“Setiap karya seni memiliki roh, tak
terkecuali musik. Bukankah itu yang dikatakan d’rumus saat workshop kemarin.”
Dani begitu bersemangat menjelaskan pada ketiga anggota band lainnya.
“Bukan hanya itu saja Dani, ingat
juga kata-kata doctor Memet.” Rudi menimpali. “Ada unsur harmoni, dinamika, dan
yang penting satu misi dalam kelompok.”
“Itu dia, kita harus punya roh yang
sama. Kita akan melebihi idola kita d’rumus, jika kita melibatkan roh dalam
karya kita.” Dani berkata setelah meletakkan cangkir kopinya.
“Melibatkan roh? Maksudmu apa Dan.”
Goprak menanggapi.
“Begini.” Dani membetulkan posisi
duduknya. “Kalian pasti pernah dengar, arwah orang meninggal ada yang belum diterima di akhirat,
mereka harus mengumpulkan sejumlah pahala di bumi untuk bekal ke akhirat, namun
karena mereka tidak lagi memiliki tubuh fisik maka mereka menggunakan media
manusia yang masih hidup.”
“Dukun prewangan.” Mahesa memotong.
“Aku tidak setuju dengan idemu. Meminta bantuan arwah memang bisa membuat kita
jaya, namun karya yang kita hasilkan adalah karya arwah tersebut bukan karya
kita. Bukankan kita sendiri punya daya kreativitas, lagipula jika kita membantu
arwah maka pahala yang kita kerjakan akan dihitung sebagai pahala arwah
tersebut.”
“Tapi kreativitas kita hanya
segini-segini saja, tak ada kemajuan Mahesa. Sekarang terserah kalian, mau ikut
ideku atau kalian punya ide lain.” Kata Dani.
“Jika kalian menggunakan cara dukun
prewangan, maka aku memilih keluar dari Dargom.” Mahesa menegaskan. “Kita masih
punya Tuhan yang bisa kita minta pertolongan Dan, Rud, Prak, Ingat itu.”
“Jangan terbawa emosi teman-teman.”
Goprak menengahi. “Kita sudah berusaha dan berdoa selama ini, namun belum juga
berhasil. Lebih baik kita renungkan dulu pembicaraan kita hari ini, kamis depan
kita berkumpul lagi di tempat ini untuk mengambil langkah. Mahesa, tolong
jangan berfikir pendek untuk keluar, ingat nama band kita DARGOM yaitu
singkatan dari Dani, Rudi, Goprak dan Mahesa.”
“Baiklah, kita ketemu lagi kamis depan.”
Rudi menutup diskusi malam itu.
Malam semakin larut, tiap individu
telah berada di kamar masing-masing. Rudi dan Goprak telah berpetualang di alam
mimpi masing-masing. Sementara Dani tak mampu memejamkan mata, dipandangi gitar
yang tergantung di dinding kamarnya, telinganya hanya menangkap suara detak jam
dinding, namun pikirannya dipenuhi suara-suara yang selama ini ia dengar,
seakan muncul silih berganti.
“Maaf, genrenya apa ya kok tidak
jelas pop bukan rock terlalu lembek.”
“Berisik, tak bisa dinikmati.”
“Jangan dengarkan kata orang, main musik
mainkan saja sesuai suara hati.”
“Tidak perlu ikuti pasar, bauatlah
pasarmu sendiri.”
“Mas, tujuannya untuk apa? Musik
industri atau hanya koleksi pribadi.”
“Genre musiknya tidak cocok untuk
tahun ini, musik kalian cocoknya sepuluh tahun yang lalu. Ini bukan rock, ini
lebih ke pop. Coba cari refrensi yang baru-baru.”
“Lagunya tidak enak didengar.”
“Coba cordnya jangan do sol fa, buat
nada-nada tujuh, biar tidak umum nadanya.”
“Menciptakan musik itu sesuai kata
hati, kecuali musik pesanan seperti jingle suatu produk. Mereka yang
berkomentar tidak membiayai musik kalian, kok kalian bingung. Kecuali tata
krama di panggung itu boleh komentar. Tapi karya itu bersifat pribadi, suara
hati kalian.”
“Semakin lokal sebuah karya maka
akan semakin berpotensi dikenal global.”
“Kalian tentukan segmen pasarnya,
apakah hanya didengar komunitas atau untuk komersil. Tentukan dulu tujuannya.”
“Drum kalian beat semangat, tapi
gitarnya tidak terlalu, vocalnya juga tidak mendukung, Jadi sebenarnya kiblat
musik kalian ke mana?”
“Lanjutkan saja, yang penting kalian
punya karya sendiri itu sudah merupakan kelebihan, daripada punya kemapuan
tinggi tapi hanya meniru.”
Tak terasa Danipun terlelap,
kata-kata diatas sebagian terbawa ke alam mimpi. Pada saat bersamaan, Mahesa memanjatkan
doa.
“Tuhan tolonglah dargom, jangan
sampai kawan-kawanku mengambil jalan pintas hanya demi ketenaran. Namun jika
kami tetap berbeda dalam langkah, maka ijinkan aku meninggalkan band ini. Amin.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar