Sabtu, 26 Maret 2016

MINTA BANTUAN



Lautan menjorok ke daratan, pulau-pulau karang berjejer memecahkan ganasnya ombak laut Jawa selatan. Ketika air laut menepi tak lagi ganas sebab ombak telah membentur karang. Panasnya mentari kalah oleh sejuknya angin laut.
            “Bagaimana kabarmu? Kudengar kau kuliah ke Jerman Jono?” Tanya Jaya sambil menjabat tangan pria berkacamata dihadapannya.
            “Benar Jaya.” Sahut orang yang dipanggil Jono tersebut. “Sekarang sedang liburan ke Indonesia.”
            “Begitu ya. Bagaimana keadaan di sana?”
            “Sangat jauh dengan negara kita Jaya. Semua pelajaran yang kita peroleh semasa SMU tak dianggap di Jerman. Aku harus mengambil acelerasi lagi setahun baru bisa kuliah. Negri kita jauh tertinggal.”
            “Lalu apa pendapatmu Jono, apa yang akan kau lakukan setelah lulus nanti?”
            “Pendapatku Indonesia jauh tertinggal dari Eropa, setelah lulus aku tak akan kembali ke negri ini. Aku akan menetap di sana, karena mereka jauh lebih menghargai ilmuku.”
            “Ah.. tak kusangka jiwa nasionalismemu luntur saat menginjak Eropa. Bukankah kau sekolah di sana agar bisa membangun negri ini. Sejelek-jeleknya Indonesia, aku tetap mencintainya, karena darah kita adalah Indonesia Jono.”
            “Itu kamu katakan karena kamu tak mampu kuliah ke luar negri Jaya.”
            “Ya. Memang aku miskin Jono, tetapi hatiku kaya. Di sini aku dilahirkan, di sini aku dibesarkan. Negri ini punya keunikan sendiri yang tak dimiliki Eropa.Di sana sains memang nomer satu, namun di sini kita punya rasa. Kau ingat saat di bangku sekolah kita sering luangkan waktu bersama dalam keceriaan.”
            “Ya… itu adalah kesia-siaan dan usaha menjaring angin. Kini kusadar waktu begitu berharga, namun anak muda di negri ini hanya menghabiskannya untuk bersantai, bercanda tawa.”
            “Sejak kapan pikiran dan pendirianmu berubah Jono. Kau tak seperti Jono yang dulu lagi.”
            “Memang aku banyak berubah. Sebab prinsip hidup kita harus dievaluasi. Seseorang yang memegang prinsip dan berhasil disebut berpendirian teguh. Seseorang yang memegang prinsip dan gagal disebut keras kepala. Nrima Ing Pandum hanya berlaku di kampung kita, namun di tempat lain prinsip itu tak berlaku Jaya. Bahkan diterjemahkan ke bahasa Indonesia saja susah, menerima apa adanya dengan penuh ucapan syukur apa yang sudah dibagikan oleh Tuhan.”
            Pada saat mereka berbincang nampak seorang pria agak pendek, berkacamata, rambut belah pinggir, kulit kehitaman terbakar matahari, meloncat dari batu ke batu menuju arah Jaya dan Jono.
            Tanpa basa basi pria pendek tersebut langsung bicara, “Sombong sekali kau Jono. Waktu kecil kamu makan bubur dari padi yang di tanam orang Indonesia. Aku tak sempat mendengar keseluruhan pembicaraan kalian, namun dari kata-kata terakhir yang masuk ke telingaku jelas kau tak lagi cinta negrimu.”
            Jaya dan Jono memandang orang yang tiba-tiba datang. Jono angkat bicara. “Bejo. Itu kamu?”
            “Ya benar.” Jawab pria pendek tersebut.
            “Aku tak benci negriku. Kita tak bisa memilih lahir sebagai suku apa, jadi kuterima bahwa aku Indonesia, tetapi kita bisa memilih akan hidup di mana. Jika aku punya kesempatan hidup di Eropa, apa salahku.”
            Bejo tersenyum sinis, “Ingat kata Bastian Tito, manusia lahir telanjang untuk apa menyombongkan nama dan gelar dihadapan sesama manusia.”
            Jono membalas. “Pantas saja kalian tertinggal, yang kalian baca hanya dunia persilatan saja, sedangkan bacaanku ialah bagaimana cara memisahkan proton dan neutron. Bukan bagaimana menghimpun tenaga dalam, sepertinya pembicaraan kita akan tidak seimbang. Maaf aku hanya buang-buang waktu saja. Permisi.” Jono langsung berlalu.
            Jaya langsung angkat bicara sambil memandangi Jono yang semakin menjauh, “ Hari yang aneh, tanpa ada janjian aku berjumpa kawan lama, yang satu lupa dari mana asalnya, satu lagi jadi ketua penjahat.”
            “Aku yang kamu sebut terakhir.” Bejo langsung menyahut.
            “Siapa lagi yang menjadi pimpinan Kala Hitam, kelompok yang diburu pemerintah kalau bukan kamu Bejo. Atau sudah ada pergantian pimpinan yang dipilih secara demokrasi.”
“Tunggu dulu. Rupanya kau masih marah karena peristiwa itu. Sebenarnya kau tak marah padaku tetapi marah karena gagal mendapatkan hadiah bagi siapa saja yang dapat menemukan Ornamen Garudeya yang hilang. Kau tak bisa menuduh Kala Hitam sebagai penjahat sebab tak ada bukti kejahatan kami. Bahkan kau bisa dituntut karena mencemarkan nama baik.”
“Memangnya kalian artis atau pejabat yang nama baiknya mudah tercemar. Kita sengaja bertemu karena sama-sama liburan ke pantai ini, atau kau sengaja mencariku?”
“Tenang-tenang. Jangan emosi Jaya. Sabar. “ Bejo bicara sanbil mengerak-gerakkan telapak tangannya ke bawah. “Aku mencarimu Jaya, jadi bukan kamu saja yang bisa mencariku.”
“Mencariku?” Jaya terperanjat. “Ada apa? Menuntut balas karena kalian kutuduh mencuri?”
“Tenang-tenang. Jangan emosi. Sebagai pimpinan Kala Hitam aku harus bertanggung jawab atas semua anggotaku. Aku harus mengambil keputusan walaupun berat. Keadaan harus mengubah pola pikir dan tindakan kita. Membuang sifat keakuan merupakan hal tersulit dalam hidupku. Setidaknya aku bersyukur punya anggota, punya fasilitas dan punya pekerjaan yang harus kukerjakan. Kami mendapat kesulitan dari pihak penguasa”
“Pemerintah maksudmu?”
“Bukan. Tetapi suatu kelompok yang mengatasnamakan pemerintah. Mereka sangat berkuasa dan berpengaruh, hampir semua kekayaan negri ini mereka yang mengendalikan. Pemerintah yang resmipun tak sadar akan kehadiaran mereka. Mereka ada seakan membantu padahal dibalik semua itu mereka hanya ingin mencengkeram negri ini.”
“Bukankah kelompok Kala Hitam yang kau pimpin juga ingin menguasai negri ini Bejo.”
“Bukan begitu Jaya. Tujuan kami ingin membangun negri ini, ingin menolong rakyat miskin yang tak diperhatikan pemerintah yang buta. Walau kuakui cara kami mendapat dana bukan dengan cara yang benar, namun kami tak seluruhnya salah. Kita pernah membahasnya Jaya.”
“Jika demikian kelompok apa yang menghalangi Kala Hitam.”
“Salah seorang Kepala Departemen mencoba menghalangi kami, namanya Tuan Dito, Tetapi ia bukan pimpinan organisasi ini, ia punya atasan Tuan Asdilah yang masih punya atasan lagi Tuan Edy. Di atasnya lagi Tuan Tofu. Segala keputusan jalan tidaknya organisasi, pengendalian material, informasi merupakan tanggungjawab Tuan Asdilah. Tuan Edy bertanggungjawab atas semua pimpinan setingkat Tuan Asdilah. Beberapa pimpinan setingkat Tuan Edy bertanggung jawab terhadap Tuan Tofu. Konon kabarnya Tuan Tofu seorang Atesis, ia belajar semua agama dan tidak percaya adanya Tuhan. Jantungnya sudah dioperasi, hampir mati ia, namun tak juga mati sehingga menguatkan pendiriannya bahwa Tuhan tak ada. Ia bertindak seolah ia Dewa padahal bukan dia sendiri pendiri dan bukan pula pimpinan tertinggi dari kelompok tersebut. Jika menemui Tuan Edy saja amat sangat sulit maka bertemu Tuan Tofu merupakan kesempatan langka bagai bertemu gerhana matahari. Hingga saat ini Tuan Ditolah yang berkomunikasi dengan kami. Kelompok ini bernama Mamon.”
“Apa gunanya kau ceritakan padaku Bejo? Apa kau ingin aku menculik Tuan Tofu dan memaksanya mengakui keberadaan Tuhan?”
“Bukan. Aku bertemu Eyang Darsu, beliau berkata aku harus menemukan Murid Tuhan Terakhir, dan kau yang bisa membantuku mencarinya.”
Jaya terkejut, iapun mengerutkan kening, “Apa  katamu? Murid Tuhan Terakhir? Eyang Darsu tidak salah bicara atau kamu tak salah dengar. Aku mana tahu yang kalian cari.”
“Tidak ada yang salah Jaya. Kemampuanmu tak diragukan lagi, terbukti kau mampu melacak Kala Hitam yang tak bisa dilacak oleh pemerintah walaupun dengan orang sehandal Handoko sekalipun.”
“Persoalannya aku tak tahu apa yang akan kita cari Bejo. Waktu itu jelas ada Ornamen Garudeya yang hilang, sekarang kita mencari Murid Tuhan Terakhir. Namanya saja baru kudengar hari ini.”
“Semua keputusan di tanganmu Jaya, tetapi apa kau ingin negri kita terus menerus dikuasai Mamon.”
“Aku sendiri belum pernah bertemu Mamon, bagaimana aku bisa memutuskan. Lagi pula aku sedang mengajak adikku berlibur ke mari. Aku tak punya banyak waktu bersama adikku, ini kesempatan langka. Lihatlah keceriaannya berlarian dikejar ombak, membuat istana pasir, mencari kerang, aku tak ingin merusak kesenangannya.” Jaya menunjuk seorang remaja yang tengah bermain di pantai.
“Kenapa tidak kita libatkan saja dia.”
            “Apa maksudmu.”
“Kau lihat Jaya adikmu bukan anak kecil lagi, ia sudah remaja dan beranjak dewasa. Kudengar adikmu yang bernama Jaya Manggala itu lebih cerdas dari Jaya Prawira sang kakak yang selalu bimbang dalam mengambil keputusan.”
“Memang kuakui kecerdasan keluargaku semakin ke bawah semakin meningkat, Jaya Dara adikku lebih pintar dariku, Jaya Pawestri adiknya lebih pintar lagi dan Jaya Manggala si bungsu tercerdas diantara kami berempat. Kau tanyakan saja sendiri padanya. Jika dia bersedia, maka aku akan pergi.”
Tanpa menanggapi Bejo langsung berlari ke pantai menemui Manggala yang tengah membangun istana pasir, mereka bicara hingga langit berubah menjadi gelap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar