Jumat, 25 Desember 2015

EYANG DARSU


            Mentari menyinari rembulan, sinar itu dipantulkan ke bumi pertiwi walau tidak semuanya, sehingga malam tak pernah seterang siang. Deburan ombak menghantam karang dalam remang. Dua sosok laki-laki duduk bersila saling berhadapan di atas batu datar. Angin laut mengibarkan pakaian mereka. Dalam redupnya cahya purnama nampak jelas seorang berusia lebih dari setangah abad, rambut setengah beruban, wajahnya tegas namun lembut, tulang pipi menonjol, mata cekung, kulit kecoklatan, mengenakan sorjan corak hitam coklat, celana kain hitam. Di hadapannya seorang pemuda kira-kira seperempat abad, dagu lesung, rambut ikal, kulit kuning langsat, hidung tak begitu mancung tak juga pesek, rahang besar, mata sedang, mengenakan hem kotak-kotak biru putih lengan panjang disingsingkan, celana coklat.
            “Jaya Prawira. “ yang berusia lebih tua berbicara, suaranya tegas.
            “Ya Eyang Darsu.” Sahut sang pemuda.
            “Kau sudah kubekali ilmu yang cukup.” Lanjut Eyang Darsu. “Saatnya kau pergi mengabdikan ilmumu untuk bumi pertiwi. Ingatlah ilmumu belum seberapa, hanya sekuku hitam, banyaklah belajar dari orang lain, bekerjasamalah dengan orang yang memiliki kemampuan berbeda-beda.”
            “Saya mengerti Eyang Darsu.” Jaya bicara dengan santun. “Hanya saja saya tak juga memahami apa kehendak Bapa Semesta bagi kehidupan saya. Apa yang harus saya lakukan?”
            Eyang Darsu tersenyum simpul. “Jika setiap manusia mengerti dan memahami pikiran Bapa Semesta maka manusia lebih pintar dariNya bukan? Jika manusia mengerti kehendakNya maka manusia menjadi sombong dan tak lagi berharap pada sang pencipta. Maka dari itu carilah dahulu kerajaan Bapa Semesta dan kebenarannya.” Eyang Darsu berhenti sejenak. “Aku tidak akan selalu bersamamu, tetapi orang-orang miskin selalu ada padamu.”
            “Ada banyak pertanyaan dalam otakku, boleh saya menanyakannya?” Jaya tampak gelisah.
            “Carilah jawabannya sendiri. Roh akan menolongmu. Semua yang kuajarkan akan kau pahami saat kau mengalaminya sendiri. Namun jika ada yang ingin kau katakan katakanlah.”
            Jaya menengadah ke arah bintang-bintang, kemudian melepaskan pandangannya ke laut yang hitam karena laut hanya membiaskan sinar matahari langsung. Angin laut menerpa wajahnya, ombak hanya terdengar bergemuruh. “Republik ini sudah berusia 70 tahun, kini sudah dipimpin presiden ke tujuh. Semua kerajaan menjadi Kadipaten dibawah pemerintah Provinsi antara lain Buton, Kutai, Sriwijaya, Samudra Pasai, Kahuripan, Blambangan, Sumenep, Singasari, Kediri, Daha, Majapahit dan yang lainya kecuali Ngayogjakarta Hadiningrat yang menjadi daerah istimewa dimana Gubernur dipegang oleh Ratu sebab besar jasanya saat awal kemerdekaan negri ini. Akan tetapi walau nusantara telah bebas dari kulit putih dan para samurai namun keadaan negeri ini tak juga membaik, justru kami menjadi kuli di negeri sendiri, bangsa asing tetap berkuasa di bumi pertiwi. Apa yang bisa kulakukan, apa yang bisa kuperbuat?”
            “Jaya, Jaya. Jangan mengeluh karena tidak akan berpengaruh, jangan memaki karena tidak akan memperbaiki, jangan banyak protes karena semua butuh proses. Kerjakan saja apa yang bisa kau kerjakan. Masalah hasil serahkan pada Bapa Semesta.”
            “Baik Eyang Darsu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar