Lautan menjorok
ke daratan, pulau-pulau karang berjejer memecahkan ganasnya ombak laut Jawa
selatan. Ketika air laut menepi tak lagi ganas sebab ombak telah membentur
karang. Panasnya mentari kalah oleh sejuknya angin laut.
“Bagaimana kabarmu? Kudengar kau
kuliah ke Jerman Jono?” Tanya Jaya sambil menjabat tangan pria berkacamata dihadapannya.
“Benar Jaya.” Sahut orang yang
dipanggil Jono tersebut. “Sekarang sedang liburan ke Indonesia.”
“Begitu ya. Bagaimana keadaan di
sana?”
“Sangat jauh dengan negara kita
Jaya. Semua pelajaran yang kita peroleh semasa SMU tak dianggap di Jerman. Aku
harus mengambil acelerasi lagi setahun baru bisa kuliah. Negri kita jauh
tertinggal.”
“Lalu apa pendapatmu Jono, apa yang
akan kau lakukan setelah lulus nanti?”
“Pendapatku Indonesia jauh
tertinggal dari Eropa, setelah lulus aku tak akan kembali ke negri ini. Aku
akan menetap di sana, karena mereka jauh lebih menghargai ilmuku.”
“Ah.. tak kusangka jiwa
nasionalismemu luntur saat menginjak Eropa. Bukankah kau sekolah di sana agar
bisa membangun negri ini. Sejelek-jeleknya Indonesia, aku tetap mencintainya,
karena darah kita adalah Indonesia Jono.”
“Itu kamu katakan karena kamu tak
mampu kuliah ke luar negri Jaya.”
“Ya. Memang aku miskin Jono, tetapi
hatiku kaya. Di sini aku dilahirkan, di sini aku dibesarkan. Negri ini punya
keunikan sendiri yang tak dimiliki Eropa.Di sana sains memang nomer satu, namun
di sini kita punya rasa. Kau ingat saat di bangku sekolah kita sering luangkan
waktu bersama dalam keceriaan.”
“Ya… itu adalah kesia-siaan dan
usaha menjaring angin. Kini kusadar waktu begitu berharga, namun anak muda di
negri ini hanya menghabiskannya untuk bersantai, bercanda tawa.”
“Sejak kapan pikiran dan pendirianmu
berubah Jono. Kau tak seperti Jono yang dulu lagi.”
“Memang aku banyak berubah. Sebab
prinsip hidup kita harus dievaluasi. Seseorang yang memegang prinsip dan
berhasil disebut berpendirian teguh. Seseorang yang memegang prinsip dan gagal
disebut keras kepala. Nrima Ing Pandum
hanya berlaku di kampung kita, namun di tempat lain prinsip itu tak berlaku
Jaya. Bahkan diterjemahkan ke bahasa Indonesia saja susah, menerima apa adanya
dengan penuh ucapan syukur apa yang sudah dibagikan oleh Tuhan.”
Pada saat mereka berbincang nampak
seorang pria agak pendek, berkacamata, rambut belah pinggir, kulit kehitaman
terbakar matahari, meloncat dari batu ke batu menuju arah Jaya dan Jono.
Tanpa basa basi pria pendek tersebut
langsung bicara, “Sombong sekali kau Jono. Waktu kecil kamu makan bubur dari
padi yang di tanam orang Indonesia. Aku tak sempat mendengar keseluruhan
pembicaraan kalian, namun dari kata-kata terakhir yang masuk ke telingaku jelas
kau tak lagi cinta negrimu.”
Jaya dan Jono memandang orang yang
tiba-tiba datang. Jono angkat bicara. “Bejo. Itu kamu?”
“Ya benar.” Jawab pria pendek
tersebut.
“Aku tak benci negriku. Kita tak
bisa memilih lahir sebagai suku apa, jadi kuterima bahwa aku Indonesia, tetapi
kita bisa memilih akan hidup di mana. Jika aku punya kesempatan hidup di Eropa,
apa salahku.”
Bejo tersenyum sinis, “Ingat kata
Bastian Tito, manusia lahir telanjang untuk apa menyombongkan nama dan gelar
dihadapan sesama manusia.”
Jono membalas. “Pantas saja kalian
tertinggal, yang kalian baca hanya dunia persilatan saja, sedangkan bacaanku
ialah bagaimana cara memisahkan proton dan neutron. Bukan bagaimana menghimpun
tenaga dalam, sepertinya pembicaraan kita akan tidak seimbang. Maaf aku hanya
buang-buang waktu saja. Permisi.” Jono langsung berlalu.
Jaya langsung angkat bicara sambil memandangi
Jono yang semakin menjauh, “ Hari yang aneh, tanpa ada janjian aku berjumpa
kawan lama, yang satu lupa dari mana asalnya, satu lagi jadi ketua penjahat.”
“Aku yang kamu sebut terakhir.” Bejo
langsung menyahut.
“Siapa lagi yang menjadi pimpinan
Kala Hitam, kelompok yang diburu pemerintah kalau bukan kamu Bejo. Atau sudah
ada pergantian pimpinan yang dipilih secara demokrasi.”
“Tunggu
dulu. Rupanya kau masih marah karena peristiwa itu. Sebenarnya kau tak marah
padaku tetapi marah karena gagal mendapatkan hadiah bagi siapa saja yang dapat
menemukan Ornamen Garudeya yang hilang. Kau tak bisa menuduh Kala Hitam sebagai
penjahat sebab tak ada bukti kejahatan kami. Bahkan kau bisa dituntut karena
mencemarkan nama baik.”
“Memangnya
kalian artis atau pejabat yang nama baiknya mudah tercemar. Kita sengaja
bertemu karena sama-sama liburan ke pantai ini, atau kau sengaja mencariku?”
“Tenang-tenang.
Jangan emosi Jaya. Sabar. “ Bejo bicara sanbil mengerak-gerakkan telapak
tangannya ke bawah. “Aku mencarimu Jaya, jadi bukan kamu saja yang bisa
mencariku.”
“Mencariku?”
Jaya terperanjat. “Ada apa? Menuntut balas karena kalian kutuduh mencuri?”
“Tenang-tenang.
Jangan emosi. Sebagai pimpinan Kala Hitam aku harus bertanggung jawab atas
semua anggotaku. Aku harus mengambil keputusan walaupun berat. Keadaan harus
mengubah pola pikir dan tindakan kita. Membuang sifat keakuan merupakan hal
tersulit dalam hidupku. Setidaknya aku bersyukur punya anggota, punya fasilitas
dan punya pekerjaan yang harus kukerjakan. Kami mendapat kesulitan dari pihak
penguasa”
“Pemerintah maksudmu?”
“Bukan. Tetapi suatu kelompok yang mengatasnamakan
pemerintah. Mereka sangat berkuasa dan berpengaruh, hampir semua kekayaan negri
ini mereka yang mengendalikan. Pemerintah yang resmipun tak sadar akan kehadiaran
mereka. Mereka ada seakan membantu padahal dibalik semua itu mereka hanya ingin
mencengkeram negri ini.”
“Bukankah kelompok Kala Hitam yang kau pimpin juga ingin
menguasai negri ini Bejo.”
“Bukan begitu Jaya. Tujuan kami ingin membangun negri ini,
ingin menolong rakyat miskin yang tak diperhatikan pemerintah yang buta. Walau
kuakui cara kami mendapat dana bukan dengan cara yang benar, namun kami tak
seluruhnya salah. Kita pernah membahasnya Jaya.”
“Jika demikian kelompok apa yang menghalangi Kala Hitam.”
“Salah seorang Kepala Departemen mencoba menghalangi
kami, namanya Tuan Dito, Tetapi ia bukan pimpinan organisasi ini, ia punya
atasan Tuan Asdilah yang masih punya atasan lagi Tuan Edy. Di atasnya lagi Tuan
Tofu. Segala keputusan jalan tidaknya organisasi, pengendalian material,
informasi merupakan tanggungjawab Tuan Asdilah. Tuan Edy bertanggungjawab atas semua pimpinan
setingkat Tuan Asdilah. Beberapa pimpinan setingkat Tuan Edy bertanggung jawab
terhadap Tuan Tofu. Konon kabarnya Tuan Tofu seorang Atesis, ia belajar semua
agama dan tidak percaya adanya Tuhan. Jantungnya sudah dioperasi, hampir mati
ia, namun tak juga mati sehingga menguatkan pendiriannya bahwa Tuhan tak ada. Ia
bertindak seolah ia Dewa padahal bukan dia sendiri pendiri dan bukan pula
pimpinan tertinggi dari kelompok tersebut. Jika menemui Tuan Edy saja amat
sangat sulit maka bertemu Tuan Tofu merupakan kesempatan langka bagai bertemu gerhana matahari.
Hingga saat ini Tuan Ditolah yang berkomunikasi dengan kami. Kelompok ini
bernama Mamon.”
“Apa gunanya kau ceritakan padaku Bejo? Apa kau ingin aku
menculik Tuan Tofu dan memaksanya mengakui keberadaan
Tuhan?”
“Bukan. Aku bertemu Eyang Darsu, beliau berkata aku harus
menemukan Murid Tuhan Terakhir, dan kau yang bisa membantuku mencarinya.”
Jaya terkejut, iapun mengerutkan kening, “Apa katamu? Murid Tuhan Terakhir? Eyang Darsu
tidak salah bicara atau kamu tak salah dengar. Aku mana tahu yang kalian cari.”
“Tidak
ada yang salah Jaya. Kemampuanmu tak diragukan lagi, terbukti kau mampu melacak
Kala Hitam yang tak bisa dilacak oleh pemerintah walaupun dengan orang sehandal
Handoko sekalipun.”
“Persoalannya
aku tak tahu apa yang akan kita cari Bejo. Waktu itu jelas ada Ornamen Garudeya
yang hilang, sekarang kita mencari Murid Tuhan Terakhir. Namanya saja baru kudengar
hari ini.”
“Semua
keputusan di tanganmu Jaya, tetapi apa kau ingin negri kita terus menerus
dikuasai Mamon.”
“Aku
sendiri belum pernah bertemu Mamon, bagaimana aku bisa memutuskan. Lagi pula
aku sedang mengajak adikku berlibur ke mari. Aku tak punya banyak waktu bersama
adikku, ini kesempatan langka. Lihatlah keceriaannya berlarian dikejar ombak,
membuat istana pasir, mencari kerang, aku tak ingin merusak kesenangannya.”
Jaya menunjuk seorang remaja yang tengah bermain di pantai.
“Kenapa tidak
kita libatkan saja dia.”
“Apa maksudmu.”
“Apa maksudmu.”
“Kau
lihat Jaya adikmu bukan anak kecil lagi, ia sudah remaja dan beranjak dewasa.
Kudengar adikmu yang bernama Jaya Manggala itu lebih cerdas dari Jaya Prawira
sang kakak yang selalu bimbang dalam mengambil keputusan.”
“Memang
kuakui kecerdasan keluargaku semakin ke bawah semakin meningkat, Jaya Dara
adikku lebih pintar dariku, Jaya Pawestri adiknya lebih pintar lagi dan Jaya
Manggala si bungsu tercerdas diantara kami berempat. Kau tanyakan saja sendiri
padanya. Jika dia bersedia, maka aku akan pergi.”
Tanpa
menanggapi Bejo langsung berlari ke pantai menemui Manggala yang tengah
membangun istana pasir, mereka bicara hingga langit berubah menjadi gelap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar