Kamis, 13 April 2023

Nama adalah do’a

 


Anak pertama kami Mudji Gusti Yisrael, kami berharap dia Memuji Tuhan sang pencipta alam semesta. Dan doa itu langsung dijawab saat usia kandungan 13 minggu yakni 14 Februari 2022, Gusti sudah dipanggil Tuhan melakukan tugasnya yakni Memuji Tuhan di Sorga bersama para malaikat. 

Anak kedua kami Mudji Sios Shalom, kami berharap dia Memuji Tuhan dan menjadi damai dimanapun dia berada, selalu dikasihi Tuhan dan manusia.

Senin, 05 Desember 2022

Kunjungan Ananda

 Selasa Legi, 6 Desember 2022. Kawanku datang bersama istrinya. Seorang bocah lekaki gendut, berkulit bersih nampak lincah bercanda tawa denganku, kawanku juga mertuaku. Bocah itu tampak bahagia. 


Istriku penasaran, "Kamu siapa?"

Sang bocah, "Aku anak ibu."

Istriku, "Lho, aku kan belum melahirkan."

Sang bocah, "Aku R."


Istriku tersentak, bangun dari tidurnya dan meneteskan air mata.  Kamipun berdiskusi sejenak, kalau dia anak kami, kuberi nama Mudji Gusti Yisrael. Jadi inisialnya adalah G, bukan R. Secara kulit dan gendutnya mirip aku. Usianya sekitar 4 bulan dengan perkiraan lahir Agustus, kira-kira masih belajar tengkurap. Jika dihitung sejak ia gugur 14 Februari 2022, berarti 8 bulan, belum juga jalan dan bicara. Namun anak ini sudah berlari-larian dan bercanda. Secara kejawen, seorang bayi yang meninggal rohnya akan tetap bertumbuh sesuai umurnya. Secara Kristen, rohnya bertumbuh di Firdaus, bersama orang-orang kudus. Jadi siapakah dia?

Kalaupun anak kami dia bahagia kok.

Kalaupun bukan kami yakin, anak kami sedang bermain-main di Firdaus bersama kakeknya

Kamis, 17 November 2022

Bukan tentang Salah Benar

  Sunandar tampak suntuk, “Toko Sabalila sudah 2 bulan tidak mengambil eternit dari kita Wil.” Ia bicara setelah meletakkan cangkir kopi yang baru saja diteguknya.

“Pantas saja omsetmu turun.” Jawab Wili, “biasanya mereka memesan dari kita 200-250 lembar. Kalau target kita 10.000 artinya hampir 25%  turun Ndar.”

“Ya, itulah yang terjadi Wil. Padahal dulu saat area Jawa Timur kamu pegang Toko Sabalila pembeliannya bagus.”

“Kira-kira apa alasannya?”

“Barangnya masih banyak.”

Wili berfikir sejenak, “Besok kita menghadap boss, nanti aku ikut kamu ke Banyuwangi.”

“Tapi kan wilayahmu Jawa Tengah, apa tidak masalah.”

“Bukankah dulu aku pernah pegang Jawa Timur, pastilah Tuan Abdulah masih mengenalku.”

Dua hari kemudian mereka ke ujung timur Pulau Jawa. Tuan Abdulah menyambut mereka dengan ramah, kopi, kacang rebus, singkong goreng dan pisang goreng menemani obrolan mereka.

“Tuan Abdulah, bagaimana penjualan bulan ini. Apakah lancar?” Setelah berbasa basi Wili langsung ke pokok permasalahan.

“Maaf Tuan Wili dan Tuan Sunandar, barangnya masih banyak. Jadi kami belum pesan lagi. Mungkin bulan depan.”

Wili berfikir sejenak, jawaban yang diperoleh sama persis dengan apa yang diceritakan Sunandar. Orangnya ramah, baik hati, jadi apa kesalahan kami?

“Maaf Tuan Abdulah, kami ini masih muda, masih butuh banyak belajar. Jika tuan berkenan, bolehlah tuan mengajari kami yang kurang berilmu ini.”

Tuan Abdulah memandang Wili beberapa saat. “Baiklah kalian ikut saya.”

Mereka bertigapun ke gudang, dilihatnya beberapa tumpukan eternit 50x50 dan ada yang cacat. “Begini tuan, ini ada kerusakan,  kami meminta ganti ke perusahanan kalian namun tidak diganti.” Tuan Abdulah menjelaskan dengan wajah kecewa.

Wilipun memperhatikan sekitarnya, dilihatnya martil di atas, dan cacatnya adalah bekas martil. Abdulah ini orang jujur pikir Wili, pastilah ulah tukang yang membohongi Abdulah. Secara dokumen memang bukan kesalahan perusahaan. Dari pabrik di Surabaya, dikirim ke expedisi cek listnya lengkap tidak ada yang rusak. Dari surat jalan expedisi diterima toko, semua barang OK. Artinya kerusakan ada di toko. Namun Abdulah tidak ikut control. 

“Baiklah tuan Abdulah, kerusakan akan kami ganti.”

Sontak Abdulah terkejut, “Bukankah secara perusahan tidak bisa?”

“Memang secara prosedur tidak bisa Tuan, tapi kali ini akan saya ganti. Hanya saya ada permintaan tuan.”

“Apa itu tuan Wili?”

“Kiriman selanjutnya, jika Tuan Abdulah memesan lagi mohon luangkan waktu untuk ikut mengecek sendiri barang yang datang. Agar kita tahu kerusakannya di expedisi atau dari pabrik kami.”

“Ya tuan, ya tuan, ya tuan.” Entah apa yang dipikirkan tuan Abdulah sampai mengatakan ya hingga tiga kali. Mungkin ia sadar kalau kesalahan ada pada pihak karyawannya.

Sunandar jelas tidak terima dengan keputusan Wili, namun Wili memastikan dia yang akan menanggung ke bosnya. Sesampainya di Surabaya, sudah pasti Bos marah besar. Karena jelas melanggar prosedur.

“Biar saya jelaskan dulu Bos.” Kata Wili tenang.

“Toko Sabalila order ke kita rata-rata 200 lembar perbulan, dalam 3 bulan mereka tidak ambil dari kita berarti kita sudah kehilangan pembeli 600 lembar. Yang rusak itu kira-kira 5-6 lembar, hanya 1%.” Lanjut Wili

“Tetapi tidak bisa seperti itu Wil, secara system penerimaan sudah OK. Dan kamu telah menemukan sendiri bukan, bahwa kemungkinan keteledoran karyawannya.”

“Benar bos, namun Tuan Abdulah ini orang jujur. Dan saya sudah memastikan kiriman selanjutnya akan control sendiri. Dan beliau mengiyakan bahkan sampai 3x.”

“Tapi, tidak bisa begitu.”

“Tenang bos, jika perlu potong gaji saya. Untuk mengganti kerusakan tersebut. Namun kedepan kita masih bisa kerjasama dengan Tuan Abdullah. Pabrik Eternit bukan hanya kita saja, jika sampai pabrik lain jualan ke Sabalila maka kemungkinan kita jualan ke sana nol”

Bos berfikir sejenak. “Benar juga idemu. Baiklah kita ganti.”

Bulan berganti bulan, penjualan baik wilayah Sunandar maupun Wili lancar. Wili mendapat apresiasi sebuah sepeda motor. Tahunpun berlalu, hingga tulisan ini dibuat Tandiyo Willy memiliki sebuah pabrik Daur Ulang Plastik Pradha Karya Perkasa. Sedangkan Sunandar menjual bubur ayam. Persahabatan mereka masih terjalin hingga saat ini. 


Senin, 12 September 2022

Anak Kedua

 Anakku sayang kakakmu telah ke Sorga 

Bersama kakek nyanyikan kidung pujian

Di bumi ini  kupetikan dawai gitar 

Mari kita nyanyikan kidung yang sama 


Ha  a  haleluya 

Ha  ha  leluya

Ha  a  haleluya 

Ha  ha  leluya


Anakku sayang kelak kau akan dewasa

Jadilah apa saja yang engkau citakan 

Bawalah damai dimana engkau berada

Dan ingatlah kidung yang kita nyanyikan


Ha  a  haleluya 

Ha  ha  leluya

Ha  a  haleluya 

Ha  ha  leluya

Ha  a  haleluya 

Ha  ha  leluya

Ha  a  haleluya 

Ha  ha  leluya


Senin, 06 Juni 2022

#ceritamudji #11 - #13

 

#ceritamudji #11

Setelah melewati beberapa tanjakan dan turunan yang menikung, akhirnya Jaya dan Dani sampai juga ke sebuah bendungan di kaki gunung. Mereka berhenti, Jaya membuka  hp memastikan lagi, setelah yakin barulah memarkirkan sepeda motornya.  

"Benar ini tempatnya mas Jaya."

"Berdasarkan koordinat yang ditulis kakekmu, titiknya ada di sana Dani." Jaya menunjuk area bendungan agak ke tengah. "Sebaiknya kita sarapan dulu."

Merekapun mampir ke sebuah warung, Jaya memesan nasi rames, sedangkan Dani nasi gudeg krecek. Ditemani teh hangat, tahu susur tempe goreng tepung dan saren goreng.

Usai sarapan, mereka memesan perahu yang memang untuk pariwisata. Namun mereka tidak berkeliling, melainkan langsung menuju titik koordinat. Perahu melaju pelan, sambil menyesuaikan google map di hp Jaya. Setelah sampai, mereka berhenti. Dani memanjatkan doa, kemudian dari tasnya ia mengeluarkan bungkusan kecil, serta botol kecil berisi air.  Setelah dibuka bungkusan tersebut adalah segenggam tanah. Dani menaburkan tanah dan menuangkan air dalam botol.
Jaya dan tukang perahu hanya mengamati saja apa yang dilakukan Dani.

#ceritamudji  #12

Untuk beberapa waktu mereka bertiga hanya diam. Tak ada yang memulai pembicaraan. Dari tepi meluncur perahu lain, tidak membawa wisatawan keliling bendungan, melainkan hanya satu orang gemuk saja menuju ke arah mereka.

Kedua perahu itupun merapat, si gendut mengamati Dani sebelum bicara dengan lantang "Gunung Merapi mengirimkan pasir ke Kali Putih dan Kali Krasak."

"Kali Elo dan Progo bersatu di Segara Kidul." Sahut Dani. Dan tanpa aba-aba merekapun saling senyum.

"Pak Lik Karsa, biarkan mereka aku yang mengantar ke tepi." Kata Si Gendut ke tukang perahu yang ditumpangi Jaya dan Dani.

"Baik Den. Kata pak Karsa."

Setelah Jaya membayar sewa perahu ke pak Karsa sesuai kesepakatan mereka berdua pindah ke perahu si gendut. Pak Karsapun menepi, mencari wisatawan lain.

"Namaku Atma, cucu Eyang Darsudi." Si gendut memperkenalkan diri. "Kamu pasti cucu Eyang Darsono bukan?"

"Benar, namaku Dani." Dani menjabat tangan Atma. "Dan mas Jaya ini yang mengantarku ke sini."

"Jaya." Jaya menjabat tangan Atma.

"Mas Jaya disuruh Eyang Darsu bukan?"

"Mas Atma kenal Eyang Darsu? Dan bagaimana bisa tahu saya?"

"Suatu sore di sebuah warung, saya melihat mas Jaya dengan temannya yang agak pendek berkacamata ngobrol dengan Eyang Darsu. Kebetulan saya jadi tukang parkir waktu itu."

"Lha mas ini sebenarnya profesinya apa? Parkir, sekarang jadi tukang perahu. Sedang pak Karsa tadi memanggil Den, berarti Raden yang artinya bangsawan."

"Bukan, saya hanya orang biasa. Lik Karsa itu kalau menghormati orang panggil Den. Apalagi sama wisatawan."

Jaya hanya mengangguk saja, walau hatinya masih banyak pertanyaan. Namun pikirnya urusan Dani lebih penting.

#ceritamudji #13

Merekapun menepi. Perahu diserahkan ke orang lain. Atma mengambil sepeda motor dan diikuti oleh Jaya dan Dani.  Dua motor melaju ke arah dari mana Jaya datang tadi, udara sangat sejuk.  Setelah melewati beberapa perkampungan dan beberapa perkebunan, sampailah mereka ke daerah yang cukup ramai. Pedadang sayur ada di kiri kanan jalan, antara mobil, sepeda motor, pejalan kaki, becak begitu padat merayap. Setelah agak longgar mereka belok ke kiri, ke kiri lagi menuju perkampungan yang cukup sempit.   Atma memarkirkan sepeda motornya didepan  sebuah rumah, Jaya mengikutinya.

"Silakan masuk." Kata Atma.

Seorang Wanita paruh baya menyambut mereka. "Silakan duduk nak. Ayah Atma sebentar lagi pulang."

Merekapun duduk, dibuatkan teh hangat, pisang goreng, potil, getuk goreng.  Sesaat kemudian seorang pria datang.

"Mana anaknya Darmo?" Dia begitu bahagia.

"Saya pak, Dani." Dani menjabat tangan ayah Atma. Kemudian Jaya juga memperkenalkan diri.

"Tak kusangka hari ini terjadi juga." Kata Ayah Atma. "Aku hampir putus asa, namun Sang Pencipta masih mengijinkan keturunan kami bertemu. Tentu Darmo banyak bercerita tentang kami."

"Lebih tepatnya Kakek yang bercerita, namun tidak rinci." Jawab Dani.

"Ya ya." Ayah Atma menegguk teh. "Ayahku dan Kakekku adalah kakak beradik, jadi kamu memanggilku pak De. Mereka memilih jalan masing-masih. Ayahku tidak mau ikut bedol desa, resikonya. Kami sempat tidur di emperan toko. Aku membantu ibu memulung kardus-kardus bekas. Sedangkan ayah jadi kuli kasar di pasar yang baru saja kalian lewati. Tahun-tahun berlalu, dari emperan ke kontrakan, dari kontrakan ke kontrakan lain. Akhirnya rumah ini bisa berdiri. Namun tak lama kemudian ayah pergi meninggalkan kami untuk selamanya." Ayah Atma menghela nafas sejenak.

"Bendungan yang kalian kunjungi, adalah desa kami dulu.  Kamu pasti sudah tahu ceritanya Dani. Bendungan itu dibangun untuk kebutuhan negara, pembangkit listrik tenaga kincir air. Kini ramai menjadi tempat Pariwisata. Namun sayang yang menikmati adalah warga pendatang. Saat aku masih muda, aku masih sering ke sana guna menunggu ayahmu Dani. Sekarang, janji itu ditepati oleh kalian generasi ketiga." Ayah Atma memandang anaknya dan keponakannya yang baru datang.

"Nak Jaya, terimakasih telah membantu." Lanjut Ayah Atma.

"Iya pak. Sebenarnya kami berdua, namun teman kami ada urusan lain. Dan sayapun mohon pamit, lain kali saya akan mampir ke sini. Saya juga sudah menyimpan nomer Atma" Kata Jaya.

"Makan siang dulu nak. Baru boleh pulang" kata Ibu Atma.

"Baik Bu." Sahut Jaya.

Siang itu mereka makan sop senerek, dengan tempe bawang uyah, sambel terasi. Jaya pun pamit.

#ceritamudji #6 - #10

 

#ceritamudji #6
~
Dani mengeluarkan secarik kertas yang tersimpan rapi dari dalam tasnya. Kertas tua yang sudah mulai menguning.

"Ini peninggalan Kakekku, kalian pasti memahaminya." Dani menyodorkan ke Jaya.

Jaya menerima kertas tersebut, Bejo mendekat. Mereka membuka dan memperhatikan apa yang terlulis.

Sesaat kemudian, mereka bertiga duduk santai di bebatuan. Sambil mendengarkan Dani bercerita panjang lebar. Jaya mengambil hp, memotret kertas Dani sebelum mengembalikan ke kepemiliknya.

#ceritamudji  #7
~
"Ayahku masih SD ketika peristiwa itu terjadi." Dani berusaha mengingat cerita sang ayah, sebab bukan dia yang mengalaminya. "Namanya Darmo, Kakekku Darsono.

Pak Darsono pulang agak larut malam, Darmo yang masih kelas 2 SD belum juga tidur dan ikut mendengarkan pembicaraan orang tua mereka.

"Bagaiamana hasil rapatnya pak?" Tanya bu Darsono.

"Keputusannya, kita bedol desa." Pak Darsono menjelaskan. "Satu desa akan transmigrasi ke luar pulau Jawa. Di sana masing-masing keluarga akan memperoleh rumah dengan tanah setengah hektar, dalam kawasan permukiman dan lahan pertanian dua hektar. Semuanya tetap sama baik nama desa, nama dusun, juga RT dan RW warganya sama persis. Hanya kecamatan dan kabupaten ikut yang di sana."

"Apa tidak ada pilihan lain pak?" Tanya Bu Darsono, "Bagaimana kalau kita pindah di desa lain, atau merantau ke kota saja. Asalkan tidak meninggalkan tanah Jawa."

Pak Darsono termenung sejenak. "Kita tidak memiliki uang untuk membeli tanah di desa lain, kalau ke kota dengan ijazah SD aku tak yakin bisa bertahan hidup, kakekku, buyutku, canggahku mereka petani. Dan pemerintah menjanjikan tanah yang lebih luas dari tanah kita sekarang."

"Ayah, boleh Darmo bertanya?" Darmo berusaha memahami permbicaraan orang tuannya.

"Tanyakan saja le." Sahut ayahnya.

"Kenapa warga desa harus pindah keluar jawa ayah."

"Desa kita akan dibangun sebuah bendungan besar sebagai pembangkit listrik, juga pengairan sawah. Namun di sini padat penduduk, sedangkan di luar jawa masih banyak tanah yang belum diolah. Sehingga pemerintah punya tujuan membangun  pertanian di pulau lain."

"Jadi, rumah kita ini akan ditenggelamkan?"

#ceritamudji  #8
~
Hari-hari menjadi sibuk, mulai persiapan, penyuluhan kader pertanian, kader kesehatan. Hingga hari yang ditentukan tiba, Darmo hanya bermain-main dengan rekan sebaya, mereka tahu akan pergi meninggalkan tanah leluhur namun tak tahu kegelisahan hati orang tua mereka. Ada yang membawa segenggam tanah dan sebotol air sumur, yang kelak akan di tabur dan disiramkan di tanah yang baru.

Rombongan berangkat dengan menggunakan kapal perang menyebrangi lautan, sambil diiringi sebuah lagu :

Deru suara mesin kapal
Diiringi generciknya ombak
Di tengah samudra nan amat luas
Iringi kepergian ratusan jiwa

Sebuah pulau yang masih sepi
Sambut kedatangan mereka
Hutan terbentang sangat menantang
Untuk dijadikan sebuah desa

Transmigran itulah tugasmu
Sibak belukar bangunlah desamu
Transmigran tingkatkan hisupmu
Demi nasib anak dan cucumu


#ceritamudji  #9
~
Hari berhanti bulan, bulan berganti tahun, tahun berganti generasi. Generasi pak Darsono telah banyak yang pulang menghadap sang pencipta, Darmo tak pernah lagi menginjak tanah jawa. Masa kecilnya tinggal kenangan, dia hanya bisa menceritakan kenangan tanah jawa ke pada Dani putranya yang kini beranjak dewasa."

"Tunggu, sepetinya aku kenal lagu yang kamu nayanyikan Dani." Kata Bejo. "Yang intronya mi mi fa mi re mi."

"MST." Sahut Jaya.

"Ya benar. Kalian tahu juga? Bukankah itu lagu lama" Tanya Dani.

"Saat MST meninggal lagu tersebut dinyanyikan oleh anak-anaknya." Jawab Jaya.

"Apakah anak-anaknya juga jadi musisi?"

"Tidak semuanya, anak pertama jadi Bassist dan penulis, anak kedua jadi pelukis hebat serta punya podcast horor yang terkenal yaitu CeriT, anak ketiga jadi ahli dibidang bahasa-bahasa kitab kuno, sedangkan yang bungsu adalah pendiri  dan pemilik MTO MovieTown."

#ceritamudji  #10
~
Matahari agak condong ke barat saat tiga pemuda melangkahkan kaki. Mereka sudah sepakat mengantarkan Dani ke tanah leluhurnya. Sebuah jalan setapak berada di pinggir hutan lebat.

"Dani, kenapa kalian tidak membuat jalan setapak yang menerobos hutan." Tanya Bejo. "Kalau kulihat di peta, desa kalian segaris dengan pelabuhan, kalau ada jalan menerobos hutan, maka kita akan menghemat setengah perjalanan."

"Sejak aku kecil tak ada yang boleh masuk hutan, kami harus mengambil jalan melingkar." Dani menerangkan. "Sebab disamping kita adalah hutan larangan."

#ceritamudji #1 - #5

 

#ceritamudji #1
~
Keringat yang menetes hampir saja masuk ke mata jika Jaya tak segera mengusap dengan lengannya. Raga sudah mulai lelah, namun tak ada keinginan untuk istitahat sejenak. Jalan terjal tak jadi rintangan yang cukup berarti, sementara rembulan terkadang tertutup mega. Mendadak Bejo berhenti, jari tunjuknya menunjuk ke kejauhan. Tanpa aba-aba kedua kalinya Jaya langsung menatap objek yang dituju. Nampak perkampungan tanpa aliran listrik, hanya mengandalkan lampu minyak. Sunyi, sepi, hanya terdengar binatang malam.

"Sepertinya itu yang dimaksud Eyang Daru." Kata Jaya setengah berbisik.

"Jika begitu ayo segera kita lanjutkan, lihatlah di depan jalan sudah mulai menurun. Jika perkiraanku tidak meleset, kita akan sampai ke sana saat fajar menyingsing." Bejo berkata dan langsung mengayunkan langkahnya.

Jaya hanya mengangguk, merekapun segera melanjutkan perjalanan. Benar saja, jalan bebatuan yang mereka pijak mulai menurun. Tak lama kemudian  mereka berhenti di sebuah tanah lapang.

"Bejo." Nafas Jaya agak terputus-putus. "Sebaiknya kita bermalam di sini. Sebelum matahari terbit baru kita lanjutkan. Setidaknya lebih sopan bertamu pada saat hari terang tanah."

"Benar juga usulmu Jaya, ternyata perkampungnnya sudah di depan mata, paling satu jam lagi sampai." Bejo menanggapi. Langsung mengeluarkan tali pramukan dan jas hujan ponco, sedangkan Jaya mencari beberapa potong kayu. Merekapun membuat bivak.

#ceritamudji #2
~
Tiga gadis berbaris rapi diantara delapan lelaki, mengenakan hem putih dan bawahan merah. Dan memang hanya ada mereka, sebab adik-adik kelas mereka diliburkan. Satu per satu memasuki ruang kelas, masing-masing duduk satu orang satu meja sesuai nomer ujian nasional.
Di luar kelas empat orang guru nampak cemas, bahkan salah seorang guru tampak berkeringat. Bukan karena matahari pagi yang belum begitu panas, namun dalam terngiang suara kepala dinas seakan menggema berulang di kepalanya.

"Tahun ini adalah kesempatan bagi SD kalian, jika tidak bisa meluluskan siswa 100% maka bukan hanya anda saya berhentikan jadi kepala sekolah namun sekolah itu akan kami tutup. Biarkan anak-anak sekolah ke ibu kota kecamatan."

Mendadak lamunannya sirna, digantikan seberkas senyum diwajahnya. Matanya jauh memandang ke arah ladang jagung. Tanpa disuruh ketiga guru yang lain mengarahkan pandangan yang sama, dan menghela nafas lega.

Dari kejauhan tampak dua pemuda berjalan menuju ke arah bangunan SD, mau dikatakan gedung juga tidak tepat. Jam menunjukan pukul 06:45 ketika kedua pemuda tadi melewati papan bertuliskan SD Wates Wetan.

#ceritamudji #3
~
"Terimakasih nak Jaya dan nak Bejo telah jauh-jauh datang ke mari mengantarkan soal-soal ujian nasional bagi SD di tempat kami." Seorang pria setengah baya duduk bersila sembari menikmati teh kental manis yang masih mengepul.

Jaya dan Bejo hanya mengangguk-angguk sebab mulut mereka sedang memproses nasi jagung, sambal terasi dengan lauk ikan asin, ditambah rebusan daun sing okkong.

"Memang sudah menjadi tugas kami sebagi kurir pak Kades." Jawab Bejo setelah mendorong makanannya dengan air putih ke tenggorokan menuju lambung. "Kami lihat tiang-tiang listrik itu sudah terpasang pak. Berarti tidak lama lagi akan ada listrik di tempat ini."

Sang Kepala Desa tersenyum, "Dahulu saya juga berfikir demikian."

"Dahulu? Maksudnya?" Jaya menyela.

"Ya dahulu kala ketika usiaku semuda kalian, Presiden kita masih Gus Dur. Tiang-tiang listrik itu di datangkan. Hati kami gembira, sekarang Ibu Kota Negara sudah mau pindah ke Kalimantan namun listriknya tidak pernah ada."

Bejo dan Jaya hanya bengong, saling berpandangan.

"Kalau SDnya pak?" Tanya Jaya.

"Dulu belum ada bangunan SD, kelasnya terpisah-pisah, ada yang di balai desa, ruang KUD dan beberapa rumah penduduk. Saat itu, kalau ujian nasional seperti ini kami harus menginduk ke kecamatan. Menginap seminggu di sana, membawa beras, ayam untuk bekal anak-anak dan guru makan. Empat tahun lalu bangunan SD sudah didirikan, setahun kemudian datanglah pak Darmo sebagai kepala sekolah dan tiga guru lain dari pemerintah. Akhirnya guru honorer yang sudah lama mengabdi diberhentikan."

#ceritamudji  #4
~
"Tiga guru, enam kelas. Bagaimana mengajarnya? Saya lihat ruang kelasnya juga cuma 3" Jaya penasaran.

"Kelas 1 dan 2 jam 07.00 sampai jam 09.50. Kelas 3 dan 4 bergantian masuk jam 10.00 sampai jam 14.00.  Kelas 5 jam 07.00 sampai 13.30. Kelas 6 kan sedikit, maka digunakanlah rumah dinas guru sebagai kelas. Masuk jam 07.00 pulang jam 13.30. yang mengajar ya mereka berempat. Termasuk kepala sekolah turun tangan mengajar."

"Rumah dinasnya sepertinya kecil, dan hanya ada 2 bukan?" Jaya penasaran.

"Benar sekali nak. Yang satu dipakai pak Hasan dan pak Ahmad, karena mereka masih bujang. Pak Darmo dan pak Heru dengan keluarganya. Masing-masing menempati rumah warga, yang dulu digunakan sebagai kelas."

"Tahun ini murid kelas 6 kebetulan 11 orang, tahun depan kalau mencapai 30-an apa muat rumah dinasnya pak?"

"Tahun depan jika kalian masih diberi tugas mengantar soal ujian, pasti tahu jawabanya. Sekarang sebaiknya kalian segera habiskan makanannya, maaf seadanya. Setelah itu istirahatlah. Kalian pasti lelah. Saya tinggal dulu ya." Pak Kades pamit.

"Baik pak." Sahut Bejo dan Jaya hampir bersamaan.

#ceritamudji #5
~
"Selamat jalan Kakak-kakak." Semua murid melambaikan tangan.

"Semangat ya ujiannya. Ini baru hari kedua, kalian pasti lulus semua." Bejo berkata sambil melambaikan tangan, diikuti oleh Jaya.

"Kami pamit dulu." Kata Jaya kepada Para guru dan para perangkat Desa.

Merekapun berjalan menjauhi perkampungan. Menyusuri jalan setapak diantara perkebunan warga. Setelah menaiki perbukitan, pepohonan mulai rindang.

"Siapa itu!" Bejo mendadak berteriak sambil membalikan badan.

Dari semak-semak muncul seorang pemuda, yang agak ketakutan.

"Dani?" Rupanya Jaya mengenali. "Kenapa mengikuti kami? Apa orang tuamu tahu? Bagaimana kalau kamu dicari?"

"Maaf kak. Saya ingin ikut kalian ke Jawa, boleh ya." Kata Dani. "Saya sudah pamit ke bapak saya. Tenang saja pasti mereka tidak mencari."

"Tidak-tidak." Jaya menentang. "Di Jawa mau cari siapa, ke mana, mau melakukan apa? Begini saja, kami antar kamu kembali lagi ke Desa."