Selasa, 01 April 2014

MAHAPRALAYA (Bagian 2)



            Bejo memalingkan pandangan ke arah orang yang memanggilnya, sontak semua orang memperhatikan mereka. Orang yang memanggil Bejo berbadan tegap, sedikit lebih pendek dari Bejo, otot kekar menunjukkan kedisiplinan dalam olah kanuragan, mengenakan ikat kepala hitam, kulit kuning langsat sedikit gelap terbakar mentari, sebilah pedang terselip di pinggang. Tanpa basa-basi memegang pundak Bejo.
“Prawiro, Kau Prawiro bukan?”
“Nama hamba Bejo,” Bejo menjawab dengan santun, “ hamba hanya petani biasa, seorang rakyat jelata, mungkin tuan salah mengenali orang.”
“Bejo, hmmm…” pria tadi bergumam sambil mengamati dengan seksama, “ Bejo, jadi namamu sekarang diganti Bejo, baiklah apapun namamu tetapi apa benar Kisanak tak mengingatku. Aku Sanjaya teman seperjuanganmu, dan kau telah menghilang sewindu yang lalu.”
            Paimin dan kawan-kawan terperanjat. Santoso langsung menghampiri Bejo.
“Benarkah apa yang dikatakannya? Benarkahbeliau ini temanmu? Saat pertama kali kau dan Ratih datang ke desa kita, kau bilang dari lereng gunung Merbabu. Seorang petani sudra yang mengembara mencari kehidupan baru. Tetapi kini seorang pembesar kerajaan mengakuimu sebagai seorang teman, tolong jelaskan!”
            Bejo langsung menjawab, “ Sudahlah, mana mungkin aku berteman dengan bangsawan. Mari kita pulang. “ Setelah berbicara ia memberi hormat dengan menyatukan kedua telapak tangan di depan dada sambil sedikit menundukkan kepala kepada Sanjaya. “ Maaf tuan, pasti tuan salah orang, saya mohon pamit.”
            Bejo memalingkan tubuhnya hendak pergi. Tanpa menanggapi perkataan Bejo, Sanjaya langsung melayangkan pukulan ke wajah Bejo. Dengan cekatan Bejo menghindar, angin pukulan hanya mengenai pipi, ia segera memasang kuda-kuda, dan benar saja Sanjaya langsung menyarangkan pukulan kedua kearah ulu hati Bejo, Bejo hendak menangkap lengan Sanjaya, mengetahui hal itu Sanjaya dengan sigap menarik pukulannya. Bejo membalas serangan dengan tendangan ke arah perut Sanjaya yang ditangkis dengan siku kanan. Pertarungan tangan kosong tak dapat dielakkan. Beberapa jurus berlalu, tiba-tiba Bejo melarikan diri dan dikejar oleh Sanjaya. Merasa kawannya terancam Santoso ikut mengejar bersama kelima kawannya, namun belum sempat melangkah sejauh tombak, pimpinan orang berkuda tadi menghentikan langkah mereka.
“Berhenti!” hardiknya sambil menghalangi langkah Dalijo, “ Tidak perlu dikejar, mereka adalah teman lama. Aku jamin tidak akan terjadi apa-apa.”
“Bagaimana tuan tahu kalau mereka tidak akan mendapat celaka?” Paimin menyahut. Pimpinan orang berkuda tadi turun dari kuda disertai kawan-kawanya.
“Kita tunggu saja di sini, nanti kalian juga akan tahu, kami akan menemani kalian, biarkan mereka bertarung.”
            Paimin dan kawan-kawan terpaksa menuruti kata-kata orang tersebut, sebab jika tidak tentu mereka akan berurusan dengan prajurit-prajurit ini, tak diketahui juga berapa banyak yang sembunyi. Dari segi jumlah mereka jelas kalah, akhirnya mereka hanya bisa diam dalam kegelisahan tanpa harus tahu berbuat apa kecuali berdo’a.
            Do’a jika yakin didoakan sangat besar kuasanya. Saat manusia lemah, ketakutan, kawatir, cemas, hilang kepercayaan diri, bimbang dan tak mampu berbuat apa-apa, hal yang bisa dilakukan hanyalah berdoa menyerahkan segalanya kepada Sang pencipta alam semesta ini. Manusia takkan mampu mengandalkan kekuatan sendiri, juga tak bisa mengandalkan kekuatan manusia lain, ada saatnya manusia tak mengerti, tak memahami, tak mampu berfikir, tak mampu bertindak, namun ingat ada Sang Hyang Widhi, asal dari segala asal, tak berawal tak berakhir, tak bernama, Ia ada sejak kekekalan sampai kekekalan, sumber dari segala sumber, Ia sangat besar melampaui segala akal manusia, tak dapat terpikirkan. Ia sangat berkuasa membuat yang tidak ada menjadi ada, tetapi Ia tak jauh dari kita, Ia bukan yang tak dapat dijangkau, Ia hanya sejauh do’a. Itulah yang dilakukan Paimin dan kawan-kawan demi keselamatan Bejo.
            Sementara itu Bejo terus melesat diantara pohon-pohon, menerobos semak-semak, meloncati pohon-pohon tumbang, Sanjaya terus membuntuti. Mendadak Bejo berhenti, di depannya jurang menganga lebar, sebatang sungai membelah di bawah. Sanjaya menyusul dan berhenti di samping Bejo, mereka memandang luas ke depan, tak ada lagi niat untuk bertarung.
“Kau tahu,” Bejo memecah kebisuan mereka setelah mengambil nafas, “ Aku tak ingin kawan-kawanku tahu siapa aku, aku ingin dikenal sebagai Bejo saja, seorang petani biasa dengan gubuk kecilku. Aku ingin melihat anakku tumbuh dewasa, kuajari dia berbagai-bagai ilmu pengetahuan.”
“Itu sebabnya kau menghilang setelah mempersunting Ratna.”
“Benar, aku ingin hidup tenang sebagai petani kecil, tak mau lagi terlibat dalam peperangan. Aku ingin memberi kasih sayang kepada anakku.”
“Dan mengajari anakmu menjadi pengecut? Seorang Manggala Yudha dari Kerajaan Galuh yang berhati kecil, bersembunyi dengan topeng seorang petani, lari dari tanggung jawabnya sebagai Ksatria. Itu yang ingin kau ajarkan pada anak cucumu?” Sanjaya menanggapi dengan nada sinis.
Bejo menatap alam dengan lepas, “ Setidaknya aku memberikan kasih sayang sepenuhnya pada anakku, aku ingin dia merasakan apa yang tak pernah aku rasakan. Ayahku gugur dalam pertempuran sebagai pahlawan, tanpa sempat melihatku tumbuh dewasa. Aku ingin menjadi pahlawan untuk keluargaku“
“Kau tahu Wiro, ayahmu pasti bersedih melihat tindakanmu. Beliau sangat ingin anaknya menjalankan tuganya sebagi ksatria, Jika kau ingin melindungi anak istrimu, lindungilah bangsamu. Kau tahu Kerajaan Galuh telah Runtuh? Prabu Sanna telah gugur dalam pertempuran. Kini Jawa Dwipa kacau dibawah pimpinan Purbasora.”
“ Aku tahu tentang hal itu, saat Gusti Prabu Sanna berkuasa, Jawa Dwipa hidup damai, tentram, rakyat sejahtera, beliau memerintah dengan adil dan bijaksana. Kini aku sebagai petani merasakan bagaimana susahnya hidup sebagi rakyat kecil, aku melihat perbedaan yang sangat jauh antara pemerintahan Prabu Sanna dan Purbasora. Tetapi aku tak peduli lagi dengan urusan kerajaan, aku ingin melindungi keluargaku apapun yang terjadi.”
“Baiklah jika itu pilihan hidupmu.” Sanjaya berbicara dengan lembut namun penuh penekanan, “ Dengarkan aku, Sejak Kerajaan Galuh runtuh, Paman patih dan beberapa pengikut setia Prabu Sanna melarikan ke sini. Di hutan Kedu ini kami tinggal untuk menyusun kekuatan, itu sebabnya kami membuat peraturan hutan Kedu  sebagai hutan larangan agar pergerakan kami tidak diketahui. Aku berharap kau bisa kembali bergabung lagi dengan kami, kau tak hanya bisa melindungi anak, istri serta kawan-kawan sedesamu, namun kau bisa melindungi seluruh Jawa dwipa”
“Bukankah tanpa aku masih banyak ksatria lain yang gagah perkasa.” Bejo ogah-ogahan menjawab.
“Aku hanya mengingatkan saja. Manusia dilahirkan dengan tugas masing-masing, seorang Brahmana mengurus kerohanian setiap manusia. Seorang Sudra bekerja menghasilkan bahan makanan, pakaian dan kebutuhan sehari-hari, para Waisya bertugas menjual barang-barang kebutuhan rakyat dari satu tempat ke tempat lainnya agar bisa merata. Tugas kita sebagai Ksatria adalah melindungi semuanya itu. Seorang ksatria tak seharusnya melarikan diri, bersembunyi hanya untuk kepentingan diri sendiri. Jadi aku mohon, kami sangat membutuhkan kemampuanmu dalam mengatur strategi perang. Jadilah ksatria sejati. Pulanglah dan pikirkan kembali apa tugas dan tanggung jawabmu”

***
            Hari-hari terus berlalu tanpa pernah berhenti, mentari hari ini adalah mentari kemarin, rembulan malam ini adalah rembulan malam kemarin. Tak ada sesuatu yang baru di bawah mentari, sesuatu yang pernah ada akan ada lagi. Air mengalir ke laut, tetapi laut tidak pernah penuh. Kehidupan kaum jelata semakin susah, para bangsawan hanya memikirkan perut sendiri. Setiap pergantian pemimpin berganti pula kebijaksanaan, berganti pula pola hidup masyarakatnya, dan kehidupan yang lebih baik dari hari kemarin merupakan impian setiap insan. Bejo semakin gelisah melihat nasib rakyat, hatinya dipenuhi dengan bermacam-macam pikiran. Malam semakin larut, ia duduk termenung memandangi pelita.
“Kakang belum tidur?” tiba-tiba sang istri terbangun dari mimpinya, ia mendekati Bejo dan duduk di sampingnya. “Apa yang menyebabkanmu murung, katakanlah.”
“Aku sedang gelisah dinda. Hari-hari ini semakin jahat, seolah kegelapan menyelimuti jagad raya. Perbudakan ada dimana-mana, rakyat tak mampu melawan, para pejabat hanya mementingkan diri sendiri. Aku bingung harus berbuat apa. Di satu sisi aku ingin selalu bersamamu untuk membesarkan buah hati kita, disisi lain aku ingin kembali bergabung dengan Paman patih dan kawan-kawan seperjuanganku.”
“Kuatkan dan teguhkan hatimu, bersandarlah pada Yang Kuasa, Sang Jiwa Besar pencipta jagad raya. Cari tahu apa keinginanNya. Disatu sisi aku sangat senang kakang selalu disampingku, tetapi di sisi lain aku juga sadar siapa suamiku sebenarnya, seorang ksatria yang tidak hanya melindungi aku dan Atma, namun harus melindungi rakyat banyak. Lebih baik sekarang kakang tidur, malam telah larut. Besok pagi datanglah ke Pendeta, mintalah nasihatnya.”
“Baiklah dinda.” Bejo mencium istrinya, merekapun pergi ke pembaringan.
            Pagi harinya, seusai sembahyang, Ratna dan Atma pulang terlebih dahulu. Sementara Bejo tetap tinggal untuk meminta nasihat. Bejo duduk bersila, sementara dihadapannya duduk Sang Pendeta.
“Guru, apa yang harus kulakuakan?” Bejo menceritakan kegelisahannya.
Lelaki setengah baya dihadapannya memandang dengan seksaman, tatapannya penuh kebijaksanan, suaranya berwibawa.
“Begini anakku, Arjuna pernah bimbang saat di Medan Kurukshetra, dalam kebimbangan tersebut        Kresna yang bertindak sebagai kusir kereta Arjuna memberikan berbagai-bagai nasehat. Bukankah semuanya sudah tertulis dalam Bagavad Gita, dan kau tentunya sudah mempelajarinya bukan?”
“Benar guru, hamba telah mempelajarinya.”
“Nah sekarang pulanglah baca dan renungkan kembali apa yang telah Krsna ajarkan.”
.........







Tidak ada komentar:

Posting Komentar