Bejo memalingkan pandangan ke arah
orang yang memanggilnya, sontak semua orang memperhatikan mereka. Orang yang
memanggil Bejo berbadan tegap, sedikit lebih pendek dari Bejo, otot kekar
menunjukkan kedisiplinan dalam olah kanuragan, mengenakan ikat kepala hitam,
kulit kuning langsat sedikit gelap terbakar mentari, sebilah pedang terselip di
pinggang. Tanpa basa-basi memegang pundak Bejo.
“Prawiro,
Kau Prawiro bukan?”
“Nama
hamba Bejo,” Bejo menjawab dengan santun, “ hamba hanya petani biasa, seorang
rakyat jelata, mungkin tuan salah mengenali orang.”
“Bejo,
hmmm…” pria tadi bergumam sambil mengamati dengan seksama, “ Bejo, jadi namamu
sekarang diganti Bejo, baiklah apapun namamu tetapi apa benar Kisanak tak
mengingatku. Aku Sanjaya teman seperjuanganmu, dan kau telah menghilang sewindu
yang lalu.”
Paimin dan kawan-kawan terperanjat.
Santoso langsung menghampiri Bejo.
“Benarkah
apa yang dikatakannya? Benarkahbeliau ini temanmu? Saat pertama kali kau dan
Ratih datang ke desa kita, kau bilang dari lereng gunung Merbabu. Seorang
petani sudra yang mengembara mencari kehidupan baru. Tetapi kini seorang
pembesar kerajaan mengakuimu sebagai seorang teman, tolong jelaskan!”
Bejo langsung menjawab, “ Sudahlah,
mana mungkin aku berteman dengan bangsawan. Mari kita pulang. “ Setelah
berbicara ia memberi hormat dengan menyatukan kedua telapak tangan di depan
dada sambil sedikit menundukkan kepala kepada Sanjaya. “ Maaf tuan, pasti tuan
salah orang, saya mohon pamit.”
Bejo memalingkan tubuhnya hendak
pergi. Tanpa menanggapi perkataan Bejo, Sanjaya langsung melayangkan pukulan ke
wajah Bejo. Dengan cekatan Bejo menghindar, angin pukulan hanya mengenai pipi,
ia segera memasang kuda-kuda, dan benar saja Sanjaya langsung menyarangkan
pukulan kedua kearah ulu hati Bejo, Bejo hendak menangkap lengan Sanjaya, mengetahui hal itu Sanjaya dengan sigap menarik pukulannya. Bejo membalas serangan dengan tendangan ke arah perut Sanjaya
yang ditangkis dengan siku kanan. Pertarungan tangan kosong tak dapat
dielakkan. Beberapa jurus berlalu, tiba-tiba Bejo melarikan diri dan dikejar
oleh Sanjaya. Merasa kawannya terancam Santoso ikut mengejar bersama kelima
kawannya, namun belum sempat melangkah sejauh tombak, pimpinan orang berkuda
tadi menghentikan langkah mereka.
“Berhenti!”
hardiknya sambil menghalangi langkah Dalijo, “ Tidak perlu dikejar, mereka
adalah teman lama. Aku jamin tidak akan terjadi apa-apa.”
“Bagaimana
tuan tahu kalau mereka tidak akan mendapat celaka?” Paimin menyahut. Pimpinan
orang berkuda tadi turun dari kuda disertai kawan-kawanya.
“Kita tunggu
saja di sini, nanti kalian juga akan tahu, kami akan menemani kalian, biarkan
mereka bertarung.”
Paimin dan kawan-kawan terpaksa
menuruti kata-kata orang tersebut, sebab jika tidak tentu mereka akan berurusan
dengan prajurit-prajurit ini, tak diketahui juga berapa banyak yang sembunyi.
Dari segi jumlah mereka jelas kalah, akhirnya mereka hanya bisa diam dalam
kegelisahan tanpa harus tahu berbuat apa kecuali berdo’a.
Do’a jika yakin
didoakan sangat besar kuasanya. Saat manusia lemah, ketakutan, kawatir, cemas,
hilang kepercayaan diri, bimbang dan tak mampu berbuat apa-apa, hal yang bisa
dilakukan hanyalah berdoa menyerahkan segalanya kepada Sang pencipta alam
semesta ini. Manusia takkan mampu mengandalkan kekuatan sendiri, juga tak bisa
mengandalkan kekuatan manusia lain, ada saatnya manusia tak mengerti, tak
memahami, tak mampu berfikir, tak mampu bertindak, namun ingat ada Sang Hyang
Widhi, asal dari segala asal, tak berawal tak berakhir, tak bernama, Ia ada
sejak kekekalan sampai kekekalan, sumber dari segala sumber, Ia sangat besar
melampaui segala akal manusia, tak dapat terpikirkan. Ia sangat berkuasa
membuat yang tidak ada menjadi ada, tetapi Ia tak jauh dari kita, Ia bukan yang
tak dapat dijangkau, Ia hanya sejauh do’a. Itulah yang dilakukan Paimin dan
kawan-kawan demi keselamatan Bejo.
Sementara itu Bejo terus melesat
diantara pohon-pohon, menerobos semak-semak, meloncati pohon-pohon tumbang,
Sanjaya terus membuntuti. Mendadak Bejo berhenti, di depannya
jurang menganga lebar, sebatang sungai membelah di bawah. Sanjaya menyusul dan
berhenti di samping Bejo, mereka memandang luas ke depan, tak ada lagi niat
untuk bertarung.
“Kau tahu,” Bejo
memecah kebisuan mereka setelah mengambil nafas, “ Aku tak ingin kawan-kawanku
tahu siapa aku, aku ingin dikenal sebagai Bejo saja, seorang petani biasa
dengan gubuk kecilku. Aku ingin melihat anakku tumbuh dewasa, kuajari dia
berbagai-bagai ilmu pengetahuan.”
“Itu
sebabnya kau menghilang setelah mempersunting Ratna.”
“Benar,
aku ingin hidup tenang sebagai petani kecil, tak mau lagi terlibat dalam
peperangan. Aku ingin memberi kasih sayang kepada anakku.”
“Dan mengajari
anakmu menjadi pengecut? Seorang Manggala Yudha dari Kerajaan Galuh yang
berhati kecil, bersembunyi dengan topeng seorang petani, lari dari tanggung
jawabnya sebagai Ksatria. Itu yang ingin kau ajarkan pada anak cucumu?” Sanjaya
menanggapi dengan nada sinis.
Bejo
menatap alam dengan lepas, “ Setidaknya aku memberikan kasih sayang sepenuhnya
pada anakku, aku ingin dia merasakan apa yang tak pernah aku rasakan. Ayahku
gugur dalam pertempuran sebagai pahlawan, tanpa sempat melihatku tumbuh dewasa.
Aku ingin menjadi pahlawan untuk keluargaku“
“Kau tahu
Wiro, ayahmu pasti bersedih melihat tindakanmu. Beliau sangat ingin anaknya
menjalankan tuganya sebagi ksatria, Jika kau ingin melindungi anak istrimu,
lindungilah bangsamu. Kau tahu Kerajaan Galuh telah Runtuh? Prabu Sanna telah
gugur dalam pertempuran. Kini Jawa Dwipa kacau dibawah pimpinan Purbasora.”
“ Aku
tahu tentang hal itu, saat Gusti Prabu Sanna berkuasa, Jawa Dwipa hidup damai,
tentram, rakyat sejahtera, beliau memerintah dengan adil dan bijaksana. Kini
aku sebagai petani merasakan bagaimana susahnya hidup sebagi rakyat kecil, aku
melihat perbedaan yang sangat jauh antara pemerintahan Prabu Sanna dan
Purbasora. Tetapi aku tak peduli lagi dengan urusan kerajaan, aku ingin
melindungi keluargaku apapun yang terjadi.”
“Baiklah
jika itu pilihan hidupmu.” Sanjaya berbicara dengan lembut namun penuh penekanan,
“ Dengarkan aku, Sejak Kerajaan Galuh runtuh, Paman patih dan beberapa pengikut
setia Prabu Sanna melarikan ke sini. Di hutan Kedu ini kami tinggal untuk
menyusun kekuatan, itu sebabnya kami membuat peraturan hutan Kedu sebagai hutan larangan agar pergerakan kami
tidak diketahui. Aku berharap kau bisa kembali bergabung lagi dengan kami, kau
tak hanya bisa melindungi anak, istri serta kawan-kawan sedesamu, namun kau
bisa melindungi seluruh Jawa dwipa”
“Bukankah
tanpa aku masih banyak ksatria lain yang gagah perkasa.” Bejo ogah-ogahan
menjawab.
“Aku
hanya mengingatkan saja. Manusia dilahirkan dengan tugas masing-masing, seorang
Brahmana mengurus kerohanian setiap manusia. Seorang Sudra bekerja menghasilkan
bahan makanan, pakaian dan kebutuhan sehari-hari, para Waisya bertugas menjual
barang-barang kebutuhan rakyat dari satu tempat ke tempat lainnya agar bisa
merata. Tugas kita sebagai Ksatria adalah melindungi semuanya itu. Seorang
ksatria tak seharusnya melarikan diri, bersembunyi hanya untuk kepentingan diri
sendiri. Jadi aku mohon, kami sangat membutuhkan kemampuanmu dalam mengatur
strategi perang. Jadilah ksatria sejati. Pulanglah dan pikirkan kembali apa
tugas dan tanggung jawabmu”
***
Hari-hari terus berlalu tanpa pernah
berhenti, mentari hari ini adalah mentari kemarin, rembulan malam ini adalah rembulan
malam kemarin. Tak ada sesuatu yang baru di bawah mentari, sesuatu yang pernah
ada akan ada lagi. Air mengalir ke laut, tetapi laut tidak pernah penuh. Kehidupan
kaum jelata semakin susah, para bangsawan hanya memikirkan perut sendiri.
Setiap pergantian pemimpin berganti pula kebijaksanaan, berganti pula pola
hidup masyarakatnya, dan kehidupan yang lebih baik dari hari kemarin merupakan
impian setiap insan. Bejo semakin gelisah melihat nasib rakyat, hatinya
dipenuhi dengan bermacam-macam pikiran. Malam semakin larut, ia duduk termenung
memandangi pelita.
“Kakang belum
tidur?” tiba-tiba sang istri terbangun dari mimpinya, ia mendekati Bejo dan
duduk di sampingnya. “Apa yang menyebabkanmu murung, katakanlah.”
“Aku sedang
gelisah dinda. Hari-hari ini semakin jahat, seolah kegelapan menyelimuti jagad
raya. Perbudakan ada dimana-mana, rakyat tak mampu melawan, para pejabat hanya
mementingkan diri sendiri. Aku bingung harus berbuat apa. Di satu sisi aku
ingin selalu bersamamu untuk membesarkan buah hati kita, disisi lain aku ingin
kembali bergabung dengan Paman patih dan kawan-kawan seperjuanganku.”
“Kuatkan dan
teguhkan hatimu, bersandarlah pada Yang Kuasa, Sang Jiwa Besar pencipta jagad
raya. Cari tahu apa keinginanNya. Disatu sisi aku sangat senang kakang selalu
disampingku, tetapi di sisi lain aku juga sadar siapa suamiku sebenarnya,
seorang ksatria yang tidak hanya melindungi aku dan Atma, namun harus
melindungi rakyat banyak. Lebih baik sekarang kakang
tidur, malam telah larut. Besok pagi datanglah ke Pendeta, mintalah
nasihatnya.”
“Baiklah
dinda.” Bejo mencium istrinya, merekapun pergi ke pembaringan.
Pagi harinya, seusai sembahyang,
Ratna dan Atma pulang terlebih dahulu. Sementara Bejo tetap tinggal untuk
meminta nasihat. Bejo duduk bersila, sementara dihadapannya duduk Sang Pendeta.
“Guru,
apa yang harus kulakuakan?” Bejo menceritakan kegelisahannya.
Lelaki setengah baya dihadapannya memandang dengan seksaman, tatapannya
penuh kebijaksanan, suaranya berwibawa.
“Begini
anakku, Arjuna pernah bimbang saat di Medan Kurukshetra,
dalam kebimbangan tersebut Kresna
yang bertindak sebagai kusir kereta Arjuna memberikan berbagai-bagai nasehat.
Bukankah semuanya sudah tertulis dalam Bagavad Gita, dan kau tentunya sudah
mempelajarinya bukan?”
“Benar guru,
hamba telah mempelajarinya.”
“Nah sekarang
pulanglah baca dan renungkan kembali apa yang telah Krsna ajarkan.”
.........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar