Jumat, 25 Desember 2015

MUSISI LOKAL


            Senja menyelimuti kota Poh Pitu di lembah Tidar berpagar gunung Merapi, Merbabu, Sumbing, Sindoro. Segerombolan anak muda berpakaian serba hitam mencari tumpangan di perempatan lampu merah. Belasan kendaraan telah berlalu, tetapi belum juga ada yang mengangkut mereka. Jaya mengamati anak-anak muda tersebut, pandanganya tertuju pada kaos beberapa anak muda bertuliskan d’rumus, seorang lagi membawa bendera merah putih, kawannya membawa bendera d’rumus dengan lambang kala. Jayapun mendekati meraka.
            “Mas, d’rumus mau konser ya?” tanya Jaya.
            “Benar, hari ini di GOR Samapta,” jawab seseorang bertubuh kecil dengan tindik di telinga kirinya.
Sebuah mobil bak terbuka warna hitam berhenti dan memberi tumpangan.
“Aku ikut kalian ya,” kata Jaya sembari meloncat ke bak mobil, “sebab d’rumus salah satu band kesukaanku.”
 Jaya disambut dengan hangat, mereka bernyanyi dan bersendau gurau. Yang aneh hanya Jaya yang tidak memakai kaos d’rumus melainkan hem biru kotak-kotak. Mobilpun berhenti, mereka turun dilanjutkan dengan jalan kaki. Sesampainya di depan GOR, ternyata sudah sesak dipenuhi orang. Jaya pergi ke loket membeli tiket seharga Rp. 15.000,00 yang sepaket dengan sebungkus rokok.
“Kalian tidak beli tiket?” tanya Jaya pada rombongan tadi.
“Nanti mas, mas masuk saja dulu,” jawab seseorang dari mereka.
“Jika begitu aku masuk dulu,” Jaya menyerahkan rokok kepada orang tersebut, “ini buat kalian, aku tidak merokok.”
“Makasih mas.”
Jaya memasuki gerbang yang dijaga keamanan, di belakangnya ada seorang bertubuh besar, rambut dipotong ekor kuda mengenakan kaos d’rumus.
“Hai Bang,” orang tersebut menyapa Jaya, “kasihan kawan-kawanmu tadi, mereka ingin menonton pertunjukan saja tak punya uang.”
“Dari mana Abang tahu?” Jaya terheran, “mereka bilang nanti dulu beli tiketnya.”
“Ah…kau ini tolol atau pura-pura tidak tahu. Jangan panggil aku abang panggil saja Dorkas.”
“Dorkas?” Jaya memotong omongan pria raksasa tersebut.
“Iya Dorkas, aneh ya namaku?”
“Iya aneh, Dorkas kan nama perempuan. Namaku Jaya Bang Dorkas. Apapun nama kita itu hadiah orang tua, mereka pasti punya tujuan dan harapan saat memberi nama.”
“Nah itu kau tahu. Tidak usah pakai abang.”
“Iya, tadi mau bilang apa?”
“Kawanmu serombonganmu tadi ke sini naik apa?”
“Nebeng mobil?”
“Nah, artinya mereka tak ada uang, buat beli tiket pun tak mampu.”
“Tapi kan ini sangat murah, Rp. 15.000 dapat rokok lagi.”
“Benar harga rokok  Rp. 10.500 tapi kita tidak bisa beli tiket Rp. 4.500 dan tidak mengambil rokoknya bukan?”
“Benar juga,” Jaya manggut-manggut.
“Artinya para musisi kita hidup dari rokok, sebab para penggemarnya tak mampu menghidupi. Sementara band-band luar negeri yang tiketnya jutaan rupiah hanya bisa ditonton oleh artis dan orang-orang kaya saja.”
“Lalu kalau tidak nonton kenapa mereka kemari?”
“Ya dengarkan dari luar, nanti kalau pertengahan konser pintu dibuka barulah mereka masuk berdesak-desakan,” jelas Dorkas.
Jaya dan Dorkas telah masuk GOR berbaur dengan berbagai jenis manusia, mereka memiliki persamaan yaitu sama-sama suka musik. Jaya menonton tak jauh dari panggung, setelah band pembuka selesai memainkan musik maka giliran d’rumus memasuki panggung. Lima pemuda mengenakan kaos hitam dengan gambar sampul album mereka yang kedua.
Lagu pertama diambil dari album pertama mereka, Natalia. Semua orang menyanyi dengan serentak, disambung dengan Bimbang, Ayub, dan Nyonya Potifar. Suara kedua gitar sangat harmonis dan bersahut-sahutan, ditambah dentuman aksi solo bass yang memukau saat membawakan lagu Setan Lautan.
“Selamat malam Poh Pitu,” sang vokalis menyapa, “kita akan bawakan single andalan kita di album kedua, saya harap kita nyanyi bersama. Setuju!”
“Setuju!” sahut para penonton.
“Ini dia, Terkurung.”
Kata Terkurung disambut hentakan serentak drum, bass, gitar satu, gitar dua dengan nada rumit serta irama cepat membangkitkan gejolak darah muda.
Tiba di suatu saat kuterhenti
Seribu bayang menarikku tuk diam
Bayangan kejayaan masa silam
Bayangan yang akan datang

Kenyataanku hanyalah penonton
Tak pernah kuterjang segala rintangan
Menonton dari sudut keyakinanku
Menonton dari tembok yang mengurungku

Reff :
Terkurungku dalam tembok doktrinasi
Terkurungku dalam kebenaran diri
Noda hitam dan bayang-bayang kelam
Tak pernah hengkang dari jiwa ini

Disusul Cinta Banci, Transmigran, Tolonglah Kami, Takbir Bergema, Sri Tanjung, semua dimainkan dengan harmonis dan ditutup dengan lagu Ingin Pulang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar