Senin, 24 Maret 2014

MAHAPRALAYA (bagian 1)


Hari telah terang tanah, embun mengambang, mentaripun perlahan bangun dari mimpi.Kabut mulai sirna, burung-burung riang bercengkrama di dahan-dahan pohon asam.Sebuah perkampungan di kaki bukit nampak mulai melakukan aktivitas.Tak ketinggalan di sebuah rumah tua dengan dinding dari anyaman bambu, beratapkan genting yang telah lumutan dimakan usia,seorang ibu muda nampak menyiapkan hidangan di dapur yang berjelaga. Rambut hitam disanggul kecil di belakang kepala,kulit kuning langsat, tinggi dan berat badan seimbang, mata bulat dihiasi bulu lentik dengan alis tipis, bibir tipis kemerahan, hidung pesek serasi dengan rahang. Ia mengenakan kain batik bercorak hitam, coklat dan putih. Tangannya lincah, cekatan namun penuh kehati-hatian menyiapkan nasi panas, tempe bacem, tahu bacem, ikan asin, sambal bawang, oseng-oseng kacang panjang, rambutan segar ditata rapi di atas daun pisang beralaskan tampah, tak ketinggalan teh panas, kental dan manis. Tanpa disadari seorang bocah laki-laki kira-kira berumur tiga perempat windu rambut bergelombang, mengenakan kain batik bertelanjang dada, berlari riang menghampirinya.
“Biyung, biyung… apakah Atma sudah boleh makan?Atma lapar.” Pintanya.
“Belum boleh Atma,” jawab biyungnya dengan sabar, “ ini adalah sesaji, kita persembahkan dulu kepada Sang Hyang Widi, setelah sembahyang dan mengucap syukur atas apa yang kita punya sampai saat ini, baru kita makan.”
“Baik biyung, jika demikian Atma bantu bapa saja untuk mempersiapkan perlengkapan sembahyang.”
“Iya nak.”
            Atmapun membantu bapanya mempersiapkan keperluan sembahyang. Bapanya seorang lalaki perkasa, dengan dada bidang, urat-urat dilengan menunjukkan ia pekerja keras, berbadan tegap, rambut hitam bergelombang, kulit kuning sedikit gelap dibanding istrinya,  Setelah segalanya siap, keluarga kecil ini pergi ke atas bukit bersama penduduk lainnya. Mereka menaiki tangga batu hingga sampai ke tempat pemujaan berbentuk lingga dan yoni sebagai simbol Dewa Siwa dan saktinya Bethari Durga. Sesaji dipersembahkan, do’a dipanjatkan, sang Pendeta yang telah berada di situ terlebih dahulu sebelum yang lain datang memimpin sembahyang, Rambut sang pendeta hampir seluruhnya beruban, disanggul diatas kepala, beliau mengenakan kain putih menutupi tubuhnya, ikat kepala putih, kerutan di dahi dan sekitar mata menunjukkan telah banyak makan asam garam kehidupan, tatapannya tenang penuh kewibawaan dan memancarkan kebijaksanan. Terdengar mantra dipanjatkan secara bersama-sama, suaranya memecah keheningan pagi, menggetarkan jagad raya, menyentuh dan menyejukan sanubari.
Oṃ bhūr bhuvaḥ svaḥ
tát savitúr váreṇ(i)yaṃ
bhárgo devásya dhīmahi
dhíyo yó naḥ pracodáyāt

            Usai sembahyang para penduduk kembali ke rumah masing-masing, demikian pula keluarga Atma. Mereka menyantap hidangan pagi itu dengan nikmat. Sesuai adat, tidak boleh ada suara saat makan apalagi bicara karena bisa menyebabkan tersedak, maka rasa dari setiap masakan bisa benar-benar dinikmati.Setelah semua kenyang dan acara sarapan berhenti, barulah perbincangan dimulai.
“Bapa, biyung…” tanya Atma, “ kenapa ikan asin itu asin? Sedangkan ikan dari laut yang masih segar rasanya tidak asin.”
“Memang ikan laut tidak asin, “ jawab bapanya, “ ikan asin sengaja diberi garam agar awet.”
“Agar awet, kenapa harus diawetkan? Bukankah lebih enak ikan segar?” Atma semakin penasaran.
“Setidaknya ada dua macam alasan dalam pengawetan makanan,” bapa Atman coba menjelaskan, “ pertama jika nelayan memperoleh hasil tangkapan ikan banyak, tidak semuanya habis dimakan hari itu juga maka ikan itu harus diawetkan agar bisa dimakan hari-hari berikutnya dan juga dikirim ke tempat jauh di pegunungan, jika tidak demikian ikan akan membusuk di hari kedua setelah penangkapan. Alasan kedua, para ksatria saat bepergian butuh perbekalan makanan jangka panjang karena tidak setiap tempat menemukan makanan segar apalagi saat peperangan, biasanya mereka membawa ikan asin dan daging asap.”
“Daging asap. Ya, biyung suka memasaknya bukan? Lalu kenapa garam dan asap bisa mengawetkan makanan?”
“Mengenai hal itu, biar biyungmu saja yang menjelaskan.”
“Bagaimana biyung?”
“Baiklah akan biyung jelaskan,” biyung Atma menanggapi, “ Pada dasarnya semua makanan mudah busuk. Kemudian manusia berusaha mencari penyebab pembusukan makanan dan berusaha mencegahnya.Ternyata ada mahluk hidup yang sangat kecil sekali hingga tak bisa dilihat dengan mata telanjang, orang kemudian menamakan bakteri.Bakteri inilah yang hidup dalam makanan, dan ketika ia makan, berkembang biak dan tentu saja buang kotoran maka terjadilah pembusukan makanan. Selain bakteri ada sejenis jamur yang bisa tumbuh dalam makanan.Agar mencegah pembusukan kita harus membunuh bakteri dan jamur tersebut.Bagaimana caranya?Sementara biyung jelaskan bakteri dulu agar mudah diingat.Kita harus tahu dulu apa penyebab mahluk hidup bisa bertahan hidup. Sama halnya manusia, hewan dan tumbuhan, semua makluk hidup termasuk bakteri mebutuhkan makanan, udara untuk bernafas dan air.Sampai di sini paham?”
“Ya paham, lanjutkan biyung.”
“Untuk membunuh bakteri kita harus menghilangkan salah satu dari ketiga unsur tadi. Makanan tidak mungkin dihapus, karena itu merupakan sumber makanan yang akan kita awetkan tadi. Udara selalu ada si setiap ruangan.Berarti tinggal kita kendalikan air yang terdapat dalam makanan tersebut.”
“Berarti kalau kita jemur sampai kering bisa mengawetkan makanan?”
“Benar itu yang telah dilakukan para leluhur untuk mengawaetkan cabai, padi, jagung, palawija serta pembuatan keripik dari umbi-umbian.Namun ikan dan dagin tak bisa dijemur sampai kering.Maka nenek moyang kita menemukan cara penawetan ikan dengan garam, asap untuk daging serta gula untuk buah-buahan agar tetap segar. “
“Bagaimana garam bisa mengurangi kadar air?”
            Belum sempat biyung Atma menjelaskan, tiba-tiba terdengar pintu di ketok.
“Selamat pagi, permisi.” Terdengar suara laki-laki dari luar
“Selamat pagi,” sahut orang yang di dalam secara bersamaan, Atma lansung berlari menemui tamu.
Seorang pria berbadan agak kurus, tingggi, mata bulat, tulang pipi menonjol, kulit sawo matang, rambut lurus, hidung besar menyapa  ramah.
“Pagi Atma,”
“Pagi paman Paimin dan paman Dalijo, kalian mau berburu dengan bapa ya”
“Benar Atma, bapamu sudah siap?” Jawab seorang lagi yang berbadan tambun, hidung pesek, rambut keriting, kulit putih, mata sipit, cambang lebat, wajah kemerah-merahan ditimpa matahari.
“Aku sudah siap.”Bapa Atma menjawab. Dia sudah berada di belakang Atma, di susul istrinya.
“Kang Bejo, ayo kita berangkat, kawan-kawan telah menunggu di rumah Santoso.”
Bejo jongkok di depan anaknya“Atma, bapa pergi berburu dulu ya.Jika kami mendapat rusa, nanti kita buat daging rusa asap. Kau jaga rumah dan biyungmu baik-baik ya.”
“Ya, bapa. Atma akan menunggu sampai bapa pulang.”
“Rayi, kakang pergi dulu ya.”Bejo berpamitan kepada istrinya. Kemudian Atma dan biyungnya mencium tangan Bejo.
“Yu Ratna, Atma, kami berangkat dulu”
“Hati-hati paman” Jawab Atma. Disusul dengan biyungnya
“Hati-hati kalian, ingatlah selalu eling dan waspada dalam segala tindakan.”
“Baiklah kami pergi.” Sahut mereka bertiga
Atma dan biyungnyapun melepas ketiganya dengan lambaian tangan dan diiringi do’a dalam hati agar Sang Hyang Widi selalu melindungi keluarga mereka dan juga kampung tempat mereka tinggal.
“Biyung, mari kita lanjutkan cara penawetan makanan tadi. “ Atma semakin ingin tahu.
“Baiklah.Atma tahu sungai mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah?”
“Tahu, tapi air dalam ikankan tidak mengalir?”
“Benar, tidak mengalir tetapi dapat berpindah. Air yang banyak dapat berpindah ketempat yang berair sedikit. Jadi dalam tubuh ikan terdapat banyak air, sedangkan dalam garam tidak ada airnya, maka air akan berpindah dari tubuh ikan keluar yaitu terserap oleh garam. Sebaliknya didalam tubuh ikan tidak ada garam, maka garam akan berpindah ke tubuh ikan sehingga rasanya asin.”
“Jadi karena dalam tubuh ikan tiada airnya maka bakteri tidak dapat hidup?”
“Bukan tidak ada air, tetapi sedikit air.Selain bakteri, jamur juga tidak dapat tumbuh.Ingat juga bahwa bakteri merupakan mahluk hidup yang memiliki air dalam tubuhnya, jika air dalam tubuh bakteri berpindah keluar karena garam, maka bakteri akan mati.”
“Saat dimasak, bukankah bakteri sudah mati.”
“Benar bakteri akan mati saat kita menggoreng, merebus atau membakar makanan.Tetapi setelah dingin maka bakteri yang beterbangan di udara akan hinggap ke makanan dan berkembang biak. Jadi walaupun awet tak ada makanan yang awet selamanya. Hanya saja makanansegar dapat busuk dalam tiga hari, jika diawetkan akan busuk juga tetapi sebulan atau dua bulan kemudian.”
“O..Atma mengerti sekarang. Kemudian bagaimana perpindahan air saat diberi asap.”
“Pada prinsipnya hampir sama, udara disekitar kita mengandung air berupa uap. Sebagai bukti saat malam hari udara dingin uap air yang terdapat dalam udara mengembun membasahi dedaunan dan segala seuatu di muka bumi ini, ketika mentari muncul embun tersebut menguap lagi bersatu dengan udara. Kita tidak tahu jumlah air dalam daging, juga tidak tahu jumlah air dalam udara sehingga tidak tahu bagaimana perpindahan air tersebut. Agar air bisa berpindah dari daging ke udara maka kita harus menghilangkan atau membuat kondisi dimana kadar airnya adalah nol. Saat kayu atau arang dibakar hasil pembakaran berupa api, panas, abu dan asap. Asap yang ditimbulkan selain panas juga tidak memiliki kandungan air. Jadi ada dua fungsi asap yaitu memanaskan daging sehingga air dalam daging menguap, kedua akan terjadi perpindahan air dari dalam daging ke asap.”

***
            Tujuh orang laki-laki berjalan meninggalkan kampung, mereka membawa busur lengkap dengan anak panahnya, tombak dan golok. Sampai di pertigaan belok kiri menuju hutan. Sesekali embun masih menetes dari dedaunan, semakin masuk ke dalam hutan sinar mentari terhalangi oleh rimbunnya daun-daun. Monyet-monyet bergelantungan, berebut dahan dengan burung-burung, Mereka melintasi rawa, bukit, semak belukar, sambil terus waspada terhadap sekelilingnya,
            Seekor rusa nampak asik merumput, tanpa disadari tujuh orang telah mengintainya, tiba-tiba anak panah melesat tujuh buah sekaligus. Dua anak panah meleset, sisanya mengenai pantat, dada, leher, kaki kiri dan pinggan. Tak ayal lagi, rusa lari tunggang langgang dengan sekuat tenaga dan para pemburupun mengejarnya. Saat rusa itu hampir kehabisan darah, langkahnya melambat dan akhirnya rebah. Para pemburu memeperlambat langkahnya karena merasa telah berhasil, dan jarak mereka kira-kira delapan tombak. Sekonyong-konyong melesat dua orang didepan mereka dengan menghunus golok.
“Berhenti!” hardiknya.
Mereka bertujuh langsung berhenti, dan mengamati kedua orang tersebut yang jika dilihat dari pakaiannya mereka adalah prajurit kerajaan, namun kenapa ada di hutan seperti ini. Belum sempat mereka berfikir, salah seorang dari prajurit itu bicara sambil tatapan matanya penuh kewaspadaan.
“Kalian dilarang melintasi hutan ini, ini adalah hutan larangan milik kerajaan.”
“Maaf Kisanak,” Paimin menjawab, “ kami bermaksud mengejar rusa buruan kami. Kami tidak tahu jika ini daerah terlarang, namuan ijinkanlah kami mengambil rusa itu kemudian kami akan pergi.”
“Tidak bisa, “ prajurit tadi tetap tegas, “segala sesuatu yang masuk wilayah kami adalah milik kami, lebih baik kalian pulang saja.’
“Kami tahu Kisanak berdua menjalankan tugas,” Paimin berusaha melunakkan hati sang prajurit, “tapi saudara kami init telah berjanji membawakan rusa untuk anaknya. Jika kami pulang tanpa hasil, betapa kecewanya anak istri kami, mereka sangat mengharapkan kami.”
“Maaf kisanak, “ prajurit yang satunya angkat bicara namun tidak terlalu bengis, “memang kami hanya menjalankan tugas, jika kami melanggar peraturan justru kamilah yang akan mendapat celaka, sebaiknya Kisanak bertujuh mencari lagi buruan.”
Dalijo tak bisa menahan emosi, “ Keras kepala sekali Kisanak, apa perlu ada pertumpahan darah diantara kita hanya untuk seekor rusa, mungkin bagi kalian itu tak berarti, tetapi bagi kami itu sangat berarti untuk makan anak istri kami.”
Dalijo menghunus golok, disusul dua temannya.
“Hentikan.” Bejo menahan kawan-kawannya, “ Untuk apa kita bertaruh nyawa hanya untuk hewan buruan, jika para prajurit ini tega memakan hasil jerih payah rakyatnya biarkan saja. Seorang prajurit seharusnya membela rakyatnya bukan mengambil makanan rakyatnya. Kawan-kawan mari kita pulang saja, biarlah anak istri kita lapar asalkan para prajurit ini kenyang, sudah menjadi sebuah cerita lama bahwa rakyat harus selalu mengalah dan tertindas.”
Tiba-tiba terdengar serombongan kuda, dari arah mereka bertujuh datang tadi. Ada enam ekor kuda, penumpangnya bukan sembarangan, dari pakaiannya kita bisa tahu bahwa mereka adalah para pemimpin pasukan kerajaan.”
Seorang yang ada di depan langsung bertanya, sementara kedua prajurit memberi hormat.
“Ada apa ini, apakah mereka penyusup.”
“Bukan Gusti,” salah seoarang prajurit menjelaskan, “mereka ini pemburu.”
Kemudian dia menceritakan apa yang baru saja terjadi. Orang yang dipanggil Gusti mendengarkan dengan seksama, sementara bejo hanya menunduk saat perbincangan.
“Prajurit,” kata orang di atas kuda, “ kalian telah melakukan tugas dengan baik, mereka juga orang yang patut kita lindungi, mereka telah susah payah mencari makanan untuk keluarga. Aturan harus ditegaskan, namun belas kasihan juga harus ada. Begini, mereka tetap dilarang memasuki kawasan kita, namun rusa itu adalah hak mereka. Jadi kalian ambilkan rusa itu dan serahkan kepada mereka.”
“Baik Gusti.” Keduanya menjawab serempak. Tanpa diperintahkan dua kali mereka langsung memberi aba-aba, dari persembunyian muncul empat prajurit lagi yang langsung membantu mengambil sekaligus menyerahkan bangkai rusa ke Paimin dan kawan-kawan.
“Terimakasih Gusti.” Paimin dan kawan kawan menghaturkan sembah ke para penunggang kuda yang langsung berlalu memasuki kawasan terlarang tersebut. Tiba-tiba salah seorang dari mereka menghentikan kudanya.
“Tunggu dulu.”mendadak semua berhenti, iapun berpaling dan turun dari kudanya. “Hei Kisanak kemarilah” Ia menunjuk Bejo, “Sepertinya aku mengenalmu?”
……….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar