Kamis, 13 Maret 2014

KEPUNG GELANG : Antara Sejarah dan Mitos Makam Kyai Spanjang


Sunyi, sepi, gelap dan angker, itulah kesan yang ada dalam pikiran kita jika mendengar kata makam. Sebuah monumen kehidupan masa lalu, dimana kematian manusia yang tak mungkin dihindari meninggalkan jasadnya. Jasad-jasad tak bernyawa ini dikuburkan secara rapi berkelompok-kelompok dalam apa yang dinamakan makam. Makam merupakan prasasti tentang keluarga, nenek moyang, orang-orang ternama dari masa lampau. Batu nisan seolah menceritakan bahwa pernah ada manusia yang hidup dengan nama dan waktu hidup terpahat. Sebuah makam kadang hanya menjadi gundukan tanah tak terurus, ditumbuhi semak dan duri sampai waktu menggilas dan hilang tak berbekas. Makam lainnya terawat rapi, dibersihkan dan ditaburi bunga setiap hari-hari tertentu, tiga generasi kemudian nasibnyapun tak terurus dan hilang tanpa ada seorangpun menanyakannya. Ada pula makam yang berumur ratusan tahun masih terawat rapi, dikunjungi banyak orang bahkan orang-orang yang tak ada hubungan darah sekalipun. Makam-makam ini banyak tersebar di tanah jawa, biasanya adalah makam-makam orang ternama pada masanya. Entah dia orang bijak maupun jahat, orang yang pernah berjasa bagi negara atau kampung. Dan selalu ada cerita dibalik makam peninggalan nenek moyang kita.

Di tengah pulau jawa ada sebuah gunung yang terletak di kota Magelang, gunung ini terkenal dengan sebutan gunung Tidar. Entah kenapa dinamakan gunung, karena jika kita lihat hanya sebuah bukit yang sangat tinggi dan hanya perlu waktu sekitar 30 menit berjalan kaki menuju puncaknya. Di sepanjang perjalanan ke puncak,  jika kita mulai dari kelurahan Magersari, kita akan menemukan makam Syekh Subakir, Kyai Spanjang dan Kyai Semar. Makam Kyai Spanjang atau labih dikenal dengan sebutan Mbah Panjang, merupakan makam sebuah tombak karena makamnya sangat panjang sekali lebih dari dua kali ukuran manusia dewasa. Banyak versi mengenai makam tersebut, setidaknya ada dua versi yang ingin penulis sampaikan di sini mengenai siapa sesungguhnya Kyai Spanjang tersebut. Cerita pertama dikatakan bahwa gunung Tidar merupakan gunung yang sangat angker pada saat Kedu  merupakan hutan belantara, hingga siapapun yang mendekat kalau tidak “mati” ya “modar” (modar = mati bahasa jawa tetapi konotasinya kasar). Maka dari singkatan inilah muncul nama Tidak (mati-modar). Syekh subakir seorang penyebar agama Islam datang ke tanah jawa menahlukan jin-jin penunggu gunung Tidar. Senjatanya berupa tombak bernama Kyai Spanjang. Ketika wafat senjata dan pemiliknya dimakamkan di gunung tersebut.

Versi lain menceritakan pada zaman Mataram Islam berkuasa, ada seorang buronan kerajaan bernama Jaka Spanjang yang diburu oleh tentara Mataram. Ada dua kisah juga dalam ketokohannya, ada yang menceritakan Jaka Spanjang seorang pemberontak, lainnya mengatakan dia seorang pejuang yang menuntut keadilan. Sama halnya Rangga Lawe di zaman awal Majapahit. Rangga Lawe dianggap pemberontak oleh Majapahit, tetapi dia adalah pahlawan yang menuntut keadilan bagi rakyat Tuban. Saat pengejaran, Jaka Spanjang melarikan diri ke gunung Tidar. Karena gunung ini tidak terlalu besar maka dikerahkan seluruh pasukan Mataram untuk mengepung gunung Tidar. Para prajurit melingkari gunung mulai dari bawah dengan jarak antar prajurit cukup rapat, kemudian secara serentak menyusuri gunung sampai puncaknya. Pengepungan model ini terkenal dengan sebutan “Kepung Gelang” (dikepung seperti gelang), dari peristiwa kepung gelang inilah muncul nama Magelang. Sesampainya di puncak tak seorangpun prajurit yang bertemu dengan Jaka Spanjang, di puncak bukit mereka hanya menemukan sebuah tombak. Tombak inilah yang dimakamkan sebagai makam Kyai Spanjang.

Ada dua dugaan dalam peristiwa kepung gelang, prajurit tidak tahu pasti apakah tombak tersebut jelmaan Jaka Spanjang atau senjatannya, karena sejak peristiwa itu Jaka Spanjang tidak muncul lagi. Banyak yang percaya bahwa tombak Kyai Spanjang adalah jelmaan Jaka Spanjang, tetapi banyak juga yang percaya bahwa tombak tersebut hanyalah senjata sedangkan Jaka Spanjang melarikan diri lewat gua tawon. Gua tawon adalah gua sempit kira-kira satu orang saja bisa masuk. Gua ini pernah diisi batu untuk pembangunan jalan aspal menuju puncak. Harapannya akan dibangun vila diatas gunung, namun karena sudah puluhan truk batu yang mengisi gua dan tidak penuh juga, juga tak diketahui berapa dalamnya, maka proyek dihentikan. Konon kabarnya gua tawon ini tembus sampai pantai selatan, dan Jaka Spanjang lari melalui jalur ini saat peristiwa kepung gelang. Tetapi siapa juga yang ingin membuktikannya? Jika ada yang ingin membuktikan silakan, carilah di punggung gunung sisi selatan dari arah kampung mBaben, gua ini tertutup semak-semak di samping jalan setapak sehingga butuh pemandu untuk menemukannya.

Setidaknya ada dua versi siapa Kyai Spanjang yaitu senjata Syekh Subakir atau seorang buronan Mataram. Ada dua mitos pula tentang seorang buronan yaitu pahlawan atau pemberontak. Ada dua kemungkinan tentang tombak yang ditemukan prajurit Mataram, jelmaan Jaka Spanjang atau senjatanya. Belum diketahui dengan pasti mana yang benar, tetapi merupakan fakta bahwa ada dua makam Kyai Spanjang. Keduanya sama-sama panjang dan mitosnya berisi tombak. Yang pertama di gunung Tidar, makam kedua di jantung kota Magelang tepatnya di kelurahan Panjang. Nama kelurahan inipun asalnya dari adanya makam Kyai Spanjang (mbah Panjang). Makam di kelurahan Panjang inipun menempati dua tempat. Awalnya berada di sisi utara kelurahan, yaitu di kampung Losmenan, sekarang tepatnya di belakang PLN. Karena terletak di jantung kota dan daerah tersebut semakin ramai, maka Dinas Kebudayaan Kota Magelang memindahkan ke tempat yang sekarang yaitu di ujung kampung Bogeman Wetan. Tempat tersebut dahulu sangat sepi, dikelilingi persawahan dan hutan bambu. Kota terus berkembang, di depan makam dibangun jalan tembus, hingga saat ini Makam Mbah Panjang ramai dikelilingi penduduk. Tak ada lagi kesan angker bagi masyarakat sekitarnya, tetapi bagi orang yang mengkultuskan makam, makam tersebut tetap keramat. Konon saat pemindahan, tombak Kyai Spanjang diangkat secara gaib oleh orang-orang sakti, jadi tidak ada yang pernah melihat wujudnya.


MAKNA MAKAM

Pak Tukiman atau lebih dikenal Pak Mantuk, seorang setengah baya berbadan tambun dipercaya menjadi juru kunci Makam Kyai Spanjang. Dia bukan seorang yang sakti mandraguna atau punya kelebihan lain kecuali kelebihan berat badannya, beliau menjadi juru kunci kareana rumahnya persis di belakang makam. Setiap peziarah pasti ijin dulu pada sang kuncen (juru kunci), dan jika ingin banyak informasi tentang sejarah kota Magelang tanyakan saja padanya. Karena beliau mendapat pendidikan serta serta sertifikat dari Dinas Kebudayaan Kota, dan punya SK sebagai juru kunci. Saat ini pak mantuk dipercaya pula oleh warga menjadi ketua RT.
Makam mbah Panjang seperti kuburan pada umumnya namun dipagari, di tengah kuburan ada pusara khusus yaitu makam mbah Panjang. Makam ini dikelilingi tembok tetapi tidak beratap, di depan makam ada pintu untuk keluar masuk peziarah. Sebelum masuk pintu kita harus melewati pendopo berbentuk joglo di depannya. Di pojok kanan komplek pemakaman terdapat pintu gerbang, di sisinya ada pos kamling. Di pendopo makam inilah pak Mantuk dan kawan-kawanya sering berkumpul untuk diskusi spiritual. Selain itu, pendopo ini juga dipakai untuk kumpulan RT dan malam tirakatan 17 agustus. Tiap malam hampir selalu ada orang di makam, ditambah lagi ada warung-warung makanan di depan makam. Makam mbah panjang di tengah kota memang sudah ramai, tetapi makna makam tetap tidak luntur sebagai monumen sejarah tentang masa lampau.

Diantara yang hadir di makam ada pak Titis ketua RW yang peduli dengan kebudayaan dan ajaran leluhur jawa. Pak Domo seorang Kejawen tulen yang mengerti banyak hal, dalam bidang ilmu kebatinan beliau sedikit lebih tinggi dari sang juru kunci. Pak No seorang yang sederhana, hidup untuk keluarga tanpa banyak bicara, namun kadang dianggap remeh oleh orang lain. Pak Trimo anak seorang pemuka agama Islam, beliau seorang guru ngaji, fanatik tetapi sangat menghormati agama lain dan mau berbaur mendengarkan orang lain. Pak Topo, seorang Kristen. Masih banyak orang-orang yang turut andil dalam perbincangan di makam, mulai dari politik, sosial, ekonomi sampai jagad lelembut di bahas. Setiap jam 12 malam beberapa orang sowan (menghadap) ke mbah Panjang. Kecuali pak Trimo dan pak Topo yang dipastikan sudah pulang tidak ikut ritual.

Malam itu udara cukup dingin, hujan baru saja selesai mengguyur kota getuk. Makam mbah Panjang tetap diam membisu, lampu di pendopo menerangi orang-orang yang berkumpul di sana. Dengan wajah letih pak No datang bergabung, setelah menghela nafas iapun mengeluh
“Sial-sial, hari ini benar-benar sial. Aku sudah bekerja seharian, namun apa yang kudapat? Tak sesenpun. Entah apa yang salah dalam hidupku.”
“Kenapa marah-marah?” tungkas pak Mantuk, “kita seharusnya tidak perlu menanggapi masalah dengan amarah, bukankah rejeki ada yang mengatur.”
“Aku juga tahu, tapi aku cukup lelah hari ini.” Jawab pak No, “aku sudah berdoa, aku berharap dapat penumpang sehingga dapurku bisa mengepul. “ Setelah diam sejenak menegatur nafas, “ Seorang tukang becak sepertiku seolah tak ada harapan, hari-hari ini setiap manusia sudah bisa punya sepeda motor sendiri dengan sedikit uang. Karena barang-barang kridit inilah maka angkutan umum tak laku lagi, semua sudah memakai sepeda motor kridit.”
“Pak No, “ pak Mantuk bicara dengan nada rendah, “kita ini di sini tiap malam tirakat bersama, saling berbagi dan mengingatkan. Ada tiga prinsip yang harus kita pegang yaitu eling, sabar lan waspada (ingat, sabar dan waspada)”
“Ya, ya, aku mengerti. Tapi apa kaitanya dengan kesialanku hari ini?”
“Bukan sial, tapi belum waktunya. Eling yaitu kita harus selalu ingat pada Sang pencipta, Dia yang sudah membagi-bagi rejeki pada setiap orang secara adil. Sabar artinya kita sedang diuji apakah dengan tidak diberi rejeki kita masih ingat pada Sang pencipta atau marah-marah seperti tadi. Waspada, jangan sampai hal-hal remeh temeh mengganggu hubungan kita dengan Sang pencipta.”
“Ya, ya, aku sedikit paham, “ dengan manggut-manggut pak No menurunkan nada suaranya, ia mulai sedikit reda amarahnya, “ bukankah aku harus eling, sabar lan waspada.”
“Benar pak No, “ tambah pak Topo “ coba perhatikan burung-burung di udara yang tidak pernah menanam namun Gusti Allah memberi makan, lihat pula bunga-bunga di taman tidak pernah menenun tetapi didandaniNya dengan cantik. Bukankah kita melebihi burung-burung itu. Kita tidak perlu takut lapar maupun telanjang karena Tuhan menyediakannya bagi semua orang. Sama halnya hujan tadi sore, diberikan kepada orang jahat maupun baik, demikian juga dengan rejeki, Tuhan sudah mengaturnya.”
“Jika demikian saya salah tadi, “ pak No agak menyesal.
“Bukan salah tapi khilaf,” pak Trimo menyahut, “sesuatu yang wajar jika manusia emosi, tapi paling baik adalah menyadari kasalahannya dan ingat pada Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang.”

Malampun semakin larut, gorengan dan kopi menyisakan bekasnya, entah siapa yang memulai, perbincangan berlanjut mengenai serombongan peziarah yang datang tadi sore sebelum hujan turun. Merera melakukan ritual di pusara Kyai Spanjang, setelah ijin dan diantarkan pak Mantuk tentunya.
“Aneh, sungguh aneh, “ pak No bingung, “ kenapa orang jauh-jauh datang dari luar kota bahkan luar provinsi untuk berziarah ke sini. Padahal jika mereka mau di kampungnya pasti ada makam orang-orang sakti zaman nenek moyang kita. Demikian juga orang-orang Magelang, di kampung ini saja ada makam Ki Bogem, Nyai Bogem, Ki Dongso, Nayi Dongso para pendiri kampun Bogeman, makam Kyai Kramat pendiri kampung Keramat dan masih banyak yang lainya. Tetapi justru orang Magelang jauh-jauh berziarah ke makam di luar kota. Sebenarnya apa makna makam bagi peziarah ini?”
Suasana hening sejenak, tiba-tiba pak Topo memecah keheningan “ Lha pak No sendiri apa tujuannya ziarah ke makam?”
“Mencari ketenangan.” Jawabnya singkat
“Maksudnya?”
“Dalam ritual jawa ada yang dinamakan nyepi dan nepi. Nyepi adalah mencari suasana sunyi dan tenang untuk merenungi ke dalam jiwa kita, tempatnya bisa di kamar atau dimana saja yang penting sepi. Sedangkan nepi adalah menuju ke tepi atau mengundurkan diri dari keramaian untuk mencari keheningan. Saya rasa di sini cukup untuk nepi.”
“Tujuannya?”
Neng, Ning, Nung. Singkatan dari meneng, wening, dunung. Meneng (diam), adalah kondisi dimana kita diam meresapi dan merasakan alam di sekitar kita, mencari makna dalam hidup ini. Wening (hening), artinya kondisi setelah diam dimana ada ketenangan dan benar-benar sunyi, hanya ada roh kita dan menghilangkan keinginan duniawi. Setelah itu kita mengerti dunung yaitu asal mula dari sesuatu, kita bisa meresapi dari mana kita berasal, dan mensyukuri keberadaan kita hingga berhubungan langsung dengan Sang pencipta.”
“Mungkin para peziarah itu melakukan hal yang sama.” Sahut pak Trimo.
“Jika itu tujuannya, kenapa harus jauh-jauh. Itu bisa dilakukan di mana saja yang terdekat dari rumah.” Sahut pak No.
Pak Mantuk menghela nafas, dengan nada berwibawa ia memulai pembicaraan, “ begini pak No, kenapa banyak orang berbondong-bondong ke makam orang-orang sakti. Tujuannya adalah mencari berkah. Bagi orang-orang sakti, raganya boleh mati tetapi aura ilmunya masih tertinggal pada jasadnya, sehingga para peziarah mengharapkan aura kesaktiannya tersebut. Ada banyak tujuan, ada yang ingin hal baik ada pula yang ingin hal-hal jahat. Contoh orang-orang yang menginginkan hal baik datang ke makam Wali Songo, tetapi jika ingin hal jahat entah kenapa disarankan berziarah ke makam Harya Penangsang.”
“Apa ada alasan lain selain hal tersebut?” tanya pak No masih penasaran.
Kemudian satu persatu memberi jawab, berdasarkan apa yang mereka pelajari. Dimulai dari pak Titis, “  Pada zama Hindu-Budha leluhur sangat dihormati, hal ini bercampur dengan ajaran asli bangsa kita yaitu animisme dan dinamisme sebelum Hindu datang. Ziarah ke makam itu dikhususkan ke makam leluhurnya. Dengan harapan satu keturunan dapat berkumpul jadi satu. Jadi bukan ziarah  ke makam oarang-orang sakti yang tidak ada sangkut paut hubungan darahnya. Hal ini masih dilestarikan oleh Hindu Bali sampai hari ini, mereka punya Pura leluhur. Jadi ada kewajiban sembahyang di pura leluhur, sehingga mereka tahu dari mana asal usulnya, tahu siapa saudara-saudaranya. Di tanah jawa kebiasaan tersebut dihapuskan sejak datangnya Islam.”
“Benar,” sambung pak Trimo, “ dalam Islam, datang sembahyang ke makam merupakan perbuatan musrik atau menduakan Allah. Karena yang patut disembah adalah Allah. Itu sebabnya di Arab sana tidak ada kuburan yang bernisan, bahkan tak ada gundukannya. Penyebabnya dua hal, tak ada budaya menyembah nenek moyang dan di sana padang pasir sehingga jika membuat gundukan akan tersapu saat badai pasir. Maka tidak ada pemakaman yang berkelompok seperti di negara kita. “
“Sejatinya seperti ini, “ pak Domo angkat bicara, “ dalam tradisi jawa, saat kita pergi ke makam kita harus mengamati aku ada karena ayah ibu, ayah ibu ada kerena kakek nenek, kakek nenek ada kerena buyut, buyut ada karena canggah, canggah ada karena wareng, wareng ada karena uthek-uthek gantung siwur dan seterusnya hingga manusia  pertama. Akhirnya kita akan bertanya kerena siapa ada manusia mula-mula, tumbuhan, hewan, dan alam semesta ini. Maka kita akan menyadari betapa kecilnya kita di hadapan alam semesta, apalagi dihadapan pencipta alam semesta ini. Jadi tujuannya ke makam adalah menyadari keberadaan kita dihadapan Tuhan.”
“Bagaimana pandang Kristen tentang hal ini, “ tanya pak No ditujukan langsung ke pak Topo yang segera memberi jawaban,
“Ayah tidak menanggung  dosa anak, anak tidak menanggung dosa ayah. Apa yang dilahirkan oleh daging (badan wadhag) adalah daging, dan apa yang dilahirkan oleh roh adalah roh.Hubungan manusia dengan leluhurnya adalah hubungan darah dan daging. Setiap orang memiliki karakter, kejiwaan serta genetik dari orang tuanya. Tetapi rohnya adalah dari Tuhan. Jika Tuhan menghendaki seorang lahir dengan genetik pak Mantuk, maka anak tersebut dititipkan menjadi anaknya pak Mantuk. Namun dalam dunia roh anatara anak dan orang tua apalagi leluhurnya tidak ada hubungannya. Setiap insan memiliki perjalanan rohani sendiri, tetapi suatu kewajiban bagi orang tua adalah membimbing perjalanan rohani anaknya berdasarkan pengalaman rohaninya dan rohani leluhurnya. Orang Kristen diwajibkan berdoa dalam roh dan kebenaran, tak terbatas oleh ruang dan waktu, bisa kapan saja pagi, siang, malam, bisa di mana saja kuburan, sungai, hutan, gunung, pantai, kamar yang penting fokusnya komunikasi dengan Tuhan. Pada umumnya dianjurkan doa di kamar kerena dekat dan bisa kapan saja. Mengenai makam, makam merupakan budaya setiap suku bangsa. Di Israel makam merupakan gua batu, di  Arab seperti kata pak Trimo tadi, di Cina jasad diperabukan, di Suku Dayak Mualang makam dibiarkan ditumbuhi semak-semak hingga hilang tak terurus karena tak pernah diziarahi, di jawa seperti di sini ini. Jadi dalam Kristen tak ada sembahyang ke makam, jika kita ke makam orang tua hanya mengenang jasa-jasa mereka. “
“Jadi terserah setiap orang apapun tujuannya.”  kata pak No.
“Benar, “ sahut pak Domo, “ yang penting tidak saling mengganggu satu sama lain.”

Malampun menuju puncaknya, pak Trimo dan pak Topo mengundurkan diri dari pertemuan untuk pulang ke rumah masing-masing, sedangkan sisanya sowan (menghadap) mbah Panjang.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar