Sunyi, sepi,
gelap dan angker, itulah kesan yang ada dalam pikiran kita jika mendengar kata
makam. Sebuah monumen kehidupan masa lalu, dimana kematian manusia yang tak
mungkin dihindari meninggalkan jasadnya. Jasad-jasad tak bernyawa ini
dikuburkan secara rapi berkelompok-kelompok dalam apa yang dinamakan makam.
Makam merupakan prasasti tentang keluarga, nenek moyang, orang-orang ternama dari
masa lampau. Batu nisan seolah menceritakan bahwa pernah ada manusia yang hidup
dengan nama dan waktu hidup terpahat. Sebuah makam kadang hanya menjadi
gundukan tanah tak terurus, ditumbuhi semak dan duri sampai waktu menggilas dan
hilang tak berbekas. Makam lainnya terawat rapi, dibersihkan dan ditaburi bunga
setiap hari-hari tertentu, tiga generasi kemudian nasibnyapun tak terurus dan
hilang tanpa ada seorangpun menanyakannya. Ada pula makam yang berumur ratusan
tahun masih terawat rapi, dikunjungi banyak orang bahkan orang-orang yang tak
ada hubungan darah sekalipun. Makam-makam ini banyak tersebar di tanah jawa,
biasanya adalah makam-makam orang ternama pada masanya. Entah dia orang bijak
maupun jahat, orang yang pernah berjasa bagi negara atau kampung. Dan selalu
ada cerita dibalik makam peninggalan nenek moyang kita.
Di tengah pulau
jawa ada sebuah gunung yang terletak di kota Magelang, gunung ini terkenal
dengan sebutan gunung Tidar. Entah kenapa dinamakan gunung, karena jika kita
lihat hanya sebuah bukit yang sangat tinggi dan hanya perlu waktu sekitar 30
menit berjalan kaki menuju puncaknya. Di sepanjang perjalanan ke puncak, jika kita mulai dari kelurahan Magersari, kita
akan menemukan makam Syekh Subakir, Kyai Spanjang dan Kyai Semar. Makam Kyai
Spanjang atau labih dikenal dengan sebutan Mbah Panjang, merupakan makam sebuah
tombak karena makamnya sangat panjang sekali lebih dari dua kali ukuran manusia
dewasa. Banyak versi mengenai makam tersebut, setidaknya ada dua versi yang ingin
penulis sampaikan di sini mengenai siapa sesungguhnya Kyai Spanjang tersebut. Cerita
pertama dikatakan bahwa gunung Tidar merupakan gunung yang sangat angker pada
saat Kedu merupakan hutan belantara,
hingga siapapun yang mendekat kalau tidak “mati” ya “modar” (modar = mati
bahasa jawa tetapi konotasinya kasar). Maka dari singkatan inilah muncul nama
Tidak (mati-modar). Syekh subakir seorang penyebar agama Islam datang ke tanah
jawa menahlukan jin-jin penunggu gunung Tidar. Senjatanya berupa tombak bernama
Kyai Spanjang. Ketika wafat senjata dan pemiliknya dimakamkan di gunung
tersebut.
Versi lain
menceritakan pada zaman Mataram Islam berkuasa, ada seorang buronan kerajaan
bernama Jaka Spanjang yang diburu oleh tentara Mataram. Ada dua kisah juga
dalam ketokohannya, ada yang menceritakan Jaka Spanjang seorang pemberontak, lainnya
mengatakan dia seorang pejuang yang menuntut keadilan. Sama halnya Rangga Lawe
di zaman awal Majapahit. Rangga Lawe dianggap pemberontak oleh Majapahit,
tetapi dia adalah pahlawan yang menuntut keadilan bagi rakyat Tuban. Saat
pengejaran, Jaka Spanjang melarikan diri ke gunung Tidar. Karena gunung ini
tidak terlalu besar maka dikerahkan seluruh pasukan Mataram untuk mengepung
gunung Tidar. Para prajurit melingkari gunung mulai dari bawah dengan jarak
antar prajurit cukup rapat, kemudian secara serentak menyusuri gunung sampai
puncaknya. Pengepungan model ini terkenal dengan sebutan “Kepung Gelang”
(dikepung seperti gelang), dari peristiwa kepung gelang inilah muncul nama
Magelang. Sesampainya di puncak tak seorangpun prajurit yang bertemu dengan
Jaka Spanjang, di puncak bukit mereka hanya menemukan sebuah tombak. Tombak
inilah yang dimakamkan sebagai makam Kyai Spanjang.
Ada dua dugaan
dalam peristiwa kepung gelang, prajurit tidak tahu pasti apakah tombak tersebut
jelmaan Jaka Spanjang atau senjatannya, karena sejak peristiwa itu Jaka
Spanjang tidak muncul lagi. Banyak yang percaya bahwa tombak Kyai Spanjang
adalah jelmaan Jaka Spanjang, tetapi banyak juga yang percaya bahwa tombak
tersebut hanyalah senjata sedangkan Jaka Spanjang melarikan diri lewat gua
tawon. Gua tawon adalah gua sempit kira-kira satu orang saja bisa masuk. Gua
ini pernah diisi batu untuk pembangunan jalan aspal menuju puncak. Harapannya
akan dibangun vila diatas gunung, namun karena sudah puluhan truk batu yang
mengisi gua dan tidak penuh juga, juga tak diketahui berapa dalamnya, maka
proyek dihentikan. Konon kabarnya gua tawon ini tembus sampai pantai selatan,
dan Jaka Spanjang lari melalui jalur ini saat peristiwa kepung gelang. Tetapi
siapa juga yang ingin membuktikannya? Jika ada yang ingin membuktikan silakan,
carilah di punggung gunung sisi selatan dari arah kampung mBaben, gua ini
tertutup semak-semak di samping jalan setapak sehingga butuh pemandu untuk
menemukannya.
Setidaknya ada
dua versi siapa Kyai Spanjang yaitu senjata Syekh Subakir atau seorang buronan
Mataram. Ada dua mitos pula tentang seorang buronan yaitu pahlawan atau
pemberontak. Ada dua kemungkinan tentang tombak yang ditemukan prajurit
Mataram, jelmaan Jaka Spanjang atau senjatanya. Belum diketahui dengan pasti mana
yang benar, tetapi merupakan fakta bahwa ada dua makam Kyai Spanjang. Keduanya
sama-sama panjang dan mitosnya berisi tombak. Yang pertama di gunung Tidar,
makam kedua di jantung kota Magelang tepatnya di kelurahan Panjang. Nama
kelurahan inipun asalnya dari adanya makam Kyai Spanjang (mbah Panjang). Makam
di kelurahan Panjang inipun menempati dua tempat. Awalnya berada di sisi utara
kelurahan, yaitu di kampung Losmenan, sekarang tepatnya di belakang PLN. Karena
terletak di jantung kota dan daerah tersebut semakin ramai, maka Dinas
Kebudayaan Kota Magelang memindahkan ke tempat yang sekarang yaitu di ujung
kampung Bogeman Wetan. Tempat tersebut dahulu sangat sepi, dikelilingi
persawahan dan hutan bambu. Kota terus berkembang, di depan makam dibangun
jalan tembus, hingga saat ini Makam Mbah Panjang ramai dikelilingi penduduk. Tak
ada lagi kesan angker bagi masyarakat sekitarnya, tetapi bagi orang yang
mengkultuskan makam, makam tersebut tetap keramat. Konon saat pemindahan,
tombak Kyai Spanjang diangkat secara gaib oleh orang-orang sakti, jadi tidak
ada yang pernah melihat wujudnya.
MAKNA
MAKAM
Pak Tukiman atau
lebih dikenal Pak Mantuk, seorang setengah baya berbadan tambun dipercaya
menjadi juru kunci Makam Kyai Spanjang. Dia bukan seorang yang sakti mandraguna
atau punya kelebihan lain kecuali kelebihan berat badannya, beliau menjadi juru
kunci kareana rumahnya persis di belakang makam. Setiap peziarah pasti ijin
dulu pada sang kuncen (juru kunci),
dan jika ingin banyak informasi tentang sejarah kota Magelang tanyakan saja
padanya. Karena beliau mendapat pendidikan serta serta sertifikat dari Dinas
Kebudayaan Kota, dan punya SK sebagai juru kunci. Saat ini pak mantuk dipercaya
pula oleh warga menjadi ketua RT.
Makam mbah
Panjang seperti kuburan pada umumnya namun dipagari, di tengah kuburan ada pusara
khusus yaitu makam mbah Panjang. Makam ini dikelilingi tembok tetapi tidak
beratap, di depan makam ada pintu untuk keluar masuk peziarah. Sebelum masuk
pintu kita harus melewati pendopo berbentuk joglo di depannya. Di pojok kanan
komplek pemakaman terdapat pintu gerbang, di sisinya ada pos kamling. Di
pendopo makam inilah pak Mantuk dan kawan-kawanya sering berkumpul untuk
diskusi spiritual. Selain itu, pendopo ini juga dipakai untuk kumpulan RT dan
malam tirakatan 17 agustus. Tiap malam hampir selalu ada orang di makam,
ditambah lagi ada warung-warung makanan di depan makam. Makam mbah panjang di
tengah kota memang sudah ramai, tetapi makna makam tetap tidak luntur sebagai
monumen sejarah tentang masa lampau.
Diantara yang
hadir di makam ada pak Titis ketua RW yang peduli dengan kebudayaan dan ajaran leluhur
jawa. Pak Domo seorang Kejawen tulen yang mengerti banyak hal, dalam bidang
ilmu kebatinan beliau sedikit lebih tinggi dari sang juru kunci. Pak No seorang
yang sederhana, hidup untuk keluarga tanpa banyak bicara, namun kadang dianggap
remeh oleh orang lain. Pak Trimo anak seorang pemuka agama Islam, beliau
seorang guru ngaji, fanatik tetapi sangat menghormati agama lain dan mau
berbaur mendengarkan orang lain. Pak Topo, seorang Kristen. Masih banyak
orang-orang yang turut andil dalam perbincangan di makam, mulai dari politik,
sosial, ekonomi sampai jagad lelembut di bahas. Setiap jam 12 malam beberapa
orang sowan (menghadap) ke mbah
Panjang. Kecuali pak Trimo dan pak Topo yang dipastikan sudah pulang tidak ikut
ritual.
Malam itu udara
cukup dingin, hujan baru saja selesai mengguyur kota getuk. Makam mbah Panjang
tetap diam membisu, lampu di pendopo menerangi orang-orang yang berkumpul di
sana. Dengan wajah letih pak No datang bergabung, setelah menghela nafas iapun
mengeluh
“Sial-sial, hari
ini benar-benar sial. Aku sudah bekerja seharian, namun apa yang kudapat? Tak
sesenpun. Entah apa yang salah dalam hidupku.”
“Kenapa
marah-marah?” tungkas pak Mantuk, “kita seharusnya tidak perlu menanggapi
masalah dengan amarah, bukankah rejeki ada yang mengatur.”
“Aku juga tahu,
tapi aku cukup lelah hari ini.” Jawab pak No, “aku sudah berdoa, aku berharap
dapat penumpang sehingga dapurku bisa mengepul. “ Setelah diam sejenak
menegatur nafas, “ Seorang tukang becak sepertiku seolah tak ada harapan,
hari-hari ini setiap manusia sudah bisa punya sepeda motor sendiri dengan
sedikit uang. Karena barang-barang kridit inilah maka angkutan umum tak laku
lagi, semua sudah memakai sepeda motor kridit.”
“Pak No, “ pak
Mantuk bicara dengan nada rendah, “kita ini di sini tiap malam tirakat bersama,
saling berbagi dan mengingatkan. Ada tiga prinsip yang harus kita pegang yaitu eling, sabar lan waspada (ingat, sabar
dan waspada)”
“Ya, ya, aku
mengerti. Tapi apa kaitanya dengan kesialanku hari ini?”
“Bukan sial,
tapi belum waktunya. Eling yaitu kita harus selalu ingat pada Sang pencipta,
Dia yang sudah membagi-bagi rejeki pada setiap orang secara adil. Sabar artinya
kita sedang diuji apakah dengan tidak diberi rejeki kita masih ingat pada Sang
pencipta atau marah-marah seperti tadi. Waspada, jangan sampai hal-hal remeh
temeh mengganggu hubungan kita dengan Sang pencipta.”
“Ya, ya, aku
sedikit paham, “ dengan manggut-manggut pak No menurunkan nada suaranya, ia
mulai sedikit reda amarahnya, “ bukankah aku harus eling, sabar lan waspada.”
“Benar pak No, “
tambah pak Topo “ coba perhatikan burung-burung di udara yang tidak pernah
menanam namun Gusti Allah memberi makan, lihat pula bunga-bunga di taman tidak
pernah menenun tetapi didandaniNya dengan cantik. Bukankah kita melebihi
burung-burung itu. Kita tidak perlu takut lapar maupun telanjang karena Tuhan
menyediakannya bagi semua orang. Sama halnya hujan tadi sore, diberikan kepada
orang jahat maupun baik, demikian juga dengan rejeki, Tuhan sudah mengaturnya.”
“Jika demikian
saya salah tadi, “ pak No agak menyesal.
“Bukan salah
tapi khilaf,” pak Trimo menyahut, “sesuatu yang wajar jika manusia emosi, tapi
paling baik adalah menyadari kasalahannya dan ingat pada Allah yang maha
pengasih lagi maha penyayang.”
Malampun semakin
larut, gorengan dan kopi menyisakan bekasnya, entah siapa yang memulai,
perbincangan berlanjut mengenai serombongan peziarah yang datang tadi sore
sebelum hujan turun. Merera melakukan ritual di pusara Kyai Spanjang, setelah
ijin dan diantarkan pak Mantuk tentunya.
“Aneh, sungguh
aneh, “ pak No bingung, “ kenapa orang jauh-jauh datang dari luar kota bahkan
luar provinsi untuk berziarah ke sini. Padahal jika mereka mau di kampungnya
pasti ada makam orang-orang sakti zaman nenek moyang kita. Demikian juga
orang-orang Magelang, di kampung ini saja ada makam Ki Bogem, Nyai Bogem, Ki
Dongso, Nayi Dongso para pendiri kampun Bogeman, makam Kyai Kramat pendiri
kampung Keramat dan masih banyak yang lainya. Tetapi justru orang Magelang
jauh-jauh berziarah ke makam di luar kota. Sebenarnya apa makna makam bagi
peziarah ini?”
Suasana hening
sejenak, tiba-tiba pak Topo memecah keheningan “ Lha pak No sendiri apa tujuannya
ziarah ke makam?”
“Mencari
ketenangan.” Jawabnya singkat
“Maksudnya?”
“Dalam ritual
jawa ada yang dinamakan nyepi dan nepi.
Nyepi adalah mencari suasana sunyi dan tenang untuk merenungi ke dalam jiwa
kita, tempatnya bisa di kamar atau dimana saja yang penting sepi. Sedangkan
nepi adalah menuju ke tepi atau mengundurkan diri dari keramaian untuk mencari
keheningan. Saya rasa di sini cukup untuk nepi.”
“Tujuannya?”
“Neng, Ning, Nung. Singkatan dari meneng, wening, dunung. Meneng (diam),
adalah kondisi dimana kita diam meresapi dan merasakan alam di sekitar kita,
mencari makna dalam hidup ini. Wening (hening), artinya kondisi setelah diam dimana
ada ketenangan dan benar-benar sunyi, hanya ada roh kita dan menghilangkan
keinginan duniawi. Setelah itu kita mengerti dunung yaitu asal mula dari
sesuatu, kita bisa meresapi dari mana kita berasal, dan mensyukuri keberadaan
kita hingga berhubungan langsung dengan Sang pencipta.”
“Mungkin para
peziarah itu melakukan hal yang sama.” Sahut pak Trimo.
“Jika itu
tujuannya, kenapa harus jauh-jauh. Itu bisa dilakukan di mana saja yang
terdekat dari rumah.” Sahut pak No.
Pak Mantuk
menghela nafas, dengan nada berwibawa ia memulai pembicaraan, “ begini pak No,
kenapa banyak orang berbondong-bondong ke makam orang-orang sakti. Tujuannya
adalah mencari berkah. Bagi orang-orang sakti, raganya boleh mati tetapi aura
ilmunya masih tertinggal pada jasadnya, sehingga para peziarah mengharapkan
aura kesaktiannya tersebut. Ada banyak tujuan, ada yang ingin hal baik ada pula
yang ingin hal-hal jahat. Contoh orang-orang yang menginginkan hal baik datang
ke makam Wali Songo, tetapi jika ingin hal jahat entah kenapa disarankan
berziarah ke makam Harya Penangsang.”
“Apa ada alasan
lain selain hal tersebut?” tanya pak No masih penasaran.
Kemudian satu
persatu memberi jawab, berdasarkan apa yang mereka pelajari. Dimulai dari pak
Titis, “ Pada zama Hindu-Budha leluhur
sangat dihormati, hal ini bercampur dengan ajaran asli bangsa kita yaitu
animisme dan dinamisme sebelum Hindu datang. Ziarah ke makam itu dikhususkan ke
makam leluhurnya. Dengan harapan satu keturunan dapat berkumpul jadi satu. Jadi
bukan ziarah ke makam oarang-orang sakti
yang tidak ada sangkut paut hubungan darahnya. Hal ini masih dilestarikan oleh
Hindu Bali sampai hari ini, mereka punya Pura leluhur. Jadi ada kewajiban
sembahyang di pura leluhur, sehingga mereka tahu dari mana asal usulnya, tahu
siapa saudara-saudaranya. Di tanah jawa kebiasaan tersebut dihapuskan sejak
datangnya Islam.”
“Benar,” sambung
pak Trimo, “ dalam Islam, datang sembahyang ke makam merupakan perbuatan musrik
atau menduakan Allah. Karena yang patut disembah adalah Allah. Itu sebabnya di
Arab sana tidak ada kuburan yang bernisan, bahkan tak ada gundukannya.
Penyebabnya dua hal, tak ada budaya menyembah nenek moyang dan di sana padang
pasir sehingga jika membuat gundukan akan tersapu saat badai pasir. Maka tidak
ada pemakaman yang berkelompok seperti di negara kita. “
“Sejatinya
seperti ini, “ pak Domo angkat bicara, “ dalam tradisi jawa, saat kita pergi ke
makam kita harus mengamati aku ada karena ayah ibu, ayah ibu ada kerena kakek
nenek, kakek nenek ada kerena buyut, buyut ada karena canggah, canggah ada
karena wareng, wareng ada karena uthek-uthek gantung siwur dan seterusnya
hingga manusia pertama. Akhirnya kita
akan bertanya kerena siapa ada manusia mula-mula, tumbuhan, hewan, dan alam
semesta ini. Maka kita akan menyadari betapa kecilnya kita di hadapan alam
semesta, apalagi dihadapan pencipta alam semesta ini. Jadi tujuannya ke makam
adalah menyadari keberadaan kita dihadapan Tuhan.”
“Bagaimana
pandang Kristen tentang hal ini, “ tanya pak No ditujukan langsung ke pak Topo
yang segera memberi jawaban,
“Ayah tidak
menanggung dosa anak, anak tidak
menanggung dosa ayah. Apa yang dilahirkan oleh daging (badan wadhag) adalah daging, dan apa yang dilahirkan oleh roh
adalah roh.Hubungan manusia dengan leluhurnya adalah hubungan darah dan daging.
Setiap orang memiliki karakter, kejiwaan serta genetik dari orang tuanya.
Tetapi rohnya adalah dari Tuhan. Jika Tuhan menghendaki seorang lahir dengan
genetik pak Mantuk, maka anak tersebut dititipkan menjadi anaknya pak Mantuk. Namun
dalam dunia roh anatara anak dan orang tua apalagi leluhurnya tidak ada
hubungannya. Setiap insan memiliki perjalanan rohani sendiri, tetapi suatu
kewajiban bagi orang tua adalah membimbing perjalanan rohani anaknya
berdasarkan pengalaman rohaninya dan rohani leluhurnya. Orang Kristen diwajibkan
berdoa dalam roh dan kebenaran, tak terbatas oleh ruang dan waktu, bisa kapan
saja pagi, siang, malam, bisa di mana saja kuburan, sungai, hutan, gunung,
pantai, kamar yang penting fokusnya komunikasi dengan Tuhan. Pada umumnya
dianjurkan doa di kamar kerena dekat dan bisa kapan saja. Mengenai makam, makam
merupakan budaya setiap suku bangsa. Di Israel makam merupakan gua batu,
di Arab seperti kata pak Trimo tadi, di
Cina jasad diperabukan, di Suku Dayak Mualang makam dibiarkan ditumbuhi
semak-semak hingga hilang tak terurus karena tak pernah diziarahi, di jawa
seperti di sini ini. Jadi dalam Kristen tak ada sembahyang ke makam, jika kita
ke makam orang tua hanya mengenang jasa-jasa mereka. “
“Jadi terserah
setiap orang apapun tujuannya.” kata pak
No.
“Benar, “ sahut
pak Domo, “ yang penting tidak saling mengganggu satu sama lain.”
Malampun menuju
puncaknya, pak Trimo dan pak Topo mengundurkan diri dari pertemuan untuk pulang
ke rumah masing-masing, sedangkan sisanya sowan
(menghadap) mbah Panjang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar