menuju tempat yang tepat atau tidak."

"Bagaimana jika mas Bejo dan mas Prawira tak usah bertengkar untuk hal yang tak penting." Jaya Manggala menengahi, "kita tidak akan tahu benar atau salah jikakita tidak mencari tahu. Kita tak akan tersesat jika kita punya ilmu. Pertama gunakan IMPK yaitu ilmu medan peta dan kompas, karena tidak bawa peta dan kompas google map tak ada jaringan maka kita gunakan IMTP yaitu ilmu medan tanya penduduk."

"Tetapi tampaknya di sekitar sini ada penduduk, mau tanya siapa? Ilalang yang bergoyang?" Kata Bejo.
 "Benar." Sahut Jaya. "Kalau teknologi mungkin aku kalah dengan adikku tetapi ilmu alam bukankah kita ahlinya Bejo? Lihatlah jalan setapak itu. Pasti ada orang yang melaluinya, kita telusuri saja. Perhatikan juga ladang jagung di kejauhan sana pasti ada yang menanamnya bukan. Kita gunakan saja ilmu pramuka, jika tersesat kembali ke titik awal."

"Baiklah kita mulai, kita akan berjalan urut ketinggian. Aku yang masih kecil di depan mas Bejo di belakang dan mas Prawira paling akhir. Selama perjalanan jangan berisik, tajamkan mata dan pendengaran kita. Setiap ada yang mencurigakan berhenti." Usai bicara tanpa persetujuan yang lain Manggala langsung menerobos jalan setapak.
Terik mentari tak terasa menyengat sebab panasnya terhapus oleh hembusan angin. Suara ilalang yang saling bergesekan ditiup sang bayu, nyanyian burung, mendadak menjadi sunyi. Mereka berhenti sejenak, setelah mengamati sekitar dan tak ada yang janggal mereka melangkah lagi. Tak ada suara lain selain langkah kaki dan gesekan celana. Sunyi tanpa suara, bahkan angin mendadakberhenti bertiup. Hingga tiba di persimpangan ke kanan ladang jagung ke kiri ladang wortel, namun sejauh mata memandang tak nampak aktivitas petani. Manggala diam, mata dan telinganya dipertajam. Sementara kakaknya dan Bejo tak berani mengganggu, mereka tahu bagaimana cara Manggala berfikir, tanpa perlu diskusi. Tiga belas menit kemudian Manggala melangkah ke arah kebun jagung, tanpa pertanyaan atau pertimbangan apapun Bejo dan Jaya mengikuti. Tak seberapa jauh mereka berjalan tiba-tiba angin bertiup kencang menggoyangkan bunga-bunga jagung, hal ini sangat menguntungkan karena angin membantu pembuahan pada tanaman jagung.

"Aku tahu sekarang." Mendadak Jaya bicara. "Rupanya adikku menggunakan kemampuan ibukami."

"Maksudmu apa?" Bejo bertanya tanpa menoleh  sambil terus mengikuti tapak Manggala.

"Ibu kami punya penciuman tajam, sedangkan ayah kami punya pendengaran tajam." Jaya tersenyum walau tak ada yang melihat senyumnya. "Kupikir Manggala menggunakan ketajaman pendengaran rupanya ia gunakan hidungnya. Tadi tak ada angin sehingga kita tak bisa mendeteksi apapun, sekarang angin mengirimkan aroma peradaban."

Bejo mempertajam penciumannya, namun tak menangkap apapun, "Aku tak mencium apapun."

"Karena kamu bukan anak ibuku." Jaya tersenyum simpul. Sementara Bejo berusahamemahami apa yang ditangkap kakak beradik ini.

Sebuah sungai membentang memisahkan dua ladang jagung, airnya begitu jernih sehingga nampak ikan-ikan yang berenang mencari makan. Sungai seperti ini tak bisa lagi ditemui di kota yang telah tercemar limbah manusia. Sebatang pohon tumbang terlentang diatas pohon, ketiga pemuda tadi melewatinyadengan mudah. Setelah melalui jalanan menanjak mereka berhenti pada sebuah bukit. Manggala menunjuk lembah subur dengan gubuk-gubuk yang tersusun rapi bagai perumahan.

"Sekarang aku paham." Bejo membetulkan posisi kaca mata yang sedikit melorot. "Jadi aroma seduhan kopi ini yang kalian cium tadi. Nampaknya berasal dari kedai yang di pinggirperkampungan itu. Kuharap kedai tersebut juga menjual nasi atau minimal mie instan." Bejo langsung menuruni bukit setengah berlari, entah karena semangat atau karena lapar. Jaya bersaudara mengikuti kecepatan langkah Bejo.

Kedai kopi berbahan anyaman bambu beratapkan ilalang begitu ramai. Cangkul, sabit, golok, tampah, beberapa onggok kayubakar tertata rapi di depan kedai bagaikan sepeda motor yang diparkir di depan kafe.  Kedai ini seolah pintu gerbang menuju perkampungan karena terletak di pinggir jalan antara kampung dan ladang. Ketiga pemuda tersebut memberi ucapan selamat siang padapengunjung kedai, penduduk di situ begitu ramah dalam menyambut orang asing.

"Nampaknya kalian datang dari jauh." Sambut seorang bapak setengah baya, rupanya ia pemilik kedai tersebut.

"Dibilang jauh ya jauh tapi dibilang dekat ya dekat tergantung melihatnya dari mana pak." Sahut Manggala.

Maksudnya? Bapak tidak paham."

"Maaf pak atas ketidak sopanan adik saya." Jaya bicara berusaha selembut mungkin. "Saya Jaya Prawira, dia Jaya Manggala adik saya di sekolah kami dipanggil Jaya semua namun orang lebih mudah memanggil Manggala dari pada Prawira, jadi saya lebih sering dipanggil Jaya dan dia dipanggil Manggala, untuk terserah bapak enaknya panggil apa. Yang ini kawan saya sejak SMU namanya Bejo. Yang dimaksud jauh, jarak tempat ini beberapa kilometer. Namun dekat karena masih satu eks Karsidenan,  kami dari Kotamadya sedang tempat ini secara administratif ikut    Kabupaten."

"Jadi kalian orang kota rupanya. Apa kalian Mahasiswa pencinta alam, sedang cari tempat KKN, atau sekedar jalan-jalan untukmelihat indahnya alam Indonesia? Tetapi kenapa bawa anak kecil? Kurasa kau masih SMP atau SMA." Pemilik kedai menunjuk Manggala.

"Dan kami terlalu tua sebagai mahasiswa." Bejo berkelakar. "Kami bukan seperti apa yang bapak kira. Kami hanya rakyat miskin seperti kebanyakan orang di negeri ini. Rumah kami di kota bukan karena anak orang kayayang punya banyak uang untuk menjelajahi bumi pertiwi. Kami di kota karena tak punya ladang seluas yang kalian punya, dan halaman rumah kami adalah rumah tetangga."

"Ah kalian terlalu merendah. Jika boleh tahu apa keperluan kalian hingga sampai ke tempat ini?"

"Sangat boleh. Tapi sebelumnya, apa kami boleh memesan makanan dan minuman?" Manggala menyambut, tampaknya kelaparan.

"Oh ya, maaf keasikan ngobrol. Silakan duduk di mana saja. Hanya saja di sini tidak menjual es, tidak ada wi-fi, tidak ada mie instan."

Ketiga pemuda tersebut langsung memesan dan duduk berbaur dengan pengunjung lainnya. Tanpacanggung mereka langsung akrab.       Rupanya penduduk di tempat ini bangun pagi-pagi untuk pergi ke ladang, dan saat pulang mereka mampir ke kedai untuk ngopi dan berbincang. Walau tak ada listrik namun mereka tak pernah ketinggalan informasi, setiap sabtu anak-anak mereka yang sekolah di kota pulang membawa berita hal-hal yang terjadi di negeri ini. Lalu mereka membahasnya di kedai kopi bahkan di analisaseperti para pengamat politik. Desa mereka sering dijadikan tempat KKN, sehingga mereka sangat mendukung pendidikan anak-anak mereka, walaupun SD hanya ada di desa sebelah kira-kira sekitar 1 jam jalan kaki untuk kecepatan anak SD dan SMP ada di kota kecamatan.

"Kalian tahu anak muda," seorang setengah baya bicara, "tahun lalu ada mahasiswa pertanian datangkemari mengajari kami menanam jagung yang baik agar meningkatkan hasil panen dengan luas area yang tetap. Lalu apa kubilang, hai nak kami ini petani jadi tak usah kau ajari bertani. Pulang saja tanya ke dosenmu, di sini banyak singkong, jagung bagaimana cara menjualnya?" Bapak tersebut menutupnya dengan tawa, sedang yang lain hanya diam.

Pria yang lain menimpali, "Jangan diambil hati anak muda, dia orangnya memang suka ceplas-ceplos. Tetapi hatinya memang tulus."

Sesaat kemudian pesanan datang, jagung rebus, tiwul, nasi jagung, sayur rebung, buntil, ikan asin sambal, susu jahe, wedang sinom. Sesudah berdoa mengucap syukur pada sang pencipta atas makanan yang tersedia mereka langsungmelahapnya. Sambil mendengarkan cerita tentang siapa pembunuh sebenarnya, benarkah kopinya mengandung sianida, lalu berganti topik anak mantan presiden yang melepaskan jabatan militer untuk mencalonkan diri sebagai calon gubernur ibu kota. Tanpa terasa makanan yang dipesan ketiga pemuda tadi telah berpindah ke lambung, kini mereka santai mentransfer minuman ke mulut.

"Sudah selesai makannya?boleh kalian katakan apa tujuan kalian jika bukan sekedar jalan-jalan."
Jaya mengeluarkan foto, secara bergantian setiap orang memandangi foto tersebut. Bagian dari caila prasati atau prasasti batu, "Kami mencari tahu tentang apa yang tertulis pada caila prasasti ini."

"Dari mana kalian mendapat prasasti tersebut dan apa yang tertulis di sana?" Sang pemilik kedai mengamati dengan seksama foto tersebut.

"Kami tidak tahu pasti. Yang kami tahu ini berasal dari zaman Kawi awal, kami hanya dapat membaca aksaranya saja yaitu Da Ga Ma, sedangkan sandangannya tak kami pahami." Jaya menjawab, "Kami mencari murid Tuhan terakhir, berdasarkan petunjukawal dari Eyang Darsu kami sampai ke petunjuk selanjutnya berupa prasasti tersebut, dan selanjutnya tibalah kami di sini."

"Eyang Darsu?" Sang pemilik kedai bergumam, sementara yang lain diam tak tahu ingin berkata apa. "Jadi beliau yang mengirim kalian kemari."

"Syukurlah," Bejo tampak senang, "rupanya bapak kenal EyangDarsu, apa beliau sering kemari."

"Dua kali Eyang Darsu ke kedai ini. Namun aku tak pernah melupakan pertemuan kami. Pertama saat aku masih kecil, kedai ini milik ayahku mereka berbincang hingga larut malam, namun Eyang Darsu tak bermalam, malam itu juga beliau langsung pergi walau ayah berusaha menyuruhnya menginap.  Ke dua beberapa tahun silam, Eyang Darsu datang lagi namunayahku telah lama tiada anakku juga sudah SMA namun Eyang Darsu sama sekali tak berubah wajah dan perawatannya tetap, setua saat aku masih kecil."

"Apa?" Manggala terheran, "jadi yang namanya Eyang Darsu itu sudah kakek-kakek sejak bapak masih anak-anak? Aku jadi semakin penasaran seperti apa orangnya."

"Jadi kamu belum pernah bertatap muka?"

"Benar," Manggala mengangguk, "mas Bejo dan Kakakku bertemu di   tempat dan waktu yang berbeda. Namun yang namanya Eyang Darsu menyuruh mas Bejo melibatkan aku, padahal aku belum pernah kenal."

"Berarti kamu termasuk yang dipilih," kata sang pemilik kedai,"banyak cara beliau memilih murid, bisa lewat orang lain, bisa juga ditemui secara pribadi. Mungkin kamu belum ditemui tapi kelak pasti bertemu karena sudah dipilih. Sekarang yang penting kita baca tulisan di prasasti yang kalian foto." Sang pemilik kedai memegang menunjuk foto sang dipegangnya. "Ini adalah layar dan yang ini adalah pangku."

"Dargom!" Mereka bertiga bicarahampir serentak. Demi mendengar kata tersebut satu persatu pengunjung meninggalkan kedai, ada yang membayar dulu namun tak sedikit yang meninggalkan uang di meja lalu segera angkat kaki.

"Kenapa semua orang tampak buru-buru?" Jaya terheran. "Apa ditunggu istri masing-masing. Atau karena mendengar kata Dargom, tetapi kenapa bapak takikut beranjak?"

"Kalau aku pergi siapa yang menjaga kedainya. Hari sudah senja sebaiknya kalian istirahat di gubukku akan kuceritakan apa yang aku ketahui."

"Bapak tidak tinggal di sini?" Tanya Bejo.

"Bapak ini pedagang bukan Dwarapala, kalau tinggal di sinisama dengan penjaga gerbang kampung bukan. Bapak tinggal bersama yang lain di kampung. Setelah beres-beres, kita ke kepala dusun minta ijin menginap kemudian baru ke tubuhku."

"Jika demikian kami bantu beres-beres." Manggala menawarkan diri.

"Kalian pembeli. Di mana-mana pembeli tidak membereskanwarung. Lebih baik kalian mandi atau cuci muka di sungai yang ada di belakang kedai ini, sebelum hari menjadi gelap."

"Baik pak." Sungainya adalah lanjutan dari sungai yang kami lalui tadi ya. "Manggala segera bergegas." Sang pemilik kedai mengangguk.

"Bagimana kamu tahu sungai tadi mengalir ke sini?" Bejo bertanyasambil mengikuti langkah Manggala.

"Bukankah itu gunanya kita mengajak dia." Jawab Jaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar