Kamis, 16 Februari 2017

Teguran Tuhan

1995 ayah sakit parah, saya pikir ia akan meninggalkan kami di dunia ini. Sebab begitulah riwayat nenek moyang kami, meninggalkan anak-anak di usia muda, sehingga setiap anak pertama dalam keluarga ayah tak pernah melihat kakeknya. Yaitu saya, ayah, kakek, buyut, dan kami tak tahu siapa canggahku. Saat itu yang ada dalam benakku jika ayah dipanggil Tuhan adalah bagaimana cara membawa ibu dan kedua adikku pulang ke tanah jawa selanjutnya bagaimana saya jadi tulang punggung tak terpikir. Tak sedikitpun ada rasa khawatir, padahal saya tak paham apa itu iman dan pengharapan, sebagai anak sekolah minggu yang saya tahu Tuhan ada. Saya pelajari rute dari tempat kami tinggal Ds. Nanga Ansar naik angkutan desa ke Sepauk, menyeberang dengan perahu, naik angkutan lagi ke Lengkenat untuk mencegat bus ke Pontianak. Bagaimana cara beli tiket kapal ke Semarang saya juga tak tahu, yang jelas dari Semarang tinggal naik bus ke Magelang. Pikiran selesai sampai di situ. Namun mujizat terjadi ayah masih hidup hingga saya punya adik lagi.

2017 ayah kembali sakit dan harus masuk IGD, setelah dinyatakan pulang untuk rawat jalan saya kembali bekerja di Mojokerto. Namun kondisi tak membaik sehingga harus masuk lagi ke Rumah Sakit. Saat ini saya sudah paham arti iman dan pengharapan bahkan bisa berbicara tentang Tuhan. Namun justru kekhawatiran melingkupi pikiran saya, tak lagi mengandalkan Tuhan walaupun sudah banyak mengalami penyertaan Tuhan. Dengan panik dan pikiran kacau saya bergegas pulang bersama rekan sekerja mengendarai sepeda motor menerjang gerimis tanpa memberi tahu siapapun kepergianku bahkan orang terdekat tak tahu. Banyak yang menyarankan naik bus namun tak kuhiraukan. Pikirku aku mampu. Namun naas sesampai Ngawi setelah melewati sekian banyak lubang akhirnya kami tergelincir. Rekan sekerjaku mendapat luka parah hingga harus mendapat perawatan khusus di IGD dekat tempat kejadian.

Begitulah Tuhan menegur kesombonganku, kekhawatiranku. Faktanya mujizat masih ada ayah, rekan dan saya masih hidup.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar