Selasa, 07 Januari 2020

DIA BUKAN ARWAH (Dukun Prewangan)




            “Setiap karya seni memiliki roh, tak terkecuali musik. Bukankah itu yang dikatakan d’rumus saat workshop kemarin.” Dani begitu bersemangat menjelaskan pada ketiga anggota band lainnya.
            “Bukan hanya itu saja Dani, ingat juga kata-kata doctor Memet.” Rudi menimpali. “Ada unsur harmoni, dinamika, dan yang penting satu misi dalam kelompok.”
            “Itu dia, kita harus punya roh yang sama. Kita akan melebihi idola kita d’rumus, jika kita melibatkan roh dalam karya kita.” Dani berkata setelah meletakkan cangkir kopinya.
            “Melibatkan roh? Maksudmu apa Dan.” Goprak menanggapi.
            “Begini.” Dani membetulkan posisi duduknya. “Kalian pasti pernah dengar, arwah orang  meninggal ada yang belum diterima di akhirat, mereka harus mengumpulkan sejumlah pahala di bumi untuk bekal ke akhirat, namun karena mereka tidak lagi memiliki tubuh fisik maka mereka menggunakan media manusia yang masih hidup.”
            “Dukun prewangan.” Mahesa memotong. “Aku tidak setuju dengan idemu. Meminta bantuan arwah memang bisa membuat kita jaya, namun karya yang kita hasilkan adalah karya arwah tersebut bukan karya kita. Bukankan kita sendiri punya daya kreativitas, lagipula jika kita membantu arwah maka pahala yang kita kerjakan akan dihitung sebagai pahala arwah tersebut.”
            “Tapi kreativitas kita hanya segini-segini saja, tak ada kemajuan Mahesa. Sekarang terserah kalian, mau ikut ideku atau kalian punya ide lain.” Kata Dani.
            “Jika kalian menggunakan cara dukun prewangan, maka aku memilih keluar dari Dargom.” Mahesa menegaskan. “Kita masih punya Tuhan yang bisa kita minta pertolongan Dan, Rud, Prak, Ingat itu.”
            “Jangan terbawa emosi teman-teman.” Goprak menengahi. “Kita sudah berusaha dan berdoa selama ini, namun belum juga berhasil. Lebih baik kita renungkan dulu pembicaraan kita hari ini, kamis depan kita berkumpul lagi di tempat ini untuk mengambil langkah. Mahesa, tolong jangan berfikir pendek untuk keluar, ingat nama band kita DARGOM yaitu singkatan dari Dani, Rudi, Goprak dan Mahesa.”
            “Baiklah, kita ketemu lagi kamis depan.” Rudi menutup diskusi malam itu.
            Malam semakin larut, tiap individu telah berada di kamar masing-masing. Rudi dan Goprak telah berpetualang di alam mimpi masing-masing. Sementara Dani tak mampu memejamkan mata, dipandangi gitar yang tergantung di dinding kamarnya, telinganya hanya menangkap suara detak jam dinding, namun pikirannya dipenuhi suara-suara yang selama ini ia dengar, seakan muncul silih berganti.
            “Maaf, genrenya apa ya kok tidak jelas pop bukan rock terlalu lembek.”
            “Berisik, tak bisa dinikmati.”
            “Jangan dengarkan kata orang, main musik mainkan saja sesuai suara hati.”
            “Tidak perlu ikuti pasar, bauatlah pasarmu sendiri.”
            “Mas, tujuannya untuk apa? Musik industri atau hanya koleksi pribadi.”
            “Genre musiknya tidak cocok untuk tahun ini, musik kalian cocoknya sepuluh tahun yang lalu. Ini bukan rock, ini lebih ke pop. Coba cari refrensi yang baru-baru.”
            “Lagunya tidak enak didengar.”
            “Coba cordnya jangan do sol fa, buat nada-nada tujuh, biar tidak umum nadanya.”
            “Menciptakan musik itu sesuai kata hati, kecuali musik pesanan seperti jingle suatu produk. Mereka yang berkomentar tidak membiayai musik kalian, kok kalian bingung. Kecuali tata krama di panggung itu boleh komentar. Tapi karya itu bersifat pribadi, suara hati kalian.”
            “Semakin lokal sebuah karya maka akan semakin berpotensi dikenal global.”
            “Kalian tentukan segmen pasarnya, apakah hanya didengar komunitas atau untuk komersil. Tentukan dulu tujuannya.”
            “Drum kalian beat semangat, tapi gitarnya tidak terlalu, vocalnya juga tidak mendukung, Jadi sebenarnya kiblat musik kalian ke mana?”
            “Lanjutkan saja, yang penting kalian punya karya sendiri itu sudah merupakan kelebihan, daripada punya kemapuan tinggi tapi hanya meniru.”
            Tak terasa Danipun terlelap, kata-kata diatas sebagian terbawa ke alam mimpi. Pada saat bersamaan, Mahesa memanjatkan doa.
            “Tuhan tolonglah dargom, jangan sampai kawan-kawanku mengambil jalan pintas hanya demi ketenaran. Namun jika kami tetap berbeda dalam langkah, maka ijinkan aku meninggalkan band ini. Amin.”

           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar