Rabu, 12 Februari 2020

JALADWARA (Terkuaknya Garudeya)




JALADWARA (Terkuaknya Garudeya)
            Sebuah mobil hitam melaju dari pusat tanah jawa menuju ke barat laut, melintasi lereng Sumbing, lereng Sindoro terus melaju ke perkampungan berkabut, tiba di persimpangan mengambil jalan ke kanan. Jalanan yang semakin sempit, diantara perkebunan kentang, lalu memasuki hutan, tak ada lagi rumah penduduk, sesaat kemudian tampak sebuah villa berdiri sendiri di lereng perbukitan. Mobil masuk ke sebuah gapura yang mirip duplikat gapura Wringin Lawang di Mojokerto, dan akhirnya berhenti di depan sebuah bangunan utama. Keluar dari pintu kiri depan seorang pria berkumis, rambut keriting, dari pintu kiri belakang keluar Jaya, pemuda setinggi 170 cm berperawakan sedang, disusul Bejo seorang pemuda yang lebih pendek berkaca mata, dari pintu kanan belakang keluar Atma, pemuda bertubuh gemuk setinggi Jaya. Setelah mereka menutup pintu, mobil kembali melaju semakin masuk ke tempat parkir. Mereka seakan disambut sepasang arca dwarapala di kanan kiri pintu bangunan utama, namun mereka tidak masuk ke bangunan tersebut melainkan berjalan ke samping, di sana ada bangunan joglo yang lebih sempit. Pria berkumis memberi isyarat tangan pada seorang pria di dekat pintu, dan tanpa berkata-kata pria tersebut membukakan pintu rumah joglo tersebut.
            “Silakan masuk.” Kata pria berkumis, “Saya sengaja tidak membawa kalian ke ruaang tamu, tetapi langsung ke ruang koleksi pribadi saya. Oh ya sepanjang jalan saya belum memperkenalkan diri, kalian bisa panggil saya Hardi. Sayalah yang mengirim undangan memalui e-mail kalian masing-masing. Bagaimana saya bisa tahu kalian? Jangan heran karena kita sebenarnya sudah lama saling kenal, hanya belum pernah berjumpa. Jika ada pertanyaan simpan saja untuk nanti.”
            Hardi langsung masuk diikuti ketiga pemuda. Sebuah ruangan yang tidak terlalu luas disbanding sebuah museum, namum menyimpan berbagai benda peninggalan abad 8 sampai 9 masehi. Jaya tampak berseri-seri melihat banyaknya benda purbakala, dalam hati dia berkata tidak sia-sia aku memenuhi undangan rahasia ini. Tampak tersusun rapi stupa Buddha, stupa Hindu, dua buah Lingga diletakkan di kanan kiri sebuah Yoni, arca Parwati, arca Nandi, arca Siwa, arca Ganesa, Jaladwara, Kalamakara. Berbeda dengan Jaya, Bejo dan Atma justru memeperlihatkan ekspresi wajah gugup, bahkan yang aneh di daerah pegunungan berkabut mereka berdua justru mengeluarkan kringat, hal ini tidak terlalu diperhatikan Jaya, namun Hardi memperhatikan. Setelah beberapa waktu, Hardi mengajak ke ruangan lain yang tersekat oleh pintu tanpa daun pintu. Ketika memasuki ruangan tersebut sontak mereka bertiga terkejut, bukan karena banyak bertebaran keris pusaka serta tombak, namun diantara belasan keris tergeletak sebuah hiasan dada dari emas.
            Setengah menggumam Jaya, Bejo dan Atma berkata hampir bersamaan. “GARUDEYA.”
            Hardi tersenyum simpul, “Rupanya kalian langsung mengenalinya ya.”
            “Ornamen garudeya ini mirip seperti yang ada di Museum Mpu Tantular, Sidoarjo.” Jaya menjawab. “Apakah ini ditemukan di Jawa Tengah di sekitar sini pak Hardi, di situs Liyangan, Gedong Songo, atau Dieng?”
            Sementara itu Bejo dan Atma semakin berkeringat, “Jaya sebaiknya kamu diam.” Bejo menginjak kaki Jaya dengan maksud memberi kode.
            “Kalian berkeringat di udara sedingin ini?” Jaya baru menyadari sesuatu yang janggal setelah menoleh ke Bejo dan Atma, pandangannya ia alihkan ke Hardi. “Pak Hardi, apa maksud semua ini, jangan-jangan.” Jaya terdiam sejenak.
            “Kenapa berhenti  Jaya.”  Hardi tersenyum, “Ayo lanjutkan perkataanmu.”
            Mendadak semua hening, waktu terasa berjalan melambat. Jaya yang awalnya senang melihat barang-barang kuno kini perasaannya menjadi berubah, sebuah ketakutan tak beralasan. Hatinya mengatakan ada yang tak beres, tetapi mulutnya mendadak terkunci.
            “Halo…” Suara Hardi memecah keheningan. “Kenapa diam, Bejo penggagas dan ketua Kelompok Kala Hitam yang ditakuti seantero negeri hanya terdiam, Atma ahli laboratorium juga penggagas Kala Hitam berbadan besar tapi nyalinya tak ada, Jaya mengaku sebagai mantan anggota Resimen Mahasiswa yang sok pahlawan membantu kepolisian menangkap gerombolan Kala Hitam, juga terdiam. Di mana taring kalian, di mana kecerdasan kalian.”
            “Tunggu sebentar.” Jaya menjawab, agak gugup. “Saya masih belum paham apa yang terjadi. Bukankah kasus hilangnya Garudeya di Jawa Timur sudah ditutup, barangnya sudah kembali ke Museum dan Kala Hitam tidak terbukti tak bersalah.”
            “Dan kamu Jaya serta rekanmu tidak mendapatkan hadiah yang dijanjikan pemerintah, dan sekarang ada kembaran Garudeya di Jawa Tengah.” Hardi setengah mengejek. “Kamu sepertinya cerdas, tetapi tampak bodoh. Atma, Bejo! Coba jelaskan kawanmu atau musuhmu ini. Ayo, jelaskan.”
            “Jadi begini Jaya.” Bejo bicara agak bergetar. “Aku dan Atma prihatin melihat kemiskinan di negri ini, kami ingin membantu rakyat miskin, tetapi kami sendiri miskin untuk itulah kami mengumpulkan beberapa orang yang sepaham dan mendirikan kelompok Kala Hitam. Kami melihat benda-benda purbakala bangsa kita banyak diincar negara lain melalui lelang bawah tanah. Maka kami berinisiatif mengambil artefak sesuai pesanan lalu kami buat tiruannya, yang asli kami kembalikan yang palsu kami jual.”
            “Jadi, garudeya yang ada dihadapan kita adalah barang tiruan.” Tanya Jaya.
            “Benar.” Atma menimpali. “Itu sebabnya kamu dan teammu tak akan bisa membuktikan operasi kami. Lagi pula uannya kami gunakan untuk kegiatan social, membantu rakyat yang membutuhkan. Doa merekalah yang melindungi kami. Dan kami berjanji Garudeya adalah proyek terakhir Kala Hitam, setelah itu kami bubar dan hidup masing-masing. Aku baru ketemu Bejo juga hari ini saat tadi kita menghadiri undangan rahasia.”
            “Sudah jelas Jaya.” Hardi bicara masih terdengar santai, tapi ada energi menakutkan yang dirasakan. “Dan akulah yang memesan semua benda kepada Kala Hitam lewat seseorang yang dapat kupercaya. Dan aku jugalah yang mereka tipu selama ini.”
            “Kami bermaksud menjaga warisan nenek moyang kita agar tetap di Indonesia pak Hardi.” Atma menjawab. “Orang seperti anda harusnya menyadari hal itu.”
            “Berani menggurui.” Hardi memotong. “Dengar Atma, saat seusia kalian aku juga idealis, namun perlahan idealismemu itu tidak akan didengar lalu luntur menjadi realistis, hanya memikirkan diri sendiri. Kalian tak ingin sepertiku, memiliki  villa pribadi di tengah hutan, mobil mewah, makanan berlimpah, bebas pergi ke mana saja aku suka. Jangan munafik tak ada yang suci diantara kita.”
            “Jika ini urusan pemesan dan yang mendapat pesanan kenapa saya dilibatkan.” Jaya meminta penjelasan.
            “Sudah kubilang, kamu ini tampak cerdas tetapi mudah dimanfaatkan Jaya.” Hardi menjawab. “Sikapmu yang polos dan apa adanya itu mudah dimanfaatkan oleh orang-orang yang bertindak baik di hadapanmu, tetapi memanfaatkanmu sebagai perisai.”
            “Saya tidak paham, pak Hardi.”
            “Biar kuperjelas.” Hardi menjelaskan. “Yang tampak jahat tak selamanya jahat, yang tampak baik tak selamanya baik. Coba kamu pikir kenapa aparat pemerintah meminta bantuan warga sipil sepertimu? Semua dilakukan agar mereka tampak suci, kalian seakan menjadi saksi bagaimana mereka berusaha membela negara. Ahkirnya apa, penjahat tidak tertangkap, kasus ditutup, kalian warga sipil yang membantu hanya mendapat rasa bangga saja. Sementara penjahat sesungguhnya masih berkeliaran.”
            “Bukankah Kala Hitam sudah bubar, jika berkeliaranpun mereka sudah tidak melakukan kejahatan yang sama. Setidaknya tidak melakukan kejahatan bersama lagi dalam satu team.”
            “Kala Hitam memang sudah bubar, makanya saya hanya memanggil dua orang dedengkotnya saja, yang lain tidak begitu penting bagiku saat ini. Kala Hitam bubar bukan berarti kejahatan pencurian benda purbakala akan berhenti begitu saja, akan muncul banyak organisasi sejenis Kala Hitam dengan nama baru. Dan perlu kamu ketahui Jaya, saya memiliki anggota yang duduk di pemerintahan, tidak banyak jumlahnya tetapi cukup strategis. Sayangnya kamu tidak sadar saat bekerjasama dengan mereka untuk mengejar pencuri Ornamen Garudeya saat itu.”
            “Jadi, selama ini segala yang kulakukan sia-sia.” Jaya tampak kesal. “Lalu sekarang apa yang pak Hardi inginkan dari kami bertiga? Bukankan urusan anda hanya dengan Kala Hitam saja? Kenapa melibatkan saya.”
            “Tenang.” Hardi kembali tersenyum, namun bukan kesan ramah yang diterima tetapi kesan menakutkan. “Saya orang cerdas dan hanya memilih orang-orang yang cerdas dan bermanfaat bagi saya, saya tidak akan melibatkan seluruh anggota Kala Hitam, cukup kemampuan kalian bertiga saja, ingat saya sudah memperhatikan sepak terjang kalian, jadi saya setidaknya tahu kemampuan kalian.”
            “Maaf pak Hardi, saya sudah tidak mau mencuri lagi.” Atma memotong. “Garudeya adalah proyek terakhir, dan jika pak Hardi meminta kami mencuri saya tidak akan melakukannya lagi.”
            “Silakan, saya beri kalian kebebasan.” Hardi mengeluarkan HP. “Di sini susah sinyal, bisa nyalakan Bluetooth kalian.
            Semua mengeluarkan HP, sesaat kemudian secara bergantian wajah mereka bertiga tampak pucat. Setiap orang masing-masing menerima foto keluarga yang sedang makan malam bersama  Hardi, seorang wanita dan anak kecil.
            “Jangan panik.” Hardi begitu tenang. “Kalian lihat bukan, saya sudah bisa makan malam dengan keluarga kalian. Wanita dan anak kecil itu apakah istri atau anakku asli kalian juga tidak tahu. Mudah saja membuat keluarga kalian bahagia atau menderita, pilihan di tangan kalian.”
            Mereka bertiga tampak geram. Namun hanya terdiam, rupanya Hardi sudah mendekati keluarga mereka, jika ingin berbuat jahat mudah saja.
            “Sekarang silakan kalian pilih, keluarga kalian bahagia setidaknya kalian berusaha membahagiakan mereka atau tindakan kalian membahayakan hidup mereka.”
            “Baiklah, pak Hardi.” Bejo geram. “Apa yang anda inginkan dari kami.”
            “Keputusan yang bagus Bejo. Bagaiman dengan Atma dan Jaya?”
            “Saya ikut, asalkan jangan anda apa-apakan keluargaku.” Jawab Jaya.
            “Aku juga ikut.” Jawab Atma.
            “Bagus, keluarga kalian akan aman selama kalian tidak keluar jalur. Karena saya bisa mengajak keluarga kalian makan malam yang indah atau makan malam terakhir. Dengarkan baik-baik, kalian tidak perlu menghubungi keluarga, katakana saja pada mereka kalian sedang ada proyek atau apa saja. Kedua jika kalian ingin menghubungi aparat pemerintah, silakan saja tapi itu adalah hal yang sia-sia, bukan begitu Jaya? Dan misi kalian adalah carikan saya JALADWARA KENCANA. Tidak ada pemalsuan di laboratorium Atma, saya minta yang asli.”
            “Apa?! Jaladwara Kencana?” Mereka bertiga hampir serempak.
            “Ya. Tidak perlu saya jelaskan. Setelah ini silakan kalian makan di ruang makan yang sudah di sediakan. Saya sarankan makan yang banyak agar dapat tenaga. Dan kalian tidak akan naik mobil seperti saat kalian datang, silakan berjalan kaki ke jalan utama untuk mencegat anggkutan umum. Sekian.”
            Hardi langsung pergi meninggalkan ruangan, sementara mereka bertiga diantarkan oleh seorang pria yang tadi membukakan pintu ke ruangan lain. Di sana sudah disediakan makanan untuk mereka santap.

           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar