“Apa yang pernah ada akan ada lagi,
dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi; tak ada sesuatu yang baru di bawah
matahari.” Salomo Alias Sulaiman Bin Daud 970 – 931SM. Demikian halnya dengan
wabah atau dalam bahasa jawa PAGEBLUG, yang muncul dalam sejarah dunia antara
lain Pes, Kolera, Influensa dan salah satu wabah pes paling terkenal ialah The Black Death 1300-an M. Jadi Covid-19 kali
ini bukan hal yang baru, banyak peristiwa serupa di tiap suku yang terlewat
dalam catatan sejarah. Di Nusantara ini sebelum peristiwa besar terjadi selalu
ada tanda dari alam yakni Lintang Kemukus, sebuah bintang yang memancarkan
cahaya lebih terang beberapa malam. Rupanya adik iparku melihat Lintang
tersebut sebelum Covid-19 merebak. Di tahun 1970-an, menurut pengalaman ibuku
yang masih SD saat itu terjadi peristiwa yang hampir sama yakni pagi sakit sore
mati, sore sakit pagi mati. Saat itu teknologi tak seperti hari ini,
pengetahuan rakyat juga masih terbatas. Berikut cerita ibuku.
Seorang nenek pedagang sayur lelesan (rebelan)
di pasar Sleko, Madiun. Pendek, pesek, berkulit putih beliau sering mampir ke
rumah ibuku yang jaraknya tak jauh dari water toren. Tidak diketahui siapa nama
aslinya dan di mana rumahnya orang-orang memanggilnya mbah Dunuk. Suatu hari
mbah Dunuk memerintah nenekku, “Nduk buatlah nasi kuning, pastikan sekeluarga
makan lalu berikan kepada tetangga yang mau saja minimal satu suapan, yang
tidak mau jangan dipaksa, Mulai malam ini kamu dan seisi rumahmu jangan tidur
satu arah. Tidurlah dengan posisi malang melintang, seperti hewan tidur.”
Nenekku menuruti perkataan mbah Dunuk tanpa banyak pertanyaan. Keesokan harinya
datanglah pageblug, setiap orang sakit yang di bawa ke rumah sakit selalu
meninggal. Dan ibuku jatuh sakit, nenekku bersikeras tidak mengijinkan anaknya
di bawa ke rumah sakit. Yang dilakukan mbah Dunuk adalah memintakan obat ke
mbah Kus, segelas air putih yang telah di doakan diminum dan di usapkan ke
pusar dan cuci muka. 4 hari kemudian ibuku sembuh.
Bulan
berikutnya mbah Dunuk membawa janur dan meminta nenekku memasang janur kuning
tersebut di depan rumah, juga tetangga yang mau pasang silakan yang tidak mau
tidak boleh dipaksa. Bahkan ada yang berkata “pemulung kok dipercaya”, yang
berkata demikian mati. Setelah pegeblug selesai orang-orang yang ikut
makan nasi kuning serta memasang janur semuanya selamat. Mbah Dunuk pamit ke
nenekku, “Sudah nduk, sekarang pageblug sudah selesai sudah aman, aku pamit
pulang. Kamu dan keluargamu selalu berdoa marang Gusti.” Sejak hari itu ibuku
tak pernah bertemu lagi dengan mbah Dunuk.
Mungkin dengan pengetahuan kita
sekarang penyelamatan mbah Dunuk dianggap klenik, tapi bagi keluargaku orang
seperti mbah Dunuk adalah malaikat yang Tuhan kirim untuk menolong kita. Ayahku
pernah mendapat pertolongan dari seseorang yang tak di kenal, Budeku menyebut
mas Juremi. Kelak akan kubuat cerita sendiri. Sepanjang hidupkupun aku sering
ditolong oleh orang yang tak ku kenal. Bagiku begitulah cara Tuhan menolong
manusia, dengan menyuruh sesama manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar