Mentari menyinari rembulan, sinar
itu dipantulkan ke bumi pertiwi walau tidak
semuanya, sehingga malam tak pernah seterang siang. Deburan ombak menghantam
karang dalam remang. Dua sosok laki-laki duduk bersila saling berhadapan di
atas batu datar. Angin laut mengibarkan pakaian mereka. Dalam redupnya cahya
purnama nampak jelas seorang berusia lebih dari setangah abad, rambut setengah
beruban, wajahnya tegas namun lembut, tulang pipi menonjol, mata cekung, kulit
kecoklatan, mengenakan sorjan corak hitam coklat, celana kain hitam. Di
hadapannya seorang pemuda kira-kira seperempat abad, dagu lesung, rambut ikal,
kulit kuning langsat, hidung tak begitu mancung tak juga pesek, rahang besar,
mata sedang, mengenakan hem kotak-kotak biru putih lengan panjang
disingsingkan, celana coklat.
“Jaya Prawira. “ yang berusia lebih
tua berbicara, suaranya
tegas.
“Ya Eyang Darsu.” Sahut sang pemuda.
“Kau sudah kubekali ilmu yang
cukup.” Lanjut Eyang
Darsu. “Saatnya kau pergi mengabdikan ilmumu untuk bumi pertiwi. Ingatlah
ilmumu belum seberapa, hanya sekuku hitam, banyaklah
belajar dari orang lain, bekerjasamalah dengan orang yang memiliki kemampuan
berbeda-beda.”
“Saya mengerti Eyang Darsu.” Jaya
bicara dengan santun. “Hanya saja saya tak juga memahami apa kehendak Bapa
Semesta bagi kehidupan
saya. Apa yang harus saya lakukan?”
Eyang Darsu tersenyum simpul. “Jika
setiap manusia mengerti dan memahami pikiran Bapa Semesta maka manusia lebih
pintar dariNya bukan? Jika manusia mengerti kehendakNya maka manusia menjadi
sombong dan tak lagi berharap pada sang pencipta. Maka dari itu carilah dahulu
kerajaan Bapa Semesta dan kebenarannya.” Eyang Darsu berhenti sejenak. “Aku tidak akan
selalu bersamamu, tetapi orang-orang miskin selalu ada padamu.”
“Ada banyak pertanyaan dalam otakku,
boleh saya menanyakannya?” Jaya tampak gelisah.
“Carilah jawabannya sendiri. Roh
akan menolongmu. Semua yang kuajarkan akan kau pahami saat kau mengalaminya
sendiri. Namun jika ada yang ingin
kau katakan katakanlah.”
Jaya menengadah ke arah
bintang-bintang, kemudian melepaskan pandangannya ke laut yang hitam karena
laut hanya membiaskan sinar matahari langsung. Angin laut menerpa wajahnya,
ombak hanya terdengar bergemuruh. “Republik ini sudah berusia 70 tahun, kini
sudah dipimpin presiden ke tujuh. Semua kerajaan menjadi Kadipaten dibawah
pemerintah Provinsi antara lain Buton, Kutai, Sriwijaya, Samudra Pasai, Kahuripan, Blambangan,
Sumenep, Singasari, Kediri, Daha, Majapahit dan yang lainya kecuali
Ngayogjakarta Hadiningrat yang menjadi
daerah istimewa dimana Gubernur dipegang oleh Ratu sebab besar jasanya saat awal
kemerdekaan negri ini. Akan tetapi walau nusantara telah bebas dari kulit putih
dan para samurai namun keadaan negeri
ini tak juga membaik, justru kami menjadi kuli di negeri sendiri, bangsa asing tetap berkuasa
di bumi pertiwi. Apa yang bisa kulakukan, apa yang bisa kuperbuat?”
“Jaya, Jaya. Jangan mengeluh karena
tidak akan berpengaruh, jangan memaki
karena tidak akan memperbaiki, jangan
banyak protes karena semua butuh proses. Kerjakan saja apa yang bisa kau
kerjakan. Masalah hasil serahkan pada Bapa Semesta.”
“Baik Eyang Darsu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar