Pernah muncul pertanyaan, kenapa
suku lain ada marga atau fam sehingga masih bisa bertemu saudara hingga
keturunan ke 18 atau 21. Suku jawa tidak memiliki marga, kecuali bangsawan,
juga keturunan hanya dihitung 7. Jika dihitung leluhur jawa yaitu, Aku,
Ayah-Ibu, Simbah (Kakek-Nenek), Buyut, Canggah, Wareng, Utek-utek Gantung
Siwur. Demikian keturunan orang jawa juga dihitung sama yaitu Aku, Anak, Putu
(Cucu), Buyut, Canggah, Wareng, Utek-utek Gantung Siwur. Mulai Buyut ke leluhur
atau ke keturunan istilahnya sama, hanya
dalam penyebutan leluhur ditambah mbah yaitu mbah Buyut, Mbah Canggah dan
seterusnya kalau cucu tidak ada tambahan putu. Mungkin zaman dahulu kala,
manusia jawa masih bisa bertemu dengan turunan ke tujuh, namun zaman sekarang
jangankan Canggah, Buyut saja sudah jarang ditemui. Istimewanya, keturunan
perempuan dan laki-laki memiliki kedudukan yang sama, juga leluhur dari pihak
ibu maupun ayah memiliki kedudukan yang sama pula, meskipun tetap laki-laki sebagai
pemimpin keluarga dan anak laki-laki tertua sebagai pengganti ayah dalam urusan
adat. Dari hal itu Kakek dari ayahku memiliki inisiatif membuat marga sendiri
yang melekat pada nama depan kami.
Leluhurku dari pihak ibu, nenekku
bernama mbah Sulami, mbah Buyutku Sastro Prawiro seorang Dukun di desa Prekul,
Madiun. Mbah Sulami menekuni ilmu kejawen namun memilih aliran putih, beliau
bisa berkomunikasi dengan sedulur pancernya, namun beliau tidak mau bersatu
dengan sang pancer dan memilih mengambil jalan hidupnya sendiri. Dalam ajaran
kejawen dikenal dengan sedulur papat , kelimo pancer ini sama dengan ajaran
Hindu yang disebut Kandapat. Setiap manusia lahir ke dunia selalu disertai oleh
4 saudaranya yakni kakang kawah (air ketuban), getih (darah), puser (pusar),
adi ari-ari (plasenta), keempatnya akan mewujud menjadi roh yang menjaga
manusia tersebut hingga nanti mati. Lalu kelimo pancer atau yang kelima adalah
duplikat atau sama persis atau kembaran kita, tetapi bukan roh manusia itu
sendiri. Jika manusia mati, maka rohnya akan ke alam yang ditentukan Tuhan,
sedangkan yang masih bisa kita jumpai di dunia ini secara alam gaib adalah
saudara pancernya.
Kakekku bernama Salam Hardjo
Prawiro, lahir dan besar di Solo lalu merantau dan menetap di tanah leluhur
nenekku. Mbah Buyut sama sekali tidak kuketahui. Kakekku mewariskan pusaka dari
leluhurnya ke menantu yang terpilih yakni ayahku. Jadi dalam masyarakat jawa
yang mendapat warisan baik ilmu maupun pusaka tidak selalu anak laki-laki
pertama, bahkan pewaris ilmu justru jatuh ke tangan murid yang tidak ada
hubungan darah. Pusaka tersebut berupa tombak, payung, tongkat pipih bukan
bulat seperti gagang tombak panjangnyapun setengah gagang tombak. Ketiganya
dari kayu jati dan ditaruh dalam rak senjata yang terbuat dari kayu yang sama.
Tombaknya tanpa sarung, dan ternyata aslinya ada sarungnya. Jadi, saat diberi
pusaka tersebut ayahku dan temannya membawa ketiga pusaka tersebut serta
tempatnya menggunakan sepeda motor dari Madiun sampai Magelang, herannya sepanjang
perjalanan meski banyak polisi namun tak ada seorangpun polisi yang menilang,
padahal panjang tombak membahayakan pengendara lain, dan tombak adalah senjata
tajam yang tidak bisa dibawa secara leluasa. Sesampainya di Magelang, sarung
tombak hilang, ayah merasa bersalah karena menghilangkan barang milik mertua
yang dipercayakan. Ayah berfikir kalau ke sana lagi akan meminta maaf. Namun
belum sempat ayah dan ibu ke Madiun lagi tiba-tiba datanglah surat dari kakek
yang berisi bahwa sarung tombak tidak mau ikut ke Magelang, sarungnya memilih
pulang ke Madiun.
Leluhur dari ayah, mbah Buyutku
Merto Karyo, beliau meninggal saat masih muda,jadi tak sempat melihat cucu.
Kakekku Mudjio, dialah yang berinisiatif membuat marga, mbah Djio meninggal
saat muda juga, jadi tak sempat melihat aku sebagai cucu pertamanya, demikian
juga ayahku meninggal sebelum melihat cucu dari aku. Kakekku terkenal jujur,
ulet, sabar, pada zamannya beliau adalah tukang ketik tercepat dengan sepuluh
jari. Dari riwayat kematian berdasarkan keturunan langsung dari pihak ayah,
maka sejak muda aku sudah siap mati kapanpun.
Nenekku Mukini, mbah Buyutku Joyo
Kus. Mbah Joyo Kus terkenal sebagai orang yang memiliki kelebihan di kampungku
kala itu. Beliau bisa membaca naga dina, bisa berkomunikasi dengan lelembut,
dan jika butuh ikan beliau tinggal membawa jaring ke sungai, duduk dan
jaringnya dibiarkan terbuka ke atas maka ikan-ikan akan berlompatan masuk
jaring. Setelah ikan dimasak untuk keluarga, beliau tidak makan. Beliau sering
menghadiri hajatan para lelembut, pesannnya ialah jangan sekali-kali memakan
atau meminum hidangan yang ada di dunia lelembut, karena jika manusia makan
atau minum tak akan bisa kembali ke alam manusia lagi. Juga perlu diperhatikan
jika suatu ketika kita dibelokkan atau tersesat di alam lelembut, perhatikan
baik-baik hati kita pasti memiliki sinyal yang janggal. Jangan sekali-kali
makan di sana, pasti bisa kembali. Mbah Joyo Kus meninggal saat ayah kecil,
beliau meninggalkan warisan ke ayah namun dititipkan ke muridnya, dan boleh
diambil setelah ayahku dewasa. Ketika ayahku dewasa, beliau datang ke murid
mbah Joyo Kus, dan diberi pesan, ayah harus melakukan puasa di hari wetonnya,
maka pusaka itu akan datang dengan sendirinya karena pusaka itu sudah sejodo dengan
pemiliknya.
Ibuku Mudjiati anak kelima dari
sepuluh bersaudara, ayahku Mudji Sih Topo sulung dari empat bersaudara. Nama
tersebut ialah nama asli pemberian
kakeku, dan perlu diketahui mbah Salam
dan Mbah Djio tidak saling kenal sebelumnya, ayah juga tidak buat sayembara
mencari istri dengan nama yang sama, Mereka bertemu saat ayah merantau ke Jawa
Timur sebagai seniman ketoprak. Di tanah kelahirannya ayah bergabung dalam
sebuah Teater yakni Teater Akha, juga sebagai bassist dangdut, bahkan punya bakat
melukis. Dan ketika bergelut di dunia seni maka ayah memakai nama panggung Eko.
Nama Eko tercantum juga dalam akte kelahiranku sampai ijazah terakhirku, namun
nama panggung tersebut tidak dipakai dalam akte kelahiran ketiga adikku. Ibu
gemar membaca, pelahap buku dan suka bereksperimen dengan tips-tips yang
dibacanya dari majalah. Hingga hari ini ibu tak perlu menggunakan kalkulator
jika mengoprasikan penjumlahan maupun perkalian, bahkan sampai perkalian ribuan
yaitu perkalian belanja. Hanya sayangnya mereka tidak punya kesempatan
mengenyam Pendidikan formal setinggi kami anak-anaknya. Gen yang turun pada
kami adalah gen seni ayah dan sains dari ibu.
Sejak peristiwa 1965 arah spiritual
bangsa ini bergeser, yang tadinya bebas berkeyakinan akhirnya diwajibkan hanya
memilih salah satu agama resmi negara. Baik keluarga besar ayah maupun ibu
terpencar dalam hal pemilihan agama resmi negara. Pernikahan antar agama hingga
tahun 80-an merupakan hal wajar. Akan tetapi aliran kepercayaan termasuk
Kejawen tetap hidup secara diam-diam di masyarakat disamping agama resmi
negara, kita sebut saja agama KTP. Jadi kebanyakan orang selain beribadah
sesuai dengan agama yang tercantum di KTP, praktek ajaran leluhur tak pernah
ditinggalkan. Hingga lambat laun angkatanku memilih salah satu agama KTP dan
hanya menjalani satu ajaran saja. Yang selalu ditekankan pada kami ialah :
“jangan lupa dari mana kamu berasal, jangan menjadi orang jawa yang hilang
jawanya.” Demikianlah hal yang ditanamkan kepada kami meskipun sudah memilih
agama A, jangan menganggap agama B sesat atau agama C salah. Jika agama A
ternyata paling benar belum tentu kelakuanku sama dengan ajaran agama A. Jadi sebagai manusia lebih baik jika
menghargai dan saling menghormati, jika ada waktu lebih akan lebih bijak jika
kita belajar agama lain atau aliran kepercayaan lain. Bersyukur sejak zaman Gus
Dur aliran kepercayaan diberi kebebasan lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar